Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
I. ANEMIA
A. Definisi
Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb)
dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal. Jika kadar hemoglobin
kurang dari 14 g/dl dan eritrosit kurang dari 41% pada pria, maka pria tersebut dikatakan
anemia. Demikian pula pada wanita, wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari
12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37%, maka wanita itu dikatakan anemia. Anemia bukan
merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau
akibat gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat
kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di
bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat. Anemia adalah gejala dari kondisi
yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tidak adekuat atau kurang
nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan
kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam
penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 2002)
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin
turun dibawah normal.(Wong, 2003)
B. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:
1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan
oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:
a. Anemia aplastik
Penyebab:
- Agen neoplastik/sitoplastik
- terapi radiasi
- antibiotic tertentu
- obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
- benzene
- infeksi virus (khususnya hepatitis)
Hambatan humoral/seluler
Pansitopenia
Anemia aplastik
Gejala-gejala:
-
gangguan eritropoesis
sel darah merah sedikit (jumlah kurang)
sel darah merah miskin hemoglobin
kronik
Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase
Proses autoimun
Reaksi transfusi
Malaria
Anemia hemolisis
Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer Institute)
DERAJAT
Derajat 0 (nilai normal)
WHO
> 11.0 g/dL
NCI
Perempuan 12.0 - 16.0 g/dL
Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL
Derajat 1 (ringan)
Derajat 2 (sedang)
Derajat 3 (berat)
C. Etiologi
1. Hemolisis (eritrosit mudah pecah)
2. Perdarahan
3. Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)
4. Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi defisiensi besi, folic acid,
piridoksin, vitamin C dan copper
Anemia
payah jantung
Pathway Anemia
E. Tanda dan gejala
1. Lemah, letih, lesu dan lelah
2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
3. Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi
pucat. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi
4. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina (sakit
dada)
5. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)
6. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan berkurangnya
oksigenasi pada SSP
7. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau diare)
F. Komplikasi
1. Gagal jantung,
2. Kejang
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
II.
LEUKIMIA
A. Definisi
Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan
pembentuk darah (Prof. Dr. Iman, 1997).
Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam
sumsum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, 2002).
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang
dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain
(Mansjoer, 2002).
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001).
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukimia
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit
yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.
Sel darah normal, sel darah terbentuk di sumsum tulang. Tulang sumsum adalah
bahan yang lembut di tengah sebagian besar tulang. Belum menghasilkan sel darah
yang disebut sel batang dan ledakan. Sebagian besar sel darah matang di sumsum
tulang dan kemudian pindah ke pembuluh darah. Darah mengalir melalui pembuluh
darah dan jantung disebut darah perifer. Sumsum tulang membuat berbagai jenis darah
sel. Setiap jenis memiliki fungsi khusus:
1. Sel darah putih membantu melawan infeksi
2. Sel darah merah membawa oksigen ke jaringan seluruh tubuh
3. Trombosit membantu gumpalan darah terbentuk bahwa kontrol perdarahan
Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih
dalam sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi
proliferasi di llllllhati, limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non
hematologis, seperti meninges, traktus gastrointesinal, ginjal dan kulit.
B. Jenis leukemia
1. Leukemia Mielogenus Akut (LMA)
LMA mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel
Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia
dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia Mielogenus Kronis (LMK)
LMK juga di masukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih
banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK
jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran
LMA tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa
membesar.
3. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak,
laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah
usia 15 LLA jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel
normal..
sulit membeku. Jika tidak diobati, maka akan mengakibatkan leukemia akut dan
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Penyebab yang pasti belum diketahui, akan
tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu
Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar
jenis leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan
kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan
resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu
(misalnya sindroma Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap
leukemia.
E. Manisfestasi klinis
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut
1. Pilek tidak sembuh-sembuh
2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
3. Demam dan anorexia
4. Berat badan menurun
5. Ptechiae, memar tanpa sebab
6. Nyeri abdomen
7. Lumphedenopathy
8. Hepatosplenomegaly
Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalahartikan
sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel
leukemia pada alat tubuh seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada
leukemia serebral (Iman, 1997).
F. Patofisiologi
Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.
Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan
menimbulkan anemia dan trombositipenia. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh
dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ,
sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang
yangt akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan
peningkatan tekanan jaringan. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat
terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus limfe, dan nyeri persendian (Iman, 1997).
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pelaksanaan kemoterapi
2. Irradiasi cranial
3. Terdapat tiga fase pelaksanaan keoterapi :
a. Fase induksi
Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi
dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan
dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui
intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial
dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf
pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis
dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara
berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk
menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi
sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat
dikurangi.
4. Program terapi
Pengobatan terutama ditunjukkan untuk 2 hal (Netty Tejawinata, 1996) yaitu:
a. Memperbaiki keadaan umum dengan tindakan:
- Tranfusi sel darah merah padat (Pocket Red Cell-PRC) untuk mengatasi
anemi. Apabila terjadi perdarahan hebat dan jumlah trombosit kurang dari
10.000/mm, maka diperlukan transfusi trombosit.
- Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi.
b. Pengobatan spesifik
Terutama ditunjukkan untuk mengatasi sel-sel yang abnormal. Pelaksanaannya
tergantung pada kebijaksanaan masing-masing rumah sakit, tetapi prinsip dasar
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
- Induksi untuk mencapai remisi: obat yang diberikan untuk mengatasi kanker
sering disebut sitostatika (kemoterapi). Obat diberikan secara kombinasi
dengan maksud untuk mengurangi sel-sel blastosit sampai 5% baik secara
sistemik maupun intratekal sehingga dapat mengurangi gejala-gajala yang
-
tampak.
Intensifikasi, yaitu pengobatan secara intensif agar sel-sel yang tersisa tidak
remisi
c. Pengobatan imunologik
Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam tubuh agar
pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3
tahun remisi terus menerus.
DIC
A. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu gangguan dimana terjadi
III.
koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang
malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti
leukemia dan kanker prostat, traktus GI dan paru-paru. Proses penyakit tertentu yang
umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis,
gagal hepar dan anfilaksis.
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya
dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi
pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor
pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
B. Etiologi
Beragam penyakit dapat menyebabkan DIC, dan secara umum melalui salah satu dari
dua mekanisme berikut.
1. Respon inflamsi sitemik, menyebabkan aktivasi jaringan sitokin dan selanjutnya
mengaktivasi proses koagulasi (cth: sepsis atau trauma mayor)
2. Pelepasan atau paparan materi prokoagulan ke dalam aliran darah ( cth: pada
kanker, injury otak atau kasus obstetrik) Pada situasi tertentu, dapat muncul kedua
manifestasi tersebut (cth: trauma mayor atau pankretitis nekrotik).
Penyebab DIC akut :
Infeksi
rickettsia)
virus (cth: HIV, CMV, varicella-zoster virus, dan
hepatitis virus)
jamur (cth: histoplasma)
parasit (cth: malaria)
Malignansi
Obstetri
Trauma
Tranfusi
:
Lain-lain
:
Tumor padat
Leukemia
Sindrom fetus mati dalam kandungan
Obstetrik
Sindrom myeloprolifferative
Rheumatoid arthritis
Hematologi
Raynaud disease
Infark miokard
Vaskular
Kolitis ulseratif
Crohn disease
Sarkoidosis
Kardiovaskular
Aneurisma aorta
Kassabach-merrit syndrom
Inflamsi
:
DIC
terlokalisir
organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem
fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus,
terjadinya
fibrinolisis
(akibat
pemakaian
alfa2-antiplasmin)
juga
justru
dapat
Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VIIa yang memulai
pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi
pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur
ekstrinsik.
Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin.
Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel
endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga
dari sel-sel polimorfonuklear. Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang
mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan
trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III,
terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi
dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah
substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal.
Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai
biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ. Berkaitan dengan rendahnya
kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi
alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat
sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk
protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan
darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan
bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC. Selain
antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi
arus clotting dan dan hasil koagulasi sehingga merangsang aktivitas inflamsi menjadi
lebih
hebat.
Terdapat
beragam
pemicu
berbeda
yang
dapat
menyebabkan
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarna dengan pewarna
khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk
sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering
terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.
Skor Tes Pembekuan
Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
Skor atau Skala
Jumlah Platelet
(x109/L)
PT (detik)
<3
>3
but
<6
<1
Fibrinogen(g/L)
Fibrin-related
>1
Tidak
markers*
meningkat
(meningkat)
TOTAL
Meningkat
Peningkatan
sedang
yang tajam
Jika <5, non-overt DIC tes diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.
*jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan
penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.
perdarahan yang signifikan. Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam
dalam infus kontinu.
Indikasi:
a. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat.
b. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi.
c. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati,
sindroma gagal nafas.
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis
selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol. Low molecular weight
heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan
hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan
kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di
dalam plasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien
DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
3. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70% .
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu
selama 3 5 hari.
Rumus:
1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien DIC
pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses
fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang
terjadi akan semakin berat. Tidak
mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom
antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka
janin harus dilahirkan secepatnya. Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya
diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan
perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi
perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan
komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini
tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah
maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan
komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan. Satu-satunya terapi
medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini
tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi
fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya
bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah
reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin
drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap
empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai
dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut
pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC
cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit
tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang
harus dihadapi.