Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovasculer disease) merupakan
gangguan neurologi yang sering terjadi pada orang dewasa. Penyakit
serebrovaskuler mencakup semua proses patologi yang mengenai pembuluh
darah otak. Cerebrovasculer accident atau yang lebih dikenal dengan istilah
stroke merupakan salah satu bentuk gangguan pada sistem neurologi yang
sering dijumpai.
Menurut Hudak dan Gallo (1996) stroke adalah defisit neurologi yang
mempunyai awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari
cerebrovasculer disease (CVD). Tucker (1998) mendefinisikan stroke sebagai
awitan defisit neurologis yang berhubungan dengan penurunan aliran darah
serebral yang disebabkan oleh oklusi dan stenosis pembuluh darah karena
embolisme, trombosis atau hemorhagi yang mengakibatkan iskemik otak.
Senada dengan pengertian diatas, Harsono (1999) memakai istilah
Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO) atau dikenal sebagai CVA
(Cerebrovascular Accident) dengan mendefinisikannya sebagai gangguan
fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang
dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat
(dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah
yang terganggu. Ahli lain mengemukakan bahwa stroke adalah kehilangan
fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak
(Brunner dan Suddarth, 2001).
2
Lebih lanjut Harsono (1999) mengemukakan bahwa gangguan
peredaran darah otak atau stroke ini dibagi menjadi stroke karena perdarahan
(stroke hemorhagi) dan stroke bukan karena perdarahan (stroke non
hemorhagi).
Satyanegara (1998) menjelaskan bahwa stroke tipe non hemoragik
merupakan penyakit yang mendominasi kelompok usia menengah dan dewasa
tua yang kebanyakan berkaitan erat dengan kejadian arterosklerosis
(trombosis) dan penyakit jantung (emboli) yang dicetuskan adanya faktor
predisposisi hipertensi. Menurut Lumbantobing (1994) stroke non hemoragik
ini terjadi karena aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian daerah di
otak sehingga terjadi iskemik.
Berdasarkan
perjalanan
klinisnya,
ada
beberapa
istilah
yang
dikemukakan oleh Satyanegara (1998) dalam stroke tipe ini yaitu Transient
Ischemic Attack yang merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode
serangan sesaat dari suatu disfungsi serebral lokal akibat gangguan vaskuler,
dengan lama serangan sekitar 2-15 menit sampai paling lama 24 jam. Bila
tanda dan gejala tersebut berlangsung lebih lama dari 24 jam dan kemudian
pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga minggu) disebut sebagai
Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND).
Gejala gangguan neurologis yang muncul makin lama makin
memberat. Hal ini disebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat
yang disebut juga sebagai progressing stroke atau stroke in Evolution.
3
Sebaliknya lesi-lesi yang stabil selama periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya
progresivitas lanjut disebut complete stroke (Satyanegara, 1998).
Sedangkan pada stroke hemoragik dijelaskan oleh Lumbantobing
(1994) karena adanya dinding pembuluh darah yang robek. Perdarahan yang
terjadi dapat meninggikan tekanan di rongga otak dan menyebabkan iskemia
di daerah lain yang tidak terlibat perdarahan.
B. Penyebab
Menurut Brunner dan Suddarth (2001) stroke biasanya diakibatkan dari
salah satu dari empat kejadian, yaitu:
1. Trombosis serebri (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau
leher).
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain).
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke otak).
4. Hemoragik
serebral
(pecahnya
pembuluh
darah
serebral
dengan
4
trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara
sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului
awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari (Brunner dan Suddarth,
1995). Mancall (cit. Price dan Wilson, 1995) menambahkan bahwa trombosis
serebri merupakan penyakit orangtua. Usia yang paling sering terserang oleh
penyakit ini berkisar antara 60 sampai 69 tahun.
Sedangkan pada embolisme serebral terjadi karena adanya abnormalitas
patologik pada jantung kiri. Seperti endokarditis infektif penyakit jantung
rematik, dan infark miokard serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal
emboli. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabangcabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Iskemia serebral terutama karena
konstriksi ateroma yang menyuplai darah ke otak manifestasi paling umum
adalah Transient Ischemic Attack (Brunner dan Suddarth, 2001). Satyanegara
(1998) menambahkan bahwa stroke akibat emboli serebri biasanya
mempunyai onset yang tiba-tiba dan cepat tanpa adanya tanda-tanda
peringatan atau peringatan sama sekali klien tiba-tiba terjatuh kolaps dilantai
dan lumpuh.
Selain beberapa faktor diatas, menurut Harsono (1999) ada beberapa
faktor risiko yang ditemui pada stroke yaitu :
1
menyempit maka aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel otak akan
mengalami kematian.
b. Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak
yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah tadi kemudian menganggu
kelancaran aliran darah ke otak, yang pada akhirnya akan
menyebabkan infark sel-sel otak.
c. Penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke dikemudian
hari seperti penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan
infark otot jantung dan gangguan irama jantung. Faktor risiko ini pada
umumnya akan menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke
otak karena jantung melepas gumpalan atau sel-sel atau jaringan yang
telah mati ke aliran darah.
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
6
(High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit jantung koroner dan penyakit jantung seperti ini merupakan
faktor risiko stroke.
b. Obesitas atau kegemukan
c. Merokok
Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen yang akan
mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan
peningkatan viskositas darah.
d. Herediter
Lewin et.all (2000) mengemukakan bahwa orang yang mempunyai
keluarga dengan riwayat stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA)
juga dipertimbangkan mempunyai risiko tinggi terkena stroke.
e. Umur
Insiden stroke meningkat dengan umur yang sampai 75 tahun.
C. Patofisiologi
Dalam kehidupan sehari-hari otak membutuhkan suplai darah yang
konstan dimana dalam hal ini semua perubahan-perubahan terkanan perfusi
dari sistem sirkulasi sentral dipelihara oleh suatu fenomena autoregulasi. Hal
ini diperankan oleh kontraksi otot polos arteri dan arteriol sesuai dengan
tekanan luminalnya. Mekanisme secara terperinci (baik melalui distensi
mekanik atau reflek neurogenik) masih belum diketahui dengan jelas
(Satyanegara, 1999). Hal senada dikemukakan oleh Lewis dkk (2000) yang
menyebutkan bahwa aliran darah ke otak harus dipertahankan 750 sampai
8
emboli serebri disebabkan karena suatu embolus yang terlepas dari dindingdinding arteri yang sklerotik dan berulserasi atau gumpalan trombosit karena
fibrilasi atrium. Gumpalan kuman karena endokarditis bakterialis ketika
embolus yang mengikuti sirkulasi sampai pada sebuah arteri di serebri yang
terlalu sempit dilalui sehingga tersangkut kemudian berhenti di area ini dan
membendung aliran darah (Lewis dkk, 2000).
Terjadinya penyumbatan atau gangguan pembuluh darah in akan
menyebabkan suplai darah ke bagian tertentu dari otak berkurang atau terhenti
sama sekali dan lesi yang terjadi dinamakan infark iskemik dan infark
hemoragik. Adanya lesi pada hemisfer otak ini akan menimbulkan manifestasi
defisist neurologis (Brunner dan Suddarth, 2000).
D.
Penyempitan lumen
Thrombo emboli
Terbawa aliran darah sampai ke
otak
Penyumbatan pembuluh darah
serebral
Penurunan suplai darah
iskemik
MK. Perubahan
perfusi jaringan
serebral
infark
Lesi kortek piramid
MK.
Kerusakan
komunikasi
verbal
N. vagus
N. G losopharing
Sulit menelan
Intake nutrisi kurang
MK.
Menelan
Kerusakan
Kelumpuhan
kontralateral
MK. Kerusakan
mobilitas fisik
imobilitas
MK. Kurang
perawatan diri
Dampak masalah
fisik
Kulit : kerusakan
integritas
Muskuloskeletal :
kontraktur
Gastrointestinal :
penurunan peristaltik
10
F. Fokus Pengkajian
Menurut Doenges, dkk (1999) fokus pengkajian pada klien dengan
stroke antara lain :
1. Aktivitas atau Istirahat
Gejala
Tanda
2. Sirkulasi
Tanda
3. Integritas Ego
Gejala
Tanda
4. Eliminasi
Gejala
Tanda
6. Neurosensori
11
Gejala
Tanda
tingkah
laku
Ekstremitas:
(seperti
letargi,
kelemahan
atau
apatis,
paralisis
Tanda
8. Interaksi sosial
Tanda
9. Pernafasan
Gejala
12
Tanda
G. Fokus Intervensi
Fokus intervensi yang dapat diterapkan pada kasus stroke non
hemorhagi menurut Doenges et.all (2000) adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran
darah sekunder terhadap cedera serebrovaskuler
a. Batasan karakteristik
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, defisit bahasa
sensori, intelektual dan emosi, perubahan tanda-tanda vital.
b. Kriteria evaluasi
Klien akan memperlihatkan tanda-tanda adanya perbaikan jaringan
serebral dengan kriteria hasil:
1) Mempertahankan tingkat kesadaran atau kesadaran membaik,
fungsi kognitif dan sensori membaik.
2) Tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan
Tekanan Intra Kranial.
3) Menunjukkan tidak ada kekambuhan defisit atau kelanjutan
deteriorasi.
c. Intervensi :
1) Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab penurunan
perfusi serebral dan potensial peningkatan Tekanan Intra Kranial.
2) Pantau dan catat status neurologis sesering mungkin dan
bandingkan dengan keadaan normal.
3) Letakkan kepala pada posisi agak ditinggikan (15o-30o). Hindari
mengubah posisi dengan cepat.
4) Pantau tanda-tanda vital.
5) Perhatikan hal berikut :
a) Muntah.
b) Sakit kepala meningkat.
13
: bantuan total.
14
3) Lakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas.
4) Inspeksi kulit terutama daerah-daerah yang menonjol secara
teratur.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral: kehilangan tonus atau kontrol otot fasia.
a. Batasan karaketristik
Kerusakan artikulasi, tidak dapat bicara, ketidakmampuan menemukan
dan menyebutkan kata-kata, ketidakmampuan memahami bahasa
tertulis atau ucapan.
b. Kriteria evaluasi
Mampu melakukan komunikasi verbal dengan kriteria hasil.
1) Mengindikasikan pemahaman komunikasi.
2) Membuat
metode
komunikasi
dimana
kebutuhan
dapat
diekspresikan.
3) Menggunakan sumber-sumber dengan tepat.
c. Intervensi :
1) Kaji tipe atau derajat disfungsi.
2) Bedakan antara afasia dan disartria.
3) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik
4) Mintalah klien untuk mengikuti perintah sederhana.
5) Mintalah klien untuk mengucapkan suara sederhana seperti pus.
6) Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat.
15
7) Anjurkan keluarga terdekat mempertahankan usahanya untuk
berkomunikasi dengan klien.
4. Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi
sekunder terhadap stroke dan stres psikologis.
a. Batasan karakteristik
Disorientasi, agnosia, konsentrasi buruk.
b. Kriteria evaluasi
Memperlihatkan perbaikan persepsi sensori dengan kriteria hasil:
1) Memulai atau mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi
perseptual.
2) Mengakui perubahan dalam kemampuan persepsi sensori.
c. Intervensi
1) Lihat kembali proses patofisiologis kondisi individual.
2) Evaluasi adanya gangguan penglihatan, catat adanya penurunan
lapang pandang, perubahan ketajaman, adanya diplopia.
3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan
4) Hilangkan kebisingan/ stimulasi eksternal yang berlebihan dan
sesuaikan dengan kebutuhan.
5. Kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
a. Batasan karakteristik
Teramati adanya kesukaran dalam menelan, stasis makanan dalam
rongga mulut, batuk tersedak
b. Kriteria evaluasi
16
Klien akan melaporkan adanya peningkatan kemampuan menelan,
dengan kriteria hasil:
1) Tidak ada tanda dan gejala aspirasi.
2) Mampu mentoleransi makanan dan cairan tanpa tersedak.
c. Intervensi
1) Tetapkan klien terhadap kerusakan menelan atau memastikan.
2) Tempatkan klien duduk atau kepala agak ditinggikan saat makan
dan 30 menit setelahnya.
3) Hindari mulut yang terlalu penuh karena hal ini dapat menurunkan
keefektifan menelan.
4) Berikan makan dengan lembut dan pastikan gigitan sebelumnya
telah ditelan.
6. Kurang perawatan diri: mandi, higiene berhubungan dengan penurunan
kekuatan dan ketahanan otot.
a. Batasan karaketristik
Kerusakan kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari,
ketidakmampuan
memandikan
bagian
tubuh,
ketidakmampuan
17
2) Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan
sendiri.
c. Intervensi :
1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk mealkuakn
kebutuhan sehari-hari.
2) Berikan bantuan sesuai kebutuhan.
3) Letakkan sesuatu yang dibutuhkan klien pada sisi yang tidak sakit.
4) Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
7. Harga diri rendah berhubungan dalam perubahan biofisik, psikologis dan
perseptual kognitif.
a. Batasan karakteristik
Perasaan negatif tentang tubuh, tidak menyentuh atau melihat pada
bagian yang sakit
b. Kriteria evaluasi
Peningkatan harga diri dan bertambahnya rasa percaya diri dengan
kriteria hasil:
1) Bicara atau komunikasi dengan orang terdekat.
2) Mengungkapkan penerimaan diri sendiri dalam sehari siruasi
krisis.
3) Mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri
tentang cara yang akurat tanpa menimbulkan harga diri negatif.
c. Intervensi :
1) Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat
ketidakmampuan.
18
2) Identifikasi arti kehilangan atau disfungsi atau perubahan pada
klien.
3) Beri semangat klien untuk mengungkapkan perasaan.
4) Berikan dukungan terahdap perilaku atau usaha seperti peningkatan
minat atau partisipasi klien dalam kegiatan rehabilitasi.
5) Rujuk pada evaluasi neuropsikologis sesuai kebutuhan.
8. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai rencana perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
a. Batasan karakteristik
Meminta informasi, pernyataan kesalahan informasi.
b. Kriteria evaluasi :
Peningkatan pengetahuan terhadap kondisi dan rencana perawatan
dengan kriteria hasil :
1) Berpartisipasi dalam proses belajar.
2) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan
terapeutik.
3) Merubah gaya hidup yang diperlukan.
c. Intervensi :
1) Evaluasi tipe atau derajat dari gangguan persepsi sensori.
2) Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan keadaan yang ada
pada individu.
3) Tinjau ulang atau pertegas kembali pengobatan yang diberikan.
4) Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang.
19
5) Identifikasi
faktor-faktor
risiko
secara
individual
(seperti