Vous êtes sur la page 1sur 16

Prof. Dr.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy

Ahli Fiqih & Hadits Indonesia, Tokoh Muhammadiyah & Persis

http://subhan-nurdin.blogspot.com

Fiqh Indonesia: Tema Pemikiran Hukum Islam Hasbi Ash Shiddieqy


(1905-1975 M)

Ditinjau dari sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam sebelum kemerdekaan,


berbagai cara telah dilakukan oleh setiap pemikir Muslim Indonesia untuk
memadukan antara budaya dan hukum Islam itu sendiri. Mereka telah mencoba untuk
melakukan hal tersebut pada fase awal sejarah negara kita. Salah satu dari para
pemikir Muslim tersebut adalah Hasbi Ash Shiddieqy, seorang pemikir besar di
masanya, yang telah menyumbangkan gagasan yang mencerahkan dan kontroversial
di kalangan umat Islam. Maka, dalam makalah ini akan dibahas biografi singkatnya
dan pemikiran pembaruannya.

Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ia dilahirkan di


Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904 di tengah keluarga pejabat.
Ada beberapa hal yang menarik pada dirinya. Pertama, ia adalah seorang otodidak.
Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah. Dan hanya satu setengah tahun
duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926).

Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka
“angker”. Namun, Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak
gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu, ia dimusuhi, ditawan, dan
diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat
kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang yang berasal dari organisasi-
organisasi masyarakat lain seperti Muhammadiyah dan Persis, padahal ia adalah
anggota dari kedua perserikatan itu.

Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas
lagi sejak tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh (al-fiqh) yang
berkepribadian Indonesia. Himbauan ini sempat mengundang sentakan dari sebagian
ulama di Indonesia. Namun, ia tidak pernah menyerah untuk terus menuangkan
pemikiran-pemikiran yang mencerahkan ke dalam karya-karyanya.[1]

Pemikiran Pembaruan Hasbi Ash Shiddieqy

Pada masa awal persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, perbincangan tentang


hukum Islam dari aspek fiqh semakin surut karena semua umat Islam disibukkan
dengan pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun,
kesibukkan tersebut tidak pernah membuat Hasbi ikut terlena untuk melupakan
agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia kendatipun banyak para pembaru
Muslim di masanya yang mendirikan organisasi-organisasi kemsyarakatan (Ormas).

Berdasarkan hal tersebut, wacana yang dikembangkan dalam pemikiran keislaman


menjadi kurang empiris dan mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur
permasalahan sosial-politik yang terjadi di masyarakat, yang telah menggerakkan
Soekarno untuk ikut memberikan kritik terhadap kerangka pikir yang selama ini
dipakai oleh para ulama. Kungkungan pola pikir para ulama yang berpacu pada fahm-
u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di dalam
khazanah literatur klasik membuat eksistensi hukum Islam tampak resisten, tidak
mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia menjadi panacea bagi persoalan
sosial-politik. Para ulama secara umum telah melupakan sejarah dan menganggap
bahwa mepelajari sejarah tidaklah begitu penting sehingga kritik atas dimensi ini
menjadi tidak ada. Dengan semikian, pandangan mereka terhadap fiqh adalah sebagai
kebenaran ortodoksi mutlak, yang absolutitasnya menegasikan kritik dan
pengembangan, dan bukan sebagai pemikiran yang yang bersifat nisbi, yang
membutuhkan kritik dan pengembangan. Maka, perlulah sebuah pemikiran dan
pandangan baru yang dapat menggeser paradigma dari pola fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-
inqiyâd ke pola fahm-u ‘ilm li ‘l-intiqâd.[2]

Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran fiqh
Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya,
hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam
segala cabang dari mu‘âmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu
hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat.
Para ulama (lokal) dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap kebaikan (sense of
mashlahah) yang tinggi dan kreatifitas yang penuh dengan tanggung jawab dalam
upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya.

Nalar pemikiran yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah
satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang
gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.[3] Menurutnya, hingga
tahun 1961, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan
emosional yang begitu kuat (fanatik, ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut oleh
umat Islam. Dan untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia, diperlukan kesadaran dan
kearifan lokal yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati langkah
pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa
awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa
berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni,
hukum yang dibentuk oleh keadaan lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi
setempat (adat dan ‘urf), bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang
terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru.[4] Maka,
kita dapat menyimpulkan bahwa ide fiqh Indonesia yang telah dirintis olehnya
berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat
Islam Indonesia adalah hukum Islam yang sesuai dan memenuhi kebutuhan rakyat
Indonesia, selama itu tidak bertentangan syari’at.

Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip
mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip
itu, merupakan prinsip gabungan dari setiap madzhab. Maka, untuk memberikan
pemahaman yang baik, ia menawarkan metode analogi-deduktif – satu model
istinbâth hukum yang pernah dipakai oleh Imam Abû Hanîfah – untuk membahas satu
permasalahan yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran
klasik. Dengan demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia
menggunakan pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan
penemuan hukum Islam.

Salah satu contoh kasus, adalah perdebatan Hasbi dengan A. Hasan tentang boleh
tidaknya jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari tidak adanya dalil
pasti dan alasan yang rasional tentang pengharaman jabatan tangan antara laki-laki
dan perempuan maka ia berpendapat bahwa tradisi jabat tangan antara laki-laki dan
perempuan bukan sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.[5]

Penutup

Pemikiran pembaruan yang telah digagas oleh Hasbi Ash Shiddieqy patut untuk kita
renungkan dalam membina masa depan umat Islam di Indonesia. Gagasan fiqh
Indonesia yang telah ditawarkannya adalah fiqh konteksual, tidak anakronistik, dan
sesuai dengan tuntutan zaman.
____________
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan Kedua
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 241-2.

[2] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 63-4.

[3] Ibid., hlm. 65-6.

[4] Ibid., hlm. 67-8.

[5] Ibid., hlm. 69-71.


Posted by Dida at 8:01 PM
HASBI ASH-SHIDDIEQY

(Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975).


Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqih dan usul fiqih, tafsir, dan ilmu kalam.

Ayahnya, Teungku Qadli Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud,
adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren
(meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja
Mangkubumi Abdul Aziz. Putri seorang Qadli Kesultanan Aceh Ketika itu. Menurut
silsilah, Hasbi Ash- Shiddieqy adalah keturunan Abubakar ash- Shiddieq (573-13
H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke- 37 dari khalifah tersebut
meletakkan gelar ash- Shiddieqy di belakang namanya.

Pendidikan Agamanya di awali di dayah ( pesentren)milik ayahnya. Kemudian selama


20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan
bahasa Arabnya diperoleh dari Syeh Muhammad Ibnu Salim Al Kalali, seorang ulama
berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabayadan melanjutkan
pendidikan di Madrasah al- Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh
Syekh Ahmad Soorkati ( 1874- 1943),ulama yang berasal dari Sudan yang
mempunyai pemikiran moderen ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran Takhassus
(spesialis)dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2
tahun. Al- Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk
pemikirannya yang moderen sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash- Shiddieqy
langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.

Pada Zaman demokrsi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi
(Majelis Suryono Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstintuante.
Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam
bidang pendidkan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatannya ini di pegangnya hingga tahun1972.
Kedalam pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama
terlihat dari beberapa gelar doktor (Honoris Causa) yang diterimanya, seperti dari
Universistas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada
29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar
dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.

Hasbi Ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran


keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut
catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya
adalah tentangfiqih (36 judul). Bidang- bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6
judul), tauhid (ilmu kalam ; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang
bersifat umum.

Pemikiran

Seperti halnya ulama lain, Hasbi Ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syari’at Islam
sifat dinamis dan eletis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat,. Ruang
lingkupnya.mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya
dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syari’at Islam yang bersumber dari
Wahyu Allah SWT., ini kemudian di pahami oleh umat islam melalui metode.ijtihad
untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat.
Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh. Yang ditulis oleh
ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri
mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy- Syafi’I dan Ahmad Hanbal.

Akan tetapi menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, banyak umat islam, kususnya di


Indonesia, yang tidak membedakan antara syari’at yang berlangsung berasal dari
Allah Swt, dan fiqih yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syari’at
tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa Islam Indonesia cenderung menganggap
fiqih sebagai syari’at yang berlaku absolute. Akibatnya, kitab-kitab fiqih yang ditulis
imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syari’at, walaupu terkadang relefansi
pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan
konteks kekinian., karma hasil ijtihat mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi
sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan
kondisi masyarakat kita sekarang.

Menurutnya, hukum fiqih yang di anut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang
tidak sesuai dengan bangsa Indonesia. Mereka cenderung memeksakan keberlakuan
fiqih imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternative terhadap sikap tersebut, ia
mengajukan gagasan perumusan kembali fiqih Islam yang berkepribadian Indonesia.
Menurutnya, umat islam harus dapat menciptakan hukum fiqih yang sesuai latar
belakang susiokultur dan lerigi masyarakat Indonesia. Namun begitu , hasil ijtihat
ulama masa lalu

Bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan di pelajari
secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatic. Dengan demikian, pendapat ulama
dari mazhab manapun, asal sesuai dan relefan dengan situasi masyarakat Indonesia,
dapat diterima dan diterapkan.

Untuk usaha ini, uluma harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihat. Hasbi ash-
Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihat telah tertutup, karna ijtihat adalah
suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk
menuju fiqih Islam yang berwawasan ke Indonesia, ada tiga bentuk ijtihat yang perlu
dilakukan.

Pertama. Ijtihat dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama masa lalu.


Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan
dalam masyarakat kita.

Kedua ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata mata


didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat dimana hukum itu
berkembang.hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan
keadaan masyarakat.

Ketiga ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap dengan masalah kontemporer


yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi, seperti transplatsi organ
tubuh, bank, asuransi,bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.

Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan


peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-
pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak
pula pada aspek-aspek lain. Oleh karna itu menurutnya ijtihat tidak dapat terlaksana
dengan efektif kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi Ash-Shiddieqy
menawarkan gagasan ijtihad jama’I (ijtihat kolektif).anggotanya tidak hanya dari
kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan muslim lainnya, seperti ekonom,
dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai fisi dan wawasan terhadap
permasalahan umat Islam, masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad
kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesua dengan keahlian dan
disiplin ilmunya. Dengan demikian rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini
lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan
kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan masyarakat ini ia memandang urgensi
metodologi pengambilan dan penetapan hukum ( istinbath ) yang telah dirumuskan
oleh ulama seperti Qias, Istihsan, maslahah mursalah (maslahat)dan urf.

Lewat ijtihat kolektif ini umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fikih yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.rumusan fikih tersebut tidak harus terikat
pada salah satu mazhab, merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan
keadaan masyarakat. Dan memang menurutnya hukum yang baik adalah yang
mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat
istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi Ash-Shiddieqy
bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqih yang di tulis oleh
ulama yang mengacu pada adat istiadat ( urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam
hal ini adalah pendapat imam Asy-Syafi’I yang berubah sesuai dengan lingkungan
tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak(Qaul Qadim/pendapat lama)
sering berubah ketika dia berada di Mesir ( Qaul Jadid/pendapat baru) karna
perbedaan lingkungan adat-istiadat kedua daerah.

Selain pemikiran diatas, ia juga melakukan ijtihat untuk menjawab permasalahan


hukum yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan zakat, umpamanya,
pemikiran ijtihat hasbi Ash- Shiddieqy tergolong dan maju.secara umum ia
sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat
adalah harta, bukan orang. Oleh karn aitu, dari harta anak kecil yang belum mukallaf
yang telah sampai nisabnya wajib di keluarkan zakatnya oleh walinya.

Hasbi Ash-shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan
untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin. Oleh sebab itu ia
berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim( kafir kitabi) untuk
diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya
pada keputusan Umar ibn Al-Khaththab (581-544 M. ), Khalifah kedua setelah nabi
Muhammad saw. Wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau
ahluzzimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah Negara
Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga memungut zakat dari Nasrani Bani
Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama dalam
suatu Negara tanpa memandang agama dan golongannya.

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, karna fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan
kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah di utamakan dalam pemungutan zakat. Ia
berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau
ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tektual, yaitu sebagai symbol-simbol
bilangan yang kaku.ia mendasarkan bahwa nisab zakatmemang telah diatur dan tidak
dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus di
ukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan
standar nisab karena nilanya stabil dengan alat tukar.

Sejalan dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, ia


memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri ( penguasa pemerintahan di Negara
Islam) dapat mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan
membayarnya.Ia juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah
dewan zakat ( baitul mal) untuk mengkoordinasi dan mengatur pengeloalaan zakat.
Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan Departemen Keuangan atau
perbendaharaan Negara. Karna pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan agar
pengaturannya dituang dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan
hukum.

Karya

Diantara karya-karya unggulan almarhum adalah :

Tafsir dan ilmu Al Quran:

1. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-nuur

2. Ilmu-ilmu Al-Qur’an

3. Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir

4. Tafsir Al Bayan

Hadist :

1. Mutiara Hadist ( jilid I-VIII)


2. Sejarah dan pengantar ilmu hadist

3. pokok-pokok ilmu dirayah hadist (I-II)

4. koleksi hadist-hadist hukum (I-IX)

Fiqh :

1. Hukum-hukum fiqih islam

2. Pengantar ilmu fiqih

3. pengantar hukum islam

4. pengantar fiqih muamalah

5. fiqih mawaris

6. pedoman shalat

7. pedoman zakat

8. pedoman puasa

9. pedoman haji

10. peradilan dan hukum acara islam

11. interaksi fiqih islam dengan syari’at agama lain ( hukum antar
golongan)

12. Kuliah ibadah

13. pidana mati dalam syari’at islam

Umum :

1. Al Islam ( Jilid I-II)

Created Ridwan Yayasan Tgk. M. Hasbi Ash Shiddieqy di 22:05


APAKAH SHALAT ‘IED HUKUMNYA "SUNNAT"

Dalam merayakan ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha tahun 1428 H, muncul pendapat yang
mengatakan bahwa Shalat ‘Ied hukumnya Sunnah serta Indonesia tidak perlu
mengikuti rukyah Arab Saudi karena berbeda mathla’.

Untuk kedua peristiwa keagamaan ini, penetapan 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah,


Pemerintah menetapkan tanggal yang berbeda dengan penetapan Pemerintah Arab
Saudi. Untuk meyakinkan sebagian masyarakat yang merayakan ‘Iedul Fitri dan
‘Iedul Adha yang lebih memilih merayakannya bersama umat Islam di Arab Saudi
Pemerintah menghimbau agar umat Islam di Indonesia menyelenggarakan shalat .Ied
pada hari yang sesuai dengan Keputusan sidang Isbat yang diselenggarakan di
Departemen Agama.

Terhadap pendapat diatas, kami punya pandangan yang berbeda.

1. Shalar ‘Ied hukumnya “wajib”, bukan sunnat..

Shalat ‘Ied hukumnya “wajib”, jika kita mencontoh amalan Nabi saw, Shalat ini
diwajibkan (difardhukan) juga terhadap kaum perempuan. Para ulama berselisih
paham dalam menetapkan hukum tentang shalat ‘Ied. Namun pendapat yang haq
dalam hal ini adalah bahwasanya shalat ‘Ied hukumnya “wajib”.

Mari kita kaji mengapa shalat ‘Ied dihukum “wajib”.

a) Shalat ‘Ied adalah syiar Islam yang paling semarak Rasulullah saw dan para
sahabatnya tidak pernah meninggalkannya,

b) Jika shalat ‘Ied ini adalah shalat sunnat, tentulah Rasulullah pernah
meninggalkannya barang sekali saja. Sebagaimana Rasulullah pernah
meninggalkan shalat malam dibulan Ramadhan, dan beliau pernah
meninggalkan wudhu bagi tiap – tiap shalat. Hal ini menunjukkan bahwa
shalat malam dibulan Ramadhan, bukan wajib - hanya sunnah dan wudhu
itu tidak wajib untuk setiap shalat. Kita boleh mengerjakan shalat
sebanyak-banyaknya dengan sekali wudhu saja, jika wudhu itu belum
batal.

c) Selain itu, shalat ‘Iedain diperintahkan Allah, sebagaimana perintah terhadap


shalat Jum’at.
Firman Allah swt.:” Maka bershalatlah engkau untuk Tuhanmu dan
sembelihlah qurban” (Q. Al Kautsar, 108)

d)Rasulullah memerintahkan para sahabatnya pergi ke Tanah Lapang


(Mushalla) untuk bershalat bersama beliau, setelah pasti diketahui terlihat
bulan.

d. Rasulullah memerintahkan para gadis, dan perempuan-perempuan pingitan


bahkan perempuan yang berhaid pun untuk pergi kemajlis ‘Ied ini
(Walaupun perempuan berhaid berada ditempat terpisah)

e. Rasulullah tidak memerintahkan perempuan haid hadir di shalat Jum’at.

Sabda Rasulullah:“Lima Shalat telah difardhukan Allah swt atas seseorang


hamba dalam sehari semalam”, tidak meniadakan kefardhuan shalat ‘Ied,
karena shalat lima waktu itu adalah wadhifah (tugas) harian, sedang shalat
‘Ied adalah wadhifah tahunan.

Karena itu tak ada halangan bagi sebagian ulama mewajibkan dua rakaat shalat
thawaf karena thawaf bukanlah wadhifah sehari-hari yang dikerjakan
berulang-ulang. Juga tak ada halangan mewajibkan shalat jenazah,
mewajibkan sujud tilawah, mewajibkan shalat khusuf, sahalat kusuf dan
sebagainya.

f. Dan diantara dalil yang menguatkan bahwa shalat ‘Ied merupakan shalat
wajib, adalah bahwa shalat ‘Ied dapat menggugurkan shalat Jum’at
apabila jatuh pada hari yang sama. Andaikata shalat ‘Ied itu hukumnya
sunnat, tentulah tidak dapat menggugurkan shalat fardhu.

g. Menurut Asy Syafi’i dalam al Mukhtasar: “Barangsiapa wajib atasnya


menghadiri Jum’at, wajiblah atasnya menghadiri shalat ‘Ied”.

2. Rukyah Mekkah yang harus dijadikan pegangan bersama

Al Allamah Asy Syeikh Muhammad Abu Zahrah dalam salah satu tulisannya
berpendapat: “Dengan tidak ragu-ragu kami memilih pendapat Jumhur yang tidak
menempatkan ikhtilaful mathali sebagai titik tolak puasa, yaitu pendapat yang ingin
mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam dalam menghadapi ibadah dan
penentuan hari bulan. Beliau juga menandaskan bahwa membiarkan rukyah Kepada
Negara (Pemerintah) yang lebih awal mathla’nya, padahal ada kemungkinan Negara
itu pada suatu ketika tidak dapat melihat bulan, karena mendung yang sangat tebal,
menyebabkan hukum Islam tidak mempunyai fondasi yang kokoh dan tetap.

Karena itu wajiblah kita jadikan mathla’ negara Islam yang mempunyai kedudukan
yang tinggi dimata seluruh dunia Islam, mathla’ yang harus dipegang bersama.

Allah dalam menentukan negeri ini, tidak menyerahkan kepada pilihan dan
pertimbangan kita masing-masing. Agar tidak menimbulkan perselisihan dan
perbedaan pendapat syara’ telah mengisyaratkan pada yang demikian itu dan
menjadikan tumpuan manusia semua. Disini diletakkan kiblat mereka yaitu Mekah.
Disitu terletak Ka’bah, al Baitul Haram, disekitarnya terletak Arafah. Disana terletak
Shafa dan Marwah, disitulah Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul dan diberikan
risalah..

Dialah Al Baladul Haram. Dialah tumpuan umat Islam seuruhnya dalam bershalat.
Disanalah para haji berkumpul setiap tahun.

Kalau demikian, layaklah mathla’nya kita jadikan mathla’ pemersatu umat Islam
dalam melaksanakan ibadah yang dipautkan dengan bulan, bukan dengan matahari.

Tuhan swt. telah memilihnya untuk kita. Sangatlah buruk apabila masing-masing
daerah bertahan pada mathla’nya karena hal itu mengakibatkan ada penduduk daerah
yang merayakan hari Arafah (wuquf) sebelum penduduk Mekkah berwuquf, Begitu
pula sebaliknya. Demikian juga menyembelih hadyu dan qurban, walaupun ada ulama
yang membolehkannya. Fatwa ulama ini, walaupun sesuai dengan qiyas fiqh namun
telalu jauh dari pengertian keagamaan dalam merayakan hari-hari yang mulia.

Jubair ibn Muth’im meriwayatkan dari Rasulullah, sabdanya: “Arrafatu kulluha wa


ayyamut tasyriqi kulluha dzibhun= padang Arafah semuanya menjadi tempat wuquf,
dan segala hari tasyrik, adalah hari menyembeli hadyu (qurban).”

Nabi menetapkan dengan sabdanya ini bahwa hari-hari tasyrik, haruslah beriringan
dengan hari wuquf. Hal ini meliputi semua umat Islam. Maka perayaan hari tasyrik
tidaklah mengenai para haji saja. Menetapkan hari tasyrik di setiap daerah. haruslah
didasarkan pada hari wuquf di Arafah.. Dengan demikian , tidaklah pada tempatnya,
sesuatu daerah Islam menjadikan tasyrik sebelum hari tasyrik di Mekah atau
sesudahnya.

Diriwayatkan oleh Al Bukhary, bahwasanya Ibnu Abbas menafsirkan ayyaman


ma’dudat dengan hari tasyrik. Ayat ini diturunkan sesudah selesai mengerjakan haji.
Hal itu memberi pengertian bahwa hari tasyrik haruslah mengiringi dengan hari
wuquf yang sebenarnya terjadi di Mekkah.

Dengan demikian, perayaan hari Arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan
kepada mathla’ Mekkah. Mathla’ nyalah yang harus menjadi satu-satunya mathla’
untuk menetapkan hari-hari ibadah yang berpautan dengan bulan dan mathla’nya.

oleh :.H.Z Fuad Hasbi

Direktur Pusat Studi Islam dan Perpustakaan

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy

Created Ridwan Yayasan Tgk. M. Hasbi Ash Shiddieqy di 01:22

SUNNAH & BID’AH (ke-2)


1. Contoh As-Sunnah menjadi bayan tafshil
Al-Qur’an menyebutkan :
77 :‫ النساء‬.‫صلوَة‬ ّ ‫َو َاِقْيُموا ال‬
Dan dirikanlah shalat. [QS. An-Nisaa’ : 77]
Maka As-Sunnah menjelaskan waktu-waktunya shalat fardlu, bilangan rekaatnya, dan
cara-caranya. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda :
155 :1 ‫ البخارى‬.‫صّلى‬ َ ‫صّلْوا َكَما َرَأْيُتُمْوِنى ُا‬ َ
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. [HR. Bukhari juz 1, hal. 155]
Al-Qur’an menyebutkan :
77 :‫ النساء‬.‫َو اُتوا الّزكوَة‬
Dan tunaikanlah zakat. [QS. An-Nisaa’ : 77]
Maka As-Sunnah menjelaskan ukuran zakat, waktu mengeluarkan, macam-
macamnya, dsb.
Al-Qur’an menyebutkan :
97 :‫ آل عمران‬.‫ل‬ ً ‫سِبْي‬َ ‫ع ِاَلْيِه‬َ ‫طا‬ َ ‫سَت‬ ْ ‫نا‬ ِ ‫ت َم‬
ِ ‫ج ْالَبْي‬ّ‫ح‬ ِ ‫س‬ ِ ‫عَلى الّنا‬َ ‫ل‬ِ ِ‫َو‬
Mengerjakan hajji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang
mampu memgadakan perjalanan ke Baitullah. [QS. Ali ‘Imraan : 97]
196 :‫ البقرة‬.‫ل‬ ِ ِ‫ج َو ْالُعْمَرَة‬ ّ‫ح‬ َ ‫َو َاِتّموا ْال‬
Dan sempurnakanlah hajji dan ‘umrah karena Allah. [QS. Al-Baqarah : 196]
Maka As-Sunnah menjelaskan cara-caranya. Oleh karena itu Rasulullah SAW
bersabda :
943 :2 ‫ مسلم‬.‫سَكُكْم‬ ِ ‫خُذْوا َمَنا‬ ُ ‫ِلَتْأ‬
Hendaklah kalian mengambil (dariku) cara-cara ibadah hajji kalian. [HR. Muslim juz
2, hal. 943]
125 :5 ‫ البيهقى‬.‫سَكُكْم‬ ِ ‫عّنى َمَنا‬ َ ‫خُذْوا‬ ُ
Ambillah dariku cara-cara manasik hajji kalian. [HR. Baihaqi juz 5, hal. 125]
2. Contoh As-Sunnah menjadi bayan takhshish
Al-Qur’an menyebutkan :
82 :‫ النعام‬.‫ظْلٍم‬
ُ ‫سْوآ ِاْيَماَنُهْم ِب‬ ُ ‫ن اَمُنْوا َو َلْم َيْلَب‬َ ‫اّلِذْي‬
orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kedhaliman. [QS. Al-An’aam : 82]
Setelah mendengar ayat tersebut sebagian shahabat Nabi SAW terasa berat, karena
memahami bahwa dhalim dalam ayat tersebut adalah dhalim secara umum, lalu
mereka bertanya kepada Rasulullah SAW :
114 :1 ‫سُه؟ مسلم‬ َ ‫ظِلْم َنْف‬ْ ‫ َو َاّيَنا َلْم َي‬،‫ل‬ ِ ‫لا‬ َ ‫سْو‬ُ ‫َيا َر‬
Ya Rasulullah, siapa diantara kita yang tidak berbuat dhalim kepada dirinya .?. [HR.
Muslim juz 1, hal 114]
Kemudian Nabi SAW menjawab, “Bukan begitu yang dimaksud, (tetapi dhalim dalam
ayat itu ialah perbuatan syirik). Sebagaimana perkataan Luqman kepada anaknya :
13 :‫ لقمان‬.‫ظْيٌم‬
ِ‫ع‬ َ ‫ظْلٌم‬ ُ ‫ك َل‬ َ ‫شْر‬ّ ‫ن ال‬ ّ ‫ ِا‬،‫ل‬ ِ ‫ك ِبا‬
ْ ‫شِر‬ ْ ‫ل ُت‬ َ ‫ي‬ ّ ‫يُبَن‬
Wahai anakku, janganlah kamu syirik kepada Allah, sesungguhnya syirik itu
kedhaliman yang besar. [QS. Luqman : 13]”.
3. Contoh As-Sunnah menjadi bayan ta’yin
Al-Qur’an menyebutkan :
38 :‫ المائدة‬.‫طُعْوا َاْيِدَيُهَما‬ َ ‫ساِرَقُة َفاْق‬ ّ ‫ق َو ال‬
ُ ‫ساِر‬ ّ ‫َال‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan
keduanya. [QS. Al-Maaidah : 38]
As-Sunnah menentukan bahwa yang dipotong adalah tangan kanannya.
6669 :‫ رقم‬،592 :2 ‫ احمد‬.‫ت َيُدَها ْالُيْمَنى‬ ْ ‫ل ص َفُقطَِع‬ ِ ‫لا‬
ِ ‫سْو‬
ُ ‫عْهِد َر‬
َ ‫عَلى‬
َ ‫ت‬
ْ ‫سَرَق‬
َ ‫ن اْمَرَاًة‬
ّ ‫ِا‬
Sesungguhnya pada zaman Rasulullah SAW ada seorang wanita mencuri, lalu ia
dipotong tangan kanannya. [HR. Ahmad juz 2, hal. 592, no. 6669]
Al-Qur’an menyebutkan :
7 :‫ الفاتحة‬.‫ن‬ َ ‫ضاّلْي‬
ّ ‫ل ال‬
َ ‫عَلْيِهْم َو‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ضْو‬ ُ ‫غْيِر ْالَمْغ‬ َ
bukan jalannya orang-orang yang dimurkai atas mereka, dan bukan pula jalannya
orang-orang yang sesat. [QS. Al-Faatihah : 7]
As-Sunnah menentukan ma’nanya yang dimaksud Al-Maghdluubi ‘alaihim adalah
orang-orang Yahudi, dan yang dimaksud Adl-Dloolliin adalah orang-orang Nashrani.
369 :6 ‫ ابن حبان‬.‫صاَرى‬ َ ‫ن الّن‬ َ ‫ضاّلْي‬ّ ‫عَلْيِهُم ْالَيُهْوُد َو ال‬ َ ‫ب‬َ ‫ضْو‬ ُ ‫ن اْلَمْغ‬ ّ ‫ِا‬
Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu ialah orang-orang Yahudi, dan orang-
orang yang sesat itu adalah orang-orang Nashrani. [HR Ibnu Hibban juz 6, hal. 369]
4. Contoh As-Sunnah mendatangkan hukum yang tidak didapati pokoknya dalam Al-
Qur’an, seperti adanya hukum rajam.
Rasulullah SAW bersabda kepada para shahabat mengenai seorang laki-laki yang
berzina dan ia seorang muhshan (pernah nikah) :
1318 :3 ‫ مسلم‬.‫جُمْوُه‬ ُ ‫ِاْذَهُبْوا ِبِه َفاْر‬
Bawalah ia pergi dan rajamlah. [HR. Muslim juz 3, hal 1318]
Dan juga haramnya mengumpulkan dalam perkawinan seorang istri dengan bibinya.
1028 :2 ‫ مسلم‬.‫خاَلِتَها‬ َ ‫ن ْالَمْرَأةِ َو‬ َ ‫ل َبْي‬َ ‫عمِّتَها َو‬ َ ‫ن ْالَمْرَأِة َو‬ َ ‫جَمُع َبْي‬ْ ‫ل ُي‬َ :‫ل ص‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫سْو‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫َقا‬
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh dikumpulkan (dimadu) antara seorang
wanita dengan saudara perempuan ayahnya, dan tidak boleh pula antara seorang
wanita dengan saudara perempuan ibunya”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1028]
5. Contoh As-Sunnah dapat dijadikan dalil untuk Nasikh mansukh
Al-Qur’an menyebutkan :
.‫ن‬
َ ‫عَلى ْالُمّتِقْي‬
َ ‫حّقا‬ َ ،‫ف‬ِ ‫ن ِبْالَمْعُرْو‬
َ ‫لْقَرِبْي‬ َ ‫ن َو ْا‬ ِ ‫صّيُة ِلْلَوالَِدْي‬
ِ ‫خْيًرا ْالَو‬ َ ‫ك‬ َ ‫ن َتَر‬ْ ‫ت ِا‬
ُ ‫حَدُكُم ْالَمْو‬
َ ‫ضَر َا‬َ ‫ح‬ َ ‫عَلْيُكْم ِاَذا‬
َ ‫ب‬
َ ‫ُكِت‬
180 :‫البقرة‬
Diwajibkan atas kalian apabila seorang diantara kalian kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwashiyat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
[QS. Al-Baqarah : 180]
Al-Qur’an juga menyebutkan ayat-ayat mawaarits dalam surat An-Nisaa’ : 11-12.
Sedangkan As-Sunnah menyebutkan :
2204 :‫ رقم‬،294 :3 ‫ الترمذى‬.‫ث‬ ٍ ‫صّيَة ِلَواِر‬ ِ ‫ل َو‬ َ
Tidak ada washiyat untuk ahli waris. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 294, no. 2204]
Maka dengan demikian bisa difahami bahwa ayat-ayat mawaarits tersebut menasakh
(menghapuskan hukum) yang ada pada ayat 180 Al-Baqarah tersebut, walaupun ayat
tersebut tetap dibaca (tidak dihapus).
Adapun contoh As-Sunnah “membatasi kemuthlaqannya, sebagai berikut :
Al-Qur’an menyebutkan :
38 :‫ المائدة‬.‫طُعْوا َاْيِدَيُهَما‬ َ ‫ساِرَقُة َفاْق‬ ّ ‫ق َو ال‬ ُ ‫ساِر‬ ّ ‫َال‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan
keduanya. [QS. Al-Maaidah : 38]
Ayat tersebut menerangkan (secara muthlaq) bahwa pencuri laki-laki atau perempuan
supaya dipotong tangannya, tanpa menerangkan batas minimal yang menyebabkan
pencuri dipotong tangannya. Maka As-Sunnah menerangkan batas minimal barang
yang dicuri tersebut.
Nabi SAW bersabda :
1313 :3 ‫ مسلم‬.‫عًدا‬ ِ ‫صا‬
َ ‫ل ِفى ُرْبِع ِدْيَناٍر َف‬ ّ ‫ساِرقِ ِا‬ ّ ‫طُع َيُد ال‬ َ ‫ل ُتْق‬
َ
Tidak dipotong tangan pencuri kecuali dia mencuri senilai seperempat dinar atau
lebih. [HR, Muslim juz 3, hal. 1313]
Dan juga hadits dari Ibnu ‘Umar :
1313 :3 ‫ مسلم‬.‫لَثُة َدَراِهَم‬ َ ‫ن ِقْيَمُتُه َث‬ّ‫ج‬ َ ‫ساِرًقا ِفى ِم‬ َ ‫طَع‬ َ ‫ل ص َق‬ ِ ‫لا‬ َ ‫سْو‬ُ ‫ن َر‬ ّ ‫ِا‬
Bahwasanya Rasulullah SAW pernah memotong tangan pencuri yang mencuri perisai
seharga tiga dirham. [HR. Muslim juz 3, hal. 1313]
Keterangan :
Dinar adalah uang emas, sedangkan dirham adalah uang perak. 1 dinar nilainya antara
10 - 12 dirham.
Dan juga As-Sunnah dapat menjadi takhshish bagi Al-Qur’an
Al-Qur’an menyebutkan :
11 :‫ النساء‬.‫ن‬ ِ ‫لْنَثَيْي‬
ُ ‫ظ ْا‬
ّ‫ح‬ َ ‫ل‬ ُ ‫لِدُكْم ِللّذَكِر ِمْث‬ َ ‫ل ِفيْ َاْو‬ ُ ‫صيُكُم ا‬ ِ ‫ُيْو‬
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. [QS. An-
Nisaa’ : 11]
Dalam ayat itu disebutkan anak-anakmu. Kalimat ini masih umum, maka As-Sunnah
mengkhususkan dari keumuman ayat tersebut.
Nabi SAW bersabda :
1233 :3 ‫ مسلم‬.‫سِلَم‬ ْ ‫ث ْالَكاِفُر ْالُم‬ ُ ‫ل َيِر‬ َ ‫سِلُم ْالَكاِفَر َو‬ ْ ‫ث ْالُم‬ ُ ‫ل َيِر‬ َ
Orang Islam itu tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak pula mewarisi orang
Islam. [HR. Muslim juz 3, hal. 1233]
Wajib mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah
‫شّر‬ َ ‫حّمٍد َو‬ َ ‫ي ُم‬ ُ ‫ي َهْد‬ ِ ‫ن ْالَهْد‬َ‫س‬ َ‫ح‬ ْ ‫ل َو َا‬ِ ‫با‬ ُ ‫حِدْيثِ ِكَتا‬ َ ‫ق ْال‬ َ ‫صَد‬ْ ‫ن َا‬ ّ ‫ ِا‬:‫ل ص‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫سْو‬
ُ ‫ل َر‬ َ ‫ َقا‬:‫ل‬
َ ‫ل َقا‬ِ ‫عْبِد ا‬َ ‫ن‬ ِ ‫جاِبِر ْب‬
َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ
188 :3 ‫ النسائى‬.‫لَلٍة ِفي الّناِر‬ َ‫ض‬ َ ‫ل‬ ّ ‫لَلٌة َو ُك‬ َ‫ض‬ َ ‫عٍة‬ َ ‫ل ِبْد‬ ّ ‫عٌة َو ُك‬ َ ‫حَدَثٍة ِبْد‬
ْ ‫ل ُم‬ّ ‫حَدَثاُتَها َو ُك‬
ْ ‫لُمْوِر ُم‬ ُ ‫ْا‬
Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
sebenar-benar perkataan ialah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk
Muhammad, dan sejelek-jelek perkara itu yang diada-adakan, dan tiap-tiap yang
diada-adakan itu bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di
neraka”. [HR. Nasai juz 3, hal. 188]
‫حّمٍد‬ َ ‫خْيُر ْالُهَدى ُهَدى ُم‬ َ ‫ل َو‬ ِ ‫با‬ ُ ‫ث ِكَتا‬ ِ ‫حِدْي‬ َ ‫خْيَر ْال‬
َ ‫ن‬ ّ ‫ َاّما َبْعُد َفِا‬:‫ل‬ُ ‫ل ص َيُقْو‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫سْو‬ ُ ‫ن َر‬َ ‫ َكا‬:‫ل‬ َ ‫ل َقا‬
ِ ‫عْبِد ا‬َ ‫ن‬ ِ ‫جاِبِر ْب‬َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ
592 :2 ‫ مسلم‬.‫لَلٌة‬ َ‫ض‬ َ ‫عٍة‬ َ ‫ل ِبْد‬ ّ ‫حَدَثاُتَها َو ُك‬ ْ ‫لُمْوِر ُم‬ ُ ‫شّر ْا‬ َ ‫َو‬
Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW bersabda, “Adapun
sesudah itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-
adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat. [HR. Muslim juz 2, hal. 592]
‫عْبًدا‬
َ ‫ن‬ َ ‫ن َكا‬
ْ ‫عِة َو ِا‬ َ ‫طا‬ّ ‫سْمِع َو ال‬ ّ ‫ل َو ال‬ ِ ‫صْيُكْم ِبَتْقَوى ا‬ ِ ‫ ُاْو‬:‫ل ص‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫سْو‬ ُ ‫ل َر‬َ ‫ َقا‬:‫ل‬ َ ‫ساِرَيَة رض َقا‬ َ ‫ن‬ ِ ‫ض ْب‬ِ ‫ن ْالِعْرَبا‬ ِ‫ع‬ َ
‫سُكْوا‬ ّ ‫ َفَتَم‬،‫ن‬َ ‫ن ْالَمْهِدّيْي‬ َ ‫شِدْي‬
ِ ‫خَلَفاِء الّرا‬ ُ ‫سّنِة ْال‬ُ ‫ي َو‬ ْ ‫سّنِت‬
ُ ‫ َفَعَلْيُكْم ِب‬،‫لًفا َكِثْيًرا‬ َ ‫خِت‬
ْ ‫سَيَرى ِا‬ َ ‫ش ِمْنُكْم َبْعِدى َف‬ ْ ‫ن َيِع‬ ْ ‫شّيا َفِاّنُه َم‬ِ ‫حَب‬
َ
،83 :6 ‫ احمد‬.‫لَلٌة‬ َ‫ض‬ َ ‫عٍة‬ َ ‫ل ِبْد‬ّ ‫عٌة َو ُك‬ َ ‫حَدَثٍة ِبْد‬
ْ ‫ل ُم‬ ّ ‫ن ُك‬ ّ ‫ َفِا‬،‫لُمْوِر‬ ُ ‫ت ْا‬ِ ‫حَدَثا‬ ْ ‫ َو ِاّياُكْم َو ُم‬،‫جِذ‬ِ ‫عَلْيَها ِبالّنَوا‬
َ ‫ضْوا‬ ّ ‫ع‬ َ ‫ِبَها َو‬
17145 :‫رقم‬
Dari ‘Irbadl bin Sariyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Saya berpesan
kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, mendengar
dan thaat, sekalipun (yang menjadi pemimpin) budak Habsyiy, karena sesungguhnya
orang yang hidup diantara kamu sekalian sesudahku akan melihat perselisihan yang
banyak, maka dari itu hendaklah kamu sekalian (berpegang) pada sunnahku dan
sunnah para khalifah yang lurus lagi menetapi petunjuk yang benar, berpegang
teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan jauhkanlah kalian dari
perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya tiap-tiap perkara yang
diada-adakan itu bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat”. [HR. Ahmad juz 6, hal. 83, no.
17145]
ُ‫س‬
‫ن‬ َ‫ح‬ ْ ‫ل َو َا‬ِ ‫لُم ا‬ َ ‫لِم َك‬ َ ‫ن ْالَك‬ُ‫س‬ َ‫ح‬ ْ ‫ي َفَا‬ ُ ‫لُم َو ْالَهْد‬ َ ‫ن ْالَك‬ِ ‫ ِاّنَما ُهَما اْثَنَتا‬:‫ل‬ َ ‫ل ص َقا‬ ِ ‫لا‬ َ ‫سْو‬ ُ ‫ن َر‬
ّ ‫سُعْوٍد َا‬ْ ‫ن َم‬ِ ‫ل ْب‬
ِ ‫عْبِد ا‬َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ
.‫لَلٌة‬َ‫ض‬ َ ‫عٍة‬ َ ‫ل ِبْد‬ ّ ‫عٌة َو ُك‬ َ ‫حَدَثٍة ِبْد‬ْ ‫ل ُم‬ ّ ‫حَدَثاُتَها َو ُك‬ ْ ‫لُمْوِر ُم‬ ُ ‫شّر ْا‬ َ ‫ن‬ ّ ‫لُمْوِر َفِا‬ ُ ‫ت ْا‬
ِ ‫حَدَثا‬ْ ‫ل َو ِاّياُكْم َو ُم‬َ ‫ َا‬.‫حّمٍد‬
َ ‫ي ُم‬ ُ ‫ي َهْد‬ ِ ‫ْالَهْد‬
46 :‫ رقم‬،18 :1 ‫ابن ماجه‬
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hanyasanya ada
dua perkara (yang penting), perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan ialah
firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad. Ketahuilah,
jauhkanlah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya sejelek-jelek
perkara itu yang diada-adakan, dan tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah, dan tiap-
tiap bid’ah itu sesat”. [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 18, no. 46]
Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa sebenar-benar perkataan itu ialah yang
tersebut dalam kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi
Muhammad SAW, dan sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan, dan
tiap-tiap perkara yang diada-adakan dalam urusan agama itu bid’ah, dan tiap-tiap
bid’ah itu sesat”.
Dengan hadits-hadits tersebut cukuplah menunjukkan bahwa kita (ummat Islam)
dalam mengerjakan agama haruslah mengikuti sunnah Nabi SAW dan menjauhi
perbuatan-perbuatan bid’ah.
Bersambung……..

Akibat meninggalkan sunnah Rasul


‫عن عائشة ستة لعنتهم‬
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Enam (macam orang) yang
saya mengutuk kepada mereka dan Allah juga mengutuk mereka, pdahal tiap-tiap
Nabi itu diperkenankan (permohonannya), yaitu orang yang menambahi kitab Allah,
orang yang mendustakan ketentuan Allah, orang yang mengalah kepada penguasa
yang sombong lagi kejam lalu dengan itu ia memuliakan orang yang direndahkan
Allah dan merendahkan orang-orang yang dimuliakan Allah, dan orang yang
menghalalkan larangan Allah, orang yang menghalalkan keturunan daripada
keturunan saya yang Allah telah haramkan, dan orang yang meninggalkan sunnah
saya”. [HR. Tirmidzi dan Hakim]
Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Hibban dan Ath-Thabariy, dan oleh
Imam Hakim dinyatakan shahih isnadnya.
Hadits tersebut mengandung keterangan, bahwa orang yang meninggalkan sunnah
Nabi SAW itu orang yang dikutuk atau dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya SAW.
‫من اخذ سنتى‬
Dari ‘Umar RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengambil
(memegang) sunnahku, maka ia termasuk ummatku, dan barangsiapa yang benci
kepada sunnahku, maka ia bukan ummatku”. [HR. Ibnu ‘Asaakir]
‫من رغب عن سنتى‬
Dari Anas RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang
benci (berpaling) dari sunnahku, maka ia bukan dari ummatku”. [HR. Muslim]
Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang sengaja berpaling, tidak suka
mengikut sunnah Nabi SAW itu bukanlah dari golongan ummat beliau.
‫مل امتى يدخلون الجنة‬
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya semua
ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan”. Para shahabat bertanya,
“Ya Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu ?”. Beliau SAW bersabda,
“Barangsiapa yang menthaatiku, ia pasti masuk surg, dan barangsiapa yang
mendurhkaiku, maka sungguh ia telah enggan”. [HR. Bukhari juz , hal. ]
Hadits tersebut menjelaskan bahwa segenap ummat Nabi Muhammad AW yang
menthaati pimpinan beliau tentu masuk surga. Adapun ummat beliau yang enggan
atau tidak mengikuti pimpinan beliau, berarti mendurhakai beliau. Dan orang yang
menurhakai beliau, maka dia tidak akan masuk surga.
Hukum Rasulullah SAW berarti hukum Allah
‫عن العرباض‬
Dari ‘Irbadl RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apakah salah seorang
diantara kalian menyangka dengan duduk di tempat duduknya sambil berkata,
“Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan
apa-apa yang (ada) di dalam Al-Qur’an ini”. Ingatlah, sesungguhnya demi Allah,
sesungguhnya aku telah memerintahkan, dan aku telah memperingatkan dan aku telah
melarang beberapa perkara, sesungguhnya semuanya itu seperti Al-Qur’an atau lebih
banyak”. [HR. Abu Dawud]
Hadits tersebut, oleh Imam As-Suyuthi dinyatakan shahih, dan oleh Imam Al-
Baghawiy dinyatakan hasan.
Hadits itu mengandung keterangan adanya orang yang berkelakuan, “tidak mau
mengikut selain Al-Qur’an”, dan menolak keterangan-keterangan dari Nabi SAW.
Oleh sebab itu Nabi SAW memberi peringatan, bahwa perintah, larangan dan
peringatan dari beliau itu seperti Al-Qur’an.
‫عن جابر يوشك باحدكم‬
Dari Jabir RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hampir-hampir salah seorang
diantara kalian berkata, “Ini kitab Allah, apa-apa yang ada di dalamnya yang halal,
kami menghalalkannya, dan apa-apa yang ada di dalamnya yang haram kami
mengharamkannya”. Ingatlah, barangsiapa yang sampai kepadanya suatu hadits
dariku, lalu ia mendustakan rasul-Nya, maka ia telah mendustakan Allah dan
Rasulnya dan orang yang menceritakannya”. [HR. Ibnu ‘Abdil Barr]
Hadits tersebut menerangkan bahwa orang yang menolak atau mendustakan hadits
yang terang dari Nabi Muhammad SAW dengan lasan hanya akan mengikut Al-
Qur’an saja, maka ia berarti mendutakan Allah, mendustakan Rasul-Nya (Nabi
Muhammad SAW), dan mendustakan orang yang menyampaikan hadits itu
kepadanya.
Dengan hadits-hadits tersebut maka jelaslah bagi kita bahwa keterangan yang berisi
hukum-hukum dari Allah juga. Kita harus ingat firman Allah SWT yang berbunyai :
7 :‫ الحشر‬.‫عْنُه َفاْنَتُهْوا‬
َ ‫ َو َما َنهيُكْم‬،‫خُذْوُه‬
ُ ‫ل َف‬
ُ ‫سْو‬
ُ ‫َو َمآ اتيُكُم الّر‬
Dan apa-apa yang disampaikan Rasul kepadamu, peganglah. Dan apa-apa yang
dilarang kamu dari padanya, hentikanlah. [QS. AL-Hasyr : 7]

Vous aimerez peut-être aussi