Vous êtes sur la page 1sur 5

Karya tulis dibawah ini merupakan murni hasil analisis dari:

Nama : Raden Zulfikar Soepinarko Putra


NPM : 2011 200 206
Kelas : A
Adapun semua sumber telah dicantumkan pada catatan kaki. Apabila ada kesalahan
penulisan ataupun substansi mohon sekiranya dimaklumi. Terima kasih.

ISU HUKUM1
Angka kejahatan seksual yang tidak kunjung turun membuat pemerintah mencari
solusi terbaik untuk memutus rantai tersebut. Jaksa Agung M Prasetyo
mengungkapkan, salah satu solusinya adalah dengan memutus atau mengebiri saraf
libido dari pelaku kejahatan seksual.
Prasetyo menuturkan, kejahatan seksual sudah masuk kategori kejahatan luar
biasa, sehingga penanganannya juga harus luar biasa. "Jadi selain diatur dalam
Undang-undang Perlindungan Anak tentunya kami perlu mencari terobosan yang
betul-betul bisa perlu menjerakan itu. Kasih hukuman tambahan dikebiri, kata
Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, kemarin.
Prasetyo menjelaskan bahwa hukuman pengebirian yang dimaksud adalah
dengan disuntik atau ditambahkan hormon perempuan kepada pelaku kejahatan
seksual berjenis kelamin pria, sehingga dengan demikian diharapkan nafsu
pelampiasan seksualnya berkurang atau hilang. "Karena itu negara luar sudah
melakukan, bahkan negara maju. Kalau tidak kami khawatir terjadi pelecehan seksual
terhadap anak-anak kembali. Itu merusak masa depan mereka semua," kata dia.

1 CNN Jakarta, PEMERINTAH SEPAKAT PENJAHAT SEKSUAL ANAK


DIKEBIRI http://www.cnnindonesia.com/nasional/2015102103470912-86230/pemerintah-sepakat-penjahat-seksual-anak-dikebiri/
diakses pada 28 September 2015

Untuk landasan hukum, kata Prasetyo, pemerintah sedang mempertimbangkan


pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk
hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Lebih jauh, Prasetyo
mengatakan pelaku kejahatan seksual akan dieksekusi setelah proses inkracht,
termasuk hukuman pengebirian tersebut. "Paling tidak sudah memberikan sinyal pada
mereka, jangan coba-coba melakukan kejahatan kepada anak-anak," ujar dia.
Pernyataan Prasetyo tersebut dilontarkan dalam Rapat Terbatas Pembahasan
Anak kemarin dan mendapatkan dukungan dari Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa
dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek. Nila menilai bahwa pelaku kejahatan seksual
harus diberi pemberatan hukuman berupa pengebirian, supaya muncul efek
psikologis. "Pemberatan hukum yakni dengan pengebirian," kata dia.
Sementara itu, Niam mengatakan rapat terbatas tersebut menunjukan
komitmen politik Presiden yang luhur dan sangat berarti bagi penanganan kasus
kejahatan atas anak. "Selama ini mekanisme hukum tidak menjerakan sehingga
pelaku cenderung mengulangi dan tidak jera. Kami harap pemerintah segera
menindaklanjuti pembentukan Perppu untuk hukuman tambahan ini," kata Niam
melalui pernyataan kepada CNN Indonesia.
Lembaga yang dipimpinnya juga mengusulkan adanya revolusi mental dalam
melihat kelembagaan keluarga sebagai sekolah anak. "Salah satunya adalah dengan
pendidikan pranikah secara masif sebagai suatu gerakan sistemik," katanya. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 784 kasus kekerasan seksual anak
pada Januari hingga Oktober 2014.
ANALISIS HUKUM

Menurut data yang terkumpul dari beberapa sumber, kasus pencabulan anak
merupakan suatu masalah yang membutuhkan tanggapan yang serius. Berdasarkan

data LPSK selama Januari hingga Juni 2015 tercatat sebanyak 37 laporan terkait
tindak pidana atas anak yang masuk. Dari jumlah tersebut, 24 diantaranya merupakan
laporan kasus kekerasan seksual atas anak. sejak 2010 sampai tahun 2014 jumlahnya
mencapai 22 juta kasus. Kasus kekerasan seksual mencapai 42%. Dari 24 kasus,
terdapat 11 laporan terkait kasus persetubuhan, 9 kasus pencabulan, 2 kasus
pemerkosaan dan 2 laporan kasus pelecehan seksual.2
Sementara, untuk 13 kasus lainnya, terdiri atas 10 laporan kasus penganiayaan anak
dan pembunuhan, 1 laporan pencabulan anak dan tindak perdagangan orang serta 1
laporan perampasan kemerdekaan terhadap anak di bawah umur.3 Pada 2014 lalu
Komnas Perlindungan Anak juga menyatakan dari 2750 kasus kekerasan terhadap
anak dilaporkan terjadi sepanjang tahun, 58 persen diantaranya merupakan kekerasan
seksual terhadap anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga
mencatat sebanyak 459 kasus kekerasan seksual anak terjadi per Juni 2014. Kekerasan
seksual tersebut berupa pemerkosaan, sodomi, pencabulan dan pedofilia.
Dari data diatas, banyaknya kasus kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur
sangatlah banyak. Terlihat bahwa negara kurang memperhatikan permasalahan ini,
sehingga penegakan maupun regulasinya dianggap kurang memberikan efek jera.
Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak sejak tahun
2002. Tetapi kasus kejahatan seksual terhadap anak masih saja marak. Undangundang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 sudah mengatur hukuman 15 tahun
2 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150730151027-20-69131/kekerasanseksual-anak-dominasi-laporan-ke-lpsk/ diakses pada 28 Oktober 2015

3 http://nasional.sindonews.com/read/1055492/15/pro-kontra-kebiri-predator-anak1445534629 diakses pada 28 Oktober 2015

pernjara bagi pelaku kekerasan, namun, para pelaku banyak yang tidak dijatuhi
hukuman 15 tahun karena faktor pembuktian yang tidak optimal, sehingga hal ini
tidak memberi efek jera.
Dalam hal ini dapat dikatakan Indonesia sedang mengalami keadaan darurat
kekerasan seksual anak. Sehingga untuk menanggulanginya, pemerintah harus segera
membuat peraturan yang menimbulkan efek jera. Landasan hukum yang paling cepat
adalah PERPPU, mengingat apabila merevisi UU akan menghabiskan waktu lebih
lama. System penegakannya haruslah dirubah. Hukuman yang baik tidak selalu berat,
akan tetapi hukuman yang baik adalah hukuman yang dapat menimbulkan efek jera
kepada para pelakunya agar tidak melakukan perbuatan tersebut lagi.
Sanksi mengenai mengebiri saraf libido para pelaku kejahatan seksual
terhadap anak dinilai cukup solutif dalam menyikapi permasalahan ini. Karena
mungkin dengan hanya menerima hukuman penjara saja, hal tersebut tidak cukup
membuat jera para pelaku, karena dapat dikatakan kejahatan yang dilakukannya pun
menyangkut kejiwaan yang dialami orang tersebut. Sehingga apabila setelah
menjalani hukuman penjara dan pelaku tersebut kembali ke masyarakat, pelaku
tersebut masih berkemungkinan untuk kembali melakukan kejahatan tersebut.
Sehingga sanksi tersebut dianggap belum efektif untuk benar-benar menghilangkan
perilaku pedofilia.
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau
remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 tahun atau lebih tua)
biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak
prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubersitas dapat
bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja

(16 tahun atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia. Menurut Moh.
Farihin dan Yulinda W (2012) dalam tulisannya "Konsep Asuhan Keperawatan Anak
Pedofilia" mengatakan, Pedofilia adalah perbuatan seks yang tidak wajar dimana
terdapat dorongan yang kuat berulang-ulang berupa hubungan kelamin dengan anak
prapubertas atau kesukaan abnormal terhadap anak, aktifitas seks terhadap anakanak.4
Dari penjelasan singkat diatas mengenai pedofilia, maka dapat disimpulkan bahwa
pedofilia merupakan penyakit kelainan kejiwaan, sehingga hukumannya yang tepat
ialah hukuman yang berhubungan dengan penyakit kejiwaannya tersebut. Maka saya
rasa cukup tepat untuk menjatuhkan hukuman kebiri terhadap para pelaku kejahatan
seksual anak. Tetapi saya tidak setuju apabila kebiri yang dimaksud adalah kebiri fisik
yang berarti organ reproduksi pria tersebut diamputasi, akan tetapi saya menyetujui
apabila kebiri yang dimaksud adalah pengebirian kimia yaitu memasukkan zat
antiandrogin melalui pil atau suntikan yang bisa menurunkan atau menghilangkan
hasrat seksual pelakudengan cara memberikan pelaku pendampingan serta rehabilitasi
baik secara fisik, mental, dan psikis, agar tidak lagi mengulangi perbuatannya.

4 Nur Hidayati, Perlindungan Anak terhadap Kejahatan Kekerasan


Seksual (Pedofilia), Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 14 No. 1, April
2014.

Vous aimerez peut-être aussi