Vous êtes sur la page 1sur 27

ASKEP EMERGENCY & KRITIS PADA KEGAWATAN SISTEM HEMATOLOGI

I. ANEMIA
A. Definisi
Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb)
dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal. Jika kadar hemoglobin
kurang dari 14 g/dl dan eritrosit kurang dari 41% pada pria, maka pria tersebut dikatakan
anemia. Demikian pula pada wanita, wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari
12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37%, maka wanita itu dikatakan anemia. Anemia bukan
merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau
akibat gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat
kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di
bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat. Anemia adalah gejala dari kondisi
yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tidak adekuat atau kurang
nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan
kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam
penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 2002)
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin
turun dibawah normal.(Wong, 2003)
B. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:
1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan
oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:
a. Anemia aplastik
Penyebab:
- Agen neoplastik/sitoplastik
- terapi radiasi
- antibiotic tertentu
- obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
- benzene
- infeksi virus (khususnya hepatitis)

Penurunan jumlah sel eritropoitin (sel induk) di sumsum tulang


Kelainan sel induk (gangguan pembelahan, replikasi, deferensiasi)

Hambatan humoral/seluler

Gangguan sel induk di sumsum tulang

Jumlah sel darah merah yang dihasilkan tak memadai

Pansitopenia

Anemia aplastik
Gejala-gejala:
-

Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)


Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan saluran cerna,

perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf pusat.


- Morfologis: anemia normositik normokromik
b. Anemia pada penyakit ginjal
Gejala-gejala:
- Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl
- Hematokrit turun 20-30%
- Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi
- Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun
defisiensi eritopoitin
c. Anemia pada penyakit kronis
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis
normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang
normal). Kelainan ini meliputi artristis rematoid, abses paru, osteomilitis,
tuberkolosis dan berbagai keganasan
d. Anemia defisiensi besi
Penyebab:
- Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil, menstruasi
- Gangguan absorbsi (post gastrektomi)
- Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises
oesophagus, hemoroid, dll.)

gangguan eritropoesis

Absorbsi besi dari usus kurang


sel darah merah sedikit (jumlah kurang)
sel darah merah miskin hemoglobin

Anemia defisiensi besi


Gejala-gejalanya:
- Atropi papilla lidah
- Lidah pucat, merah, meradang
- Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut
- Morfologi: anemia mikrositik hipokromik
e. Anemia megaloblastik
Penyebab:
- Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat
- Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor
- Infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi
cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi, pecandu alkohol.

Sintesis DNA terganggu

Gangguan maturasi inti sel darah merah

Megaloblas (eritroblas yang besar)

Eritrosit immatur dan hipofungsi


2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh
destruksi sel darah merah:
- Pengaruh obat-obatan tertentu

Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik

kronik
Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase
Proses autoimun
Reaksi transfusi
Malaria

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit

Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis

Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer Institute)
DERAJAT
Derajat 0 (nilai normal)

WHO
> 11.0 g/dL

NCI
Perempuan 12.0 - 16.0 g/dL
Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL

Derajat 1 (ringan)

9.5 - 10.9 g/dL

10.0 g/dL - nilai normal

Derajat 2 (sedang)

8.0 - 9.4 g/dL

8.0 - 10.0 g/dL

Derajat 3 (berat)

6.5 - 7.9 g/dL

6.5 - 7.9 g/dL

Derajat 4 (mengancam jiwa)

< 6.5 g/dL

< 6.5 g/dL

C. Etiologi
1. Hemolisis (eritrosit mudah pecah)
2. Perdarahan
3. Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)
4. Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi defisiensi besi, folic acid,
piridoksin, vitamin C dan copper

Menurut Badan POM (2011), Penyebab anemia yaitu:


1. Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, vitamin B12, asam folat,
vitamin C, dan unsur-unsur yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
2. Darah menstruasi yang berlebihan. Wanita yang sedang menstruasi rawan terkena
anemia karena kekurangan zat besi bila darah menstruasinya banyak dan dia tidak
memiliki cukup persediaan zat besi.
3. Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin menyerap zat besi
dan vitamin untuk pertumbuhannya.
4. Penyakit tertentu. Penyakit yang menyebabkan perdarahan terus-menerus di saluran
pencernaan seperti gastritis dan radang usus buntu dapat menyebabkan anemia.
5. Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan perdarahan lambung
(aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya dapat menyebabkan masalah dalam
penyerapan zat besi dan vitamin (antasid, pil KB, antiarthritis, dll).
6. Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi). Ini dapat
menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat besi dan vitamin B12.
7. Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit ginjal, masalah pada
kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan penyakit lainnya dapat menyebabkan
anemia karena mempengaruhi proses pembentukan sel darah merah.
8. Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena infeksi cacing tambang, malaria, atau
disentri yang menyebabkan kekurangan darah yang parah.
D. Patofisiologi
Adanya suatu anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan sumsum atau
kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum (misalnya
berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi
tumor atau penyebab lain yang belum diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui
perdarahan atau hemolisis (destruksi).
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam
system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses ini
adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah
merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi
normal 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan
hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila
konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk

hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam


glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi
biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1. hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2.
derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya,
seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan
hemoglobinemia.

Anemia

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

beban jantung meningkat

kerja jantung meningkat

payah jantung

PATHWAY ANEMIA (Patrick Davey, 2002)

Pathway Anemia
E. Tanda dan gejala
1. Lemah, letih, lesu dan lelah
2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
3. Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi
pucat. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi
4. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina (sakit
dada)
5. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)
6. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan berkurangnya
oksigenasi pada SSP
7. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau diare)

F. Komplikasi
1. Gagal jantung,
2. Kejang

3. Perkembangan otot buruk ( jangka panjang )


4. Daya konsentrasi menurun5. Kemampuan mengolah informasi yang didengar
menurun
G. Pemeriksaan penunjang
1. Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih, kadar Fe,
pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin B12, hitung trombosit, waktu
perdarahan, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin parsial.
2. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding capacity serum
3. Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis serta
sumber kehilangan darah kronis.
H. Penatalaksaan medis
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang
hilang:
1. Anemia aplastik:
a. Transplantasi sumsum tulang
b. Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)
2. Anemia pada penyakit ginjal
a. Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi dan asam folat
b. Ketersediaan eritropoetin rekombinan
3. Anemia pada penyakit kronis
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan
untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan yang mendasarinya, besi
sumsum tulang dipergunakan untuk membuat darah, sehingga Hb meningkat.
4. Anemia pada defisiensi besi
a. Dicari penyebab defisiensi besi
b. Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan fumarat
ferosus.
5. Anemia megaloblastik
Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila difisiensi
disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya faktor intrinsik dapat diberikan
vitamin B12 dengan injeksi IM.
Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus diteruskan selama
hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat
dikoreksi.
Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan penambahan asam
folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan gangguan absorbsi.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River

Marlyn E. Doenges, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC


Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Patrick Davay, 2002, At A Glance Medicine, Jakarta, EMS
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.

II.

LEUKIMIA
A. Definisi
Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan
pembentuk darah (Prof. Dr. Iman, 1997).
Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam
sumsum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, 2002).
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang
dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain
(Mansjoer, 2002).
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001).

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukimia
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit
yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.
Sel darah normal, sel darah terbentuk di sumsum tulang. Tulang sumsum adalah
bahan yang lembut di tengah sebagian besar tulang. Belum menghasilkan sel darah
yang disebut sel batang dan ledakan. Sebagian besar sel darah matang di sumsum
tulang dan kemudian pindah ke pembuluh darah. Darah mengalir melalui pembuluh
darah dan jantung disebut darah perifer. Sumsum tulang membuat berbagai jenis darah
sel. Setiap jenis memiliki fungsi khusus:
1. Sel darah putih membantu melawan infeksi
2. Sel darah merah membawa oksigen ke jaringan seluruh tubuh
3. Trombosit membantu gumpalan darah terbentuk bahwa kontrol perdarahan
Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih
dalam sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi
proliferasi di llllllhati, limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non
hematologis, seperti meninges, traktus gastrointesinal, ginjal dan kulit.
B. Jenis leukemia
1. Leukemia Mielogenus Akut (LMA)
LMA mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel
Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia
dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia Mielogenus Kronis (LMK)
LMK juga di masukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih
banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK
jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran
LMA tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa
membesar.
3. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak,
laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah
usia 15 LLA jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel
normal..

4. Leukemia Limfositik Kronis (LLC)


LLC merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun.
Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat
pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.
C. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi
Sel darah putih, leukosit adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah
putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi
sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna,
memiliki inti, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler
/ diapedesis. Dalam keadaan normalnya terkandung 4x10 9 hingga 11x109 sel darah
putih di dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat - sekitar 7000-25000 sel per
tetes. Dalam setiap milimeter kubil darah terdapat 6000 sampai 10000(rata-rata
8000) sel darah putih .Dalam kasus leukemia, jumlahnya dapat meningkat hingga
50000 sel per tetes. Di dalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat dengan
organ atau jaringan tertentu, mereka bekerja secara independen seperti organisme
sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas dan berinteraksi dan
menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme penyusup. Selain
itu, leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi dengan cara mereka sendiri,
melainkan mereka adalah produk dari sel punca hematopoietic pluripotent yang ada
pada sumsum tulang. Leukosit turunan meliputi: sel NK, sel biang, eosinofil,
basofil, dan fagosit termasuk makrofaga, neutrofil, dan sel dendritik. Ada beberapa
jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel polimorfonuklear yaitu:
a. Basofil.
b. Eosinofill
c. Neutrofil.
dan dua jenis yang lain tanpa granula dalam sitoplasma:
a. Limfosit
b. Monosit.
2. Fisiologi
Fisiologi sel darah manusia
a. Leukosit
Leukosit adalah sel darah berinti. Di dalam darah manusia, jumlah normal
leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan
ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam

mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik


(granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam
sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, yang tidak
mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau
bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : limfosit sel kecil,
sitoplasma sedikit, monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil
(eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna
netral basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat
dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya).
Meski masing-masing jenis sel terdapat dalam sirkulasi darah, leukosit tidak
secara acak terlihat dalam eksudat, tetapi tampak sebagai akibat sinyal-sinyal
kemotaktik khusus yang timbul dalam berkembangnya proses peradangan.
(Effendi, 2003)
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme
terhadap zat-zat asingan. Ketika viskositas darah meningkat dan aliran lambat,
leukosit mengalami marginasi, yakni bergerak ke arah perifer sepanjang
pembuluh darah. Kemudian melekat pada endotel dan melakukan gerakan
amuboid. Melalui proses diapedesis, yakni kemampuan leukosit untuk
menyesuaikan dgn lubang kecil lekosit, dapat meninggalkan kapiler dengan
menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.
Pergerakan leukosit di daerah intertisial pada jaringan meradang setelah leukosit
beremigrasi, atau disebut kemotaktik terarah oleh sinyal kimia. (Effendi, 2003).
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 400011000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai
12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel
darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15
tahun persentase khas dewasa tercapai. (Effendi, 2003).
b. Fungsi sel Darah putih
Granulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan badan
terhadap mikroorganisme. dengan kemampuannya sebagai fagosit (fagomemakan), mereka memakan bakteria hidup yang masuk ke sistem peredaran

darah. melalui mikroskop adakalanya dapat dijumpai sebanyak 10-20


mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit. pada waktu menjalankan fungsi
ini mereka disebut fagosit. dengan kekuatan gerakan amuboidnya ia dapat
bergerak bebas didalam dan dapat keluar pembuluh darah dan berjalan
mengitari seluruh bagian tubuh. dengan cara ini ia dapat mengepung daerah
yang terkena infeksi atau cidera, menangkap organisme hidup dan
menghancurkannya, menyingkirkan bahan lain seperti kotoran-kotoran,
serpihan-serpihan dan lainnya, dengan cara yang sama, dan sebagai granulosit
memiliki enzim yang dapat memecah protein, yang memungkinkan merusak
jaringan hidup, menghancurkan dan membuangnya.
Dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan
penyembuhannya dimungkinkan. Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah
putih, peradangan dapat dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak berhasil
dengan sempurna, maka dapat terbentuk nanah. Nanah beisi "jenazah" dari
kawan dan lawan - fagosit yang terbunuh dalam kinerjanya disebut sel nanah.
demikian juga terdapat banyak kuman yang mati dalam nanah itu dan ditambah
lagi dengan sejumlah besar jaringan yang sudah mencair. dan sel nanah tersebut
akan disingkirkan oleh granulosit yang sehat yang bekerja sebagai fagosit.
D. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Faktor genetik : virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T
cell leukemia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya.
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan
agen anti neoplastik.
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
6. Kelainan kromosom : Sindrom Blooms, trisomi 21 (Sindrom Downs), Trisomi G
(Sindrom Klinefelters), Sindrom fanconis, Kromosom Philadelphia positif,
Telangiektasis ataksia
7. Gejala penyakit leukemia biasanya ditandai dengan adanya anemia. Infeksi akan
mudah atau sering terjadi karena sel darah putih tidak dapat berfungsi dengan baik,
rasa sakit atau nyeri pada tulang, serta pendarahan yang sering terjadi karena darah

sulit membeku. Jika tidak diobati, maka akan mengakibatkan leukemia akut dan
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Penyebab yang pasti belum diketahui, akan
tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu
Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar
jenis leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan
kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan
resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu
(misalnya sindroma Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap
leukemia.
E. Manisfestasi klinis
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut
1. Pilek tidak sembuh-sembuh
2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
3. Demam dan anorexia
4. Berat badan menurun
5. Ptechiae, memar tanpa sebab
6. Nyeri abdomen
7. Lumphedenopathy
8. Hepatosplenomegaly
Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalahartikan
sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel
leukemia pada alat tubuh seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada
leukemia serebral (Iman, 1997).
F. Patofisiologi
Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.
Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan
menimbulkan anemia dan trombositipenia. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh
dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ,
sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang
yangt akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan
peningkatan tekanan jaringan. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat
terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus limfe, dan nyeri persendian (Iman, 1997).
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pelaksanaan kemoterapi
2. Irradiasi cranial
3. Terdapat tiga fase pelaksanaan keoterapi :

a. Fase induksi
Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi
dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan
dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui
intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial
dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf
pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis
dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara
berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk
menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi
sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat
dikurangi.
4. Program terapi
Pengobatan terutama ditunjukkan untuk 2 hal (Netty Tejawinata, 1996) yaitu:
a. Memperbaiki keadaan umum dengan tindakan:
- Tranfusi sel darah merah padat (Pocket Red Cell-PRC) untuk mengatasi
anemi. Apabila terjadi perdarahan hebat dan jumlah trombosit kurang dari
10.000/mm, maka diperlukan transfusi trombosit.
- Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi.
b. Pengobatan spesifik
Terutama ditunjukkan untuk mengatasi sel-sel yang abnormal. Pelaksanaannya
tergantung pada kebijaksanaan masing-masing rumah sakit, tetapi prinsip dasar
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
- Induksi untuk mencapai remisi: obat yang diberikan untuk mengatasi kanker
sering disebut sitostatika (kemoterapi). Obat diberikan secara kombinasi
dengan maksud untuk mengurangi sel-sel blastosit sampai 5% baik secara
sistemik maupun intratekal sehingga dapat mengurangi gejala-gajala yang
-

tampak.
Intensifikasi, yaitu pengobatan secara intensif agar sel-sel yang tersisa tidak

memperbanyak diri lagi.


Mencegah penyebaran sel-sel abnormal ke sistem saraf pusat

Terapi rumatan (pemeliharaan) dimaksudkan untuk mempertahankan masa

remisi
c. Pengobatan imunologik
Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam tubuh agar
pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3
tahun remisi terus menerus.
DIC
A. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu gangguan dimana terjadi

III.

koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang
malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti
leukemia dan kanker prostat, traktus GI dan paru-paru. Proses penyakit tertentu yang
umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis,
gagal hepar dan anfilaksis.
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya
dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi
pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor
pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
B. Etiologi
Beragam penyakit dapat menyebabkan DIC, dan secara umum melalui salah satu dari
dua mekanisme berikut.
1. Respon inflamsi sitemik, menyebabkan aktivasi jaringan sitokin dan selanjutnya
mengaktivasi proses koagulasi (cth: sepsis atau trauma mayor)
2. Pelepasan atau paparan materi prokoagulan ke dalam aliran darah ( cth: pada
kanker, injury otak atau kasus obstetrik) Pada situasi tertentu, dapat muncul kedua
manifestasi tersebut (cth: trauma mayor atau pankretitis nekrotik).
Penyebab DIC akut :
Infeksi

bakteri (sepsis gram negatif, infeksi gram positif,

rickettsia)
virus (cth: HIV, CMV, varicella-zoster virus, dan
hepatitis virus)
jamur (cth: histoplasma)
parasit (cth: malaria)

Malignansi

Hematologi (cth: acute myelocytic leukemia)

Metastase (cth: mucin-secreting adenocarcinoma)


Abrupsio plasenta

Obstetri

Emboli cairan amnion

Fatty liver akut pada kehamilan


Ekslampsia
Luka bakar
Kecelakaan bermotor

Trauma

Keracunan bisa ular

Reaksi hemolitik tranfusi


Penyakit liver/ gagal hati akut
Pelaralatan prosthetic

Tranfusi

Alat bantu ventrikel

:
Lain-lain
:

Penyebab DIC kronis :


Malignansi

Tumor padat

Leukemia
Sindrom fetus mati dalam kandungan

Obstetrik

Penahanan produk konsepsi

Sindrom myeloprolifferative
Rheumatoid arthritis

Hematologi

Raynaud disease

Infark miokard

Vaskular

Kolitis ulseratif

Crohn disease
Sarkoidosis

Kardiovaskular

Aneurisma aorta

Kassabach-merrit syndrom

Inflamsi

Penolakan allograft ginjal akut

:
DIC

terlokalisir

Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:


1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai
komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah.
2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
3. Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC:
1. Penderita cedera kepala yang hebat
2. Pria yang telah menjalani pembedahan prostate
3. Terkena gigitan ular berbisa
C. Patofisiologi
Meliputi 4 mekanisme yang terjadi secara simultan :
1. Pergerakan thrombin yang dimediasi oleh TF
2. Disfungi mekanisme fisiologis antikoagulan sehingga tidak effektif mengimbangi
pergerakan thrombin.
3. Kerusakan penbersihan fibrin karena depresi sistem fibronolitik.
4. Aktivasi inflamasi.
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara
sistemik. Trombosit yang menurun terus menerus, komponen fibrin bebas yang terus
berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah curiga
DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah,
terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus
mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai

organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem
fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus,
terjadinya

fibrinolisis

(akibat

pemakaian

alfa2-antiplasmin)

juga

justru

dapat

menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis


sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan
untuk dikenali dan ditatalaksana. Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan
mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam :
1. Pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah.
2. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin
dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus.
Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga
menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh
darah. Sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya
kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1.
Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas
fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan.
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah. Karena banyak sekali
kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang
akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor
pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi
pembekuan darah. Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam
setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi.

Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VIIa yang memulai
pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi
pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur
ekstrinsik.
Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin.
Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel
endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga
dari sel-sel polimorfonuklear. Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang
mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan
trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III,
terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi
dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah
substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal.
Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai
biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ. Berkaitan dengan rendahnya
kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi
alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat
sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk
protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan
darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan
bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC. Selain
antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi

menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan


tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor
pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini
dalam plasma sangatlah keci. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke
dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal,
ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak
pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor
pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan
koagulasi di masa depan.
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti,
karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada
keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen
Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem
fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak
berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada
beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3
(AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan
tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada
pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat
endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan
kematian.
Jalur inflamasi dan koagulasi berinteraksi dengan cara saling menguatkan. Terjadi
komunikasi silang antara dua sistem tersebut, dimana inflamasi menigkatkan aktivasi

arus clotting dan dan hasil koagulasi sehingga merangsang aktivitas inflamsi menjadi
lebih

hebat.

Terdapat

beragam

pemicu

berbeda

yang

dapat

menyebabkan

ketidakseimbangan hemostatis yang dapat meningkatkan tingkat kemampuan koagulasi.


Banyak faktor koagulasi teraktivasi yang diproduksi oleh DIC berkontribusi dalam
memicu inflamasi dengan cara menstimulus pelepasan sel sitokin proinflamasi oleh sel
endeotel,faktor Xa, trombin, dan komplek TF-VIIa terbukti menimbulkan efek
proinflamsi.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ yang
terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. Biasanya terdapat riwayat
perdarahan pada gusi dan sistem GI. Pada fase akut biasanya muncul peteki dan ekimosis
serta perdarahan pada penusukan vena dan kateter. Pada post operasi, perdarahan bisa
terjadi pada sekitar tempat pembedahan, drain dan trakeostomi. DIC kronis bisa
menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan
pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada
gejala yang tidak dapat diamati.
Gambaran utama pada pasien DIC berupa : perdarahan (64%), disfungsi ginjal (25%),
disfungsi hepar (19%), disfungsi pernafasan (16%), shock (14%), dan disfungsi sistem
syaraf pusat (2%).
Manifestasi klinis dapat berupa:
1. Sirkulasi : tanda perdarahan spontan mengancam nyawa, tanda perdarahan sub akut,
2.
3.
4.
5.
6.

tanda trombosi difus atau terlokalisir, perdarahaan ke lubang serous.


Sistem syaraf pusat: perubahan kesadaran non spesifik atau stupor, defisit neurologis.
Kardivaskular: hipotensi, takikardi, kolaps sirkulasi
Respirasi: pleural friction rub, tanda ARDS.
Gastrointestinal: hematomesis, hematochezia.
Genitourinarius: azotemia atau gagal ginjal, hematuria, oliguria, metrorrhagia,
perdarahan uterine.

7. Dermatologis: peteki, jaundice, purpura, bula hemoragik, akrosianosis, nekrosis kulit


ekstremitas bawah, infark terlokalisir atau gangren, perdarahan di tempat penusukan
atau hematom subkutandalam, trombosis.
E. Pemeriksaan Diagnostik
DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak
ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa
tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.
Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:
1. D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan mengukur
fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih
tinggi dibanding dengan keadaan normal.
2. Prothrimbin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam
proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau factor
pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan
pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang
dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.
3. Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah.
Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses pembekuan darah.
Tingkat fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh
menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.
4. Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah
dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosa DIC, namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis untuk
menegakkan diagnose.
5. Hapusan Darah

Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarna dengan pewarna
khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk
sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering
terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.
Skor Tes Pembekuan
Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
Skor atau Skala
Jumlah Platelet

(International Society on thrombosis and Hemostasis)


0
1
2
>100
<100
<50

(x109/L)
PT (detik)

<3

>3

but
<6
<1

Fibrinogen(g/L)
Fibrin-related

>1
Tidak

markers*

meningkat

(meningkat)
TOTAL

Jika 5, overt DIC- tes diulang setiap hari.

Meningkat

Peningkatan

sedang

yang tajam

Jika <5, non-overt DIC tes diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.
*jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan
penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.

(diadaptasi dari Franchini, et al., 2006, 6)


F. Penatalaksanaan
Penatalakasanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya
DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil.
Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
1. Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses
pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski
pemberian heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun
dalam penelitian klinik pada pasien DIC, heparin tidak menunjukkan komplikasi

perdarahan yang signifikan. Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam
dalam infus kontinu.
Indikasi:
a. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat.
b. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi.
c. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati,
sindroma gagal nafas.
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis
selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol. Low molecular weight
heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan
hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan
kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di
dalam plasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien
DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
3. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70% .
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu
selama 3 5 hari.
Rumus:
1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien DIC
pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses
fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang
terjadi akan semakin berat. Tidak

ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain

mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom

antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka
janin harus dilahirkan secepatnya. Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya
diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan
perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi
perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan
komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini
tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah
maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan
komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan. Satu-satunya terapi
medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini
tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi
fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya
bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah
reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin
drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap
empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai
dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut
pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC
cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit
tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang
harus dihadapi.

Vous aimerez peut-être aussi