Vous êtes sur la page 1sur 57

PATOFISIOLOGI PENYAKIT HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT- KL


RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang

disusun oleh :
Andhika Tatag Prahara
01.211.6324
Pembimbing:
Kolonel CKM dr. Budi Wiranto Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN
PATOFISIOLOGI PENYAKIT HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Kepaniteraan Klinik Bagian THT-KL
RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang

oleh :
Andhika Tatag Prahara
01.211.6324

Magelang, Juli 2015


Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Pembimbing,

Kolonel CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL

PATOFISIOLOGI HIDUNG
Dalam makalah tutorial klinik kali ini akan dibahas mengenai penyakit-penyakit pada
hidung sesuai SKDI 2012, meliputi:
1. Epistaksis 4A
2. Furunkel pada hidung 4A
3. Rhinitis akut 4A
4. Rhinitis alergi 4A
5. Rhinitis vasomotor 4A
1. EPISTAKSIS
a. Definisi
Keluarnya darah dari cavum nasi. Epistaksis merupakan suatu gejala dan bukan suatu
penyakit.
b. Etiologi
1.

Kelainan lokal

o Trauma
Benturan, mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus teralu kuat, terkena
pukulan, jatuh, kecelakaan, terkena benda tajam, atau trauma pembedahan dapat
menjadi penyebab-penyebab traumatic yang menimbulkan epistaksis.
o Kelainan anatomi
Kelainan septum nasi berupa spina septi yang tajam dapat melukai hidung sendiri
dan menimbulkan epistaksis.

o Kelainan pembuluh darah


Seringkali kongenital karena pembuluh darah yang lebih tipis dan jaringan ikatnya
sedikit
o Infeksi lokal
Dapat terjadi pada rhinitis atau sinusitis atau infeksi spesifik seperti rhinitis jamur,
tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
o Benda assing
o Pengaruh udara lingkungan
o Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinom. Epistaksis berat terjadi
pada angiofibroma.
2.

Kelainan sistemik

o Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang seringkali berat. Penyakit sistemik
lain dapat berpa arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, atau diabetea
mellitus.
o Kelainan darah (trombositopenia, hemofilia)
Kelainan darah yang menyebabkan epistaksis epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia, hemofilia atau anemia.
o Infeksi sistemik
Demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan mobile sering menyebabkan
epistaksis.

o Perubahan tekanan atmosfir


Epistaksis ringan sering terjadi ketika cuaca sangat dingin atau kering.
o Perubahan hormonal
Wanita hamil dan menopause dapat mengalami epistaksis karena perubahan
hormonal.
o Kelainan kongenital
Telangiektasis hemoragik herediter dan Von Willebrand Disease dapat menjadi
penyebab epistaksis
c. Patogenesis
Sumber perdarahan:

epistaksis anterior
Dari pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau dari ethmoidal anterior.
Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang

hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Kebanyakan terjadi pada anak,


berulang dan bisa berhenti sendiri.
-

epistaksis posterior
Dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya
lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sering ditemukan pada pasien dengan
penderita kardiovaskuler.

d. Diagnosa
Anamnesis :
-

Riwayat perdarahan sebelumnya

Lokasi perdarahan, apakah bila pasien duduk tegak darah mengalir ke tenggorok
(posterior) ataukah keluar dari hidung depan

Lama perdarahan dan frekuensinya

Kecenderungan perdarahan

Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

Riwayat penyakit lain (hipertensi, diabetes, penyakit hati,jantung,dll)

Riwayat penggunaan obat-obatan (antikoagulan, NSAID, fenilbutazon,dll)

Riwayat trauma (terutama pada hidung)

Pemeriksaan fisik:
-

Vital sign

Rhinoskopi anterior-posterior

Pemeriksaan penunjang
-

Pemeriksaan lab (darah lengkap, hapusan darah,faal hemostasis, tes fungsi hati, tes
fungsi ginjal,dll)

Radiologi x-photo, CT scan, MRI (berkaitan dengan trauma dan penyakit lain)

e. Tatalaksana
3 prinsip utama penatalaksanaan epistaksis
1.

Menghentikan perdarahan

2.

Mencegah komplikasi

3.

Mencegah berulangnya epistaksis

Menghentikan Perdarahan
Jika seorang pasien dengan epistaksisa datang, maka pasien harus diperiksa dalam
posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dengan meletakkan bantal di
belakang punggungnya, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah,
dicari sumber perdarahan. Menekan ala nasi selama 5-15 menit, untuk epistaksis
pada pleksus Kiesselbach akan berhenti atau setidaknya berkurang.

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon,


lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis
berhenti dengan sendirinya.
Pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/50001/10.000 dan pantocain/lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokontriksi
biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior
hidung.

Perdarahan anterior
Bila sumber perdarahan dapat terlihat,tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO3) 20-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim
antibiotik (gel metronidazole).
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, yaitu kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salep antibiotik. Yang dimasukkan melalui nares anterior. Tampon yang dipasang
ini harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan
selama 1 2 hari.

Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan agak sukar mencari sumber perdarahan di posterior dengan rinoskopi
anterior, sehingga kadang-kadang tidak mungkin untuk mencari sumber perdarahan
itu.

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon


posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana
(nares posterior). Pada tampon bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada
satu posisi dan sebuah benang pada sisi lainnya.
Untuk memasang tampon posterior kateter karet dimasukkan melalui nares anterior
sampai tampak di orofaring lalu ditarik keluar melalui mulut. Ujng kateter
kemudian diikatkan pada 2 buah benang tampon bellocq kemudian kateter itu
ditarik keluar melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares
anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan tangan, tampon itu diletakkan di
nasofaring. Jika dianggapperlu bila masih tampak perdarahan keluar dari rongga
hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior kedalam nares arteriow.
Kedua benang yang keluar dari nares arterior itu kemudian diikat pada sebuah kain
kasa didepan lubang hidung supaya tampon yang terletak di nasifaring tidka
bergerak. Benang yang sehelai pada sisi lain dari tampon bellocq itu diikatkan pada
pipi pasien. Gunanya ialah untuk mengeluarkan tampon ke luar melalui mulut
setelah 2-3 hari.
Sebagai pengganti tampon posterior dipakai juga kateter Foley dengan balon. Pada
epistasis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon
anterior maupun posterior dilakukan ligasi arteri.
Ligasi a.etmoid posterior dan a.sfenopalatina dapat dilakukan dengan
membuat sayatan di dekat kantus medialis. Pembuluh darah tersebut di dinding
media orbita. Ligasi a. Maksila interna yang terletak di fosa pterogomaksila dapat

dilakukan melalui operasi Caldwell Luc dan kemudian mengangkat dinding


posterior sinus maksilla.

f. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena proses epistaksis atau karena proses usaha
penanggulangan epistaksis sendiri.
o Aspirasi darah ke saluran napas
o Syok
o Anemia
o Tekanan darah menurun hipoksia iskemia serebriinsufisiensi koronerinfark
miokard kematian
o Infeksi
o Pemasangan tampon rhinosinusitis otitis media
o Septicemia
o Hemotimpanum
o Air mata berdarah

o Laserasi palatum molle karena pemasangan tampon bellocq


g. Pencegahan
Dicari penyebab epistaksis dengan pemeriksaan penunjang.
2. FURUNKEL HIDUNG
a. Definisi
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya.
Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari satu tempat disebut
karbunkel.

Gambar pembentukan furunkel


b. Etiologi dan faktor predisposisi
-

Iritasi

Tekanan

Gesekan

Dermatitis (kerusakan dari kulit dipakai sebagai jalan masuknya Staphylococcus


aureus)

Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor predisposisi :


malnutrisi atau keadaan keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes
mellitus.

c. Gejala
Mula-mula nodul kecil kemudian menjadi pustul nekrosis menyembuh setelah pus
keluar sikatriks. Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya
di hidung.bisa timbul gejala prodromal yang seperti demam, malaise, mual.
d. Penatalaksanaan
Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompres dengan solusio sodium
chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau framycetine sulfat
kassa steril.
Antibiotik sistemik : mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib diberikan terutama
pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik (levofloksasin
500mg/hari) diberikan selama 5 hari. Lebih baiknya, antibiotik diberikan sesuai dengan
hasil kultur bakteri terhadap sensivitas antibiotik.
3. RHINITIS ALERGI
a. Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. (Von
Pirquet, 1986)
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE (WHO ARIA, 2001)

b. Patofisiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen Inhalan
Yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya debu rumah, tungau, serpihan
epitel, dan bulu binatang serta jamur.
b. Alergen Ingestan
Yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
c. Alergen Injektan
Yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen Kontaktan
Yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik,
perhiasan.
Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:
a. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah system
imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada
defek dari system imunologik maka reaksi berlanjut dengan respon tertier.

c. Respons tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
WHO Initiative ARIA (Alletgic Rhinitis and Its Impact on Asthma) membagi berdasar sifat
berlangsungnya yaitu:

Tahap Sensitisasi
Alergen masuk diterima APC (makrofag/monosit) setelah diproses oleh APC
Antigen membentuk fragmen2 pendek peptide & bergabung dengan HLA II yang
berada pada permukaan sel APC dipresentasikan ke sel Th0.
Kemudian APC akan melepas sitokin (IL 1) mengaktifkan Th0 untuk proliferasi
menjadi Th1 / Th2
Catatan : bila pajanan bersifat sitotoksik Th1
Bila allergen / cacing berarti Th 2
KARENA ini merupakan reaksi alergi maka yang dibentuk adlah Th2 Th2
mengeluarkan sitokin (IL 3, IL 4, IL 5,dan IL 13) IL 4 & IL 13 akan berikatan

dengan reseptor di permukaan limfosit B mengaktifkan limfosit B Limfosit B


memproduksi IgE masuk ke sirkulasi masuk ke jaringan diikat oleh reseptor Ig E
dipermukaan sel mastosit/basofil sel mast dan basofil menjadi aktif menghasilkan
SEL TERSENSITISASI.
Tahap Provokasi / Reaksi alergi
Ada 2 jenis yaitu RAFC (yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1
jam setelahnya dan RAFL (yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Apabila mukosa yang sudah tersensitisasi terpajan alergen yang samaalergen
akan berikatan dengan sel mast/basofil pada reseptor IgE spesifik menyebabkan
degranulasi sel. Degranulasi sel mast ini menghasilkan berbagai mediator kimia
(histamine, prostaglandin D2, LT D4). Mediator yang terlepas terutama histamin.
Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga
hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, vasodilatasi.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamine tersebut dinamakan reaksi alergi
fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen
dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepas
molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (Eosinophil Chemotactic factor of
Anaphylactic) dan NCEA (Neutrophil Chemotactic Factor of Anaphylactic). Kedua
molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ
sasaran. Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase
lambat (RAFL) sampai 24 hingga 48 jam
PADA RAFC

Sel mastosit memproduksi molekul kemotaktik akumulasi sel eosinofil &


neotrofil di jaringan target
PADA RAFL
Terjadi penambahan jumlah dan jenis sel-sel inflamasi (eosinofil,
neutrofil, limfosit, basofil, sel mast) di mukosa hidung dan peningkatan sitokin
dan sekret hidung yang meningkat (yang mengandung ICAM-1).

FASE
SENSITISASI

RAFC (< 1 JAM)

RAFL 24- 48 JAM


-

Gambaran histologik

o Dilatasi pembuluh darah


o Pembesaran sel goblet dan sel kelenjar mukosa
o Pembesaran ruang interseluler
o Penebalan membran basal
o Infiltrasi sel-sel eosinofil pada mukosa dan submukosa hidung
o Persisten: proliferasi jaringan ikat, hiperplasia mukosa (irreversibel)
c. Diagnosis
Anamnesis :
-

Gejala khas : bersin-bersin berulang, terutama pagi hari atau setelah paparan debu

Gejala lain : rinore encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
kadang lakrimasi

Riwayat atopi dalam keluarga

Pemeriksaan fisik
-

Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, warna pucat, secret encer dan banyak.
Bila persisten : mukosa hipertrofi.

Nasoendoskopi: bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena sekunder
karena obstruksi hidung (allergic shiner).
Dapat ditemukan hal-hal berikut:

Anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan (allergic


salute).

Allergic crease : garis melintang pada dorsum nasi 1/3 bagian bawah akibat bekas
gosokan tangan anak

Facies adenoid : Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi ()

Cobblestone appearance: dinding posterior faring tampak granuler dan edema

Penebalan dinding lateral faring

Geographic tongue : lidah seperti gambaran peta

Pemeriksaan penunjang
-

In vitro :
o Hitung eosinofil darah tepi : dapat normal/meningkat
o IgE total : seringkali normal kecuali jika terdapat bersamaan penyakit alergi
lain
o igE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)/ ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Test)

In vivo :
o Mencari allergen penyebab (skin test, uji intrakutan atau intradermal tunggal
atau berseri (SET))
o Alergi makanan diidentifikasi dengan Intracutaneus Provocative Dilutional
Food Test (IPDFT) atau diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test)

d. Penatalaksanaan
a. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya.
b. Simtomatis
-

Medikamentosa

1.

Antihistamin-1
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (kiasik) dan generasi-2 (non sedatif).
1. Antihistamin generasi-1 : bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara
topikal adalah azelastin.
Chlorpheniramin
1. Dewasa

: 3-4x4mg/hari (max 24 mg/hari)

2. Anak-anak 6-12 tahun: 0,5 dosis dewasa


3. Anak-anak 1-6 tahun : 0,25 dosis dewasa
Topical (intrasal) Azelastin
Azelastin nasal spray (137mcg per spray)
2. Antihistamin generasi 2
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat

reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,


antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non sedatif).
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedatif

dapat

keamanannya.

dibagi
Kelompok

menjadi
pertama

golongan

adalah

menurut

astemisol

dan

terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas


terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti
jantung dan bahkan kematian mendadak. Kelompok kedua
adalah loratadin, setirisin dan fexofenadin.
Cetirizine 1x10 mg/hari
Loratadine 1x10 mg/hari
2. Dekongestan oral
Ephedrine 3-4 x50 mg
Phenypropanolamine 3-4x 25 mg
Pseudoephedrine 3-4x60 mg
3. Dekongestan topical (intranasal)
Oxymethazoline tetes hidung 1-3 x 2-3 tetes larutan 0,05% (HCl) di
setiap lubang hidung
4. Kortikosteroid topikal (intranasal)
Dipilih apabila gejala utama sumbatan hidung akibat respon fase

lambat tidak berhasil diatasi. Yang sering dipakai adalah


kortikosteroid topikal

(beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid


topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya
plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan
lambat). Triamnicolone acetonide nasal spray 220 mcg/hari (2
semprotan tiap lubang hidung sehari)
5. Antikolinergik topikal
Ipratropium bromide 3-4 x 0,4-2 ml/hari (3-4 x 2 semprot)
6. imunoterapi
-

Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgN03 25% atau triklor asetat.

e. Komplikasi
a.

Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

b.

Otitis media

c.

Sinusitis paranasal
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga menghambat drenase

4. Rinitis akut
o Definisi
Radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus.
Penyakit ini sering ditemukan dan merupakan manifestasi :
o Rinitis simpleks (commod cold)
o Influenza
o Beberapa penyakit eksantesma (morbili, variola, varisela, pertusis), dan
beberapa penyakit infeksi spesifik.
o Penyakit ini dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal
atau trauma.
a) Rinitis Simpleks (Pilek, Salesma, Common cold, Coryza)
Penyakit ini sangat menular dan gejalanya dapat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan,
adanya penyakit menahun dll).
Etiologi :

Rhinovirus
Myxovirus
Virus coxsackie

Virus ECHO

Gejala :

Stadium prodormal (berlangsung beberapa jam)

a. Rasa panas
b. Kering
c. Gatal dalam hidung
d. Bersin bersin berulang
e. Hidung tersumbat
f. Ingus encer (disertai demam dan nyeri kepala)
g. Permukaan hidung tampak merah dan membengkak

Infeksi sekunder oleh bakteri

a. Sekret menjadi kental


b. Sumbatan hidung >>

Bila tidak terjadi komplikasi gejala akan berkurang pasien sembuh


sesudah 5 -10 hari.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

a. Sinusitis
b. Tuba katar
c. Otitis media
d. Faringitis
e. Bronkitis
f. Penumon
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik
Non medikamentosa :
Istirahat
Medikamentosa (simtomatis) :
Analgetik
Antipiretik
Obat dekongestan
5. RHINITIS VASOMOTOR
a. Definisi
1.
(vasomotor catarrh, vasomotor

rinorhea,

nasal

vasomotor

instability, non spesific allergic rinitis)


2.
Gangguan vasomotor ialah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan
mukosa

hidung

yang

disebabkan

oleh

bertambahnya

aktivitas

parasimpatis.
b. Etiologi :
yang pasti belum diketahui, tapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan
fungsi vasomotor yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan hipersekresi.
Faktor 2 yang mempengaruhi keseimbangan Vasomotor :
1. Obat2an yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis (spt : ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal).

2. Faktor fisik (spt : iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembapan udara yang
tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan panas).
3. Faktor endokrin (spt : kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan
hipotiroidisme).
4. Faktor psikis (spt : rasa cemas, tegang).
c. Patofisiologi
1. Neurogenik (disfungsi saraf otonom)
Hidung dipersarafi oleh serabut simpatis dan parasimpatis. Serabut
simpatis berasal dari korda spinalis segmen Th1-2 dengan fungsi
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar.
Serabut simpatis melepas ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y
yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus
simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya siklus ini,
seseorang akan mampu untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui
rongga hidung yang berubah-berubah luasnya. Sedangkan serabut
parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina

dan

membentuk

n.vidianus.

Serabut

parasimpatis

menginervasi pembuluh darah dan kelenjar eksokrin. Pada perangsangan


akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal
peptida yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan sekresi hidung.
Dalam keadaan normal, perasarafan simpatis lebih dominan bekerja. Pada
rinitis vasomotor diduga terjadi karena ketidakseimbangan impuls saraf
otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem
parasimpatis.

2.

Neuropeptida
Terjadi disfungsi oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris
serabut C di hidung. Rangsangan abnormal ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance-P dan calcitonin
gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

dan peningkatan sekresi kelenjar hidung.


3. Nitrik oksida
Kadar NO yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat
merusak epitel sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke
lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut
trigeminal dan recruitment refleks vaskular dan kelenjar hidung.
Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari

4.

trauma hidung melalui mekanisme neurogenik/neuropeptida.

d. Diagnosis
1.

Anamnesis :

Dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor disingkirkan rinitis


alergi.

Harus memahami dulu, siklus nasal adalah kemampuan untuk dapat bernapas

dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.


Hidung tersumbat bergantian kanan kiri (tergantung pada posisi pasien),
Rinorhea mukus atau serus (terkadang agak banyak).
Jarang disertai bersin dan tidak terdapat rasa gatal pada mata.
Gejala memburuk pada pagi hari (waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab) atau memburuk oleh karena asap
rokok dsb.

Berdasarkan gejala yang menonjol kelainan ini dibedakan 2 golongan :


Golongan bersin (sneezers) : gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal
Golongan rinore (runners) : gejala dapat diatasi dengan pemberian antikolinergik
topikal
Golongan tersumbat (blockers) : kongesti umumnya memberikan respon yang
baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokontriksi oral
a. Pemeriksaan rinoskopi anterior (tampak gambaran klasik) :
Edema mukosa hidung
Konka berwarna merah gelap (merah tua) karakteristik, tapi dapat pula
pucat.
Dapat dibedakan dengan rinitis alergi konka licin (berbenjol / tidak rata),

sekret mukoid (biasanya sedikt di rongga hidung).


Pada gejala klinis Rinore sekret serous dan banyak jumlahnya.
b. PP lab dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Ditemukan eosinofil pada sekret hidung (tetapi jumlah sedikit)
Tes kulit biasanya (-)
RHINITIS ALERGI

RHINITIS VASOMOTOR

Sering ditemukan pada usia < 20 tahun

Sering ditemukan pada usia > 20 tahun

Skin test (+)

Skin test (-)

Terapi
Pengobatan bervariasi tergantung faktor penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab
2. Pengobatan simtomatis dengan Dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka
yang hipertrofi memakai larutan AgNO3 25% atau triklor asetat pekak.
3. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal budesonid 2x sehari, dosis 100200 mikrogram sehari dapat ditingkatkan 400 mikrogram sehari..

4. Operasi dengan cara bedah beku, elektrokauter atau konkotomi konka inferior.
5. Neuroktomi n.vidianus dapat komplikasi : sinussitis, diplopia, buta,
gangguan lakrimasi, neuralgia atau anastesis infraorbita dan anestesis palatum.
RINITIS MEDIKAMENTOSA
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan pada hidung, berupa gangguan respon
normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat ttes
hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini
disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan (iritant),
sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat vasokonstriktor
topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu,
dan akan berfungsi kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. Pemakaian
vasokonstriktor topikal yang berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan
terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriktor,
sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan
pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut, sehingga efek
vasokonstriksi berkurang. pH hidung berubah dan aktifitas silia terganggu,
sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan
sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti
jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel
mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi seket yang berlebihan.

Oleh karena itu obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik dengan
sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta pemakaiannya tidak
lebih dari satu minggu.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung
dalam waktu lama ialah :
1. silia rusak
2. sel goblet berubah ukurannya
3. membran nasal menebal
4. pembuluh darah melebar
5. stroma tampak edem
6. hipersekresi kelenjar mukus
7. lapisan submukosa menebal
8. lapisan periostium menebal
Gejala dan tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus. Pada pemeriksaan tampak
edem konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin,
edem konka tidak berkurang.
Terapi
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung
2. untuk

mengatasi

sumbatan

berulang

(rebound

congestion)

beri

kortikosteroid secara penurunan bertahap (tapering off) dengan menurunkan


dosis sebanyak 5 mg setiap hari. (misalnya hari 1 : 40 mg, hari 2 : 35 mg
dan seterusnya)

3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin). Apabila


dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 4 minggu, pasien dirujuk .

2.1. Penyakit Sinus Paranasal


Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam kedokteran -itis
berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis adalah
suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis
(terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat
berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang
terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut
pansinusitis.

2.2. Anatomi
Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus
paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke
dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan

dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus
sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus
maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang
pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior
sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18
tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis
tengah.
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang
menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi sinus paranasal adalah:
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara
sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang
b.
c.
d.
e.

akan terdesak.
Sebagai pengatur udara (air conditioning).
Peringan cranium.
Resonansi suara.
Membantu produksi mukus.

Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus
frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi:
a. Grup Anterior :
Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
Ostia di meatus medius
Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
Ostia di meatus superior
Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring

2.3. Etiologi

Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahuntahun).
2.3.1. Penyebab sinusitis akut
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan

normal

tidak

menimbulkan

penyakit

(misalnya

Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun


atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka
bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup
ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan
system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis
reaksi alergi terhadap jamur.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung.

Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula
halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

2.3.2. Penyebab sinusitis kronis


a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

2.3.3. faktor predisposisi


a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi
udara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik

e) Tumor atau neoplasma


f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.

2.4. Klasifikasi
2.4.1. Secara klinis
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
a. Sinusitis akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang
melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut
dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau
memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, terdapat
transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret

yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen.
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan interval bebas
penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai memburuknya gejala pada
pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara tiba-tiba, dengan kembali ke gejala awal
setelah perawatan. Untuk mendiagnosis rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor
mayor 2 faktor minor. Jika hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.

b. Sinusitis kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama
eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut, selain itu gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen.
Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini yaitu : sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sinobronkitis), bronkiektasi, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan
sulit diobati.
Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang
menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami
hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak
memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam patogenesis
rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang umum terisolasi pada sinusitis
kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti
Pseudomonas aeruginosa.
2.4.2. Berdasarkan penyebab

1) Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung). Segala sesuatu yang


menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya
rhinitis akut (influenza), polip dan septum deviasi
2) Dentogenik / odontogenik (penyebab kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinus terinfeksi adalah pada gigi geraham atas ( pre molar dan molar). Bakteri
penyebab tersering adalah Streptococcus aureus. Dasar sinus maksila adalah
prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas sehingga rongga sinus maksila
hanya terpisahkan tulang tipis dengan akar gigi bahkan kadang tanpa tulang
pembatas. Dapat dicurigai sinus dentogen bila terdapat gejala :
Hidung tersumbat
Nyeri tekan pada muka
Ingus purulent pada satu sisi
Kadang post nasal drip
Demam
Malaise

2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari
mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus
yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang
ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang
dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah
menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika

terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan
semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis

2.6.Diagnosis
2.6.1. Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
Kriteria Mayor
a. Sekret nasal yang purulen
b. Drainase faring yang purulen
c. Purulent Post Nasaldrip
d. Batuk
e. Foto rontgen (Watersradiograph atau

Kriteria Minor
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Sakit gigi
e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum
h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan 2 kriteria
minor.

2.6.2. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus
dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan
pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan
pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis.
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis
dengan

menunjukan

suatu

penebalan

mukosa,

air-fluid

level,

dan

perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi


untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus
lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus
terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal dengan titik
keluarnya nasion.

Gambar 2.3
Posisi Caldwell

b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila.
Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa
sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial
mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film proyeksi waters
dengan mulut

terbuka

pandangan

terhadap

paranasal.

memberikan
semua

sinus

Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka

Gambar 2.5
Posisi Waters

c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

Gambar 2.6
Posisi lateral

2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis


akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami
infeksi pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut.

C. menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut:


a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan
atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih
dari 7 hari.

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa
lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang
berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala
yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta
kadang nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi oleh karena:
(1) merupakan sinus paranasal yang terbesar
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga
aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari
gerakan silia
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus
alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila
(4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di
sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah
tersumbat.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya
sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di
bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di
gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga.

Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan


kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali
terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen
dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non
produktif seringkali ada.
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral
labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu
cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris
serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat
dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus
medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila
mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan
hidung.
c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi
sinus etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di
atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah
hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.

Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh


dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital,
di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih
lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi
satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada
penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata
bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis
ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung,
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan
menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar
pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang
sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur.
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.
c. Sinusitis Kronis

Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,


umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret
pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung
biasanya sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di
tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi
sumbatan tuba eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa
bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga

terjadi

gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan

polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.
Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.

3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni
pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA
dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum
maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sphenoid dan ethmoid.

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:


1) Penebalan mukosa,
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi
pus yang dapat dilihat pada foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista
dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada
sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup
sehingga drenase menjadi terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan
naso- endoskopi.
i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada
sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan
homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen,
pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin
lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus

c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur
oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran
pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadangkadang pengapuran perifer.
f) Tumor

2.7.Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik
(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol
dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi,
diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka
diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin
sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan
antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau nasoendoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

c.

Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.

2.7.2 Sinusitis Subakut


a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu
diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa
dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi
sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal
atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus
cara Proetz.
2.7.3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14
hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 1014 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal

maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada
obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

2.8 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi
isi orbita.

Terdapat lima tahapan :


1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi
sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena
lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali
merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang
makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis
septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang
berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan
juga dengan otak.

b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,
kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang
mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.

Vous aimerez peut-être aussi