Vous êtes sur la page 1sur 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Penegasan Mengenai Judul


Judul ”PEMBERDAYAAN HAK ASASI PEREMPUAN DI INDONESIA” ini di
ambil karena menurut penulis hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah
kurang di Indonesia. Oleh sebab itu, marilah kita sebagai generasi muda
pahamilah arti dari hak asasi itu sendiri kemudian tanamkan pada diri masing-
masing sehingga timbul rasa kesadaran dalam hak asasi. Maka dengan sendirinya
hak asasi di Indonesia khususnya hak asasi perempuan akan berjalan dengan
semestinya.

1.2 Alasan Pemilihan Judul


Alasan penulis memilih judul ”PEMBERDAYAAN HAK ASASI PEREMPUAN
DI INDONESIA” karena pada saat sekarang ini banyak terjadi penyalahgunaan
hak terhadap kaum perempuan di Indonesia. Para perempuan di Indonesia belum
merasa dirinya menikmati hak-hak yang harusnya mereka miliki.

1.3 Tujuan Research di Selenggarakan


Tujuan makalah ini dibuat agar lebih mengetahui dan paham tentang hak asasi
manusia di Indonesia khususnya tentang hak asasi perempuan di Indonesia. Maka
dari itu makalah ini sangatlah penting kegunaannya bagi kita semua.

1.4 Sistematika
A. Bagian Permulaan
- Judul
- Hal Kata Mutiara
- Kata Penghargaan
- Daftar Isi

1
B. Bagian Analisa
- Pendahuluan
- Analisa Landasan
- Analisa dan Penetapan Metode yang Digunakan
- Pengumpulan dan Penyajian Data
- Analisa Data
- Kesimpulan dan Saran

C. Bagian Akhir
- Daftar Pustaka
- Lampiran

2
BAB II
ANALISA LANDASAN

2.1 Analisa Hasil-Hasil


Para perempuan di Indonesia selalu dikatakan jika sudah melaksanakan jenjang
sekolah, jika ia tidak kuliah atau kerja, maka mereka akan menikah dan selalu
mengurusi dapur. Asumsi tersebut di masyarakat sangatlah tidak asing lagi. Maka
jangan heran jika perempuan di Indonesia di anggap rendah bagi sebagian
masyarakat. Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan
oleh sebagian masyarakat.
Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan di rumah
(sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor publik) menyebabkan
terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.
Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan juga menjadi obyek yang sangat
riskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan
produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan terhadap perempuan
bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan pengebirian terhadap
Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi perempuan (Women’s
Human Rights).
Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia bagi perempuan di Indonesia cukup
banyak terjadi. Kekerasan terhadap perempuan, pembedaan upah, pelanggaran hak-
hak kerja seperti hak cuti haid atau hamil, kekerasan dalam keluarga, komposisi
perempuan dalam badan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif yang masih belum
seimbang, dan sebagainya adalah sebagian contoh betapa Hak Azasi Manusia bagi
perempuan di Indonesia belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Padahal
pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang
mengatur masalah Hak Azasi Manusia bagi perempuan, seperti Konvensi Anti
Diskriminasi terhadap perempuan, Konvensi Penghapusan Tindak Kekerasan
terhadap perempuan, dan Konvensi Hak Politik perempuan. Tetapi dalam
kenyataanya, penghormatan terhadap Hak azasi Manusia bagi perempuan belum
dapat ditegakkan di Indonesia.

3
2.2 Penampilan Anggapan
Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap perempuan (The Declaration on the
Elimination of Violence Against Women) yang ditandatangani pada bulan
Desember 1993, dalam pembukaannya menyatakan:
“violence against women is a manifestation of historically unequal power relations
between men and women which have led to domination over and discrimination
against women by men.”
Yang artinya “kekerasan melawan perempuan adalah satu penjelmaan dari
menurut sejarah Power berbeda hubungan di antara para laki-laki dan perempuan
yang mana telah memimpin ke dominasi berlalu dan diskriminasi melawan
perempuan oleh orang-orang”.
Deklarasi ini menerima kenyataan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan
adalah suatu bentuk manifestasi dari sajarah dan telah terkonstruksi secara sosial.
Tetapi, tindak kekerasan ini dipandang telah melanggar norma-norma yang berlaku
secara universal terhadap penghormatan Hak Asasi Manusia, dan negara
berkewajiban untuk memberikan hukuman bagi pelakunya.
Kekerasan terhadap perempuan adalah kesuliatan yang paling utama dalam usaha
menegakkan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi perempuan di seluruh dunia.
Tindak kekerasan telah menghalangi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan sosial dan kehdupan bernegara di negaranya. Hak-hak demokrasi
mereka pun tidak diakui. Semakin meningkatnya tindak kriminal terhadap
perempuan adalah akibat langsung dari tidak diakuinya persamaan hak antara pria
dan perempuan. Ketidak adanya pengakuan akan adanya kesejajaran antara pria
dan perempuan inilah yang mendorong aktifis feminis di penjuru dunia
memperjuangkan sebuah konvensi yang bersifat internasonal yang mengatur
penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

2.3 Pernyataan Hipolesa


Gerakan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan masih
terbatas pada kalangan kelas menengah ke atas. Gerakan perempuan yang baru
tumbuh ini masih belum mampu menyaingi kekuatan organisasi-organisasi
perempuan yang dibentuk oleh negara. Organisasi-organisasi perempuan yang
dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan di

4
dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan di
mampu diberikan dalam spektrum pemberitaan di media massa, baik cetak maupun
elektronik. Upaya mobilisasi dan pengorganisasian untuk menanggulangi berbagai
masalah perempuan, seperti dalam penanganan kasus perkosaan dan pelecehan
seksual misalnya, masih sulit untuk dilakukan. Namun betapapun suramnya,
perkembangan ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan. Hal ini nampak setelah
dibandingkan dengan lamanya ‘masalah perempuan’ menjadi terbengkalai karena
ditangani oleh birokrasi yang tidak tanggap mengikuti perkembangan. Namun di
sisi lain, lingkungan yang cenderung eksklusif ini juga mendorong masalah
perempuan menjadi bahan diskusi akademis yang ‘mewah’. Artinya ada
kecenderungan untuk memandang bahwa masalah-masalah yang menyangkut
kaum perempuan belum mendapatkan prioritas.

2.4 Hasil yang Diharapkan


Dalam hal ini negara memegang peranan yang penting bagi penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan. Karena tindakan kekerasan terhadap perempuan
terjadi dalam suatu negara, sehingga negara bertanggung jawab untuk melakukan
tindakan nyata untuk mengeliminir tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Faktor ekonomi dan sosial juga memegang peranan penting dalam usaha
perlawanan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan. Adanya kebebasan
dalam bidang ekonomi akan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk
keluar dari sebuah krisis yang akut dan menghindari tindakan pelecehan seksual
yang kerap kali terjadi di sentra-sentra ekonomi.
Ideologi agama dan budaya juga memegang peranan penting dalam melawan
tindak kekerasan terhadap perempuan. Negara tidak boleh memakai alasan adat,
tradisi, atau agama untuk membenarkan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah suatu penghambat bagi tercapainya
sasaran-sasaran persamaan, pembangunan, dan perdamaian. Kekerasan terhadap
kaum perempuan melanggar, merugikan atau membatalkan penikmatan kaum
perempuan akan hak-hak azasi dan kebebasan dasarnya.
Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Azasi Manusia umumnya
dan Hak Azasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.

5
BAB III
ANALISA DAN PENETAPAN METODE

3.1 Sample, Prosedur Sampling


Peraturan hukum ketat yang dipaksakan oleh Taliban - kelompok bersenjata yang
berkuasa di Afghanistan sangat membatasi kebebasan kaum perempuan untuk
mengadakan gerakan, berekspresi dan berserikat. Anak perempuan tidak
diperkenankan masuk sekolah dan perempuan hanya boleh bekerja di sector
kesehatan. Untuk sebagian besar waktu mereka harus tinggal di dalam rumah,
hampir seperti tahanan. Kalau pun mereka keluar rumah, mereka harus disertai
oleh saudara lelaki dekat dan memakai pakaian yang sesuai dengan aturan ketat
mengenai pakaian yang semakin membatasi gerakan mereka.
Rebiya Kadeer, 52 tahun, seorang perempuan pengusaha yang terkenal dari
Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang di Cina, adalah utusan resmi Cina ke
Konperensi Dunia Keempat PBB tentang Perempuan yang diadakan di Beijing
tahun 1995. Ia ditahan secara sewenang-wenang, tampaknya karena kritik yang
dilancarkan suaminya mengenai perlakuan pemerintah Cina terhadap orang-orang
Uighur kelompok etnis mayoritas di antara penduduk lokal di daerah itu dan
karena kegiatan-kegiatannya sendiri. Ia mendirikan “Gerakan Seribu Ibu” di
Urumqi untuk mendukung prakarsa sosial-ekonomi dan untuk berusaha bagi dan
oleh kaum perempuan Uighur. Pada bulan Agustus 1999 ia ditahan di Urumqi
ketika sedang dalam perjalanan untuk menemui para wakil dari Dinas Pene-litian
Kongres A.S. dan pada akhirnya dituduh “memberikan informasi rahasia kepada
orang asing”. Ia kini masih berada di penjara Liudaowan, yang terkenal
mengerikan karena siksaan dan perlakuan buruk kepada para tahanan.
Adelaide Abankwah melarikan diri dari Ghana karena takut menghadapi mutilasi
alat kelamin perempuannya. Ia mencari suaka di Amerika Serikat. Setelah dua
tahun perjuangan hukum, ia diberi suaka oleh Dewan Banding Imigrasi Amerika
Serikat pada tahun 1999 setelah pengadilan federal di New York memutuskan
bahwa ia mempunyai ketakutan yang sangat beralasan akan dimutilasi alat
kelaminnya kalau ia pulang ke negaranya. Suatu kasus pengadilan Amerika
Serikat yang menjadi tonggak bersejarah di tahun 1996 memutuskan bahwa

6
ketakutan akan mutilasi alat kelamin perempuan dapat menjadi alasan untuk
memberikan suaka. Berjuta-juta perempuan dan anak perempuan terus mengalami
trauma terhadap mutilasi alat kelamin perempuan di banyak negara.

3.2 Metode dan Prosedur Pengolahan Data


Dalam konteks Indonesia, perjuangan kaum perempuan menentang diskriminasi
dan ketimpangan gender harus juga berhadapan dengan ancaman pelanggaran Hak
Azasi Manusia yang paling primitif di dalam kehidupan masyarakat modern, yakni
pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Ancaman pelanggaran hak sipil dan politik
tersebut hinggap pada kaum perempuan secara individual maupun kolektif.
Pelanggaran hak sipil dan politik itu mengambil bentuk yang beraneka ragam
mulai dari pemukulan, penangkapan, perkosaan, hingga pembunuhan. Semua
pelanggaran ini terutama terjadi di wilayah-wilayah yang sekarang ini memiliki
kecenderungan konflik yang tinggi.
Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik sesungguhnya memberi
perlindungan terhadap hak-hak individual. Namun untuk kasus Indonesia, korban
pelanggaran hak sipil dan politik sebagian justru berwatak kolektif. Pelanggaran ini
juga menimpa kaum perempuan. Tindak kekerasan terhadap perempuan,
sesungguhnya tidak lagi sekedar menjadi perilaku oknum yang menyimpang.
Tindak kekerasan terhadap perempuan sudah merupakan bagian dari sistematika
penundukan masyarakat sipil oleh negara.
Kondisi kehidupan perempuan yang demikian menjadi landasan yang membedakan
berbagai gerakan perempuan di Indonesia dengan gerakan perempuan di negara-
negara industri maju. Kaum perempuan di Indonesia menghadapi problem ganda
dalam perjuangannya. Pertama, kaum perempuan harus berhadapan dengan
kekuasaan yang otoriter. Kedua, pada saat yang bersamaan kaum perempuan juga
harus menghadapi ideologi patriarki yang menjadi latar belakang kebijakan-
kebijakan yang berkaitan dengan masalah perempuan. Di negara-negara industri
maju, problem hak-hak sosial politik relatif terlindungi. Dengan demikian, gerakan
perempuan lebih dapat mengkonsentrasikan diri pada masalah ketimpangan
hubungan gender dalam sistem masyarakat.
Lain halnya dengan yang terjadi di Indonesia. Parahnya situasi perlindungan
terhadap hak sipil dan politik membuat nasib kaum perempuan menjadi sangat

7
rentan. Bahkan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang dianggap domestik pun
perempuan tidak terlindungi hak-hak sipil dan politiknya. Baik keluarga, komunitas
setempat atau lingkungan tempat tinggalnya ternyata tidak sanggup menanggung
ancaman tersebut. Sementara itu akibat internasionalisasi tenaga kerja dan
penetrasi modal, perjuangan perempuan juga harus menjawab tantangan maslah
diskriminasi upah, perlindungan keselamatan kerja di tingkat perusahaan,
pelecehan seksual oleh atasan, dan sebagainya.

3.3 Metode dan Prosedur Penganalisaan Data


Istilah ‘kekerasan terhadap kaum perempuan’ berarti segala bentuk kekerasan yang
berdasar jender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau
penderitaan fisik, seksual, psikologis pada kaum perempuan. Termasuk didalam
kategori ini adalah ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan yang semacam itu,
seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang
terjadi di tempat umum atau dalam kehidupan pribadi seseorang.

Kekerasan terhadap perempuan diantaranya meliputi:

a. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga.


Termasuk didalamnya pemukulan, penyalahgunaan seksual terhadap anak-anak
perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang bertalian dengan mas kawin
yang tidak dibayarkan, perkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan,
perusakan terhadap alat kelamin (mutilasi) perempuan, dan praktek-praktek
tradisonal lain yang merugikan kaum perempuan, kekerasan yang terjadi di luar
hubungan suami-istri dan kekerasan lain yang berhubungandengan eksploitasi.
b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum,
termasuk perkosaan, penyalahgunaan seks, pelecehan seksual dan nacaman-
ancaman di tempat kerja, di sekolah-sekolah dan dimana saja serta perdagangan
perempuan maupun pemaksaan pelacuran.
c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja oleh
negara dimanapun terjadinya.
d. Sterilisasi dan pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat-alat
kontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan dan pemilihan
jenis kelamin bayi pra kelahiran.

8
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA

4.1 Uraian Secara Singkat


Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan oleh
sebagian masyarakat. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan
perempuan di rumah (sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor
publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya
ekonomi, sosial, dan politik. Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan juga
menjadi obyek yang sangat riskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan
terhadap perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan
pengebirian terhadap Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi
perempuan (Women’s Human Rights).
Kekerasan terhadap perempuan adalah kesuliatan yang paling utama dalam usaha
menegakkan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi perempuan di seluruh dunia.
Tindak kekerasan telah menghalangi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan sosial dan kehdupan bernegara di negaranya. Hak-hak demokrasi
mereka pun tidak diakui. Semakin meningkatnya tindak kriminal terhadap
perempuan adalah akibat langsung dari tidak diakuinya persamaan hak antara pria
dan perempuan. Ketidak adanya pengakuan akan adanya kesejajaran antara pria
dan perempuan inilah yang mendorong aktifis feminis di penjuru dunia
memperjuangkan sebuah konvensi yang bersifat internasonal yang mengatur
penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnya
dan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa
kecuali.

9
BAB V
ANALISA DATA

5.1 Analisa Kuantitatif


Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan pada tanggal 29 Juli 1980 yaitu ketika diadakan
konferensi sedunia tentang Perempuan di Coppenhagen, Denmark. Empat tahun
kemudian yakni pada tanggal 24 Juli 1984 Konvensi ini diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan.
Jauh sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi
Internasional yang berkaitan dengan persamaan hak perempuan dan laki-laki.
Piagam dan Konvensi itu antara lai adalah Piagam PBB, Konvensi yang berkaitan
dengan pekerjaan perempuan di dalam tanah dan pertambangan, Konvensi yang
berkaitan dengan pembayaran kepada pekerja laki-laki dan perempuan untuk
pekerjaan yang sama nilainya (Konvensi ILO No. 100), Konvensi Hak-hak Politik
Perempuan (UU No. 18/1956).
Konvensi terhadap diskriminasi dalam pendidikan, dan sebagainya. Beberapa
prinsip dalam konvensi-konvensi tersebut secara eksplisit telah tertuang pula dalam
peraturan perundangan kita.
Namun jika kita kaji lebih jauh tampak bahwa pelaksanaan Konvensi ini
menghadapi kendala struktural maupun kultural. Kendala kultural menyangkut
sikap masyarakat yang masih enggan untuk mengakui persamaan laki-laki dengan
perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai ajaran agama, adat, dan
budaya yang masih dianut sampai saat ini. Tragisnya sikap ini kemudian diadopsi
menjadi sikap resmi negara sebagaimana diatur dalam penjelasan UU Nomor 7
tahun 1984 yang berbunyi:
“Dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan
tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta
norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh
masyarakat Indonesia.”

10
Dari bunyi penjelasan tersebut jelaslah bahwa ada ketidak-konsistenan dalam usaha
menerapkan konvensi ini (antara lain menghilangkan hambatan adat, tradisi,
budaya, dan ajaran agama yang mendiskriminasikan perempuan, sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 2,3,4,5 Konvensi), namun di pihak lain pelaksanaan
konvensi ini justru harus disesuaikan dengan adat, kebiasaan, tradisi, dan ajaran
agama. Akibatnya, di tingkat peraturan pelaksanaan, yang terjadi justru penguatan
asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai yang stereotype tersebut.

5.2 Kesimpulan dari Analisa


Kendala struktural berkaitan dengan berbagai kebijakan baik yang umum maupun
yang khusus yang ditujukan kepada kaum perempuan yang secara prinsipil juga
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi ini. Jika kita simak
isi pasal 1 Konvensi Perempuan ini, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan dan
penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia adalah prasyarat mutlak untuk dapat
terlaksananya Konvensi ini. Namun tampaknya ada keengganan dan inkonsistensi
dari pemerintah yang disatu pihak menendatangani dan meratifikasi Konvensi
Perempuan, tapi di lain pihak enggan atau menolak mengakui/meratifikasi
Konvensi HAM lainnya, seperti Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Penolakan untuk
mengakui HAM jelas merupakan kendala dalam upaya untuk menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan, sehingga pelaksanaan Konvensi Perempuan ini
menjadi sangat problematis.
Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak azasinya
masih jauh dari yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi
jaminan bahwa hak-hak tersebut akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacam
agenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagai
konvensi tersebut. Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja, tetapi juga kaum
laki-laki. Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Azasi Manusia
umumnya dan Hak Azasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun
perempuan tanpa kecuali.

11
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Ungkapan Kembali Secara Singkat


Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan oleh
sebagian masyarakat. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan
perempuan di rumah (sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor
publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya
ekonomi, sosial, dan politik. Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan juga
menjadi obyek yang sangat riskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan
terhadap perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan
pengebirian terhadap Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi
perempuan (Women’s Human Rights). Karena pada akhirnya segala usaha utuk
pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnya dan Hak Asasi Perempuan khususnya
bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia
baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.

6.2 Nyatakan Kembali Metode yang Digunakan


Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak azasinya
masih jauh dari yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi
jaminan bahwa hak-hak tersebut akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacam
agenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagai
konvensi tersebut. Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja, tetapi juga kaum
laki-laki. Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Azasi Manusia
umumnya dan Hak Azasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun
perempuan tanpa kecuali.

12
6.3 Utarakan Kembali Penggarapan Masalah

Kekerasan terhadap perempuan diantaranya meliputi:

a. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga.


Termasuk didalamnya pemukulan, penyalahgunaan seksual terhadap anak-anak
perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang bertalian dengan mas kawin
yang tidak dibayarkan, perkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan,
perusakan terhadap alat kelamin (mutilasi) perempuan, dan praktek-praktek
tradisonal lain yang merugikan kaum perempuan, kekerasan yang terjadi di luar
hubungan suami-istri dan kekerasan lain yang berhubungandengan eksploitasi.

b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum,
termasuk perkosaan, penyalahgunaan seks, pelecehan seksual dan nacaman-
ancaman di tempat kerja, di sekolah-sekolah dan dimana saja serta perdagangan
perempuan maupun pemaksaan pelacuran.

c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja oleh
negara dimanapun terjadinya.

d. Sterilisasi dan pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat-alat


kontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan dan pemilihan
jenis kelamin bayi pra kelahiran.

6.4 Saran dan Rekomendasi yang Relevan


Seorang perempuan yang mencari penghapusan diskriminasi atau perlindungan

haknya sebagaimana yang disimpulkan bahwa hukum Indonesia perlu diubah.

Dalam sistem hukum negara, seorang perempuan tersebut menemui pengakuan.

Pengakuannya terdapat dalam UUD 1945 maupun Pancasila secara perlu

diperbaiki maupun TAP MPR No.XVII/MPR/1998 sebagaimana dilaksanakan UU

No.39/1999 secara cukup bagus.

13
DAFTAR PUSTAKA

Djumhardjinis, 2006, Pendidikan Pancasila & Hak Asasi Manusia, Widya, Jakarta.

Erwin, Simponi, 2006, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta.

Koran Kompas, 2008

Kumpulan Artikel-Artikel di Internet

S. Soemarsono(Tim Lemhanas), 2004, Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia, Jakarta

14

Vous aimerez peut-être aussi