Vous êtes sur la page 1sur 17

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepanitraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Anak, Rumah Sakit Bhayangkara
Tingkat I Raden Said Sukanto.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Pulung M. Silalahi,
Sp.A. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam proses pembelajaran di bagian penyakit anak, dan juga dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak
keterbatasan. Oleh sebab itu penulis menerima dengan senang hati segala kritik dan saran
yang membangun. Akhir kata semoga referat ini dapat berguna bagi setiap pembaca. Kiranya
Tuhan memberkati kita semua.

Jakarta, Mei 2015

Penulis

ASFIKSIA NEONATORUM

I. PENDAHULUAN
Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai dengan
perkembangan progresif dari asidosis metabolik. Kejadian asfiksia neonatorum adalah suatu
keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini
disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktorfaktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Faktor
tersebut diantaranya adalah adanya (1) penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi,
gangguan atau penyakit paru, dan gangguan kontraksi uterus, (2) pada ibu yang
kehamilannya beresiko, (3) faktor plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta, (4) faktor
janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5)
faktor persalinan seperti partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.1,2,3
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati
hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi
yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi
otak sebagai pertimbangan utama. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan
perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Gangguan kardiovaskuler serta
komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan
ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama
setelah lahir (James,1959). Penyelidikan patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce dan
Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat dan difus pada jaringan otak bayi yang
meninggal karena hipoksia.4,5

II. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003
asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak
diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.1,3
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup

dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan
belajar.4 Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%). 4
Menurut data-data di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2004 bayi baru lahir
berjumlah 184 orang, meninggal 9 orang (4,89%) 1 bayi meninggal dengan asphyxia
neonatorum. Tahun 2005 bayi baru lahir berjumlah 215, meninggal 9 orang (4,19%) dimana
1 bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum.2
Di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan. Tahun 2005, bayi baru lahir berjumlah 754
orang, 27 bayi (3,58%) meninggal dan tahun 2006 dari jumlah kelahiran 1.185 bayi, bayi
dengan asphyxia neonatorum 205 meninggal sebelum usia 7 hari sejumlah 134 (11,31%),
dimana asphyxia neonatorum merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 108
bayi (81%) dan tahun 2007 angka kelahiran 757, bayi lahir dengan asfiksia neonatorum
sebanyak 234 (30,31%) dan meninggal sebelum usia 7 hari sebanyak 59 (77,94 per seribu)
dan bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum sebanyak 20 bayi (34%). 2
III. ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan
melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran
plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada
aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.4
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan persalinan
akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat mengakibatkan
gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat ringan dan sementara atau menetap,
tergantung dari perubahan homeostatis yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini
berhubungan erat dengan beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan
mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskuler. 2
Faktor pencetus :
a. Hipoksia janin penyebab terjadinya asphyxia neonatorum adalah adanya gangguan
pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga berdampak persediaan O2
menurun, mengakibatkan tingginya CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara
kronis akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara akut
karena adanya komplikasi dalam persalinan.9

b. Gangguan kronis pada ibu hamil, bisa akibat gizi ibu yang buruk, penyakit
menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung dan lain-lain. Pada akhir-akhir
ini, asphyxia neonatorum disebabkan oleh adanya gangguan oksigenasi serta
kekurangan zat-zat makanan yang diperoleh akibat terganggunya fungsi plasenta.
Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan yang bersifat akut dan hampir selalu
mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin akan berakhir dengan asphyxia
neonatorum pada bayi baru lahir. Sedangkan faktor dari pihak ibu adanya gangguan
his seperti hypertonia atau tetani, hipotensi mendadak pada ibu karena pendarahan,
hipertensi pada eklamsia, gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta.9
c. Faktor janin berupa gangguan aliran darah dalam tali pusat akibat tekanan tali pusat,
depresi pernapasan karena obat-obatan anestesi / analgetika yang diberikan ke ibu,
perdarahan intracranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika, atresia saluran
pernapasan, hypoplasia paru-paru dan lain-lain.9
Toweil (1966) menggolongkan penyebab asphyxia neonatorum terdiri dari 3:
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia
dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
Umur ibu tidak secara langsung berpengaruh terhadap kejadian asphyxia neonatorum,
namun demikian telah lama diketahui bahwa umur berpengaruh terhadap proses reproduksi.
Umur yang dianggap optimal untuk kehamilan adalah antara 20 sampai 30 tahun. Sedangkan
dibawah atau diatas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan maupun persalinan.
Pertambahan umur akan diikuti oleh perubahan perkembangan dari organ-organ
dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Pada
wanita usia muda dimana organ-organ reproduksi belum sempurna secara keseluruhan,
disertai kejiwaan yang belum bersedia menjadi seorang ibu. Dalam penelitian Zakaria di
RSUP M.Jamil Padang tahun 1999, ditemukan kejadian asfiksia neonatorum sebesar 36,4%
pada ibu yang melahirkan lebih dari 34 tahun. Hasil penelitian Ahmad di RSUD Dr.
Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2000 menemukan bayi yang lahir dengan asfiksia
neonatorum 1,309 kali pada ibu umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.

c. Penyakit yang diderita ibu


Penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin ; hipertensi,
hipotensi, gangguan kontraksi uterus dan lain-lain.
-

Hipertensi kronik yaitu tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau tekanan darah
diastolik < 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu gestasi,
menetap sampai 12 minggu atau lebih post partum.

Preeklamsi tekanan darah sistolik 140/90 atau tekanan darah < 90 mmHg dengan
proteinuria (300mg/ 24 jam) setelah 20 minggu gestasi. Dapat berkembang
menjadi eklamsi (kejang). Sering pada wanita nullipara, multiple gestasi, wanita
dengan riwayat preeklamsi, wanita dengan riwayat penyakit ginjal.

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi adanya proteinuria muncul


setelah 20 minggu protein naik tiba-tiba 2-3 kali lipat, tekanan darah meningkat
tiba-tiba peninggian SGOT atau SGPT.

Gestasional hipertensi yaitu hipertensi tanpa proteinuria timbul setelah 20


minggu gestasi dan hilang setelah post partum.

2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, plasenta previa, perdarahan plasenta dan lain-lain.
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah
ini dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi
tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain.

3. Faktor Neonatus
a. Prematur
Bayi premature adalah bayi baru lahir dari kehamilan antara 28 minggu-36 minggu.
Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh belum berfungsi normal untuk
bertahan hidup diluar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin

kurang sempurna, prognosis juga semakin buruk. Karena masih belum berfungsinya organorgan tubuh secara sempurna seperti sistem pernafasan maka terjadilah asfksia.
b. Gangguan tali pusat
Kompresi umbilikusakan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah
ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat
antara jalan lahir dan janin, dll.

IV. PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam
keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari
jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga
darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.4
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan
berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam
pembuluh darah di sekitar alveoli. 4
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi
plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan
kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan
terhadap aliran darah bekurang. 4
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan
tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran
darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang
diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak
mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh
bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan
pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang

sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak
oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 4
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paruparunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan
mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan
rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam
pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. 4
Bila terdapat gangguan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan persalinan akan
terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila
tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat
reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai
dengan suatu periode apnu (Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung
selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh
pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan
bradikardi dan penurunan tekanan darah. 3
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme dan
pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama dan pertukaran
gas mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, bila G3 berlanjut dalam tubuh bayi
akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga
glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Asam organik terjadi akibat
metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya
akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya
hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya
asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung
sehingga menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat
akan menyebabkan tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru
dan ke sistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler
yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi
menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. 3
V. DIAGNOSIS

Diagnosis asfiksia neonatorum tidak hanya ditegakkan setelah bayi lahir saja, tetapi
juga dapat ditegakkan sewaktu janin masih berada dalam rahim. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa umumnya asfiksi neonatorum yang terjadi pada bayi biasanya merupakan
kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin.10
a. Denyut jantung janin
Frekuensi denyut jantung janin normal 120-160 denyutan permenit, selama his
frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
bila frekuensi turun sampai dibawah 100 permenit di luar his, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf
janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam
persalinan.10
b. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi

kepala

mungkin

menunjukkan

gangguan

oksigenasi

dan

harus

menimbulkan kewaspadaan. Adanya meconium dalam air ketuban pada presentasi


kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat
dilakukan dengan mudah.10
c. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pHnya.
Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai dibawah 7,2
hal itu dianggap sebagai tanda bahaya. Diagnosis gawat janin sangat penting untuk
dapat menyelamatkan dan dengan demikian membatasi morbiditas dan mortalitas
perinatal. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin
mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum.10

d. Penilaian dengan menggunakan APGAR

Diagnosa asfiksia neonatorum pada Bayi Baru Lahir ditegakkan dengan


menetapkan nilai APGAR neonatus yang diperkenalkan dr. Virginia Apgar pada
tahun 1953
Klinis
Warna Kulit (Appearance)

0
Biru pucat

1
Tubuh merah, ekstremitas

2
Merah seluruh tubuh

Frekuensi Jantung (Pulse)


Rangsangan
Refleks

Tidak ada
Tidak ada

biru
< 100x / menit
Gerakan sedikit

>100x / menit
Batuk / bersin

(Grimace)
Tonus Otot (Muscle tone)
Pernapasan

Lumpuh
Tidak ada

Fleksi ekstremitas sedikit


Gerakan aktif
Lambat,
tidak
teratur, Baik, menangis kuat

(Respiratory rate)

menangis lemah

Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah kemampuan
sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi
seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan refleks-refleks primitif seperti
mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan
nilai apgar. (IDAI, 1998)2
1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan istimewa. 5
2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia) Asfiksia sedang. Pada pemeriksaan fisik akan
terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis,
refleks iritabilitas tidak ada. 5
3. Skor apgar 0-3 (Severe Asphyxia) Asfiksia berat . Pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang
pucat, refleks iritabilitas tidak ada.5
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor menjadi 7. Nilai
apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis,
bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis. 6
Pemeriksaan Penunjang

- Foto Polos dada


- Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah

VI. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari. Tindakan yang
dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.5
a. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4 pertanyaan:4
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah air ketuban jernih?
c. apakah bayi bernapas atau menangis?
d. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan
rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan
diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban tidak dari
salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi
berikut ini secara berurutan :
1. Langkah awal dalam stabilisasi :
(a) memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. 4
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat
perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan
tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar
panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas
penghangat. 4
(b) memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya4

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar
posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya
udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup
dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.4
(c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan4
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.16
Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan
melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun
bukti penelitian dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek
yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium. 4
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan
bayi dan ada/tidaknya mekonium. 4
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami
depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera
dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi
mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop dan
selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan
pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis. 4
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,
pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.4
(d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar4
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan
memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang
benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka
perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau
dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. 4
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan,
sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan
menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki
atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus
memberikan rangsangan taktil. 4

2. Ventilasi tekanan positif4


Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan bila
semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap
kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada kelainan
congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia diafragmatika harus
diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat
VTP dalam waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan
selang orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan ventilasi
tekanan positif adalah hernia diafragma.4
3. Kompresi dada4
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac
massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah
tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke
seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen,
sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektifsatu orang
menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi.Orang kedua juga bisa melakukan
pemantauan frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan
kompresi harus dilakukan secara bergantian.4
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar. 4
4. Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander) 4
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan
dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna
kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan
untuk melanjutkan ke langkah berikutnya. 4

b. Pemberian obat-obatan
(1) Epinefrin
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak
boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan meningkatkan

beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB
larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau melalui selang
endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila frekuensi jantung tidak
meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal. 4
(2) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir yang
dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi,
hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat,
perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai
menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan dapat berupa larutan kristaloid
isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan darah O negatif jika diduga
kehilangan darah banyak. 4
(3) Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir yang
mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau
4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat dengan konsetrasi
8,4 % maka diencerkan dengan aquabides. Pemberian secara intra vena dengan kecepatan
tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit. 4
(4) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi depresi
pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik dalam waktu 4 jam
sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat dan stabil. Jangan
diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai sebagai pecandu obat narkotika, sebab
akan menyebabkan gejala putus obat pada sebagian bayi. Cara pemberian intravena atau
melalui selang endotrakeal. Bila perfusi baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau
subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia
dalam 2 konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1 mg/ml. 4

VII. PENCEGAHAN

Pencegahan secara Umum


Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau
meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu
hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari.
Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja
karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti
kemiskinan, pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk
itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.4
Pencegahan saat persalinan
Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah penting, juga kerja
sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak.7
Yang harus diperhatikan:
- Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta pemberian pituitarin
dalam dosis tinggi.7
- Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan O2 dan darah segar.7
- Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat dan jangan menunggu lama pada kala
II. 7

VIII. KOMPLIKASI
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan organ.
Sistem
Sistem saraf pusat

Pengaruh
Ensefalopati
hipoksik-iskemik,
infark,
perdarahan intrakranial, kejang-kejang, edema
otak, hipotonia, hipertonia

Kardiovaskular

Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek,

bising jantung,
hipotensi

insufisiensi

trikuspidalis,

Pulmonal

Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru,


sindrom kegawatan pernapasan

Ginjal

Nekrosis tubular akut atau korteks

Adrenal

Perdarahan adrenal

Saluran cerna

Perforasi, ulserasi, nekrosis

Metabolik

Sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,


hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria

Kulit

Nekrosis lemak subkutan

Hematologi

Koagulasi intravaskular tersebar

IX. PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi metabolik dan
kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati, pada umur kehamilan bayi
(hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksikiskemik.8
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi
yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan kemungkinannya menderita
cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang.7

DAFTAR PUSTAKA
1. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain Injury :
Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition. 2012

2. Desfauza, Evi. Faktor faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia Neonatorum Pada
bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan. 2007. Medan :Universitas Sumatera
Utara.
3. Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. 2008.
Jakarta : Salemba Medika.
4. Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan penatalaksanaan Asfiksia
Neonatorum.
5. Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info Medika Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI.
6. Utomo, Martono Tri. Asfiksia Neonatorum. Cited on : December 28 th. 2011. Updated on :
2006. Available on http://www.pediatrik.com
7. Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, Sp.OG. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.
8. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1. Jakarta : EGC.

9. Aminullah, A. 2005. Ilmu Kebidanan, YBPSB, Jakarta.


10. Depkes RI. 2002. Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar Pelayanan Kesehatan
Neonatal Esensial, Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi