Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
disusun oleh :
Andhika Tatag Prahara
01.211.6324
Pembimbing:
Kolonel CKM dr. Budi Wiranto Sp.THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PATOFISIOLOGI PENYAKIT HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Kepaniteraan Klinik Bagian THT-KL
RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang
oleh :
Andhika Tatag Prahara
01.211.6324
PATOFISIOLOGI HIDUNG
Dalam makalah tutorial klinik kali ini akan dibahas mengenai penyakit-penyakit pada
hidung sesuai SKDI 2012, meliputi:
1. Epistaksis 4A
2. Furunkel pada hidung 4A
3. Rhinitis akut 4A
4. Rhinitis alergi 4A
5. Rhinitis vasomotor 4A
1. EPISTAKSIS
a. Definisi
Keluarnya darah dari cavum nasi. Epistaksis merupakan suatu gejala dan bukan suatu
penyakit.
b. Etiologi
1.
Kelainan lokal
o Trauma
Benturan, mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus teralu kuat, terkena
pukulan, jatuh, kecelakaan, terkena benda tajam, atau trauma pembedahan dapat
menjadi penyebab-penyebab traumatic yang menimbulkan epistaksis.
o Kelainan anatomi
Kelainan septum nasi berupa spina septi yang tajam dapat melukai hidung sendiri
dan menimbulkan epistaksis.
Kelainan sistemik
o Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang seringkali berat. Penyakit sistemik
lain dapat berpa arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, atau diabetea
mellitus.
o Kelainan darah (trombositopenia, hemofilia)
Kelainan darah yang menyebabkan epistaksis epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia, hemofilia atau anemia.
o Infeksi sistemik
Demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan mobile sering menyebabkan
epistaksis.
epistaksis anterior
Dari pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau dari ethmoidal anterior.
Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang
epistaksis posterior
Dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya
lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sering ditemukan pada pasien dengan
penderita kardiovaskuler.
d. Diagnosa
Anamnesis :
-
Lokasi perdarahan, apakah bila pasien duduk tegak darah mengalir ke tenggorok
(posterior) ataukah keluar dari hidung depan
Kecenderungan perdarahan
Pemeriksaan fisik:
-
Vital sign
Rhinoskopi anterior-posterior
Pemeriksaan penunjang
-
Pemeriksaan lab (darah lengkap, hapusan darah,faal hemostasis, tes fungsi hati, tes
fungsi ginjal,dll)
Radiologi x-photo, CT scan, MRI (berkaitan dengan trauma dan penyakit lain)
e. Tatalaksana
3 prinsip utama penatalaksanaan epistaksis
1.
Menghentikan perdarahan
2.
Mencegah komplikasi
3.
Menghentikan Perdarahan
Jika seorang pasien dengan epistaksisa datang, maka pasien harus diperiksa dalam
posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dengan meletakkan bantal di
belakang punggungnya, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah,
dicari sumber perdarahan. Menekan ala nasi selama 5-15 menit, untuk epistaksis
pada pleksus Kiesselbach akan berhenti atau setidaknya berkurang.
Perdarahan anterior
Bila sumber perdarahan dapat terlihat,tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO3) 20-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim
antibiotik (gel metronidazole).
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, yaitu kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salep antibiotik. Yang dimasukkan melalui nares anterior. Tampon yang dipasang
ini harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan
selama 1 2 hari.
Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan agak sukar mencari sumber perdarahan di posterior dengan rinoskopi
anterior, sehingga kadang-kadang tidak mungkin untuk mencari sumber perdarahan
itu.
f. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena proses epistaksis atau karena proses usaha
penanggulangan epistaksis sendiri.
o Aspirasi darah ke saluran napas
o Syok
o Anemia
o Tekanan darah menurun hipoksia iskemia serebriinsufisiensi koronerinfark
miokard kematian
o Infeksi
o Pemasangan tampon rhinosinusitis otitis media
o Septicemia
o Hemotimpanum
o Air mata berdarah
Iritasi
Tekanan
Gesekan
c. Gejala
Mula-mula nodul kecil kemudian menjadi pustul nekrosis menyembuh setelah pus
keluar sikatriks. Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya
di hidung.bisa timbul gejala prodromal yang seperti demam, malaise, mual.
d. Penatalaksanaan
Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompres dengan solusio sodium
chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau framycetine sulfat
kassa steril.
Antibiotik sistemik : mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib diberikan terutama
pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik (levofloksasin
500mg/hari) diberikan selama 5 hari. Lebih baiknya, antibiotik diberikan sesuai dengan
hasil kultur bakteri terhadap sensivitas antibiotik.
3. RHINITIS ALERGI
a. Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. (Von
Pirquet, 1986)
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE (WHO ARIA, 2001)
b. Patofisiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen Inhalan
Yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya debu rumah, tungau, serpihan
epitel, dan bulu binatang serta jamur.
b. Alergen Ingestan
Yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
c. Alergen Injektan
Yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen Kontaktan
Yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik,
perhiasan.
Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:
a. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah system
imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada
defek dari system imunologik maka reaksi berlanjut dengan respon tertier.
c. Respons tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
WHO Initiative ARIA (Alletgic Rhinitis and Its Impact on Asthma) membagi berdasar sifat
berlangsungnya yaitu:
Tahap Sensitisasi
Alergen masuk diterima APC (makrofag/monosit) setelah diproses oleh APC
Antigen membentuk fragmen2 pendek peptide & bergabung dengan HLA II yang
berada pada permukaan sel APC dipresentasikan ke sel Th0.
Kemudian APC akan melepas sitokin (IL 1) mengaktifkan Th0 untuk proliferasi
menjadi Th1 / Th2
Catatan : bila pajanan bersifat sitotoksik Th1
Bila allergen / cacing berarti Th 2
KARENA ini merupakan reaksi alergi maka yang dibentuk adlah Th2 Th2
mengeluarkan sitokin (IL 3, IL 4, IL 5,dan IL 13) IL 4 & IL 13 akan berikatan
FASE
SENSITISASI
Gambaran histologik
Gejala khas : bersin-bersin berulang, terutama pagi hari atau setelah paparan debu
Gejala lain : rinore encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
kadang lakrimasi
Pemeriksaan fisik
-
Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, warna pucat, secret encer dan banyak.
Bila persisten : mukosa hipertrofi.
Nasoendoskopi: bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena sekunder
karena obstruksi hidung (allergic shiner).
Dapat ditemukan hal-hal berikut:
Allergic crease : garis melintang pada dorsum nasi 1/3 bagian bawah akibat bekas
gosokan tangan anak
Facies adenoid : Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi ()
Pemeriksaan penunjang
-
In vitro :
o Hitung eosinofil darah tepi : dapat normal/meningkat
o IgE total : seringkali normal kecuali jika terdapat bersamaan penyakit alergi
lain
o igE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)/ ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Test)
In vivo :
o Mencari allergen penyebab (skin test, uji intrakutan atau intradermal tunggal
atau berseri (SET))
o Alergi makanan diidentifikasi dengan Intracutaneus Provocative Dilutional
Food Test (IPDFT) atau diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test)
d. Penatalaksanaan
a. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya.
b. Simtomatis
-
Medikamentosa
1.
Antihistamin-1
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (kiasik) dan generasi-2 (non sedatif).
1. Antihistamin generasi-1 : bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara
topikal adalah azelastin.
Chlorpheniramin
1. Dewasa
dapat
keamanannya.
dibagi
Kelompok
menjadi
pertama
golongan
adalah
menurut
astemisol
dan
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgN03 25% atau triklor asetat.
e. Komplikasi
a.
Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
b.
Otitis media
c.
Sinusitis paranasal
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga menghambat drenase
4. Rinitis akut
o Definisi
Radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus.
Penyakit ini sering ditemukan dan merupakan manifestasi :
o Rinitis simpleks (commod cold)
o Influenza
o Beberapa penyakit eksantesma (morbili, variola, varisela, pertusis), dan
beberapa penyakit infeksi spesifik.
o Penyakit ini dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal
atau trauma.
a) Rinitis Simpleks (Pilek, Salesma, Common cold, Coryza)
Penyakit ini sangat menular dan gejalanya dapat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan,
adanya penyakit menahun dll).
Etiologi :
Rhinovirus
Myxovirus
Virus coxsackie
Virus ECHO
Gejala :
a. Rasa panas
b. Kering
c. Gatal dalam hidung
d. Bersin bersin berulang
e. Hidung tersumbat
f. Ingus encer (disertai demam dan nyeri kepala)
g. Permukaan hidung tampak merah dan membengkak
a. Sinusitis
b. Tuba katar
c. Otitis media
d. Faringitis
e. Bronkitis
f. Penumon
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik
Non medikamentosa :
Istirahat
Medikamentosa (simtomatis) :
Analgetik
Antipiretik
Obat dekongestan
5. RHINITIS VASOMOTOR
a. Definisi
1.
(vasomotor catarrh, vasomotor
rinorhea,
nasal
vasomotor
hidung
yang
disebabkan
oleh
bertambahnya
aktivitas
parasimpatis.
b. Etiologi :
yang pasti belum diketahui, tapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan
fungsi vasomotor yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan hipersekresi.
Faktor 2 yang mempengaruhi keseimbangan Vasomotor :
1. Obat2an yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis (spt : ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal).
2. Faktor fisik (spt : iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembapan udara yang
tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan panas).
3. Faktor endokrin (spt : kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan
hipotiroidisme).
4. Faktor psikis (spt : rasa cemas, tegang).
c. Patofisiologi
1. Neurogenik (disfungsi saraf otonom)
Hidung dipersarafi oleh serabut simpatis dan parasimpatis. Serabut
simpatis berasal dari korda spinalis segmen Th1-2 dengan fungsi
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar.
Serabut simpatis melepas ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y
yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus
simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya siklus ini,
seseorang akan mampu untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui
rongga hidung yang berubah-berubah luasnya. Sedangkan serabut
parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina
dan
membentuk
n.vidianus.
Serabut
parasimpatis
2.
Neuropeptida
Terjadi disfungsi oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris
serabut C di hidung. Rangsangan abnormal ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance-P dan calcitonin
gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
4.
d. Diagnosis
1.
Anamnesis :
Harus memahami dulu, siklus nasal adalah kemampuan untuk dapat bernapas
RHINITIS VASOMOTOR
Terapi
Pengobatan bervariasi tergantung faktor penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab
2. Pengobatan simtomatis dengan Dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka
yang hipertrofi memakai larutan AgNO3 25% atau triklor asetat pekak.
3. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal budesonid 2x sehari, dosis 100200 mikrogram sehari dapat ditingkatkan 400 mikrogram sehari..
4. Operasi dengan cara bedah beku, elektrokauter atau konkotomi konka inferior.
5. Neuroktomi n.vidianus dapat komplikasi : sinussitis, diplopia, buta,
gangguan lakrimasi, neuralgia atau anastesis infraorbita dan anestesis palatum.
RINITIS MEDIKAMENTOSA
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan pada hidung, berupa gangguan respon
normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat ttes
hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini
disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan (iritant),
sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat vasokonstriktor
topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu,
dan akan berfungsi kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. Pemakaian
vasokonstriktor topikal yang berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan
terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriktor,
sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan
pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut, sehingga efek
vasokonstriksi berkurang. pH hidung berubah dan aktifitas silia terganggu,
sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan
sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti
jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel
mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi seket yang berlebihan.
Oleh karena itu obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik dengan
sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta pemakaiannya tidak
lebih dari satu minggu.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung
dalam waktu lama ialah :
1. silia rusak
2. sel goblet berubah ukurannya
3. membran nasal menebal
4. pembuluh darah melebar
5. stroma tampak edem
6. hipersekresi kelenjar mukus
7. lapisan submukosa menebal
8. lapisan periostium menebal
Gejala dan tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus. Pada pemeriksaan tampak
edem konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin,
edem konka tidak berkurang.
Terapi
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung
2. untuk
mengatasi
sumbatan
berulang
(rebound
congestion)
beri
2.2. Anatomi
Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus
paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke
dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus
sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus
maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang
pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior
sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18
tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis
tengah.
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang
menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi sinus paranasal adalah:
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara
sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang
b.
c.
d.
e.
akan terdesak.
Sebagai pengatur udara (air conditioning).
Peringan cranium.
Resonansi suara.
Membantu produksi mukus.
Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping
Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus
frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi:
a. Grup Anterior :
Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
Ostia di meatus medius
Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
Ostia di meatus superior
Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
2.3. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahuntahun).
2.3.1. Penyebab sinusitis akut
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan
normal
tidak
menimbulkan
penyakit
(misalnya
Streptococcus
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula
halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
2.4. Klasifikasi
2.4.1. Secara klinis
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
a. Sinusitis akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang
melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut
dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau
memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, terdapat
transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret
yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen.
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan interval bebas
penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai memburuknya gejala pada
pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara tiba-tiba, dengan kembali ke gejala awal
setelah perawatan. Untuk mendiagnosis rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor
mayor 2 faktor minor. Jika hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.
b. Sinusitis kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama
eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut, selain itu gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen.
Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini yaitu : sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sinobronkitis), bronkiektasi, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan
sulit diobati.
Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang
menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami
hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak
memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam patogenesis
rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang umum terisolasi pada sinusitis
kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti
Pseudomonas aeruginosa.
2.4.2. Berdasarkan penyebab
2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari
mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus
yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang
ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang
dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah
menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika
terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan
semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis
2.6.Diagnosis
2.6.1. Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
Kriteria Mayor
a. Sekret nasal yang purulen
b. Drainase faring yang purulen
c. Purulent Post Nasaldrip
d. Batuk
e. Foto rontgen (Watersradiograph atau
Kriteria Minor
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Sakit gigi
e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum
h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan 2 kriteria
minor.
menunjukan
suatu
penebalan
mukosa,
air-fluid
level,
dan
Gambar 2.3
Posisi Caldwell
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila.
Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa
sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial
mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film proyeksi waters
dengan mulut
terbuka
pandangan
terhadap
paranasal.
memberikan
semua
sinus
Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka
Gambar 2.5
Posisi Waters
c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.
Gambar 2.6
Posisi lateral
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa
lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang
berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala
yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta
kadang nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi oleh karena:
(1) merupakan sinus paranasal yang terbesar
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga
aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari
gerakan silia
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus
alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila
(4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di
sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah
tersumbat.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya
sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di
bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di
gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga.
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung,
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan
menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar
pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang
sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur.
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.
c. Sinusitis Kronis
terjadi
gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan
polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.
Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni
pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA
dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum
maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sphenoid dan ethmoid.
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur
oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran
pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadangkadang pengapuran perifer.
f) Tumor
2.7.Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik
(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol
dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi,
diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka
diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin
sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan
antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau nasoendoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
c.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.
maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada
obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2.8 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi
isi orbita.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,
kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang
mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.