Vous êtes sur la page 1sur 37

HUBUNGAN UNDERCARBOXYLATED

OSTEOCALCIN DENGAN RESISTENSI INSULIN


PADA OBESITAS ABDOMINAL

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Angka kejadian obesitas diseluruh dunia meningkat dan telah mencapai tingkatan
epidemi. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga
meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39% (Magalhaes
et al.,2013). SM ditandai dengan obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa,
hipertensi dan dislipidemia. Patofisiologi dari SM belum sepenuhnya diketahui tetapi
obesitas abdominal dan resistensi insulin berperan untuk terjadinya SM. Obesitas
sering berhubungan dengan peningkatan masa tulang dan memberi perlindungan
terhadap kehilangan masa tulang yang progresif pada usia tua. Sebaliknya resistensi
insulin berhubungan dengan low-grade inflammation menimbulkan peningkatan
resorbsi tulang (Muhlen et al., 2007; Zhao et al., 2013). Keadaan ini mengakibatkan
berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan yang saling bertentangan mengenai
hubungan antara SM dengan osteoporosis disamping perbedaan kriteria SM yang
dipergunakan dan perbedaan cara pengukuran bone mineral density (Muhlen et
al.,2007; Zhao et al., 2013). Dari berbagai hasil penelitian klinis maupun binatang
dapat disimpulkan bahwa remodeling tulang dan metabolisme energidiatur oleh
hormon yang sama (Lee et al., 2007; Magalhaes et al., 2013).
Sejak lama dikenal peran klasik dari tulang sebagai organ yang penting untuk
proteksi, stabilisasi dan penunjang mobilisasi tubuh dan juga berperan sebagai tempat
untuk hemopoesis, mengatur keseimbangan kadar kalsium dan fosfat (Schwetz et
al.,2012). Tulang merupakan sebuah organ besar dan memerlukan banyak energi
karena secara berkesinambungan mengalami proses remodeling. Untuk memfasilitasi
proses ini tulang mengandung 2 jenis sel yaituosteoklastdan osteoblast yang bekerja
secara berlawanan (Ducy,2011;Veldhuis-Vlug et al., 2013). Keduanya ditentukan

berdasarkan molekul yang dihasilkan berupa sitokin yang bekerja lokal atau hormone
yang bekerja secara sistemik (Lee et al.,2007),
Berbagai penelitian terakhir membuktikan bahwa tulang memiliki peran yang
penting untuk mengatur metabolisme glukosa dan lemak melalui protein yang
dihasilkan oleh osteoblast selama pembentukan tulang (Magalhaes et al.,
2013).Tulang, jaringan adipose, pankreas dan sistim saraf pusat melakukan interaksi
satu dengan lainnya untuk mengatur berat badan dan mengatur pemakaian energi dan
metabolisme glukosa melalui kerja dari hormon yang dihasilkan secara spesifik oleh
osteoblast ( Wah Ng, 2011; Alfadda et al., 2012).
Peranan endokrin dari tulangpertama kalinya diungkap pada mencit yang
mengalami defisiensiembryonic stem cell phosphatase (Esp) yaitu gen yang
menyandiprotein tyrosine phosphatase (OST-PTP).Gen Esp diekpresikan pada
osteoblast dan penelitian pada mencit dengan global (Esp-/-), atau osteoblast-specific
(Esposb-/-) knockout Espakan mati segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia
yang berat. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa mencit mengalami
peningkatan proliferasi sel pankreas,

sekresi insulin dan peningkatan kadar

adiponektin.Disamping itu mencitEsp-/-disertai peningkatan sensitifitas insulin pada


jaringan otot dan jaringan lemak. Mencit ini disertai kandungan lemak viseral lebih
sedikit, peningkatanarea mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar protein yang
berhubungan dengan biogenesis mitokondria yang memperlihatkan peningkatan
pemakaian energi. Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa osteoblast adalah
sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena mempengaruhi sekresi
dan kepekaan jaringan terhadap insulin. Protein yang dikode oleh gen Esp adalah
tyrosine phosphatase intraseluler dan memiliki fungsi metabolik dengan menghambat
kerja dariosteocalcin(Ferron et al.,2010; Liu, 2013). Sebaliknya mencit dengan

osteocalcin knockout (OC-/-)memiliki fenotipe metabolik yang berlawanan dengan


mencit dengan Esp-/- tidak dapat mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein
spesifik dihasilkan oleh osteoblast akan mengalami penurunansel-, peningkatan
kadar glukosa, dan penurunan kadar insulin bila dibandingkan dengan mencit wildtype. Dengan menghilangkan alleleOC dari mencit yang mengalami Esp-/-akan disertai
dengan perbaikan dari fenotipe metaboliknya ( Lee et al., 2007; Wah Ng.,2011).
Berdasarkan hasil berbagai studi pada mencit Lee et al, membuat hipotesa bahwa
OST-PTP menginaktifasi OC melalui proses - carboxylation ( Lee et al., 2007). Exvivo OC dapat merangsang CyclinD1dan ekspresi insulin pada sel pankreas dan
adiponektin pada jaringan adipose ( Lee et al., 2007).
Osteoblast mensekresi molekulOC kedalam sirkulasi sebagai petanda dari
pergantian tulang dan dapat mempengaruhi homeostasis glukosa (Confavreux et al.,
2009; Schwetz et al.,2012). Sekresi OC oleh osteoblast melalui beberapa tahapan
modifikasi post-translationalmelalui vitamin-K dependentdimana 3 glutamic acid
residue mengalami carboxylated sehingga memungkinkan protein ini berikatan
dengan kalsium.Kadar OC dalam sirkulasi terdiri dari carboxylated OC (cOC) dan
undercarboxylated OC (ucOC) dan dipergunakan sebagai biomarker pembentukan
tulang (Shea et al., 2009; Ducy, 2011).Penelitian in vitro membuktikan bahwa cOC
adalah bentuk yang tidak aktif sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy,
2011; Schwetz et al., 2012).Dari hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan
bahwa inaktifasi Esp pada osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang
dan mengakibatkan terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai
akibat dari peningkatan proliferasi sel- pankreas dan sekresi insulin dan
memperbaiki sensitifitas insulin. Metabolisme energi secara positif dikendalikan
melalui peningkatan metabolism lemak dan peningkatan pemakaian energi ( Wah Ng,

2011). ucOC diperkirakan berperan penting pada metabolism energi seperti proliferasi
sel-, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi sehingga jaringan tulang
berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi (Schwetz et al., 2012).
Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi OC totalakandisertai
peningkatan masa lemak viseral, penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan
gangguan toleransi glukosa. Sebaliknya mencit dengan peningkatan kadar ucOC
karena delesi gen Esp, yang mengkode protein yang bertanggung jawab terbentuknya
cOC, memperlihatkan peningkatan sekresi insulin, proliferasi sel- pankreas,
meningkatkan sensitifitas insulin dan menurunkan masa lemak (Ferron et al.,2010;
Magalhaes et al.,2013).Penelitian pada binatang membuktikan bahwa dibandingkan
dengan mencit wild-type, mencit dengan OC -/-knockout disertai dengan peningkatan
masa lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan sekresi insulin dan
toleransi glukosa, dan penurunan kadar adiponektin (Lee et al., 2007; Garcia-Martin
et al., 2013).Infus dengan OC rekombinan pada mencit wild type memperbaiki
toleransi glukosa dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya mencit dengan diit
tinggi lemak penberian OC akan menurunkan berat badan dan resistensi insulin
(Veldhuis et al., 2013).
Penemuan ini memiliki implikasi klinis yang penting sehingga menarik untuk
dilakukan penelitian klinis lebih lanjut seperti pada penderita DMT2 atau SM.
Apabila ucOC memegang peranan yang sama untuk mengatur homeostasis glukosa
pada manusia seperti yang diperlihatkan pada mencit akan terjadi hubungan yang
terbalik antara kadar serum ucOC dengan kadar insulin puasa, glukosa, HbA1c,
resistensi insulin seperti HOMA-IR pada penderita DMT2 atau SM (Wah Ng.,2011).
Penelitian membuktikan bahwa kadar OC lebih rendah pada DMT2 dibandingkan
dengan non diabetes dan dijumpai hubungan terbalik antara kadar OC dengan kadar

gula darah puasa, insulin basal, glycosylated hemoglobin (HbA1c), indek resistensi
insulin (HOMA), high sensitivity C-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6),
IMT, persentase lemak tubuh dan kadar adiponektin. (Garcia-Martin et al.,2013). Data
ini membuktikan bahwa OC mengatur sekresi insulin dan sensitifitas insulin dan OC
mungkin merupakan faktor lainnya berperan untuk terjadinya MS (Magalhaes et
al.,2013).
Penelitian pada kelompok usia tua non diabetes kadar ucOC tidak
berhubungan dengan resistensi insulin. Sebaliknya peningkatan cOC dan OC total
berhubungan dengan rendahnya resistensi insulin sehingga mendukung hipotesa
terjadinya hubungan antara fisiologi tulang dengan resistensi insulin pada manusia
(Shea et al.,2009).Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tampaknya terbukti
terdapat hubungan antara OC dengan metabolisme glukosa atau insulin yang sesuai
dengan

penelitian

sebelumnya

pada

mencit.Kebanyakan

penelitian

klinis

mempergunakan pengukuran OC total sedangkan penelitian pada mencit kebanyakan


mempergunakan ucOC. Sedangkan penelitian klinis mempergunakan OC rekombinan
belum pernah dilakukan (Shea et al., 2009).

1.2. Rumusan Masalah.


Remodeling tulang adalah suatu proses yang memerlukan energi dan berlangsung
berkesinambungan untuk mempertahankan masa tulang konstan pada usia dewasa.
Terjadi interaksi yang komplek antara jaringan adiposa, sistim saraf pusat, tulang dan
pankreas. Osteoblast menghasilkan protein OC di dalam sirkulasi terdiri dari cOC dan
ucOC. Berbagai studi pada mencit membuktikan bahwa ucOC adalah bentuk yang
aktif dan dapat mempengaruhi metabolisme energi, resistensi insulin, sekresi insulin
dan obesitas. Berbagai penelitian klinis dengan meneliti hubungan OC terhadap
sekresi insulin, kadar glukosa darah dan sensitifitas insulin menunjukkan hasil yang

masih saling bertentangan. Sedangkan selama ini penelitian mengenai peran ucOC
kebanyakan dikerjakan pada mencit.
Berdasarkan uraian ringkas pada latar belakang masalah tersebut dapat
dirumuskan berbagai masalah sebagai berikut :
1. Apakah kadar ucOC lebih rendah pada individu dengan Ob-Ab dibandingkan
dengan non-obese
2. Apakah kadar ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada
Ob-Ab

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan
tujuan penelitian sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui hubungan antara ucOC dengan sindroma metabolik
1.3.2. Tujauan Khusus.
1. Untuk membuktikan bahwa kadar ucOC pada Ob-Ab lebih rendah
dibandingkan non-obese
2. Untuk membuktikan terdapat hubungan antara ucOC dengan Resistensi
Insulin (HOMA-IR) pada Ob-Ab

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Akademik
Bila terbukti bahwa kadar ucOC lebih rendah pada Ob-Ab dibandingkan dengan
non-obes dan terdapat korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMAIR) hasil penelitian ini membuktikan bahwa tulang adalah organ endokrin yang
menghasilkan protein yang bekerja sistemik mempengaruhi metabolisme energi
dan berperan terjadinya SM.

1.4.2. Manfaat Praktis


Bila terbukti ucOC berkorelasi dengan berbagai komponen dari SM maka
berbagai usaha untuk meningkatkan kadar OC terutama ucOC disamping dapat
mencegah atau menghambat proses osteoporosis juga mencegah terjadinya SM
sebagai faktor risiko terjadinya DMT2 dan penyakit kardiovaskuler.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 OBESITAS
Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal
didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan
dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2006) sedangkan overweight merupakan jumlah
berlebihan dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang.
Obesitas disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang
meningkat (WHO, 2004)
Definisi

operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan

perhitungan indek masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan perlemakan di
dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas dapat berdasarkan
atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau (2) berdasar
meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan peningkatan dari
lemak tubuh (WHO, 2004).
Obesitas merupakan suatu keadaan epidemic yang saat ini menjadi masalah
serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat sebanyak
3 kali lipat selama 3 hingga 4 dekade belakangan ini (Swinburn, 2011). Obesitas
sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena
berhubungan erat dengan metabolism dan penyakit kardiovaskular (suastika, 2006).
i. Etiologi Obesitas
Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya
ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti
faktor genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut
timbul bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan
energi total ( WHO, 2006). Perbedaan antara asupan dan penggunaan
energi terutama disangga oleh perubahan banyaknya simpanan lemak
(triasilgliserol) pada organ penyimpan utama yaitu jaringan lemak puth
(trayhurn, 2007). Akumulasi lemak akan terjadi pada bagian tubuh yang
tidak diinginkan seperti jantung, hati, pancreas dan otot skeletal jika suatu
individu tidak dapat menyimpan kelebihan energy yang dihasilkan pada
jaringan adiposa subkutannya (Despres, et al 2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya


bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan,
kurangnya aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga
memiliki masalah kesehatan tertentu (tayhurn, 2007). Adanya penurunan
dari berbagai hormone akibat penuaan seperti hormone pertumbuhan dan
produksi testosterone dapat juga dikatakan meningkatkan akumulasi dari
lemak, penurunan MLB, dan keseimbangan energy ( Villareal, et al. 2005).
ii. Epidemiologi Obesitas
Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan
lebih dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih
dari 700 juta orang akan mengalami obesitas (WHO, 2006). Obesitas
semula hanya menjadi perhatian pada Negara-negara yang memiliki
pendapatan perkapita yang tinggi, namun belakangan secara dramatis
obesitas juga mengalami peningkatan pada Negara-negara dengan
pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di daerah urban
(Sharma dan Chetty, 2005; WHO, 2006). Di negara maju seperti Eropa,
Amerika Serikat dan Australia prevalensi obesitas dan overweight
tampaknya mempunyai kecenderungan akan semakin meningkat telah
mengenai sekitar 50-65 persen populasi, juga meningkat secara ekstrim
dibeberapa Negara seperti Meksiko, Mesir dan populasi hitam di Afrika
Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada beberapa pulaupulau daerah pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2004). Beberapa
negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan berat
badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen,
sedangkan negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar
1,5-2 persen (Mokdad, et al. 2003)
iii. Pengaruh Obesitas Terhadap Kesehatan
Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih
banyak masalah terhadapapkesehatannya dibandingkan dengan seseorang
yang memiliki berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai
penelitian terbukti bahwa obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap beberapa penyakit yang tidak menular diantaranya
hipertensi, DM tipe 2, penyakit kardiovaskular, osteoarthritis, stroke, dan
beberapa penyakit keganasan ( kolon, rectum, esophagus, ginjal, payudara,

dan prostat) ( WHO, 2006). Meskipun secara keseluruhan telah diketahui


mengenai pengaruh yang merugikan dari obesitas terhadap kesehatan,
obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan para klinisi karena
sangat heterogen. Beberapa orang yang mengalami obesitas memiliki
tekanan darah normal, profil lipoprotein-lemak plasma yang normal, dan
euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya dengan berat badan yang
normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor resiko metabolik
( Depres, et al. 2003). Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah
membuktikan bahwa sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan
timbunan lemak berlebih di daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk
menderita DM tipe-2, dislipidemia, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler
(Despress dan Marette, 2008). Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh
dunia mungkin mendorong prevalensi DM tipe 2 menjadi lebih tinggi
(WHO, 2004).
iv. Pengukuran dan klasifikasi Obesitas
Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan
obesitas adalah dengan menghitung indek masa tubuh (IMT) yang
ditetapkan berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi
badan dalam meter [berat/tinggi badan (kg/m2)] (WHO, 2000). Pada
umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas, meskipun hal tersebut
kadangkala dapat memberikan informasil salah tentang klasifikasi
kandungan lemak tubuh total (freeman, et al. 1995). Dewasa ini massa
jaringan adipose dapat diukur dengan berbagai cara, akan tetapi
kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik yang canggih, sehingga jauh
dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis (Villareal, et al. 2005).
Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan kandungan
lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang tinggi
yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen ( Scott,
2004). Oleh karenanya IMT yang udah dihitung telah direkomendasikan
sebagai cara pengukuran obesitas untuk orang dewasa (WHO, 2000).
Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk
di wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang
berbeda berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off

untuk overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah
dibandingkan dengan kriteria WHO (WHO,2000). Usulan sementara ini
berdasarkan dari hasil penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan
Singapura, dan keturunan India di Mauritius. Tetapi pada penduduk asli
kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang lebih tinggi yaitu untuk
overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT 32 kg/m2 (WHO,
2000).
Tabel 1. Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang
dewasa berdasar IMT (WHO, 1998)
Klasifikasi
Kurus
Batas normal
Kelebihan berat badan

IMT (kg/m2)
< 18,5

Risiko komorbiditas
Rendah (tetapi risiko masalah klinis
lain meningkat)

18,5-24,9

Rata-rata

25

Pre-obese

25-29,9

Meningkat

Obese I

30-34,9

Sedang

Obese III

35-39,9

Berat

Obese III

40

Sangat berat

v. Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh


Distribusi lemak didalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas
yang dapat ditimbulkan yakni morbiditas dan mortalitas (Depres, et al.
2001). Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi
lemak tubuh manusia.
a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat
untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan
suatu obesitas abdominal dan akibat yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2003).
CT scan atau MRI jaringan adipose intraabdominal dan subkutan dikerjakan
setinggi L3/L4 dengan potongan multipel (slices) merupakan gold standard
untuk pengukuran jaringan lemak viseral (Wajchenberg, 2000). Pada ras
Kaukasus luas lemak visceral >130 cm2 berhubungan dengan sindroma
metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan risiko rendah. Kedua cara

ini dengan ketepatan yang tinggi juga dapat membedakan antara lemak viseral
dengan lemak subkutan (WHO, 2000; Despres et al., 2001).
b. Dual-energy X-ray scanning
Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dualenergy X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang
tepat mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan
hanya memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi
pada lemak tubuh (Thomas, et al. 1998). Metode ini memerlukan peralatan
yang mahal dan banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis
sehingga masih diperlukan metoda yang sederhana terutama untuk penelitian
di lapangan dengan jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001.
c. Pengukuran lipat kulit
Mengukur lapisan lemak di bawah kulit memberikan estimasi yang
baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak dengan berat
badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk mengukur
lemak tubuh total. Jangka lengkung lipatan kulit memeuat ukuran lemak yang
berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO,
2004). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi ( bisep, trisep, subskapula dan
supra-iliaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki
lemak tubuh lebih dari 25 persen dan perempuan jika memiliki lemak tubuh
lebih dari 30 persen (WHO, 2004). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan
pada subjek yang sangat gemuk dan tidak dapat mengukur komponen lemak
intra abdominal yang sangat penting (British Nutrition Foundation, 2003).
d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)
Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan
adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas
sebaiknya ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya faktor risiko yang
berhubungan dengan obesitas. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp
dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et
al.,2001). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga

dapat dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana RPP >0,9


pada pria dan >0,85 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya
obesitas abdominal (WHO,2000). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti
merupakan cara yang baik untuk mengukur lemak intra abdominal.
Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi oleh tinggi badan atau umur dan
menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan faktor risiko kardiovaskuler
(Han et al., 1995 ; British Nutrition Foundation, 2003) Penelitian longitudinal
selama kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih
berkorelasi dengan perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan
dengan perubahan pada RPP (Despres et al., 2001). Pengukuran Lp dapat
mengidentifikasi individu yang memiliki distribusi lemak abdominal dan
memiliki berbagai risiko untuk penyakit kardiovaskuler. Pengukuran Lp
sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan RPP (Lean et al.,1995).
Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm pada wanita 1-2 kali
memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan individu
dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita memiliki 2-4 kali
faktor risiko (Han et al.,1995). Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau
Lp > 80 cm pada wanita tidak lagi boleh mengalami peningkatan berat
badan. Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan
> 88 cm untuk wanita (Lean et al.,1995).
2.2 Fungsi jaringan Adiposa
Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari jaringan
lemak putih dan diperkirakan menjadi tempat utama penyimpanan energi (Tilg dan
Moshen, 2006). Penyimpanan energi oleh jaringan adiposa putih terjadi dalam bentuk
trigleserida dan bila diperlukan akan melepaskan energi berupa asam lemak bebas. Sel
adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari sel adiposit yang mengandung lemak
dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel imun, fibroblast dan pembuluh darah
(Trayhurn, 2001). Masa jarinan lemak ditentukan oleh keseimbangan antara asupan
dan pengeluaran energi, keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran
adiposit (hipertrofi) dan meningkatnya jumlah adiposit (hyperplasia) (Bays, et al.
2008). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut

dapat mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin
untuk mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.
Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma
dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120
bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin
dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al, 2003). Sebagian
dari faktor-faktor yang disebut adipokin ini adalah tissue factor, leptin, tumor
necrosis factor- (TNF-), interleukin-6 (IL-6), interleukin-8 (IL-8), interleukin-1
(IL-1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), transforming growth factor-1
(TGF-1), adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3 (Mutch
et al., 2001; Kim and Moustaid-Moussa, 2000; Kirkland et al., 2003; Tjokroprawiro,
2003). Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi denngan imunitas dan respon
inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat pada obesitas (Hotamisligil,
2006). Salah satu perkecualian adalah adiponektin, yang bekerja sebagai antiinflamasi dan perangsang insulin, ekspresi dan sekresinya menurun pada obesitas
( Ronti, et al. 2006). Mekanisme yang terjadi pada obesitas sangat kompleks dan
banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth factor. Kenyataan bahwa TNF0a,
Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya meningkat pada obesitas dan peranan
ini berhubungan dengan berbagai penyakit yang sering dijumpai pada obesitas
(Fruhbeck et al, 2001).
2.3 Hubungan Lemak Visceral Dengan Sindroma Metabolik
Dibandingkan dengan lemak subkutan, lemak viseral lebih berhubungan
dengan hipertensi, hiperinsulinemia dan resistensi insulin, diabetes mellitus,
dislipidemia dan penurunan fungsi fibrinolisis (Yamashita et al., 1996; Kopelman,
2000; Schwart and Brunzell, 1997; Despres et al., 2001; Landsberg, 2003).
Wajchenberg et al. (2003) membuktikan bahwa lemak viseral lebih kuat hubungannya
dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, trigliserida, kolesterol total, kolesterolHDL, kolesterol-LDL dan resistensi insulin. Timbunan lemak viseral yang berlebihan
juga berhubungan dengan variabel hemostatik yang berperan terhadap meningkatnya
risiko aterotrombosis (Alessi et al., 1997).
Penelitian secara morfologi dari adiposit yang diambil dari berbagai bagian
tubuh menunjukkan bahwa metabolisme adiposit dari daerah abdominal berbeda

dengan metabolisme adiposit dari femuro-gluteal. Adiposit abdominal menunjukkan


bentuk hipertrofi, sedangkan adiposit femuro-gluteal adalah hiperplastik (Van Gaal,
1994). Lemak abdominal memiliki respon lipolisis yang lebih besar terhadap
noradrenalin dan kurang sensitif terhadap antilipolisis dari insulin sehingga
mengakibatkan peningkatan masuknya asam lemak bebas (ALB) ke dalam sirkulasi
portal (Kopelman, 2000). Diperkirakan ALB yang berasal dari lemak viseral melalui
aliran portal mempengaruhi metabolisme hepar dan menyebabkan

peningkatan

sintesa very low density lipoprotein (VLDL), dan selanjutnya low density
lipoprotein (LDL). Disamping itu ALB dapat merangsang glukoneogenesis dan
meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian dengan cara perfusi dengan hepar tikus
membuktikan bahwa ALB dapat menurunkan kliren dari insulin dan menimbulkan
hiperinsulinemia (Kopelman, 2000; Bjrntorp, 2003). Data di atas hanya terbatas
berdasar hasil penelitian secara invitro. Penelitian pada manusia masih menjumpai
banyak kendala karena pengukuran vena porta hampir tidak mungkin dapat dikerjakan
karena kesulitan teknis. Secara tidak langsung pengukuran konsentrasi ALB pada
vena hepatika dapat menggambarkan produksi ALB dari depot lemak viseral, tetapi
masih dijumpai kendala karena terdapat juga aliran darah ke hepar melalui arteri
hepatika dari sirkulasi sistemik. Sehingga ALB yang diukur pada vena hepatika tidak
hanya berasal dari lipolisis jaringan lemak viseral, tetapi juga berasal dari lipolisis
jaringan lemak ditempat lainnya (Bjrntorp, 2003).
Disamping teori ALB dari lemak viseral, yang mendasari terjadinya berbagai
faktor risiko, penelitian pada tikus membuktikan terjadinya ekspresi berlebihan dari

-hydroxy steroid dehydrogenase 1 pada jaringan adiposa. Enzim ini merubah


glukokortikoid inaktif menjadi kortikosteron aktif. Sebagai akibatnya terjadi resistensi
insulin dengan segala akibatnya. Pada manusia keadaan ini menyebabkan terjadinya
kelebihan kortisol, sehingga peran spesifik dari lemak viseral menjadi tidak jelas
(Bjrntorp, 2003).
2.4 Peranan klasik tulang dan organ endokrin
Sejak lama, hanya peranan klasik yang dikaitkan dengan tulang kerangka yakni
perlindungan dan stabilisasi tubuh dan dukungan dalam bergerak, selain itu tulang
juga dianggap segai tempat untuk terjadinya hematopoesis dan sebagai organ penting
dalam hemostasis kalsium dan phosfor. Peranan tulang dalam fungsi metabolik
dihasilkan dari 2 tipe sel spesifik dari tulang yakni osteoblast dan osteoklast. Studi

belakangan ini menyebutkan adanya peran endokrin yang berasal dari kerangka
(Fukumoyo dan Martin, 2009).
Beberapa studi telah mendefinisi ulang kontribusi berbagai jenis sel untuk terjadinya
homeostasis glukosa diseluruh tubuh. Seperti telah kita ketahui, penelitian yang telah
ada menunjukkan bahwa sinyal insulin dalam sel b pankreas diperlukan untuk
terjadinya sekresi insulin, dan kemudian sinyal insulin tersebut juga sangat
dibutuhkan hepatosit untuk sensitivitas insulin ( Michael et al, 2000). Sebaliknya
berkurangnya reseptor insulin dalam jaringan adiposa putih menghasilkan
peningkatan metabolisme glukosa (bluher, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa belum
banyak penelitian yang dilakukan pada berbagai jenis sel dan fungsinya sebagai
reseptor insulin.
Bukti terbaru menjelaskan bahwa tulang sendiri setidaknya menghasilkan dua
hormon, faktor pertumbuhan fibroblast 23 (FGF23) dan osteocalcin. FGF23
diproduksi oleh osteocyte dalam tulang dan berperan untuk menghambat 1ahidroksilasi vitamin D dan meningkatkan ekskresi phosphor diginjal. Studi genetika
pada tikus mengungkapkan bahwa protein yang dihasilkan oleh osteoblast,
osteocalcin memiliki peran pada sel b pankreas dalam meningkatkan produksi insulin
dan pada jarigan perifer untuk pemanfaatan glukosa sebagai hasil dari peningkatan
sensitivitas insulin dan berkurangnya lemak visceral. Ulasan ini menyoroti studi
terbaru yang menunjukan peran tulang sebagai organ endokrin()
Osteocalcin (OC) (Gla protein tulang )merupakan protein 5kDa yang juga protein non
collagenous paling umum terdapat ditulang. OC disintesis secara khusus di sel
tertentu di susunan osteoblast, baik osteoblast matur atau osteosit. Kebanyakan OC
ditemukan didalam tulang, namun sebagian kecil juga ditemukan beredar didalam
sirkulasi darah dan jumlah serum dianggap sebagai penanda pembentukan tulang.
Namun, peran OC didalam tulang sepenuhnya belum dipahami (Delmas, 2000).
Sirkulasi dari OC terdiri dari 2 bentuk, residu carboxylated on 3 glutamate atau atau
undercarboxylated, yakni bentuk lanjutan yang nantinya dapat meningkatkan sekresi
insulin dari sel B pankreas, sensitivitas insulin dan pemakaian energi (Lee et all,
2007). Ostocalsin tidak satu-satunya gen yang diekspresikan oleh osteoblast yang
mempengaruhi homeostasis glukosa. Suatu gen yang dikoding oleh intraselular
tyrosine phosphatase yang disebut OST-PTP, ESP memiliki peran yang berlawanan
dengan osteocalcin (lee et all, 2007). Bukti genetik dan biokimia menunjukkan kerja

Esp lebih diatas dari osteocalsin dalam menghambat fungsi metabolik. Misalnya,
fenotipe metabolik dari Esp -/- tikus sepenuhnya terkoreksi dengan menghilangkan
satu alel dari Ocn walaupun Ocn +/- tikus tidak memiliki fenotipe metabolik dan
fraksi dari undercarboxilase osteocalcin signifikan lebih tinggi pada Esp-/dibandingkan dengan serum tikus tipe wildtype.
Reseptor insulin merupakan suatu tirosine kinase yang aktivitasnya harus diatur
secara ketat dikarenakan aktivasinya dapat terjadi walaupun tanpa adanya suatu ligan
(kasuga, 1983). Reseptor tirosin kinase sering dighambat oleh protein tyrosine
phosphatase (Schessinger, 2000) dan PTP1B, disebutkan bahwa dephosphorilase dari
reseptor insulin merupakan regulator utama dari signyal insulin pada hepatosit dan
miosit (Delibegovic, 2009). Fakta yang dikemukan kemudian yaitu bahwa OST-PTP
merupakan salah satu substrat dari insulin reseptor yang dapat mempengaruhi
metabolisme glukosa. Signal insulin di osteoblast meningkatkan aktivitas osteocalcin
dan berdampak pada terjadinya homeostasis glukosa dengan cara meningkatkan
kemampuan soteoblast dalam peningkatan resorpsi tulang. Akibat adanya PH asam
dalam lakuna resorpsi memungkinkan terjadinya dekarboksilase protein yang
merupakan aktivitas terakhir dari osteoklast yang dapat menentukan status
karboksilasi dan fungsi osteocalcin yang disekresikan oleh osteoblast. Hal ini
menyebutkan

bahwa,

PH-dependen,

mekanisme

aksi

dari

hormon

dan

mengidentifikasi signyal insulim dalam soteoblast merupakan penghubung yang


penting dalam terjadinya remodeling tulang dan metabolisme energi.
2.4.1 Tulang dan insulin
Hipotesis yang dijelaskan oleh Karsenty dkk yang pertama kali menerangkan tulang
memiliki hubungan timbal balik dalam metabolisme insulin. Studi-studi yang telah
dilakukan tersebut menjelaskan bahwa tulang merupakan organ yang sangat besar,
dalam memeliharanya diperlukan pasokan energi yang besar, hal tersebut menegaskan
tulang dan energi memiliki hubungan yang erat. Skrining yang dilakukan untuk gen
spesifik pada tulang dan kemudian gen yang dihasilkan tikus knockout untuk
mempelajari fenotipe metabolik, osteocalsin dan stem sel embrionik phosphatase
(Esp) nantinya gen tersebut menjadi kandidat gen yang berhubungan dengan
metabolisme energi. Osteocalsin merupakan salah satu komponen matriks tulang dan
nantinya dapat menjadi bentuk undercarboxylated dan karboxylasi. Osteocalsin tikus
knockout, yang telah dipelajari sebelumnya untuk metabolisme tulang, berubah

menjadi obese. Secara metabolik, tikus tersebut memperlihatkan gejala hiperglikemia,


berkurangnya kadar insulin, berkurangnya massa sel beta, berkurangnya sensitivitas
insulim dan berkurangnya pemakaian energi. Fenotipe dari Esp tikus knockout
heterozigous sangat mirip dengan tikus osteocalsin knockout. Esp merupakan gen
yang menyandi enzyme osteotesticular protein tyrosine phosphatase (OST-PTP). Esp
hanya ditemukan di osteoblast dan sel sertoli dan OST-PTP dapat menginaktivasi
reseptor insulin didalam osteoblast. Oleh karena Esp tikus knockout, reseptor insulin
menjadi aktif. Esp tikus knockout meningkatkan konsentrasi dari osteocalsin, yang
akan menimbulkan tikus yang kurus dengan peningkatan pemakaian energi, memiliki
peningkatan toleransi glukosa dan sensitivitas insulin. Pada saat yang sama, penelitian
yang dilakukan oleh clemen melaporkan tikus knockout pada respetor insulin spesifik
pada osteoblast yang berubah menjadi osteopenia dengan rendahnya kadar serum
osteoclasin, menjadi obese dan mengalami resistensi insulin.
Penelitian selanjutnya mengembangkan hubungan antara osteoclasin, OST-PTP dan
metabolisme glukosa yang menunjukkan bahwa insulin, setelah berikatan dengan
reseptor insulin pada osteoblast, akan meningkatkan ekspresi dari gen osteoclasin dan
mengurangi ekspresi gen osteoprotregerin (OPG). OPG biasanya menghambat
deferensiasi osteoklast. Oleh karena itu sinyal insulin pada osteoblast merangsang
resopsi tulang oleh osteoklast. Selama terjadinya resorpsi tulang, osteoklast itu sendiri
menciptakan lingkungan yang asam untuk melarutkan matriks tulang. Osteokalsin
nantinya dilepaskan dari matriks tulang dan karena rendahnya PH, residua sam
glutamat yang dihasilkan osteoclasin akan menjadi dekarboksilasi dan konsentrasi
osteocalsin undercarboxylated dalam sirkulasi meningkat. Pada akhirnya, pengikatan
osteocalsin undercarboxylated pada reseptor GPCR6a dalam sel beta pankreas
menstimulasi sekresi insulin. Infus rekombinan osteocalsin kedalam tikus wildtype
mengalami toleransi glukosa yang membaik dan peningkatan sekresi insulin.
Selanjutnya, ketika tikus diinfus diet tinggi lemak, osteocalsin dapat menurangi berat
badan dan resistensi insulin.
Setelah beberapa penelitian dilakukan pada tikus, telah dilakukan juga penelitian yang
dilakukan pada manusia, penelitian tentang tikus diatas telah menunjukkan bahwa jika
manusia yang meiliki kadar osteocalsin yang rendah dapat memiliki metabolisme
yang lebih baik, seperti pada plasma glukosa puasa, insulin dan index HOMA.
Beberapa penelitian menjelaskan adanya peningkatan kompensai osteocalsin yang

terjadi pada pasien prediabetes dan penurunan osteocalsin diprediksi akan


berkembang menjadi diabetes dalam kurun waktu 10 tahun follow up pada laki-laki
yang memiliki resiko diabetes. Studi tambahan lainnya menjelaskan adanya hubungan
terbalik antara osteocalsin dan sindroma metabolik, aterosklerosis koroner , masa
lemak dan ketebalan intima serta non-alcoholic fatty liver disease. Pada salah satu
penelitian mengenai metabolisme tulang yang dilakukan pernah meneliti intervensi
pada metabolisme tulang yang berdampak pada konsentrasi osteocalsin yang juga
akan mempengaruhi metabolisme glukosa. Penelitian ini beranggapan pemakaian
biphosphonate dapat menurunkan undercarboxylated osteocalsin yang memiliki efek
negatif pada metabolisme glukosa. Namun tiga penelitian yang lebih besar ,
randomnisasi, trail dengan placebo menjelaskan tidak berefek pada glukosa puasa,
berat badan atau diabetes.
2.4.2 Osteocalsin sebagai hormon pada tulang yang berpengaruh pada
metabolisme energi
Osteocalsin (protein Ycarboxyglutamic acid tulang atau BGP, merupakan protein
spesifik tulang dari 46-50 residu yang mengalami modifikasi post translasi oleh
vitamin K dependent g carboxylasi dari residu tiga glutamic acid. Osteokalsin sendiri
dihasilkan oleh osteoblast matur yang berikatan kuat dengan hydroxyapatite, yang
tersimpan pada matrik tulang dan dapat dikeluarkan ke sirkulasi dan juga berfungsi
sebagai petanda pembentukan tulang. Penelitian yang dilakukan pertama kali oleh
Karsenty dan kawan-kawan yang membuat tikus null osteocalsin menunjukkan tidak
ada perubahan pada fenotipe tulang namun menunjukkan adanya peningkatan dari
lemak visceral dan menjadi sedikit hiperglikemia. Penelitian dilakukan pada tikus
dengan menghilangkan protein spesifik tulangnya, yaitu dengan menghilangkan gen
Esp yaitu gen yang menghasilkan enzym oateotesticular protein tyrosine phospatase
(OST-PTP) yang ditemukan hanya pada tulang dan gonad, hasilnya tikus yang
kekurangan protein tersebut sebagian besarnya mati saat lahir denganoleh karena
hipoglikemia. Penelitian kemudian dilanjutkan pada tikus yang dapat bertahan,
menunjukkan tikus-tikus tersebut menunjukkan peningkatan ukuran sel islet pankreas,
jumlah sel B dan jumlah insulin didalam sirkulasi, peningkatan dari sensitivitas
insulin, berkurangnya lemak tubuh dan terjadinya peningkatan ekspresi dari gen target
insulin di hepar dan otot. Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan pada tikus null
osteocalsin didapatkan hasil sebaliknya dengan peningkatan lemak visceral dan

intoleransi glukosa, penurunan kadar insulin dan berkurangnya proliferasi sel islet dan
insulin itu sendiri. Penemuan ini mirip dengan tikus yang overekspresi OST-PTP
didalam osteoblastnya, dengan temuan ini membuktikan bahwa garis turunan
osteoblast sebagai sember faktor humoral yang dapat mempengaruhi metabolisme
energi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan secara invitro dengan osteoblast
menghasilkan osteocalsin terbukti bahwa protein tersebut dapat meningkatkan
produksi insulin oleh sel islet dan meningkatkan sensitivitas insulin.
2.4.3 Bioaktivitas Osteocalsin
Penghapusan satu alel dari osteocalsin cukup untuk menyelamatkan tikus dengan
fenotipe Esp -/- yang terbukti kuat bahwa Esp-/- merupakan sesuatu yang dapat
mempengaruhi fungsi ostocalsin itu sendiri, namun belum jelas diterangkan
bagaimana OST-PTP berefek pada bioaktivitas dari osteocalsin. Pada osteocalsin, 3
residu glu dapat merubah bentuk uncarboxylated menjadi penuh tercarboxilated.
Kemampuan residu dari Gla berikatan dengan hidroxyapatite, serum diinkubasi
dengan hidroxyapatite untuk mengikat osteocalsin Terkarboxilasi. Pada Esp-/- ada
peningkatan serum uncarboxylated osteocalsin dibandingkan dengan tikus wild type,
masing-masing 26% dan 10% (lee dkk, 2007). Dalam sebuah percobaan tambahan,
ketikajenis tikus wild type menerima warfarin akan terjadi gangguan proses
karboksilasi gamma, nantinya menyebabkan fraksi uncarboxylated osteocalsin
meningkat dan osteoblast sendiri akan memicu ekspresi adiponektin lebih tinggi
secara signifikan.
Penemuan tersebut menyatakan bahwa setidaknya pada tikus percobaan yang
dilakukan, osteoblast merupakan sel endokrin yang mempengaruhi metabolisme
energi melalui suatu hormon yang baru yang dinamakan osteocalsin. Bentuk aktif
osteocalsin yakni uncarboxylated osteocalsin mreupakan fraksi aktif pada sirkulasi
pada sel adiposit dan B sel. Penelitian baru juga telah menyebutkan produk dari Esp,
OST-PTP menstimulasi carboxylasi dari osteocalsin dan menyebabkan berkurangnya
bioaktivasi osteocalsin. Gagasan bahwa osteocalsin berhubungan dengan fungsi
metabolik telah dikuatkan dengan adanya beebrapa penelitian dengan manusia (Pittas
dkk, 2008)

2.4.4 Sintesis dari osteocalsin dan undercarboxylasi osteocalsin


Studi sebelumnya menjelaskan bahwa OC normalnya berfungsi pada tulang
dalam menghambat mineralisasi, kemungkinan menghambat osteocyte tertanam
dalam mineral. Transkripsi gen OC terjadi pada tingkat 1,25 dihydroxyvitamin D.
Modifikasi Post-translasi dari OC akan berikatan erat dengan ion kalsium
hydroxyapatite (HA). Karboksilasi terjadi akibat aktivitas vitamin K dependent
karboksilase, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami (Rubinacci, 2009).
uoOC memiliki kurang dari tiga residu karboksilasi, antara 1 hingga 2, dan memiliki
afinitas yang rendah pada tulang. OC yang terkarboksilasi penuh atau yang non
karboksilase keduanya ditemukan di tulang dan di serum. Meskipun ucOC lebih
banyak ditemukan disirkulasi, sementara residu OC yang terkarboksilasi penuh
proporsinya lebih banyak ditemukan di matrik tulang.
Vitamin K merupakan ko faktor untuk enzim glutamat karboksilase yang
diperlukan untuk karboksilasi dari portein yang mengandung gla pada kaskade
koagulasi dan karboksilasi OC (Berkner, 2005). Rendahnya diet vitamin K
berhubungan dengan peningkatan nilai ucOC dan suplementasi vitamin K mengurangi
ucOC. Metode yang dapat digunakan untuk dapat mengukur ucOC dalam sirkulasi ,
salah satunya uji hydroxyapatite (HAP) dan uji langsung yang spesifik dengan ucOC
yaitu menggunakan metode ELISA (takara). Oc memiliki ritme circardian dengan
level puncak pada sekitar pukul 4 AM dan memiliki konsentrasi terendah pada siang
hari.
Studi yang dilakukan oleh Grup Karsenty menjelaskan adanya hubungan
tulang dengan homeostasis glukosa dengan berlaku sebagai organ endokrin.
Dijelaskan bahwa tulang dapat meregulasi homeostasis glukosa berasal dari penelitian
pada mice yang ditemukan berkurangnya protein spesifik osteocalcin pada susunan
osteoblast. Pada penelitian selanjutnya memperlihatkan mice mengalami gangguan
metabolik, yakni peningkatan glukosa darah, rendahya insulin serum, gangguan
stimulasi sekresi insulin dan rendahnya toleransi glukosa jika dibandingkan dengan
mice liar. Rendahnya serum insulin dihasilkan dari kurang lebih berurangnya 50% sel
Beta pankreas dan insulin didalamnya. Studi menyebutkan terapi sistemik ucOC
memiliki efek berkebalikan dengan OC-/- pada tikus. Uji metabolik menunjukkan
dilakukannya infus kronik ucOC (0,3-3,0n/h) dapat mengurangi kadar glukosa,
meningkatkan nilai insulin serum, dan peningkatan toleransi glukosa. Dasar inilah

yang dipakai bawasannnya terapi dengan ucOC memiliki efek anti diabetes.
Penelitian ini juga menjelaskan pemberian terapi ucOC dapat meningkatkan kadar
serum adiponectin ( adipokinase yang mempengaruhi sensitivitas insulin).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir


Sindroma metabolik adalah sekelompok faktor risiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler dan DMT2, seperti obesitas abdominal, dislipidemia, hipertensi dan
hiperglikemia. Patofisiologi dari SM belum sepenuhnya dapat diungkap tetapi
resistensi insulin dan obesitas abdominal berperan untuk terjadinya SM. Remodeling
tulang merupakan proses yang diatur berbagai hormon. Pada mamalia obesitas
memberikan proteksi terhadap osteoporosis sehingga diperkirakan remodeling tulang
dan metabolisme energi diatur oleh hormon yang sama. Leptin hormon yang
dihasilkan oleh adiposity merupakan regulator yang penting pada remodeling tulang
karena pengaruhnya pada osteoblast. OC protein yang dihasilkan oleh osteoblast
memiliki sifat sebagai hormon terbukti juga berperan mengatur metabolisme energi.
Mencit yang tidak menghasilkan OC (OC-/-) akan disertai dengan peningkatan masa
lemak yang abnormal, disertai peningkatan kadar trigliserida, gangguan sekresi
insulin, resistensi insulin, dan peningkatan kadar glukosa darah.OC terdiri dari cOC
yang tidak aktif karena mengalami dekarboksilasi

dan bentuk ucOC yang

aktif.Kaduanya cOC dan ucOC dapat dijumpai di tulang maupun di dalam


serum.ucOC dijumpai dalam proporsi yang lebih banyak di dal;am sirkulasi
sebaliknya di dalam tulang dijumpai lebih banyak cOC. Studi pada mencit
menunjukkan bahwa pengobatan dengan ucOC dapat meningkatkan sekresi insulin,
meningkatkan kadar adiponektin dan meningkatkan sensitifitas insulin.

3.2. Konsep.

OBESITAS
ABDOMINAL

OC

ucOC

Adiponekti
n

cOC

Sekresi
Insulin

RESISTENSI
INSULIN
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan : OC (osteocalcin) ; ucOC (undercarboxylated osteocalcin); cOC


(carboxylated osteocalcin).
- - - - - - - - - : Tidak diteliti
__________

: Yang diteliti

3.3. Hipotesis Penelitian


1. Terdapat hubungan antara ucOC dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada
Obesitas Abdominal.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan analytical cross-sectional study untuk
mencari korelasi antara kadar ucOC dengan kadar adiponektin dan resistensi insulin
pada populasi dengan Obesitas Abdominal (Ob-Ab).

PENGUKURAN VARIABEL
DILAKUKAN PADA SATU SAAT

Lp
ucOC
RI (HOMA-IR)

Gambar 4.1 Analytical Cross-Sectional Study


4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1 Populasi untuk rancangan analytical cross-sectional study
1. Populasi target adalah laki-laki dan wanita umur antara 30-60 tahun

2. Populasi terjangkau adalah karyawan pemerintah/swasta dan perseorangan


yang menjalani medical check up rutin di Laboratorium Klinik Prodia
Denpasar.
3. Sampel yang benar-benar diikut sertakan di dalam penelitian ini adalah yang
telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia mengikuti penelitian
ini.
4.2.2 Sampel
4.2.2.1 Kriteria Inklusi
a. Laki-laki umur antara 30-60 tahun dan wanita umur 30 tahun sampai
belum mengalami menopause dengan Ob-Ab ( Lp untuk laki-laki 90
cm dan wanita 80 cm).
b. Bersedia ikut di dalam penelitian ini setelah menanda tangani surat
persetujuan atas dasar kesadaran (informed consent)
c. Harus kooperatif dan bersedia mengikuti petunjuk dan aturan yang
telah ditetapkan oleh peneliti.
4.2.2.2 Kriteria Eksklusi.
a. Mempunyai penyakit organ seperti penyakit jantung koroner, gagal
jantung, gagal ginjal, penyakit hati akut maupun kronis, penyakit paru
obstruktif menahun, penyakit kelenjar tiroid, tidak menderita penyakit
peradangan akut maupun kronis, menderita DM, hipertensi, penyakit
keganasan, telah mengalami menopause.
b.

Pemakaian obat-obatan seperti bisphosphonate, calcitonin, estrogen,


testosterone dan glitazone.

c. Merokok, pasca histerektomi, pasca ooforektomi.

4.2.3 Besar Sampel untuk penelitian analytical cross-sectional study


Penelitian ini merupakan uji korelasi sehingga besar sampel ditentukan
berdasar rumus yang menggunakan koefisien korelasi sebagai berikut
(Madiyono dkk., 2002).


n
0, 5 ln 1 r / 1 r

Penelitian dengan power sebesar 80%, = 0,20 dan nilai = 0,05 sehingga Z =
1,960; Z = 0,842. Koefisien korelasi ( r ) dipergunakan 0,32. Sehingga jumlah
sampel minimal adalah sebesar 75 orang.
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel diperoleh dengan teknik simple random sampling dari populasi
terjangkau penelitian yang datang untuk pemeriksaan kesehatan di Laboratorium
Klinik Prodia Denpasar. Populasi terjangkau adalah penderita dengan Ob-Ab usia 3060 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sebagai sampel
penelitian sehingga memenuhi jumlah sampel yang diperlukan.
4.3 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : ucOC
2. Variabel tergantung : Resistensi Insulin (HOMA-IR)
4.3.1 Definisi Variabel Operasional.
1. Undercarboxylated Osteocalcin (ucOC) kadar di dalam darah diukur dengan
metode enzyme immunoassay kit (EIA Kit).
2. Obesitas Abdominal (Ob-Ab) adalah obesitas yang ditentukan berdasar hasil
pengukuran lingkar pinggang. Ob-Ab apabila lingkar pinggang (Lp) 90 cm
pada pria dewasa dan Lp 80 cm pada wanita dewasa (WHO, 2000)

3. Usia adalah umur yang ditentukan dari tanggal lahir sampai saat ikut di dalam
penelitian berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP).
4. Hipertensi adalah tekanan darah tinggi ditentukan berdasarkan klasifikasi dari
The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (Chobanian et al., 2003).
Tabel 4.1. Klasifikasi hipertensi (Chobanian et al., 2003)

Klasifikasi
Normal

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

< 120

dan

< 80

Prehipertensi

120-139

atau

80-89

Hipertensi stadium 1

140-159

atau

90-99

Hipertensi stadium 2

160

atau

100

5. Penyakit infeksi akut maupun kronis ditentukan berdasarkan anamnesa, gejala


klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan tanda infeksi pada organ
tertentu.
6. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang diagnosenya ditegakkan
berdasarkan kriteria PERKENI (2006), apabila dijumpai gejala klasik DM
disertai dengan kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau
kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl atau kadar glukosa plasma 200
mg/dl 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram.
7. Status menopause didefinisikan berdasar kriteria klinis yang konvensional
yaitu tidak mengalami menstruasi paling sedikit sejak 1 tahun sebelumnya
(Wasserman et al., 2004).
8. Kadar insulin puasa adalah kadar insulin darah diukur dengan alat Immulite
dan metoda chemiluminescense.

9. Gangguan fungsi ginjal adalah subjek yang mengalami gangguan ginjal yang
ditandai dengan

penurunan kliren kreatinin (KKr) < 60 ml/menit. KKr

dihitung berdasarkan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut (K/DOQI, 2002)

Laki-laki : KKr (ml/menit) =

140 Umur BB
72 KrSerum

Wanita

140 Umur BB 0,85


72 KrSerum

: KKr (ml/menit)=

KKr = kreatinin klirens ( ml/menit).


Kr = kreatinin (mg/dl) ; BB = berat badan (kg).
10. Penyakit hati akut maupun kronis adalah subjek yang mengalami peningkatan
kadar SGOT dan SGPT > 2 kali normal, kadar bilirubin total > 1,1 mg/dl dan
bilirubin direk > 0,7 mg/dl dan atau pada anamnesa dan pemeriksaan fisik
dijumpai tanda-tanda penyakit hati akut maupun kronis (Boediwarsono, 1996;
Husada,1996; Akbar,1996).
11. Perokok ditentukan sebagai berikut : paling sedikit 1 batang perhari selama
lebih dari 1 bulan atau berhenti merokok kurang dari 3 bulan (Wita,1992)
12. Resistensi insulin (RI) : Hasil ukur menggunakan rumus homeostasis model
assesment (HOMA-IR). Cara ini ternyata memiliki sensitivitas dan spesivitas
yang sama dengan cara baku hyperinsulinemic euglycemic clamp untuk
mengukur resistensi insulin (Matthews et al., 1985; Haffner et al.,1996).

R Insulin Glukosa / 22,5


R

= resistensi insulin.

Glukosa

= kadar glukosa darah puasa dalam mmol/l

Insulin

= kadar insulin puasa dalam U/ml

4.4 Bahan Penelitian


Bahan penelitian yang dipergunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah
darah (termasuk plasma dan serum, bahan antikoagulan disesuaikan dengan metoda
masing-masing pemeriksaan ) dan sampel urine.
4.5 Prosedur Pemeriksaan
4.5.1 Pemeriksaan Glukosa Darah
Pemeriksaan glukosa darah mempergunakan alat Hitachi 912, reagensia GluGlucoquant (Roche Diagnostic), dengan metoda heksokinase. Jenis sampel serum
dengan stabilitas 8 jam pada suhu 4-80 C.
4.5.2 Pengukuran Lingkar Pinggang
Cara pengukuran Lp adalah subjek dalam keadaan puasa berdiri dengan kedua
kaki berjarak 25-30 cm, dengan demikian berat badan akan terdistribusikan.
Pengukuran dilakukan pada titik pertengahan dari jarak antara tepi bawah kosta
terakhir dengan krista iliaka di dalam bidang horizontal. Pengukur duduk disebelah
subjek yang diukur dan pita pengukur dipasang pas tanpa menekan jaringan
lunak.Pengukuran dilakukan pada akhir dari ekspirasi normal. Lingkaran diukur
dengan ketelitian mendekati 0,1 cm (WHO,2000; McCarthy et al.,2005).
4.5.3 Pemeriksaan kadar insulin
Kadar insulin diperiksa dengan alat Immulite dan metoda chemiluminescense.
Nilai normal 6-27 IU/ml. Jenis sampel adalah serum 500 L. Stabil pada suhu 2-80C
selama 7 hari dan 3 bulan pada suhu -200 C. Kadar insulin terendah yang bias diukur
adalah 2 Iu/mL dengan koefisien variasi 4,2-5,8%. Linieritas penyimpangan dari
kadar yang diharapkan setelah pengenceran 2-4 kali adalah 9 sampai 23%. Spesifitas

antibodi yang dipergunakan dalam reagen memiliki spesifitas yang tinggi terhadap
insulin, sehingga penambahan peptide-C, glukagon dan proinsulin sebanyak 12,6
ng/mL, tidak mempengaruhi hasil pengukuran insulin.
4.5.4 Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan kadar glukosa darah mempergunakan alat Hitachi 912, reagensia
Glu-Glucoquant (Roche Diagnostic), dengan metoda heksokinase. Nilai normal
glukosa darah puasa < 110 mg/dl, glukosa 2 jam sesudah makan < 140 mg/dl. Jenis
sampel : serum dengan stabilitas 8 jam pada suhu 4-80 C.
4.5.5. Pemeriksaan kadar undercarboxylated osteocalcin (ucOC)
Pemeriksaan mempergunakan Glu-type Osteocalcin EIA Kit (Takara BIO Inc)
untuk memeriksa kadar ucOC di dalam serum secara in vitro dengan metoda enzyme
immunoassay (EIA).
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Penelitian dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Denpasar.
b. Waktu penelitian pada bulan Juni s/d Desember 2015.
4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
Semua sampel yang memenuhi kriteria diberikan penjelasan sewcara rinci
tentang maksud dan tujuan penelitian serta menandatangani informed consent
penelitian. Pengambilan sampel darah dilakukan dalam keadaan puasa pagi hari (jam
7.00-8.00) setelah puasa paling sedikit 12 jam.

4.8 Analisa Data Statistik


Setelah data semua terkumpul terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan data.
Data yang tidak lengkap, dilengkapi dengan cara menghubungi subjek penelitian.

Untuk menjawab permasalahan berdasar tujuan penelitian dilakukan serangkaian


tahapan analisis data sebagai berikut:
1. Analisa statistik deskriptif.
Statistik deskriptif dipergunakan untuk menggambarkan karakteristik secara
umum. Untuk variable bebas maupun tergantung dipergunakan nilai mean dan
standar deviasi untuk variabel yang berdistribusi normal. Apabila
berdistribusi tidak normal dipergunakan nilai median.
2. Uji normalitas Kosmogorov-Smirnov, digunakan untuk melakukan analisa
apakah data yang telah terkumpul memiliki distribusi normal.
3. Uji komparasi. Digunakan uji-t independen untuk menganalisa perbedaan
kadar ucOC pada populasi dengan Ob-Ab dengan non-obes.
4. Uji korelasi digunakan untuk melihat korelasi antara variable bebas dengan
variabel tergantung.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, N.1996.Kelainan enzim pada penyakit hati. In: Sjaifoelah Noer HM,Waspadji
S, Rachman AM, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H,Alwi I dan Budi Husodo U,eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI :
238-242.
Alfadda, A.A; Masood, A; Shaik, S.A; Shaik, S.S; Dekhil, H; Goran, M. 2013.
Clinical Study. Association between Osteocalcin, Metabolic Syndrome, and
Cardiovascular Risk Factors: Role of Total and Undercarboxylated Osteocalcin in
Patients with Type 2 Diabetes. Int J Endocrinol2013; 1-6.
Boediwarsono.1996. Cara memilih tes faal hati. Buletin Informasi Laboratorium
Berkesinambungan. Laboratorium Klinik Prodia.
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L.,
Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S., Wright,J.T., Roccella,E.J and The National
High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee, 2003.
Ducy P. 2011. The role of osteocalcin in the endocrine cross-talk between bone
remodelling and energy mertabolism. Diabetologia 54: 1291-1297.
Ferro, M; Wei, J; Yoshizawa, T; Del Fattore, A; DePinho, R.A; Teti, A; Ducy, P and
Karsenty, G. 2010. Insulin signaling in osteoblasts integrates bone remodeling and
energy metabolism. Cell 42: 296-308.
Haffner, S.M., Gonzales, C., Miettinen,H., Kannedy,E., Stern, M. 1996. Prospective
Analysis of the HOMA Model. Diabetes Care 19: 1138-1141.
Lee, N.K; Sowa, H; Hinoi, E; Ferron, M; Ahn, J.D; Confavreux, C; Dacquin, R; Mee,
P.J; McKee, M.D; Jung, D.Y; Zhang, Z; Kim, J.K; Mauvais-Jarvis, F; Ducy, P and
Karsently. 2007. Endocrine Regulation of Energy Metabolism by the Skeleton. Cell
130: 456-469.
K/DOQI,2002. Clinical Practise Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. NKF Inc, United States Renal Data System: URSDS
1991 Annual Data Report. Bethesda, Maryland. Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases.
Liu, J. 2013. The cross-talk between the skeleton and energy metabolism. J Diabetes
5:10-11.
Garcia-Martin, A;Reyes-Garcia, R; Avila-Rubio; Munoz-Tores, M.2013. Osteocalcin:
A link between bone homeostasis and energy mertabolism. Endocrinol Nutr 60: 260263.
Husada,Y.1996.Fisiologi dan pemeriksaan biokimiawi hati In: Sjaifoelah Noer
HM,Waspadji S, Rachman AM, Lesmana,LA, Widodo D, Isbagio H,Alwi I dan Budi
Husodo U,eds.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI : 224-237.

Madiyono, B., Moeslichan, M.Z., Sastroasmoro., Budiman, I., Harry Purwanto,


S.2002. Perkiraan Besar Sampel. In: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi
ke 2 Editor Sastroasmoro, S dam Ismael S. Penerbit CV Sagung Seto , Jakarta. Hal
259-286.
Magalhaes, K.M.S; Magalhaes, M.M; Diniz, E.T; Lucena, C.S; Griz, L; Bandeira,F.
2013. Metabolic Syndrome and Central Fat Distribution Are Related to Lower Serum
Osteocalcin Concentrations. Ann Nutr Metab 62: 183-188.
Matthews, D.R., Hosker, J.P., Rudenski, A.S., Naylor. B.A., Treacher, D.F., Turner,
R.C. 1985. Homeostasis model assesment : Insulin resistance and beta-cell function
from plasma glucose and insulin concentration in man. Diabetologia 28: 412-419.
McCarthy, H.D., Jarrett, K.V., Emmett, P.M., Rogers, I and the ALSPAC Study Team.
2005. Trends in waist circumferences in young British children: a comparative study.
Int J Obes 29: 157-162.
Muhlen, D; Safii, S; Jassad, S.K; Svartberg,J; Barrett-Connor, E. 2007. Association
between the metabolic syndrome and bone health in older men and women: the
Rancho Bernando Study.Osteoporos Int 18: 1337-1344.
Perkeni 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia.
Schwetz, V; Pieber, T and Obermayer-Pietsch, B. 2012. The endocrine role of the
skeleton: background and clinical evidence. Eur J Endocrinol 166: 959-967
Shea, M.K; Gunberg, C.M; Meigs, J.B; Dallal, G.E; Saltzman, E; Yoshida, M;
Jacques, P.F and Booth,S.L. 2009. -Carboxylation of osteocalcin and insulin
resistance in older men and women. Am J Clin Nutr 90: 1230-1235.
Veldhuis, A.G; Fliers, E; Bisschop, P.H. 2013. Bone as a regulator of glucose
metabolism. Neth J Med 71: 396-400.
Wasserman,L., Flatt, S.W., Natarajan, L., Laughlin, G., Matusalem, M., Faerber, S.,
Rock, C.L., Barrett-Connor, E and Pierce, J.P. 2004. Int J Obes 28:49-56.
WHO Western Pacific Region.2000. The Asia-Pacific perspective : Redefining
obesity and its treatment.
Wita,I.W.1992. Program Intervensi Terpadu Mengendalikan Faktor Risiko Koroner
dan Meningkatkan Kualitas Hidup Pasca Infark Miokard Akut. Desertasi, Surabaya
Universitas Airlangga.
Zhao, N; Tang, X; Zhen, D and Liu, H. 2013.Higher calcaneal bone mineral density in
men with metabolic syndrome in a Chinese population.J Diabetes 5: 7-12.

Vous aimerez peut-être aussi