Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
http://subhan-nurdin.blogspot.com
Biografi Singkat
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka
“angker”. Namun, Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak
gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu, ia dimusuhi, ditawan, dan
diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat
kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang yang berasal dari organisasi-
organisasi masyarakat lain seperti Muhammadiyah dan Persis, padahal ia adalah
anggota dari kedua perserikatan itu.
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas
lagi sejak tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh (al-fiqh) yang
berkepribadian Indonesia. Himbauan ini sempat mengundang sentakan dari sebagian
ulama di Indonesia. Namun, ia tidak pernah menyerah untuk terus menuangkan
pemikiran-pemikiran yang mencerahkan ke dalam karya-karyanya.[1]
Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran fiqh
Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya,
hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam
segala cabang dari mu‘âmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu
hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat.
Para ulama (lokal) dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap kebaikan (sense of
mashlahah) yang tinggi dan kreatifitas yang penuh dengan tanggung jawab dalam
upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya.
Nalar pemikiran yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah
satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang
gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.[3] Menurutnya, hingga
tahun 1961, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan
emosional yang begitu kuat (fanatik, ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut oleh
umat Islam. Dan untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia, diperlukan kesadaran dan
kearifan lokal yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati langkah
pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa
awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa
berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni,
hukum yang dibentuk oleh keadaan lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi
setempat (adat dan ‘urf), bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang
terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru.[4] Maka,
kita dapat menyimpulkan bahwa ide fiqh Indonesia yang telah dirintis olehnya
berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat
Islam Indonesia adalah hukum Islam yang sesuai dan memenuhi kebutuhan rakyat
Indonesia, selama itu tidak bertentangan syari’at.
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip
mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip
itu, merupakan prinsip gabungan dari setiap madzhab. Maka, untuk memberikan
pemahaman yang baik, ia menawarkan metode analogi-deduktif – satu model
istinbâth hukum yang pernah dipakai oleh Imam Abû Hanîfah – untuk membahas satu
permasalahan yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran
klasik. Dengan demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia
menggunakan pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan
penemuan hukum Islam.
Salah satu contoh kasus, adalah perdebatan Hasbi dengan A. Hasan tentang boleh
tidaknya jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari tidak adanya dalil
pasti dan alasan yang rasional tentang pengharaman jabatan tangan antara laki-laki
dan perempuan maka ia berpendapat bahwa tradisi jabat tangan antara laki-laki dan
perempuan bukan sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.[5]
Penutup
Pemikiran pembaruan yang telah digagas oleh Hasbi Ash Shiddieqy patut untuk kita
renungkan dalam membina masa depan umat Islam di Indonesia. Gagasan fiqh
Indonesia yang telah ditawarkannya adalah fiqh konteksual, tidak anakronistik, dan
sesuai dengan tuntutan zaman.
____________
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan Kedua
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 241-2.
[2] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 63-4.
Ayahnya, Teungku Qadli Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud,
adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren
(meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja
Mangkubumi Abdul Aziz. Putri seorang Qadli Kesultanan Aceh Ketika itu. Menurut
silsilah, Hasbi Ash- Shiddieqy adalah keturunan Abubakar ash- Shiddieq (573-13
H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke- 37 dari khalifah tersebut
meletakkan gelar ash- Shiddieqy di belakang namanya.
Pada Zaman demokrsi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi
(Majelis Suryono Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstintuante.
Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam
bidang pendidkan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatannya ini di pegangnya hingga tahun1972.
Kedalam pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama
terlihat dari beberapa gelar doktor (Honoris Causa) yang diterimanya, seperti dari
Universistas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada
29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar
dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Pemikiran
Seperti halnya ulama lain, Hasbi Ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syari’at Islam
sifat dinamis dan eletis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat,. Ruang
lingkupnya.mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya
dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syari’at Islam yang bersumber dari
Wahyu Allah SWT., ini kemudian di pahami oleh umat islam melalui metode.ijtihad
untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat.
Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh. Yang ditulis oleh
ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri
mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy- Syafi’I dan Ahmad Hanbal.
Menurutnya, hukum fiqih yang di anut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang
tidak sesuai dengan bangsa Indonesia. Mereka cenderung memeksakan keberlakuan
fiqih imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternative terhadap sikap tersebut, ia
mengajukan gagasan perumusan kembali fiqih Islam yang berkepribadian Indonesia.
Menurutnya, umat islam harus dapat menciptakan hukum fiqih yang sesuai latar
belakang susiokultur dan lerigi masyarakat Indonesia. Namun begitu , hasil ijtihat
ulama masa lalu
Bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan di pelajari
secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatic. Dengan demikian, pendapat ulama
dari mazhab manapun, asal sesuai dan relefan dengan situasi masyarakat Indonesia,
dapat diterima dan diterapkan.
Untuk usaha ini, uluma harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihat. Hasbi ash-
Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihat telah tertutup, karna ijtihat adalah
suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk
menuju fiqih Islam yang berwawasan ke Indonesia, ada tiga bentuk ijtihat yang perlu
dilakukan.
Lewat ijtihat kolektif ini umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fikih yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.rumusan fikih tersebut tidak harus terikat
pada salah satu mazhab, merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan
keadaan masyarakat. Dan memang menurutnya hukum yang baik adalah yang
mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat
istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi Ash-Shiddieqy
bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqih yang di tulis oleh
ulama yang mengacu pada adat istiadat ( urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam
hal ini adalah pendapat imam Asy-Syafi’I yang berubah sesuai dengan lingkungan
tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak(Qaul Qadim/pendapat lama)
sering berubah ketika dia berada di Mesir ( Qaul Jadid/pendapat baru) karna
perbedaan lingkungan adat-istiadat kedua daerah.
Hasbi Ash-shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan
untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin. Oleh sebab itu ia
berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim( kafir kitabi) untuk
diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya
pada keputusan Umar ibn Al-Khaththab (581-544 M. ), Khalifah kedua setelah nabi
Muhammad saw. Wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau
ahluzzimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah Negara
Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga memungut zakat dari Nasrani Bani
Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama dalam
suatu Negara tanpa memandang agama dan golongannya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, karna fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan
kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah di utamakan dalam pemungutan zakat. Ia
berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau
ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tektual, yaitu sebagai symbol-simbol
bilangan yang kaku.ia mendasarkan bahwa nisab zakatmemang telah diatur dan tidak
dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus di
ukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan
standar nisab karena nilanya stabil dengan alat tukar.
Karya
2. Ilmu-ilmu Al-Qur’an
4. Tafsir Al Bayan
Hadist :
Fiqh :
5. fiqih mawaris
6. pedoman shalat
7. pedoman zakat
8. pedoman puasa
9. pedoman haji
11. interaksi fiqih islam dengan syari’at agama lain ( hukum antar
golongan)
Umum :
Dalam merayakan ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha tahun 1428 H, muncul pendapat yang
mengatakan bahwa Shalat ‘Ied hukumnya Sunnah serta Indonesia tidak perlu
mengikuti rukyah Arab Saudi karena berbeda mathla’.
Shalat ‘Ied hukumnya “wajib”, jika kita mencontoh amalan Nabi saw, Shalat ini
diwajibkan (difardhukan) juga terhadap kaum perempuan. Para ulama berselisih
paham dalam menetapkan hukum tentang shalat ‘Ied. Namun pendapat yang haq
dalam hal ini adalah bahwasanya shalat ‘Ied hukumnya “wajib”.
a) Shalat ‘Ied adalah syiar Islam yang paling semarak Rasulullah saw dan para
sahabatnya tidak pernah meninggalkannya,
b) Jika shalat ‘Ied ini adalah shalat sunnat, tentulah Rasulullah pernah
meninggalkannya barang sekali saja. Sebagaimana Rasulullah pernah
meninggalkan shalat malam dibulan Ramadhan, dan beliau pernah
meninggalkan wudhu bagi tiap – tiap shalat. Hal ini menunjukkan bahwa
shalat malam dibulan Ramadhan, bukan wajib - hanya sunnah dan wudhu
itu tidak wajib untuk setiap shalat. Kita boleh mengerjakan shalat
sebanyak-banyaknya dengan sekali wudhu saja, jika wudhu itu belum
batal.
Karena itu tak ada halangan bagi sebagian ulama mewajibkan dua rakaat shalat
thawaf karena thawaf bukanlah wadhifah sehari-hari yang dikerjakan
berulang-ulang. Juga tak ada halangan mewajibkan shalat jenazah,
mewajibkan sujud tilawah, mewajibkan shalat khusuf, sahalat kusuf dan
sebagainya.
f. Dan diantara dalil yang menguatkan bahwa shalat ‘Ied merupakan shalat
wajib, adalah bahwa shalat ‘Ied dapat menggugurkan shalat Jum’at
apabila jatuh pada hari yang sama. Andaikata shalat ‘Ied itu hukumnya
sunnat, tentulah tidak dapat menggugurkan shalat fardhu.
Al Allamah Asy Syeikh Muhammad Abu Zahrah dalam salah satu tulisannya
berpendapat: “Dengan tidak ragu-ragu kami memilih pendapat Jumhur yang tidak
menempatkan ikhtilaful mathali sebagai titik tolak puasa, yaitu pendapat yang ingin
mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam dalam menghadapi ibadah dan
penentuan hari bulan. Beliau juga menandaskan bahwa membiarkan rukyah Kepada
Negara (Pemerintah) yang lebih awal mathla’nya, padahal ada kemungkinan Negara
itu pada suatu ketika tidak dapat melihat bulan, karena mendung yang sangat tebal,
menyebabkan hukum Islam tidak mempunyai fondasi yang kokoh dan tetap.
Karena itu wajiblah kita jadikan mathla’ negara Islam yang mempunyai kedudukan
yang tinggi dimata seluruh dunia Islam, mathla’ yang harus dipegang bersama.
Allah dalam menentukan negeri ini, tidak menyerahkan kepada pilihan dan
pertimbangan kita masing-masing. Agar tidak menimbulkan perselisihan dan
perbedaan pendapat syara’ telah mengisyaratkan pada yang demikian itu dan
menjadikan tumpuan manusia semua. Disini diletakkan kiblat mereka yaitu Mekah.
Disitu terletak Ka’bah, al Baitul Haram, disekitarnya terletak Arafah. Disana terletak
Shafa dan Marwah, disitulah Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul dan diberikan
risalah..
Dialah Al Baladul Haram. Dialah tumpuan umat Islam seuruhnya dalam bershalat.
Disanalah para haji berkumpul setiap tahun.
Kalau demikian, layaklah mathla’nya kita jadikan mathla’ pemersatu umat Islam
dalam melaksanakan ibadah yang dipautkan dengan bulan, bukan dengan matahari.
Tuhan swt. telah memilihnya untuk kita. Sangatlah buruk apabila masing-masing
daerah bertahan pada mathla’nya karena hal itu mengakibatkan ada penduduk daerah
yang merayakan hari Arafah (wuquf) sebelum penduduk Mekkah berwuquf, Begitu
pula sebaliknya. Demikian juga menyembelih hadyu dan qurban, walaupun ada ulama
yang membolehkannya. Fatwa ulama ini, walaupun sesuai dengan qiyas fiqh namun
telalu jauh dari pengertian keagamaan dalam merayakan hari-hari yang mulia.
Nabi menetapkan dengan sabdanya ini bahwa hari-hari tasyrik, haruslah beriringan
dengan hari wuquf. Hal ini meliputi semua umat Islam. Maka perayaan hari tasyrik
tidaklah mengenai para haji saja. Menetapkan hari tasyrik di setiap daerah. haruslah
didasarkan pada hari wuquf di Arafah.. Dengan demikian , tidaklah pada tempatnya,
sesuatu daerah Islam menjadikan tasyrik sebelum hari tasyrik di Mekah atau
sesudahnya.
Dengan demikian, perayaan hari Arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan
kepada mathla’ Mekkah. Mathla’ nyalah yang harus menjadi satu-satunya mathla’
untuk menetapkan hari-hari ibadah yang berpautan dengan bulan dan mathla’nya.