Vous êtes sur la page 1sur 25

LAPORAN KASUS

Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Agama
No. RM
Tanggal masuk

: Tn. S
: 80 tahun
: Laki-laki
: Pensiunan PNS
: Morowali Mandar
: Islam
: 546708
: 25 jamuari 2015

I. SUBJEKTIF
a. Anamnesis
b. Keluhan Utama
c. Anamnesis Terpimpin
Demam dialami sejak

: Autoanamnesis
: Demam
:
1 minggu sebelum masuk RS, demam dirasakan

meninggi pada sore menjelang malam hari. Demam disertai menggigil,


dan sakit kepala. Ada batuk sejak hari yang sama disertai dahak berwarna

putih.
Tidak ada mimisan dan tidak ada perdarahan gusi.
Tidak ada sesak dan nyeri dada.
Lemah badan, terdapat penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat

badan.
Tidak ada mual, ada muntah
Buang air besar belum selama 3 hari
Buang air kecil kesan lancar, kesan normal, warna kuning jernih
Penyakit DM disangkal
Penyakit hipertensi disangkal

II. Status Present


a. Status Generalisasi : Sakit sedang, Gizi kurang, Compos Mentis
b. Tinggi badan
: 178 cm
c. Berat Badan
: 50 kg
IMT = BB/TB2
= 50/1,78 2
= 15.82 kg/m2 (gizi kurang)

Status Vitalis :
TD
N
P
S

: 110/70 mmHg
: 80 x/menit
: 20 x/menit
: 38.2C, axilla

III.Pemeriksaan Fisis
a. Kepala :
Ekspresi
Simetris muka
Deformitas
Rambut
b. Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus
Gerakan
Kelopak Mata
Konjungtiva
Sklera
Kornea
Pupil

: biasa
: simetris kiri = kanan
: (-)
: warna putih dan hitam, sukar dicabut
: (-)
: ke segala arah (normal)
: edema (-), hiperemis (-), ptosis (-)
: anemis (-)
: ikterus (-)
: jernih
: bulat isokor, uk 2,5 ODS

c. Telinga :
Pendengaran
: menurun
Tophi
: (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
d. Hidung :
Perdarahan
: (-)
Sekret
: (-)
e. Mulut :
Bibir
: pucat (-), kering (+)
Lidah
: kotor (+), tremor (+),tepi hiperemis
Tonsil
: T1 T1, hiperemis (-)
Faring
: hiperemis (-)
Gigi geligi
: caries dentis (+)
Gusi
: hiperemis (-)
f. Leher :
Kelenjar getah bening
: tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok
: tidak ada pembesaran
DVS
: R+1cmH2O
Pembuluh darah
: tidak ada kelainan
Kaku kuduk
: (-)
2

Tumor
g. Dada :
Inspeksi :
Bentuk
Pembuluh darah
Sela iga
h. Paru :
Palpasi :
Fremitus raba
Nyeri tekan
Massa tumor
Perkusi :
Paru kiri
Paru kanan
Batas paru-hepar
Batas paru belakang kanan
Batas paru belakang kiri
Auskultasi :
Bunyi pernapasan
Bunyi tambahan
i. Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kanan atas
Kiri atas
Kanan bawah
Kiri bawah
Auskultasi
j. Perut :
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: (-)
: simetris kiri = kanan, normochest
: bendungan vena sentral (-)
: dalam batas normal
: kesan normal
: (-)
: (-)
: sonor
: sonor.
: ICS V-VI
: setinggi CV Th. VIII
: setinggi CV Th. IX sinistra
: Vesikuler
: Rh -/-, Wh -/: ictus cordis tidak tampak
: ictus cordis tidak teraba
: pekak relatif
: ICS II linea parasternalis dexter
: ICS II linea midclavicularis sinistra
: ICS V linea parasternalis sinistra
: ICS V linea midclavicularis sinistra
: bunyi jantung I/II murni regular, bunyi
tambahan (-)
: datar, ikut gerak napas, caput medusa (-)
: Peristaltik (+), kesan meningkat
: Nyeri tekan (-), massa tumor (-),
Hepar dan Lien tidak teraba pembesaran
: timpani

Perkusi
k. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan
l. Anus dan Rektum :
Tidak dilakukan pemeriksaan
m. Punggung :
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)

Nyeri ketok
Auskultasi
Gerakan
n. Ekstremitas :
Edema
: -/o. Laboratorium :

Tanggal
25/2/2015

: (-)
: BP: vesikuler, ronkhi -/- wheezing -/: dalam batas normal

Jenis Pemeriksaan
Hematologi rutin

GOT
GPT
IgM Salmonella

SGOT
SGPT
IgM

(TF

hasil
32
5.25
8,3
25
254
87.70
4.2
5.1
1.3
0.68
35
1.60

Nilai rujukan
4.00-10.00
4.00-6.00
12.0-16.0
37.0-48.0
150-400
52.0-75.0
20.0-40.0
2.00-8.00
1.00-3.00
0.00-0.10
10-50
L(<1.3);P(<1.

Satuan
10^3/uL
10^6/uL
gr/dL
%
10^3/uL
10^3/uL
%
10^3/uL
10^3/uL
10^3/uL
mg/Dl
mg/dL

29
18
+8

1)
<38
<41
-

U/L
U/L
---

---

Salmonella

semikuantitatif)
Dengue NS1

IV. ASSESSMENT
Diagnosa
1. Demam tifoid
Diagnosis banding
1. Demam dengue
2. Malaria

Item
WBC
RBC
HGB
HCT
PLT
NEUT
LYMPH
MONO
EO
BASO
Ureum
Kreatinin

:
:

V. PLANNING

Pengobatan:
Tirah Baring
IVFD NaCL 0.9%
Ceftriakxon 2 gr/24 jam/IV, drips dalam NaCl 0,9% 100 cc
Farmadol 1gr/8jam/ IV

Rencana Pemeriksaan :
Pantau Trombosit

VI.

PROGNOSIS

Quad ad vitam

: Dubia et Bonam

Quad ad sanationam

: Dubia et Bonam

FOLLOW UP
TANGGAL
25/01/2015
T : 110/70 mmHg
N : 80 x/i
P : 20 x/i
S : 38,2 C
Darah rutin :
WBC : 32 x 103/uL
RBC : 5.25 x 106/uL
HGB : 8,3 gr/dL
HCT : 25 %
PLT : 254 x 103 / uL
SGOT : 29 u/L
SGPT : 18 u/L
Ureum : 35 mg/dL
Kreatinin : 1,60
mg/dL
IgM salmonella +8
Dengue NS1 (-)

PERJALANAN PENYAKIT
S:

Demam (+)
Sakit kepala (+)
Batuk (-), sesak (-)
Mual (-), muntah (+)
Lemah badan (+)
Nafsu makan menurun
BAB : belum selama 3

hari
BAK : kesan lancar
O:
SS / GK / CM
Anemis (-), ikterus (-),
MT (-), NT (-), DVS R+1
cmH2O
BP : vesikuler,
BT : Rh -/- , Wh -/ BJ : I/II murni regular
BT : murmur (-)
Peristaltik (+) kesan

INSTRUKSI DOKTER
P:
Tirah baring
Diet makanan lunak
IVFD Nacl 0.9%
Ceftriaxone 2 gr/
24jam /drips (dalam
Nacl 0.9% 100ml)
Ondansentron
4mg/8jam/intravena
Farmadol
1gr/8jam/intravena
Plan :
Pantau Trombosit

normal
Hepar dan

lien

tidak

teraba
Ext : Edema -/A:

26/01/2015
T : 120/70 mmHg
N : 86 x/i
P : 24 x/i
S : 36,5C

Demam typhoid
Malaria
S:

Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk (-), sesak (-)
Mual (-), muntah(+)
Lemah badan (+)
Nafsu makan menurun
BAB : belum selama 4

hari
BAK : kesan lancar

P:

Tirah baring
Diet makanan lunak
IVFD Nacl 0.9%
Ceftriaxone 2 gr/
24jam /drips (dalam

Nacl 0.9% 100ml)


Ondansentron
4mg/8jam/intravena

O:
SS / GK / CM
Anemis (+), ikterus (-),
MT (-), NT (-), DVS R+1

Plan :
Pantau Trombosit

cmH2O
BP : vesikuler,
BT : Rh -/- , Wh -/ BJ : I/II murni regular
BT : murmur (-)
Peristaltik (+) kesan
normal, hepar dan lien
tidak teraba
Ext : Edema -/A:

27/01/2015

Demam typhoid
Malaria
S:

P:

T : 120/70 mmHg
N : 84 x/I
P : 23 x/i
S : 36,6 C

Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk (-), sesak (-)
Mual (-), muntah(-)
Lemah badan (+)
Nafsu makan ada
BAB : kuning,biasa
BAK : kesan lancar

Tirah baring
IVFD Nacl 0.9%
Ceftriaxone 2 gr/
24jam /drips (dalam
Nacl 0.9% 100ml)
Farmadol
1gr/8jam/intravena
(jika demam)

O:
SS / GK / CM
Anemis (-), ikterus (-),
MT (-), NT (-), DVS R+1
cmH2O
BP : vesikuler,
BT : Rh -/- , Wh -/ BJ : I/II murni regular
BT : murmur (-)
Peristaltik (+) kesan
normal, hepar dan lien
tidak teraba
Ext : Edema -/A:
Demam typhoid
Malaria

28/1/2015
T : 110/70
N : 90 x/i
P : 22 x/I
S : 36,5 C

S:

P:
Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk (-), sesak (-)
Mual (-), muntah(-)
Lemah badan (-)
Nafsu makan ada
BAB : kuning,biasa
BAK : kesan lancar

Tirah baring
Paracetamol 500 mg
3x1 (bila suhu >37,5
o

C)

O:
SS / GK / CM
Anemis (-), ikterus (-),
MT (-), NT (-), DVS R+1
cmH2O
BP : vesikuler,
BT : Rh -/- , Wh -/ BJ : I/II murni regular
BT : murmur (-)
Peristaltik (+) kesan
normal, hepar dan lien
tidak teraba
Ext : Edema -/A:
Demam typhoid
Malaria

29/1/2015
T : 110/70
N : 90 x/i
P : 22 x/I
S : 36,5 C

S:

P:
Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk (-), sesak (-)
Mual (-), muntah(-)
BAB : kuning,biasa
BAK : kesan lancar

Boleh pulang

O:
SS / GK / CM
Anemis (-), ikterus (-),
MT (-), NT (-), DVS R+1
cmH2O
BP : vesikuler,
BT : Rh -/- , Wh -/ BJ : I/II murni regular
BT : murmur (-)
Peristaltik (+) kesan

normal, hepar dan lien


tidak teraba
Ext : Edema -/A:
Demam typhoid
Malaria

RESUME
Seorang Laki-laki 80 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan febris. Demam
dialami 1 minggu SMRS, bersifat intermitten, demam meninggi pada saat sore
hari menjelang malam hari, menggigil (+). Cefalgia, dirasakan sejak hari yang sama.
Epistaksis (-), perdarahan gusi (-). Nausea (-), vomiting (+), nyeri epigastrium (-).
Lemah badan (+), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (-). Buang air
besar belum selama 3 hari. Buang air kecil kesan lancar, volume kesan normal ,
warna kuning jernih.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital yakni tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 80x per menit, pernapasan 20x per menit, suhu axilla 38.2oC. pada
pemeriksaan lidah didapatkan lidah kotor (+), tremor. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan IgM Salmonella +8.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah Demam typhoid.
DISKUSI

Pasien masuk dengan keluhan utama demam. Banyak penyakit yang dapat
menimbulkan demam, antara lain demam tifoid, demam berdarah, malaria,
tuberkulosis, dan masih banyak lagi. Pada kasus ini, demam disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengalami keluhan demam
yang dialami sejak 1 minggu SMRS, di mana demam meningkat saat sore hari
menjelang malam hari, dan ada menggigil. Ada sakit kepala disaat hari yang sama.
Ada muntah.Tidak ada perdarahan spontan. Lemah badan, ada penurunan nafsu
makan, tidak ada penurunan berat badan. Buang air besar belum sejak 3 hari dan air
kecil kesan normal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang, gizi kurang,
composmentis. Tekanan darah = 110/70 mmHg, nadi = 80 x/menit, regular,
pernapasan = 20 x/menit, vesikuler, suhu axilla = 38.20C. Hasil pemeriksaan
laboratorium: WBC = 32 x 103/uL, RBC = 5.25 x 106/uL, HGB = 8,3 g/dL, HCT
25%, NEUT 87,70 x 103/UL, ureum = 35 mg/dL, kreatinin = 1,60 mg/dL, GOT = 29
U/L, GPT = 18 U/L, gr/dL, IgM Salomonella = +8, dengue NS1 = negatif.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui kultur darah namun perbandingan kepekan
antara typhidot dan metode kultur adalah > 93%, sangat bermanfat untuk diagnosis
cepat untuk menemukan bakteri Salmonella typhi. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. Diagnose demam tifoid dapat ditegakkan pada pasien
apabila terdapat gejala klinis yang lengkap atau hampir lengkap seperti adanya
demam, sakit kepala, kelemahan, mual/muntah, nyeri abdomen, anoreksia, gangguan
gastrointestinal, insomnia sampai penurunan kesadaran serta dari pemeriksaan fisis
hepatomegali, splenomegali, bradikardi relatif, serta didukung oleh hasil laboratorium
yang menunjukkan tifoid berupa Tes Widal.1
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien didapatkan hasil
IgM Salmonella +8 terdapat hasil positif untuk pemeriksaan Tes Widal yang
menunjukkan adanya reaksi antigen dengan aglutinin yang merupakan antibodi
spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia. 1

10

Pasien diberikan terapi farmakologi berupa IVFD RL 28 tpm, ceftriaxone


injeksi 2 gram/24 jam/hari, ondansentron 4mg/8jam/intravena, farmadol injeksi
1gr/8jam/hari.
Ceftriaxone umumnya aktif terhadap kuman gram positif dan negatif termasuk
Salmonella typhi.5 Efek samping yang paling sering adalah rasa hangat di sekitar
tempat injeksi, sakit kepala, berkeringat, dan diare. 6 Ceftriaxone memiliki waktu
paruh berkisar 6 hingga 8 jam di dalam tubuh dan sangat cocok untuk pemberian
dosis dalam sehari. Selain itu, Ceftriaxone dapat mengurangi waktu terapi hingga 5
hari di rumah sakit sehingga lebih menghemat biaya perawatan. Penggunaan
Kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang belakang. Dengan menggunakan
Ceftriaxone, pencegahan relaps setelah dinyatakan sembuh terhadap pasien lebih baik
daripada Kloramfenikol.3
farmadol diberikan sebagai analgesik dan antipiretik yaitu dapat menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang serta menurunkan suhu tubuh.6

11

TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.4

II.

EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 % dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 % per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1
Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Didaerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadahi serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Case fatality rate (CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah

12

tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
III.

ETIOLOGI
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara 2 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C
dengan pH antara 6 8.1

Gambar 1. Salmonella typhi4

Gambar 1. Salmonella typhi (dikutip dari kepustakaan 4)

IV.

PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam tubuh

manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan yang terkontaminasi kuman
Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis
yang terkontaminasi dengan kuman Salmonella typhi langsung bersentuhan dengan
makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari kotoran, dimana kotoran individu
yang mempunyai basil Salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang
digunakan sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak.
Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)

13

usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus toracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah sehingga mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi pelepasan
berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.1
Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.1
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan
dan gangguan organ lainnya.1

14

V.

GAMBARAN KLINIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi

yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis


penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.1
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan
yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah
serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang
Indonesia.1

VI.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis.
15

Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT
dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur bakteri.
Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik.
Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.1
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibody yang disebu dengan agglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah dilaboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada
tubuh kuman, Aglutinin H pada flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai
kuman.1
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H yang
digunakan untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya maka semakin
besar kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin
H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

16

bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena
itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan
antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi
anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium.1
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda diberbagai
laboratorium setempat.1
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella
typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan
memberikan hasil negatif.1
Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis
sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9
berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu
diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi

17

IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi
lampau.1
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi :
tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen B yang
mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi
monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini,
satu tetes serum (25 L) dicampurkan kedalam tabung dengan satu tetes (25 L)
reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 L) ditambahkan kedalam tabung. Hal
tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian
diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit
dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna
inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut :
Skor
<2
3

Interpretasi
Negatif
Borderline

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif


Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian apabila masih meragukan lakukan

4-5
>6

Positif
Positif

pengulangan beberapa hari kemudian


Menunjukkan infeksi tifoid aktif
Indikasi kuat infeksi tifoid

Tabel 2. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika
diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa
serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah
pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya,
bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan

18

reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan
warna biru pada larutan.1
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam strip
nitroselulosa.1
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6% dan
efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk
(2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama
dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara berlebihan
sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada
sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M
menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan
lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.1
e. Uji IgM Dipstik
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi
pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip

yang

mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan antigen IgM


19

(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati
dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun
pada suhu 4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam
pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara

semi

kuantitatif,

diberikan

penilaian

terhadap

garis

uji

dengan

membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan


baik.1
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji
ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan
sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah
dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi
hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya
gejala.1
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan antibiotik, volume
darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu
pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.1

VII.

PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai berikut
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

20

penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian
antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan
dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d;
iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini
yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang
berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3

Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut:

21

Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1


Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1

22

VIII.

KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
Komplikasi intestinal
:
perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah
: anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru
: pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier
: hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal
: glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang
: osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1

IX.

PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat, pengobatan
terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis buruk.

DAFTAR PUSTAKA

23

Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna

Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.


Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta,
2006. Hal 139-141.

Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575. Bangladesh: 1993.

John

LB.

Typhoid

Fever.

Medscape.

2012.

Dapat

diakses

di

http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 13 februari


2014.
5

Siti

FS.

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.


Jakarta: 2006.
6

Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru.
Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.

The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection.


Maryland. 2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds.
Diakses 15 Februari 2014.

24

25

Vous aimerez peut-être aussi