Vous êtes sur la page 1sur 21

Arbitrase

Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata Arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa
oramg arbiter.
2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase,
yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak;
4. Asa final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat
yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini
pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk
menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau
prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Berdasarkan pengertian arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui bahwa.
1. Arbitrase merupakan suatu perjanjian ;
2. Perjajian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa untuk
dilaksanakan di luar perdilan umum.
Dalam dunia bisnis,banya pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk memilih
arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau
yang dihadapi.Namundemikian,kadangkala pertimbangan mereka berbeda,baik ditinjau dari
segi teoritis maupun segi empiris atau kenyataan dilapangan.
DASAR HUKUM ARBITRASE
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa semua peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Demikian pula halnya
dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena
hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD
1945 tersebut.
B. Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG
yang menyatakan bahwa :
Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh
juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku
bagi orang Eropah. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi
Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata
yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat
kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan Penyelesaian perkara
diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap
diperbolehkan.
E. Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.
14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat

dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada
mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk
kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung
Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam
tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang
lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:
Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara
pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat
kedua belah pihak.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :
Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal
masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh
pemerintah dan pemilik modal.
G. UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara
dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal atau sebagai ratifikasi atas International
Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals
of Other States.
Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk
memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus
oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di
Washington.
H. Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention On the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards disingkat New York Convention (1958), yaitu
Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan
pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990

Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh
Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
J. UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan
peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan
kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG,
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase
saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
Cara penyelesaian Sengketa Bisnis Menurut Sudut Pandang
1. Dari sudut pandang pembuat keputusan
a. Adjudikatif
mekanisme penyelesaian yang ditandai dimana kewenangan pengambilan keputusan
pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para pihak.
b. Konsensual/Kompromi
cara penyelesaian sengketa secara kooperatif/kompromi untuk mencapai penyelesaian yang
bersifat win-win solution.
c. Quasi Adjudikatif
merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif.
2. Dari sudut pandang prosesnya
a. Litigasi
merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dengan menggunakan
pendekatan hukum.
b. non Litigasi
merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan
pendekatan hukum formal.
LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA

1. Pengadilan Umum
2. Pengadilan Niaga
3. Arbitrase
4. Penyelesaian Sengketa Alternatif, melalui mekanisme :
a. Negosiasi
b. Mediasi
c. Konsiliasi
d. Konsultasi
e. Penilaian Ahli
PENGADILAN UMUM
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :
1. Prosesnya sangat formal
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5. Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6. Persidangan bersifat terbuka
PENGADILAN NIAGA
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang
mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Prosesnya sangat formal
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)
5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
6. Proses persidangan bersifat terbuka
7. Waktu singkat.
referhttps://rismaeka.wordpress.com/2012/06/17/penyelesaian-sengket-bisnis-melaluiarbitrase-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa/ence

A. Sengketa Bisnis
Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton a commercial disputes is one which
arises during the course of the exchange or transaction process is central to market economy
Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti
adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek
permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu individu atau
kelompok kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan
karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja
sama bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari
terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai
alasan dna masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest
diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai
macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Secara rinci sengketa
bisnis. Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut :
1. Sengketa perniagaan
2. Sengketa perbankan
3. Sengketa Keuangan
4. Sengketa Penanaman Modal

5. Sengketa Perindustrian
6. Sengketa HKI
7. Sengketa Konsumen
8. Sengketa Kontrak
9. Sengketa pekerjaan
10. Sengketa perburuhan
11. Sengketa perusahaan
12. Sengketa hak
13. Sengketa property
14. Sengketa Pembangunan konstruksi
Banyak cara menyelesaikan suatu pertikaian diantaranya yaitu dengan Negosiasi, Mediasi, dan
Arbitrase. Ketiga cara penyelesaian ini bisa digunakan agar pertikaian dapat segera
teratasi.bermula dari penyelesaian dengan membicarakan baik baik diantara kedua pihak
yang bertikai, berlanjut bila pertikaian tidak dapat diselesaikan diantara mereka maka
dibutuhkan pihak ketiga yaitu sebagai mediasi, selanjutnya jika tidak dapat melalui mediasi
maka dibutuhkan pihak yang tegas untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika tidak
dapat diselesaikan juga maka membutuhkan badan hokum seperti pengadilan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, cara ini bisa disebut dengan Ligitasi. Secara keseluruhan cara
cara tersebut dapat digunakan sehingga pertikaian dapat terselesaikan

Pengertian, Tujuan, Subyek dan Obyek Hukum


Arbitrase adalah suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan, diselengarakan dan
diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan hakim swasta.
Apa arbitrase itu? jika dibandingkan dengan mediasi, maka arbitrase ini memberikan suatu putusan
berkenaan dengan hak-hak dari pada pihak. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Dewan Abritrase yang
bisa secara tunggal maupun terdiri dari beberapa arbitrator. Putusan mereka mengikat para pihak.
Prosedur yang dipakai diatur dalam WIPO Arbitration Rules. Para pihak dapat memilih sendiri apa
yang mereka kehendaki : seorang arbitrator tunggal atau beberapa arbitrator. Jika tidak terpilih
sendiri oleh para pihak, maka menurut ketentuan arbitrase WIPO, WIPO Arbitration Rules akan
diangkat seorang abritrator tunggal, kecuali apabila dari keadaan sekitar persoalan bersangkutan,
bahwa menurut pusat arbitrase ini perlu diangkat 3 orang arbitrator.
Undang-undang No. 30 tahun 1999 telah dengan tegas menyatakan dan menyebutkan macam-macam
perbedaan pendapat, perselisihan paham atau sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase,
yaitu hanya terhadap sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan dan terhadap hak-hak yang
menuntut hukum dan perundang-undangan yang berlaku berada dibawah kewenangan para pihak
untuk mengatur dan membantuknya. Ini berarti segala macam ketentuan hukum memaksa, yang
meskipun berada hukum perjanjian tidak dapat disamping oleh para pihak, dan diatur secara
tersendiri untuk diselesaikan melalui arbitrase. Dengan demikian maka sudah seharusnya dan
selayaknyalah jika putusan arbitrase yang telah dijatuhkan dan diputuskan yang secara prinsipil
bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa yang berlaku di Indonesia, termasuk ketertiban
umum.
Sedangkan pengertian arbitrase menurut Rv, arbitrase merukapan suatu bentuk peradilan yang
diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih
agar perselisihan mereka tersebut terselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan mereka angkat
sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan
yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah pihak untuk
melaksanakannya. Hakim-hakim tersebut dikenal juga dengan nama wasit (menurut Rv) atau artiber.
Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi kita bahwa arbiter merupakan suatu badan
peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan mengikat para pihak yang menginginkan
penyelesaian perselisihan mereka dilakukan lewat pranata abritrase ini. Dalam pihak ini para pikah
berhak dan berwenang untuk menentukan dan mengangkat sendiri para arbiter yang akan
menyelesaikan sengketa mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk
menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki.
Pasal 615 ayat (1)menguraikan : adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk
menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seseorang atau beberapa orang wasit.
Selanjutnya dalam ayat (3) pasal 615 Rv. Ditentukan : bahkan adalah diperkenankan mengikatkan
diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari,
kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.
Dari ketentuan Rv tersebut jelas bagi kita bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak
untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada orang atau beberapa arbiter, yang akan
memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang
dikehendaki oleh pada pihak yang bersengketa tersebut. Dan bahwa mereka berhak untuk melakukan
penunjukan itu setelah ataupun sebelum sengketa terbit. Penunjukan penyelesaian mereka lewat

arbitrasesebelum sengketa terbitdilakukan dengan pencantuman klausulaarbitrase dalam perjanjian


pokok mereka. Sedangkan penunjuk arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa
terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri.
Dalam klausula atau persetujan yang dibuat tersebut, para pihak harus dengan jelas-jelas
mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dan mereka
juga telah menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja yang mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan
menyelesaikan sengketa mereka, tata cara apa saja yang ditempuh, bagaimana capar (para) arbiter
menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan, serta
bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter tersebut.
Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Diluar Peradilan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang
baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok dapat
dilaksanakan arbitrase sebelum berlakunya undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah ketentuan
yang diatur dalam pasal 337 reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch
Reglemen, Staatsblad 1941;44) atau pasal 705 reglemen acara untuk derah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227). Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap
menjadi sumber dari berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pranatanya cukup lengkap dalam
ketentuan 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen acara Perdata (Reglement op de rechtsvordering,
staatsblad 1847;52) bagi seluruh ketentuan tersebut diatas, yaitu pasal 337 Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad1941;44 ), pasal 705 Reglemen Acara
Untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227), dan
pasal 615 sampai pasal 651 Reglemen acara perdata (Reglement op de rechtsvordering, staatsblad
187;52) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Arbitrase Menurut Ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999,
arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peredilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang
dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan oleh undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut :
1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian
2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk etrtulis
3. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar
peradilan umum
Arbitrase Sebagai Salah Satu Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa Tingkat Akhir
Telah kita kita ketahui bahwa menurut ketentuan pasal 6 ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 1999
adalah hal-hal usaha alterbatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai,
maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian
melalui lembaga arbitrase atau arbitrase Ad-Hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan
pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhit dan final bagi para pihak.
Kompetisi Absolut
Dalam hukum acara, kita mengenal adanya istilah kompetensi relatif dan kompetisi absolut. Kedua
istilah tersebut diatas berhubungan dengan masalah kewenangan dari pranata peradilan atau
peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para
pihak. Pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak peradilan
yang berwenang. Sedangkan kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan tersebut berhubungan
dengan lokasi atau letak peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa
yang terjadi.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 kita ketahui bahwa penyelesaian
perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase memiliki kompetensi absolut terhadap
penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui peradilan. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang
telah mencantumkan klausula arbitrase atau sebuah perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak
menghapuskan kewenangan dari peradilan (negeri) untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau
sengketa yang timbul dari perjanjian yang membuat kalusula arbitrase tersebut atau yang telah
timbul sebelum ditanda tangani perjanjian arbitrase oleh para pihak.

Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Perjanjian


Sebagai salah satu perjanjian, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa :
- Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau
- Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa
Syarat Subyektif
Jika kita telah kembali pada definisi yang diberikan, dimana dikatakan bahwa arbitrase adalah suatu
cara alternatif penyelesaian sengketa, maka dapat kita katakan bahwa sebagai perjanjian, arbitrase
melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mencari penyelesaian sengketa diluar
pengadilan.
Untuk memenuhi syarat subyektif, selain harus dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk
bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap
memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Undang-undang No. 30 Tahun 1999
menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak dibatasi untuk subyek hukum
menurut hukum perdata melainkan juga termasuk didalamnya subyek hukum publik. Namun satu hal
yang perlu dimasukan disini, tidaklah beratri arbitrase dapat mengadili segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase ini sifatnya
terbatas. Yang pasti relevansi dari kewenangan para pihak menjadi bagian yang sangat penting bagi
para pihak dalam perjanjian arbitrase.
Syarat Obyektif
Syarat objektif dari perjanjian arbitrase ini diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 1999
yang mana tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa tersebut, objek perjanjian arbitrase
atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan diluar pengadilan melalui lembaga
arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Yang dimaksud
dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.
Sifat Perjanjian Arbitrase Menurut Rv
Undang-undang mensyaratkan bahwa bagi setiap persetujuan arbitrase harus dilakukan secara
tertulis, baik notariil maupun dibawah tangan, serta ditanda tangani oleh para pihak. Dalam hal salah
satu atau kedua belah pihak tidak dapat membubuhkan tanda tangannya, maka persetujuan tersebut
harus dilakukan secara notariil. Klausula atau persetujuan arbitrase tersebut juga harus memuat
masalah yang menjadi sengketa, nama-nama dan tempat tinggal (kependudukan) para pihak, nama
dan tempat tinggal (para) arbiter, dan jumlah arbiter yang harus selalu ganjil. Jika hal-hal tersebut
tidak dipenuhi, maka persetujuan tersebut batal demi hukum (pasal 618 ayat (1), (2), dan (3) Rv).
Jenis Arbitrase
Yang dimaksud dengan arbitrase ialah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensi dan
kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara pihak yang
mengadakan perjanjian. Jenis arbitrase yang diakui dan memiliki validitas, diatur dan disebut dalam
peraturan dan berbagai konvensi.
Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek :
1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase)
2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)
Disebut juga dengan arbitrase Ad-Hoc atau Volunter Arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang
tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan
menyelesaikan satu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka arbitrase AdHoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian
sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara
pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian
sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan
penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditemukan oleh
undang-undang.

Sedikit berbeda dari arbitrase Ad-Hoc, arbitrase institusional, keberadaannya praktis dan bersifat
permanen, dan kkrenanya juga dikenal dengan nama permanent arbitral body. Arbitrase
institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan
sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara-negara maju terdapat
lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh kamar dagang dan industri
negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang telah dibakukan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukan diri pada aturanaturan main dari dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturanperaturan yang berlaku masing-masing untuk lembaga tersebut.
Proses Beracara Dalam Arbitrase Menurut Rv
Dalam arbitrase Ad-Hoc, proses beracara dalam arbitrase dapat ditentukan sendiri oleh para pihak
menurut ketentuan yang lazim berlaku, tau jika dikehendaki dapat diikuti prosesberacara pengadilan.
Sedangkan bagi arbitrase intitusional, proses beracara dalam arbitrase tersebut biasanya mengikuti
proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga arbitrase tersebut
Putusan Arbitrase Dan Pelaksanaannya Menurut Rv
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali dalam klausula atau
persetujuan arbitrase tersebut telah dibarikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutuskan
menurut kebijaksanaan (ex aequo et bonu) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus
menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusannya, yang disertai
alasan-alasan dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil
putusannya, tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani
oleh (para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan, hal ini harus
dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berjejuatan sama dengan dalam putusan yang
ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasak 632 jo pasal Rv)
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting, karena terhitung
empat belas hari sejak putusan dikeluarkan, putusan tersebut harus didaftarkan di kantor panitera
pengadilannegeri setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat (1)
Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi, jika telah memperoleh perintah dari ketua
pengadilan negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA pada bagian atas dari asli putusan
arbitrase tersebut. Selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA tersebut dapat dilaksanakan
menurut tata cara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv).
Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang mempunyai nilai
perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah dimungkinkan untuk banding kepada Mahkamah Agung.
Selanjutnya dalam pasal 15 undang-undang nomor 1/1950 tantang susunan, kekuasaan, dan jalan
pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok
perselisihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang dapat dimintakan banding kepada
Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut, putusan arbitrase dapat
dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun
peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah
memperjanjikan yang demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa
kemungkinan untuk meminta banding, seperta disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para pihak
dengan mencantumkan secara tegas kehendak ersebut dalam klausula atau persetujuan arbitrase
yang mereka buat tersebut dalam (pasal 641 ayat (1) Rv).
Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa merupakan hal yang bagi sebagian orang, kadang kala tahu dibicarakan namun
juga seringkali menjadi perdebatan yang hangat dan sengit. Dikatakan tabu, oleh karena secara
alamiah tidak ada seorangpun yang menghendaki terjadinya sengketa, apapun bentuk dan
macamnya. Walaupun demikian kenyataan menunjukkan bahwa sengketa, bagaimanapun orang
berusaha menghindarinya, pasti akan selalu muncul, meski dengan kadar keseriusan yang berbedabeda. Selanjutnya sengketa akan menjadi hangat dan sengit jika ternyata sengketa tersebut tak
kunjung memperoleh penyelesaian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam persengketaan tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa sejak dahulu kala, dan sudah menjadi prinsip dasar
bagi manusia bahwa mereka selalu menghendaki sesuatu yang serta damai dan tentram dalam hidup

mereka. Setiap sengketa atau perselisihan yang terjadi dalam anggota masyarakat pada umumnya
diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat bagi kepentingan bersama. Pengadilan sebagai salah
satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, boleh dikatakan akan selalu berusaha untuk
dihindari oleh banyak anggota masyarakat. Selain proses dan jangka waktu yang relatif lama dan
berlarut-larut, serta oknum-oknum yang cenderung mempersulit proses pencarian keadilan,
peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat. Dunia usaha seringkali juga, secara langsung atau tidak langsung, merasa terpukul oleh
sistem dan cara kerja peradilan yang dianggap kurang tanggap terhadap kebutuhan ekonomi dunia
usaha.
Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 sebagaimana diatur dalam pasal 6 terdiri dari:
1. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi
(sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut).
2. Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral
diluar para pihak yaitu dalam bentuk mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan
pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
3. Penyelesaian melalui arbitrase (pasal 6 ayat (9) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Selain pengertian dari Arbitrase, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini tidak dapat
diberikan adanya definisi atau pengertian dari apa yang dimaksud dengan/dalam perkataan
konsultasi, negosiasi, konsiliasi, maupun penilaian ahli.
Satu hal yang harus dan perlu pula kita catat dan perhatikan ialah bahwa, meskipun Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 ini disebut dengan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UndangUndang ini juga mengatur (secara bersama-sama) suatu proses pelaksanaan perjanjian, yang
diterjemahkan oleh Undang-Undang ini dalam bentuk pemberian pendapat (konsultasi) atau
penilaian oleh ahli-ahli, atas hal-hal atau penafsiran-penafsiran terhadap satu atau ketentuan yang
belum atau tidak jelas, yang antara lain bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa diantara para
pihak dalam perjanjian.
Kali ini kita akan jelaskan dan uraikan berbagai pengertian mengenai konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, perdamaian dan pendapat (hukum) lembaga arbitrase.
1. Konsultasi
Merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan
klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada
klien tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan kliennya tersebut. Tidak ada suatu
rumusan yang mengatakan sifat keterkaitan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti
pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan
sendiri keputusannya yang akan diambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak
menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak
konsultan tersebut. Berarti konsultasi sebagai bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran
dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa, peran dari konsultan dalam
menyelesaikan perselisihan atau sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan
atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat
(hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai
penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak
konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
tersebut.
2. Negosiasi dan Perdamaian
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun
mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan perdamaian ini oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diwajibkan untuk dibuat pula secara tertulis, dengan ancaman tidak sah.
Negosiasi menurut rumusan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut :
- Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan
- Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan
antara para pihak yang bersengketa.
Selain itu perlu dicatat pula bahwa negosiasi, merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sbelum

proses persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sodang peradilan dilaksanakan, baik
didalam maupun diluar sidang peradilan (pasal 130 HIR)
Pada umumnya negosiasi merupakan suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat
informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak
untuk melakukan pertemuan secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, negosiasi tersebut
tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa atau
berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para
pihak dengan/melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan, dengan melepaskan atau
memberikan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan
yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditanda tangani oleh para
pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat bagi
para pihak.
3. Mediasi
Menurut rumusan pasal 6 ayat (3) tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para
pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator.
Mediasi jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu
lembaga independen) yang bersifat netral atau tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai
mediator. Sebagai pihak yang netral, independen dan tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak,
mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan
kemauan para pihak. Walau demikian, ada satu pola umum yang dapat diikuti dan pada umumnya
dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Sebagai suatu pihak diluar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini
berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari
masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada
informasi yang diperoleh, baru kemudia mediator dapat menentukan perkara, kekurangan dan
kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun
proposal penyelesaian, yang kemudia dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator
harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara
kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.
4. Konsiliasi dan Perdamaian
Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak
memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan
tidak dapat kita temui satu ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 ini yang mengatur
mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa
dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 PENJELASAN UMUM
UNDANG-UNDANG No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi tidak beda jauh dari arti perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1864 Bab kedelapan
belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti hasil kesepakatan para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan
ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi
tersebut pun harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak
tanggal penandatanganan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal
pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat
para pihak.
5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase.
Ternyata arbitrase dalam bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan
atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian
pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat
hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak
dalam perjanjian. Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan
bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat

terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk
memperjelas pelaksanaannya.

http://mklh10arbitrase.blogspot.com/

A. Pengertian
Istilah arbitrase berasal darikata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration (Inggris)
dan shiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau
perdamaian melalui arbiter atau wasit. Dalam literatur, dijumpai beberapa batasan arbitrase yang dikemukakan
oleh para ahli hukum, di antaranya adalah : 1
1. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works disebutkan bahwa arbitrase
adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang
netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut.
Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
2. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut :
Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or
experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some
fashion select.
3. Subekti, menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim
atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
4. Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang
dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan
didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
5. M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan
diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi
kedua belah pihak.
6. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut :
Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the
dispute who agree in advance to abide by arbitrators award issue after hearing at which both
parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement
of selected persons in some dispute matter, istead of carrying it to establishtribunal of justice, an is

intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation.
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa.
8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for
the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of
an undertaking voluntarily accepted. 2
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam Arbitrase harus
tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase
adalah sebagai berikut : 3
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa pranata arbitrase
ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat
dengan Rv). Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615
sampai dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup
dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg
(Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh
juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa
Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar
pengadilan. Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi
kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).
Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus
menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.4

B. Obyek Sengketa dalam Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui adjudikatif privat, yang putusannya bersifat final dan
mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek
pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat
diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun
1999 yaitu :
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan
penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundangundangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian.5

C. Kelebihan Arbitrase
Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari tinjauan
undang-undang :6
Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang
Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia dalam buku Arbitrase di Indonesia , menyebutkan
ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;

g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga menyebutkan beberapa
alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian populer dalam transaksi dagang
internasional, antara lain :
Dihindarkannya publisitas;
Tidak banyak formalitas;
Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata
Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta
latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana
saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa,
misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih menguntungkan apabila
kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik dianggap sebagai salah satu sarana mencapai tujuan
perusahaan dan demi berlangsungnya sebuah perusahaan tersebut, begitu juga dengan pihak yang tergolong
orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa mempercepat dicapainya solusi atas sebuah sengketa karen prosedural
dan administratif juga lebih mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai dengan
sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter yang dipilih bisa dari arbiter yang ahli
dalam bidang cyber law sehingga diharapkan putusan akan lebih diterima oleh para pihak. Begitu juga dengan
pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang paling sesuai dengan persoalan yang sedang
dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai kesepakatan para pihak. Arbitrase diharapkan mampu memenuhi
rasa keadilan para pihak dan mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang
masuk kepada kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan penyelesaian
sengketa alternatif.
D. Kekurangan Arbitrase dan ADR dalam Penyelesaian Sengketa

Meskipun ADR memiliki beberapa keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan
terutama untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahan-kelemahan, di antaranya :7
a. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh
masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan
dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh kepercayaan yang
memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat dilihat dari
sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya
bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui fiat eksekusi pengadilan. Jadi wibawa lembaga
pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR, sehingga
mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur waktu, perlawanan, gugatan
pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi
yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan bukan win-win
solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR hanya dapat
bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.

E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi seperti : Convention of the settlement of Investment Disputes
Between States and National of Other State atau Convention on the Recognition And Enforcement
of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun berdasarkan ketentuan yang terdapat
dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :8
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus
perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu
diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering
disebut permanent arbitral body. Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan
untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini
merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum
sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk
selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.

F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para pihak. Penaatan terhadapnya dipandang tinggi. Biasanya putusannya
bersifat final dan mengikat.9 Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas kesadaran akan
penyelesaian sengketa.
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase
atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan
yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc,
maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Berdasarkan pada tempat di mana arbitrase tersebut
diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam : 10
1. Putusan arbitrase nasional,
yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia;
2. Arbitrase Internasional atau arbitrase asing,
Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional,
didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa
arbitrase tersebut. Kalau mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun
putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan
putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan
berkewarganegaraan Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa
arbitrasenya, maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan putusan
arbitrase internasional. 11

G. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )


Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan erat dengan
KAMAR DAGANG dan INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan,
baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI
adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. 12
Indonesia mulai memiliki pusat arbitrase nasional sejak tahun 1977. Indonesia juga memiliki sebuah lembaga
arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan Islam. Lembaga ini dikenal sebagai
BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan
BAMUI, sebagai sebuah mekanisme alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. 13
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa
adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur. Hal ini sesuai dengan ketentuan
HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon yang tidak datang pada sidang pertama maka akan

dipanggil sekali lagi untuk menghadap di muka sidang pada waktu kemudian yang ditetapkan selambatlambatnya empat belas hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon tidak datang juga, maka
pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya si termohon dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali
tuntutan itu oleh BANI dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini sesuai dengan
verstek dalam HIR.14 Ini berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional yang bersifat nasional karena
arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul
dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.
Selain itu arbitrase oleh BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc.
Selain itu arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani
telah selesai dan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang
bersangkutan.
Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada pasal 14 peraturan prosedur BANI yaitu :
Alat bukti keterangan para pihak dalam bentuk pengakuan,
Alat bukti keterangan saksi,
Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit pasal 14 ayat 1
menyatakan bahwa serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu, ini berarti sesuai dengan
praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti
sumpah. 15
Diharapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin tingginya keadilan
yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi ditangani dengan pengadilan ataupun
penyelesaian sengketa alternatif.
________________________________________________________________

https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/14/pengantar-hukum-arbitrase-di-indonesia/

Vous aimerez peut-être aussi