Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.4 Sistematika
A. Bagian Permulaan
- Judul
- Hal Kata Mutiara
- Kata Penghargaan
- Daftar Isi
1
B. Bagian Analisa
- Pendahuluan
- Analisa Landasan
- Analisa dan Penetapan Metode yang Digunakan
- Pengumpulan dan Penyajian Data
- Analisa Data
- Kesimpulan dan Saran
C. Bagian Akhir
- Daftar Pustaka
- Lampiran
2
BAB II
ANALISA LANDASAN
3
2.2 Penampilan Anggapan
Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap perempuan (The Declaration on the
Elimination of Violence Against Women) yang ditandatangani pada bulan
Desember 1993, dalam pembukaannya menyatakan:
“violence against women is a manifestation of historically unequal power relations
between men and women which have led to domination over and discrimination
against women by men.”
Yang artinya “kekerasan melawan perempuan adalah satu penjelmaan dari
menurut sejarah Power berbeda hubungan di antara para laki-laki dan perempuan
yang mana telah memimpin ke dominasi berlalu dan diskriminasi melawan
perempuan oleh orang-orang”.
Deklarasi ini menerima kenyataan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan
adalah suatu bentuk manifestasi dari sajarah dan telah terkonstruksi secara sosial.
Tetapi, tindak kekerasan ini dipandang telah melanggar norma-norma yang berlaku
secara universal terhadap penghormatan Hak Asasi Manusia, dan negara
berkewajiban untuk memberikan hukuman bagi pelakunya.
Kekerasan terhadap perempuan adalah kesuliatan yang paling utama dalam usaha
menegakkan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi perempuan di seluruh dunia.
Tindak kekerasan telah menghalangi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan sosial dan kehdupan bernegara di negaranya. Hak-hak demokrasi
mereka pun tidak diakui. Semakin meningkatnya tindak kriminal terhadap
perempuan adalah akibat langsung dari tidak diakuinya persamaan hak antara pria
dan perempuan. Ketidak adanya pengakuan akan adanya kesejajaran antara pria
dan perempuan inilah yang mendorong aktifis feminis di penjuru dunia
memperjuangkan sebuah konvensi yang bersifat internasonal yang mengatur
penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
4
dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan di
mampu diberikan dalam spektrum pemberitaan di media massa, baik cetak maupun
elektronik. Upaya mobilisasi dan pengorganisasian untuk menanggulangi berbagai
masalah perempuan, seperti dalam penanganan kasus perkosaan dan pelecehan
seksual misalnya, masih sulit untuk dilakukan. Namun betapapun suramnya,
perkembangan ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan. Hal ini nampak setelah
dibandingkan dengan lamanya ‘masalah perempuan’ menjadi terbengkalai karena
ditangani oleh birokrasi yang tidak tanggap mengikuti perkembangan. Namun di
sisi lain, lingkungan yang cenderung eksklusif ini juga mendorong masalah
perempuan menjadi bahan diskusi akademis yang ‘mewah’. Artinya ada
kecenderungan untuk memandang bahwa masalah-masalah yang menyangkut
kaum perempuan belum mendapatkan prioritas.
5
BAB III
ANALISA DAN PENETAPAN METODE
6
ketakutan akan mutilasi alat kelamin perempuan dapat menjadi alasan untuk
memberikan suaka. Berjuta-juta perempuan dan anak perempuan terus mengalami
trauma terhadap mutilasi alat kelamin perempuan di banyak negara.
7
rentan. Bahkan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang dianggap domestik pun
perempuan tidak terlindungi hak-hak sipil dan politiknya. Baik keluarga, komunitas
setempat atau lingkungan tempat tinggalnya ternyata tidak sanggup menanggung
ancaman tersebut. Sementara itu akibat internasionalisasi tenaga kerja dan
penetrasi modal, perjuangan perempuan juga harus menjawab tantangan maslah
diskriminasi upah, perlindungan keselamatan kerja di tingkat perusahaan,
pelecehan seksual oleh atasan, dan sebagainya.
8
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA
9
BAB V
ANALISA DATA
10
Dari bunyi penjelasan tersebut jelaslah bahwa ada ketidak-konsistenan dalam usaha
menerapkan konvensi ini (antara lain menghilangkan hambatan adat, tradisi,
budaya, dan ajaran agama yang mendiskriminasikan perempuan, sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 2,3,4,5 Konvensi), namun di pihak lain pelaksanaan
konvensi ini justru harus disesuaikan dengan adat, kebiasaan, tradisi, dan ajaran
agama. Akibatnya, di tingkat peraturan pelaksanaan, yang terjadi justru penguatan
asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai yang stereotype tersebut.
11
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
12
6.3 Utarakan Kembali Penggarapan Masalah
b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum,
termasuk perkosaan, penyalahgunaan seks, pelecehan seksual dan nacaman-
ancaman di tempat kerja, di sekolah-sekolah dan dimana saja serta perdagangan
perempuan maupun pemaksaan pelacuran.
c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja oleh
negara dimanapun terjadinya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Djumhardjinis, 2006, Pendidikan Pancasila & Hak Asasi Manusia, Widya, Jakarta.
14