Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Bener-bener deh si Imel! Tega banget! Masak gua seharian di tinggal sendirian
bareng Alvin? gerutuku.
Alvin memang cowok yang ganteng tapi aku tidak merasakan hal yang sama ketika aku
melihat Tristan.
Aku sendiri pun bingung dengan perasaan ini. Seharusnya aku tetap fokus pada
pendidikanku. Hari pertamaku saja sudah membuktikan bahwa aku tidak dapat mengikuti
pelajaran-pelajaran disini.
Tapi, siapa yang dapat menduga kalau rasa ini muncul begitu saja? Siapa yang bisa
menahan atau menghindarinya?
Its really a pain in the ass, but beautiful in the same time.
Mungkin aku terlalu berlebihan. Walaupun aku sangat menyukai Tristan, belum tentu
berlaku sebaliknya. Maybe hes not the right guy for me.
Mirel! Lupakan saja Tristan! Dia punya Imel! Lo harus fokus sama sekolah! kataku
pada diriku sendiri.
berkali-kali
membuka-pasang
karet
kuncirku.
Merapikan
rambutku,
menghilangkan rasa bosan di dalam mobil. Tapi tidak membantu sama sekali.
Mel? Emang selalu macet begini ya? tanyaku.
Iya. Emang begini. Biasa deh! Rebutan sama orang pulang kantor jawabnya.
Bosen ya? tanya Tristan.
Hah? Enggak kok. jawabku berbohong.
Emang di sana gak ada macet? tanya Imel.
untuk
1.So cute!
Minum soda dingin di saat haus memang nikmat. Sepertinya aku membutuhkan waktu lebih
lama dari yang aku perkirakan untuk beradaptasi lagi dengan udara Jakarta saat ini.
Aku berusaha mencari tombol on TV LCD yang berada di ruang keluarga. Tiba-tiba
suara tante Mirna mengagetkanku.
Bagaimana sekolahnya Mir? tanya tante Mirna.
Eh Tante! Eeng masih bingung. Belum terbiasa Tante, jawabku.
Papah kamu dah transfer uang. Kalo kamu mau belanja peralatan sekolah buat besok,
tante dah ambil uang kamu dua juta. kata tante Mirna.
Dua juta? Banyak banget cuma untuk peralatan sekolah? pikirku.
Iya Tante, terima kasih. ucapku.
Kamu mau pergi dengan supir atau sama Imel? Terserah,
Kalo sama Imel, Mirel musti tanya dulu. Takutnya capek.
Ah! Dia mah kalo urusan ke mal ga pernah capek! ujar tante Mirna.
Aku tertawa mendengar komentar tante Mirna. Sepertinya tante Mirna agak kesal
dengan kelakuan Imel. Yang kudengar dari mulut tante Mirna hanya pernyataanpernyataan sinis tentang Imel.
Sama supir aja deh. kataku.
Ya sudah. Terserah. Tapi hati-hati ya! Uangnya jangan sampai hilang! kata tante Mirna
seraya menyerahkan uang kepadaku.
Dua juta. Aku tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Dan aku tidak tahu apa saja
yang dapat aku beli dengan uang sebanyak itu. Sedikitkah? Banyakkah? Ternyata papah
sangat baik, mengirimkanku uang sebanyak ini kepadaku. Atau lebih banyak lagi?
Maaf Tante. Kalo boleh tahu, Papah kirim uang berapa ya? tanyaku.
Ooo pokoknya cukup kok buat keperluan kamu sekolah selama sebulan,
Cukup untuk sebulan? Kira-kira berapa ya? Kenapa sih, tante Mirna enggak kasih
tahu? tanyaku dalam hati.
Kamu mau berangkat sekarang? tanya tante Mirna.
Iya, tante. Keburu kemaleman. jawabku.
Hati-hati ya!
Ku jawab dengan anggukan dan ku melangkah cepat menaiki anak tangga menuju
kamar tamu untuk mengganti baju seragam Imel yang masih kukenakan.
Seharusnya sebelum berangkat, gua tanya ke Imel, buku-buku apa yang dibeli. Buku
tulis seperti apa yang dipakai? batinku sambil memandangi peralatan tulis yang ada
dihadapanku.
Begitu banyak jenis buku tulis membuatku bingung. Seandainya aku punya HP, mungkin
akan lebih mudah buatku.
Kira-kira si Imel dah bangun belum ya? pikirku.
Aku mengitari lemari-lemari alat tulis dan belum juga dapat membuatku menentukan
pilihan.
Bingung ya? suara dari belakang mengagetkanku dan tidak cukup sampai di situ.
Setelah ku lihat siapa yang menyapaku, keterkejutanku bertambah.
Tristan berada di depan mataku. Sungguh aneh!
Eh, Tristan! Sampe kaget. ujarku.
Sama Imel? tanyanya.