Vous êtes sur la page 1sur 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai
macam kebebasan. Penjara umumnya adalah institusi yang diatur pemerintah dan
merupakan bagian dari sistem pengadilan kriminal suatu negara, atau sebagai
fasilitas untuk menahan tahanan perang. Penjara di Indonesia dikenal dengan
sebutan Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di
bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.1
Meninggalnya narapidana di dalam penjara memang bukan satu-satunya
masalah yang dihadapi oleh Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Penjara juga
identik dengan masalah-masalah seperti kekerasan antara narapidana (juga
petugas

kepada

narapidana),

kerusuhan,

dan

pelarian.

Namun

tentang

meninggalnya narapidana di dalam penjara sejumlah catatan yang dapat diberikan.


Munculnya masalah tersebut tidak terlepas dari masalah yang dihadapi penjara
(Lembaga Pemasyarakatan) sebagai sebuah organisasi. 2 Penyebab narapidana di
penjara diantaranya disebabkan oleh keinginan dari diri sendiri (self inflicted),
bukan keinginan sendiri (non self-inflicted), pembunuhan (homicide), penyebab
mati tidak alami lain (other non-natural causes).3 Dalam hal ini, mengakhiri hidup
merupakan alternatif untuk menghilangkan penderitaan yang semakin diperparah
oleh kondisi penjara. Selain dari segi input, masalah penjara juga terkait dengan
proses dan manajemennya. Bahkan domain ini justru merupakan faktor dominan
munculnya sejumlah masalah di penjara.2

Sampai saat ini, kondisi penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi.


Jumlah narapidana yang melebihi kapasitas adalah pemandangan umum di
Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak narapidana yang tidak
mendapatkan sejumlah hak secara proporsional. Seperti tempat tidur yang layak,
air bersih, makanan yang layak, sanitasi, hak untuk informasi dan hiburan, ibadah,
kesehatan, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain. Padahal pemenuhan hak-hak
tersebut telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Sistem Pemasyarakatan. Serta dikukuhkan secara internasional melalui Standard
Minimum Rules (SMR) for the Treatment of Prisoners.2,3
Data selama tahun 2006 terdapat 813 narapidana meninggal di Lembaga
Pemasyarakatan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dari data tersebut
terbanyak terjadi di DKI Jakarta yaitu 321 kasus. Sementara pada tahun 2007
(Januari-Februari) terdapat 62 narapidana yang meninggal di berbagai LP di
Indonesia termasuk di Semarang.2
Mengingat besarnya kasus yang terjadi maka mendorong penulis untuk
membahas masalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang tersebut diatas, dibuatlah rumusan masalah
1. Bagaimana gambaran distribusi tingkat kematian tahanan di Lembaga
Pemasyarakatan kelas I Kedung Pane-Semarang?
2. Bagaimana

gambaran

penyebab

kematian

Pemasyarakatan kelas I Kedung Pane-Semarang?

tahanan

di

Lembaga

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui gambaran penyebab kematian di Lembaga Pemasyarakatan
Semarang pada periode tahun 2009-2010.

1.3.2

Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran distribusi tingkat kematian tahanan di
Lembaga Pemasyarakatan kelas I Kedung Pane-Semarang pada
periode tahun 2009-2010.
b. Diperolehnya gambaran penyebab kematian tahanan di Lembaga
Pemasyarakatan kelas I Kedung Pane-Semarang pada periode tahun
2008-2010.
c. Memenuhi salah satu tugas Kepanitraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal di RSUP Dr. Karyadi Semarang.

1.4 Manfaat Penelitian


a. Mengaplikasikan ilmu yang didapat di bangku kuliah dan aplikasi analisis
mutu pelayanan kesehatan dari segi kepuasan pasien.
b. Memperoleh pengalaman langsung dalam merencanakan, melaksanakan dan
menyusun hasil penelitian.
c. Menambah pengetahuan mahasiswa kedokteran tentang pola kematian tahanan
di Lembaga Pemasyarakatan Semarang.
d. Memberikan masukan pada pihak-pihak yang terlibat tentang angka kejadian
kematian

tahanan

di

Lembaga

Pemasyarakatan

diharapkan dapat terjadi penurunan kasus ini.

Semarang,

sehingga

e. Data yang diperoleh diharapkan berguna bagi peneliti lain sebagai data dasar
untuk penelitian selanjutnya.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Kematian
2.1.1 Pengertian
Secara sederhana kematian didefinisikan sebagai berhentinya kehidupan
secara permanen ditandai dengan berhentinya fungsi berbagai organ-organ
vital sebagai satu kesatuan yang utuh dan berhentinya konsumsi oksigen.[5]
2.1.2 Jenis Kematian
Pada intinya jenis kematian secara umum ada 2, yaitu jenis kematian
somatik / kematian klinis / kematian sistemik dan kematian seluler /
kematian molekuler, akan tetapi jenis kematian juga dibagi menjadi 5 jenis
secara lebih spesifik, yaitu:
a.

Kematian somatik / kematian klinis / kematian sistemik adalah


berhentinya fungsi sistem saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem
pernapasan secara irreversibel sehingga menyebabkan terjadinya
anoksia jaringan yang lengkap dan menyeluruh. Jadi stadium kematian
ini telah sampai pada kematian otak yang irreversibel (brain death
irreversible). Secara klinis tidak ditemukan refleks, EEG mendatar,
nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan
pernafasan dan suara pernafasan tidak terdengar pada auskultasi.

b.

Kematian seluler / kematian molekuler adalah berhentinya aktivitas


sistem jaringan, sel, dan molekuler tubuh, sehingga terjadi kematian
organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian

somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan


berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ
atau jaringan tidak bersamaan, hal ini penting dalam transplantasi
organ.
c.

Mati suri (suspend animation, apparent death) adalah terhentinya


ketiga sistem penunjang kehidupan yang ditentukan oleh alat
kedokteran sederhana. Dengan alat kedokteran yang canggih masih
dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi.

d.

Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversibel,


kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya
yaitu sistem pernafasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan
bantuan alat.

e.

Mati otak (batang otak) adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi
neuronal intrakranial yang irreversibel, termasuk batang otak dan
serebelum.

Diperlukan

pemeriksaan

tambahan

berupa

Electro

Enchephalo Graphy, untuk memastikan. 1,2

2.1.3

Tanda Pasti Kematian


a. Rigor Mortis
Rigor mortis berasal dari bahasa latin Rigor berarti stiff atau
kaku dan mortis yang berarti tanda kematian (sign of death). Rigor
mortis merupakan tanda kematian yang disebabkan oleh perubahan
kimia pada otot setelah terjadinya kematian, dimana tanda ini susah
untuk digerakkan dan dimanipulasi. [3,4]

Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin


bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem.
Kemudian setelah itu akan berangsur-angsur menghilang sesuai dengan
kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24 jam
postmortem) rigor mortis sudah tidak ada lagi. [3,4]
b. Livor Mortis (Lebam Mayat)
Lebam mayat adalah perubahan warna pada kulit berupa warna
biru-kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam vena dan kapiler
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih
rendah di sepanjang penghentian sirkulasi.{12]
Proses terbentuknya lebam mayat dimulai setelah sirkulasi
berhenti. Lebam mayat mulai terbentuk antara 1 sampai 2 jam setelah
kematian. Lokalisasi lebam pada bagian yang terendah dari tubuh
mayat, kecuali pada daerah-daerah yang tertekan.

[10,12]

Warna lebam

mayat pada umumnya adalah merah-ungu. [11,12]


c. Algor Mortis
Secara teoretis angka rata rata penurunan penuruna suhu mayat
adalah 0,5C setiap jam.[10]

2.2 Sistem Pemasyarakatan


2.2.1

Pengertian
Sebagai negara yang sudah merdeka dan juga sebagai negara
hukum, narapidana harus mendapat perlindungan hukum dari pemerintah
dalam rangka mengembalikan mereka kedalam masyarakat sebagai warga

negara yang baik. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana


hilang kemerdekaan di LAPAS (UU no.12 th 1995 pasal 1 ayat 7). Dengan
dasar membela dan mempertahankan hak asasi manusia pada suatu negara
hukum maka oleh Dr. Sahardjo S.H dikemukakan suatu gagasan
Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara yaitu disamping
menimbulkan

rasa

derita

pada

terpidana

karena

dihilangkannya

kemerdekaannya.
Negara membimbing terpidana dengan bertobat, mendidik
sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna.
Pembinaan narapidana secara institusional di dalam sejarahnya di
Indonesia dikenal sejak diberlakukannya Reglement penjara stbl. 1917 No.
708. Pola ini dipertahankan hingga tahun 1963. Pola ini mengalami
pembaharuan sejak di kenal sistem pemasyarakatan, dengan karakterisrik
sepuluh prinsip pokok yang semuanya bermuara pada suatu falsafah,
narapidana bukanlah orang hukuman.
Di dalam sistem pemasyarakatan, terdapat proses pemasyarakatan
yang diartikan sebagai suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak
didik masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ke
tengah-tengah masyarakat.
Pemikiran-pemikiran baru mengenai pembinaan yang tidak lagi
mengenai penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi sosial
warga binaan, maka Pemasyarakatan melahirkan suatu pembinaan yang di
kenal dan dinamakan Sistem Pemasyarakatan. Adapun yang dimaksud

dengan Sistem Pemasyarakatan dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995


Pasal (1) Ayat (2 ) adalah:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina
dan

masyarakat

untuk

meningkatkan

kualitas

Warga

Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak


mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

2.2.2

Lembaga Pemasyarakatan
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pidana penjara sebagai
pidana hukuman tumbuhnya bersamaan dengan sejarah perlakuan
terhadap terhukum (narapidana) serta adanya bangunan yang harus
didirikan dan pergunakan untuk menampung para terhukum yang
kemudian dikenal dengan bangunan penjara.
Dalam sistem baru pembinaan nrapidana bangunan Lembaga
Pemasyarakatan mendapat prioritas khusus. Sebab bentuk bangunan yang
sekarang ada masih menunjukkan sifat-sifat asli penjara, sekalipun image
yang menyeramkan dicoba untuk dinetralisir.
Penjara dulu sebutan tempat bagi orang yang menjalani hukuman
setelah melakukan kejahatan. Istilah penjara sekarang sudah tidak
dipakai atau sudah diganti dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan

10

karena sejarah pelaksanaan pidana penjara telah mengalami perubahan


dari sistem kepenjaraan yang berlaku sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda

sampai

munculnya

gagasan

hukum

pengayoman

yang

menghasilkan perlakuan narapidana dengan sistem pemasyarakatan


Tentang sistem Pemasyarakatan itu, Bambang Poernomo, S.H
berpendapat sebagai berikut: Suatu elemen yang berinteraksi yang
membentuk satu kesatuan yang integral, berbentuk konsepsi tentang
perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum pidana di atas dasar
pemikiran rehabilitasi, resosialisasi yang berisi unsur edukatif, korelatif,
defensif yang beraspek pada individu dan sosial .
Peran Lembaga Pemasyarakatan memudahkan pengintegrasian dan
penyesuaian diri dengan kehidupan masyarakat, tujuannya agar mereka
dapat merasakan bahwa sebagai pribadi dan warga negara Indonesia yang
mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara seperti
pribadi dan warga negara Indonesia lainnya serta mereka mampu
menciptakan opini dan citra masyarakat yang baik.

2.3 Kematian di Penjara (Death in Custody)


2.3.1

Pengertian
Istilah kematian dalam tahanan merujuk kepada semua kematian
yang terjadi pada individu yakni tahanan. Meskipun kebanyakan orang
sering mengartikan sebagai kematian di sel penjara tetapi sebenarnya
setiap kematian yang terjadi selama penangkapan, di mobil polisi, di
fasilitas rehabilitasi, atau bahkan di rumah sakit, hari, minggu atau bulan

11

setelah sebuah pertengkaran memenuhi syarat sebagai kematian dalam


tahanan. Meskipun sebagian besar kasus merupakan kematian akibat
proses natural, yang lain adalah akibat dari berbagai bentuk kekerasan atau
asfiksia. Kematian yang terjadi sementara dikendalikan oleh polisi sering
disebabkan oleh kombinasi faktor dan memerlukan penyelidikan kasus
rinci.
Kematian di penjara juga mungkin berkaitan dengan obat yang
dikonsumsi sebelum ditangkap, atau obat-obatan yang sah dibawa ke
dalam penjara dan dikonsumsi saat dipenjara. Karena sudah seyogianya
bagi pecandu alkohol untuk ditangkap, ditahan, kematian terkait dengan
komplikasi alkoholisme kronis sering terjadi dan mungkin termasuk
kejang gangguan, tremens delirium, dan efek lainnya ethanolism kronis
yang dapat menyebabkan kematian yang tak terduga. Kematian yang
terjadi ketika dalam tahanan bervariasi dan, berdasarkan pada sifat kasus
ini, perlu dinilai derajat ketelitian dalam penyelidikan dan detail otopsi.
Tanpa memperhatikan sifat jelas kasus ini, seseorang harus mengevaluasi
apakah ada kejanggalan atau cedera sebagai faktor dari kematian. Autopsi
dari orang yang meninggal di tempat penahanan dapat memberi kejelasan
untuk pihak keluarga dan sekaligus mengakhiri spekulasi penyebab
kematiannya.
2.3.2

Penyebab Kematian di Penjara


a. Self Inflected

Kematian Karena Keracunan Obat

12

Sudah lazim bagi mereka dengan obat-obatan terlarang


yang mereka miliki untuk cepat menelan obat untuk menghindari
deteksi ("body stuffer") pada konfrontasi dengan penegak hukum
ataupun petugas. Dalam kasus ini, efek toksik obat dapat
bermanifestasi dalam beberapa jam kemudian, sementara di
penjara, di mana orang itu mungkin saja mati tiba-tiba dari efek
toksik obat. Karena obat yang paling umum digunakan adalah
kokain atau methamphetamine, tahanan harus dipantau untuk
gejala-gejala

karakteristik

toksisitas

kokain

maupun

methamphetamine, yang dapat berupa berkeringat, hipertermia,


tremor, perubahan status mental, dan kejang. Sedangkan,
Penurunan respon atau koma dapat dirangsang oleh pemakaian
heroin. Pada otopsi, kita harus memastikan bahwa spesimen yang
dikumpulkan tepat, yang termasuk isi lambung. Dapat ditemukan
juga plastik obat kecil dan dapat juga sedikit gumpalan obat dalam
perut, duodenum, atau segmen lainnya usus yang berbentuk
batuan.

Bunuh diri dengan cara gantung diri


Tingkat bunuh diri di penjara adalah sekitar 10 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi umum, dan bunuh diri yang
paling sering terjadi yakni selama 24 jam pertama kurungan,
biasanya pada orang yang sedang intoksikasi. Dalam salah satu
kaji ulang 52 kematian gantung di penjara, sebanyak 33 kasus (63
persen) terjadi selama hari pertama narapidana di penjara. Korban

13

seringkali tidak memiliki riwayat penyakit mental atau sebelumnya


usaha bunuh diri sebelumnya. Gantung diri adalah cara yang
paling umum dilakukan ketika bunuh diri di penjara, diikuti
dengan memotong pergelangan tangan.
Ketika menyelidiki gantung diri di penjara, cara dan dan
motivasi seseorang untuk menggantung dirinya sendiri menjadi
evident (barang bukti). Karena semua jenis pakaian yang dapat
dibuat menjadi ligatur (seperti ikat pinggang dan tali sepatu)
biasanya disita pada kurungan, tahanan harus membuat ligatur dari
sisa pakaian atau selimut.
Gantung diri di penjara menggunakan kabel telepon dapat
juga ditemukan. Dalam kasus seperti ini, kabel telepon yang
dilingkarkan di sekitar leher dan gagang telepon disandingkan di
bawah dagu sedangkan orang merosot ke lantai di bawah telepon.
Perhatikan kabel telepon mengitari leher wanita yang gantung diri
di penjara (Gambar 1 ). Tentu saja, aspek yang paling penting dari
autopsi dalam tergantung penjara adalah untuk menentukan apakah
temuan otopsi konsisten dengan skenario kasus. Penyidik harus
menyingkirkan penyebab lain dari kematian dan memastikan
bahwa ada ada indikasi foul play. (trik bunuh diri)

14

Gambar 1. Kabel telepon mengitari leher wanita yang gantung diri di penjara

b. Non-Self Inflected

Cedera akibat benda tumpul


Orang bisa mengalami suatu cedera yang signifikan atau
bahkan fatal sewaktu dipenjara. Agresi membunuh terkait dengan
pemukulan dari aparat penegak hukum, tenaga penjara, narapidana,
dan penusukan dari narapidana lainnya walau jarang terjadi, tetapi
kematian dalam penjara merupakan insiden fatal terjadi dan harus
diselidiki secara seksama dan lengkap. Narapidana di sel tetangga
terbangun di tengah malam oleh jeritan dan suara yang datang dari
salah satu sel (Gambar 2). Ketika para penjaga dibuka pintu
elektronik dari sel, salah satu dari dua penghuni sel terhuyunghuyung keluar berlumuran darah (Gambar 3). Ia pingsan setelah

15

mengambil beberapa langkah melewati pintu selnya dan dibawa ke


rumah sakit penjara di mana ia meninggal.
Terdapat darah pada dinding bagian dalam sel terlebih pada
lantai dekat pintu (Gambar 4). Noda terbesar berada di bagian
dalam pintu dan lantai yang berdekatan (Gambar 5). Pada otopsi
diungkapkan lecet pada batang tubuh dan ekstremitas dan ekimosis
wajah, lecet, dan luka. Kulit kepala posterior parietal kanan telah
luka, dan ada ekstravasasi darah ke otot pada subgaleal dan
temporalis . Terdapat sejumlah kecil perdarahan subarachnoid dan
pembengkakan otak. Penyebab kematian disebabkan cedera tumpul
pada kepalanya dengan adanya kondisi reaksi psikotik akut terkait
dengan skizofrenia. Cara kematian adalah pembunuhan. Teman
satu selnya adalah seseorang dengan tinggi 6 kaki 3 inci dan berat
120 kilogram. Teman satu selnya berada pada tempat tidur susun
bagian bawah dan terbangun oleh si korban yang lebih muda, lebih
kecil ukuran tubuhnya mencoba memukul dan mencekik teman
satu selnya yang sedang ada dalam keadaan tidur. Teman satu
selnya melawan, menimbulkan trauma tumpul pada penyerang
sebelum para penjaga penjara membuka pintu sel. Si korban
meninggal itu memiliki sejarah psikiatri yang bermasalah.

16

Gambar 2

Gambar 3

17

Gambar 4

Gambar 5

a. Pemendaman

cedera

(harboured

injury)

yang

mengakibatkan kematian di dipenjara


Mereka yang dipenjara mungkin mengalami cedera yang
berkelanjutan sebelum mereka ditangkap atau menderita selama
penangkapan. Mereka mungkin memendam luka ini diam-diam dan
tanpa sepengetahuan orang lain, untuk beberapa periode waktu,
sampai cedera mereka cukup berkembang untuk menyebabkan
gejala yang signifikan dan mengakibatkan kematian. Individu dapat
saja mati di penjara atau setelah masuk ke rumah sakit. Individu
mungkin intoksikasi oleh alkohol dan / atau obat-obatan dan
mungkin tidak dapat memberikan keterangan. Selain itu, mungkin
sulit untuk membedakan gejala karena cedera dari efek alkohol dan /
atau keracunan obat. Untuk alasan ini, penting bagi personil penjara
untuk memantau kondisi fisik dan mental narapidana. Seorang pria

18

ditangkap karena memiliki heroin dan berusaha untuk melarikan diri


dari kantor polisi. Ia dipaksa tenang, dan walaupun dia mengeluh
tulang rusuk kiri rasa sakit selama pergumulan tersebut, ia tidak
mengeluh setelah dia dipenjara. Selama 5 hari di penjara, ia tidak
meminta perhatian medis. Pada hari kelima, dia mengeluh sakit
perut dan pingsan. Cardiopulmonary resusitasi telah dilakukan tapi
dia meninggal.
Otopsi diungkapkan tidak ada bukti luka eksternal,
meskipun perut sudah buncit. Secara internal, ekimosis dikelilingi
lateral fraktur dari tulang rusuk kiri bawah. Organ intraperitoneal
dan jaringan yang ada di dalam hemoperitoneum 2700-mililiter.
Sebuah bekuan darah ringan melekat ke robekan hilus limpa.
Sebuah laserasi subcapsular lienalis lebih luas intraparenchymally .
Sebuah ecchymosis mengepung duodenum dan kepala pankreas,
menunjukkan trauma tumpul ke pusat perut. Sebuah retrosternal
ecchymosis kiri menyusup.
b. Natural disease
Banyak orang meninggal secara tiba-tiba saat dalam
tahanan dan proses penyakit alamiah yang paling umum adalah
penyakit

kardiovaskular

aterosklerotik

dan

penyakit

jantung

hipertensi.
Otopsi memungkinkan dalam sertifikasi tepatnya penyebab
dan cara kematian dan berakhirnya spekulasi tentang penyebab
lainnya kematian dan kemungkinan cedera. Autopsi juga penting

19

dari sudut pandang penyakit menular, karena dapat menemukan TB,


meningitis, atau penyakit menular lainnya yang mungkin di dapat
dari orang terdekatnya.
Orang dengan penyakit alami yang di penjara harus juga
diotopsi, meskipun kemungkinan penyebab kematian mungkin sudah
diketahui. Autopsi penting tidak hanya untuk pengecualian cedera
yang tidak diketahui, tetapi juga untuk dokumentasi dari penyakit
alami yang dikenal.
Analisis toxicologic individu penting tidak hanya untuk
mengevaluasi penyalahgunaan obat, tetapi juga untuk menentukan
bahwa mereka mengkonsumsi obat dalam tahanan. Faktor-faktor ini
penting untuk dokumen, karena anggota keluarga mungkin bertanya
apakah mereka tidak menerima perawatan yang tepat dipenjara.
Tawanan

harus dipantau untuk tanda-tanda medis yang

akan datang mengenai kerusakan dan perubahan status neurologis


yang mungkin menyertai berbagai proses penyakit alami.
Perubahan

status

mental

juga

dapat

dikarenakan

kemungkinan suatu subdural hematoma atau cedera traumatis otak


lainnya, yang dapat terjadi pada pecandu alkohol yang terluka
sebelum ditangkap.

20

2.4 Epidemiologi
Menurut data selama tahun 2006 terdapat 813 narapidana meninggal di
penjara. Dari data tersebut terbanyak terjadi di DKI Jakarta yaitu 321 kasus.
Sementara pada tahun 2007 (Januari-Ferbruari) terdapat 62 narapidana yang
meninggal di berbagai LP di Indonesia, 22 di antaranya terjadi di Jakarta.
Jumlah kematian narapidana dan tahanan di penjara mengalami
peningkatan pada 2009. Kematian tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.
"Total 778 orang meninggal di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan
sepanjang 2009," kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Untung Sugiono di
Jakarta, Kamis 31 Desember 2009.
Menurut dia, jumlah tersebut terdiri dari 514 narapidana dan 264 tahanan.
Jumlah tersebut meningkat dari jumlah tahun 2008 yang berjumlah 750 orang
meninggal di penjara, terdiri dari 548 narapidana dan 202 tahanan.
Untung menambahkan, penyebab kematian dari tahanan dan narapidana di
penjara ini bermacam-macam. Mulai dari masalah kelebihan kapasitas penjara
hingga penyakit. "Kebanyakan sudah menderita penyakit sebelum masuk
penjara," kata dia.
Untung mengatakan masa tahanan dari orang-orang yang meninggal di
penjara ini bervariasi. Menurut dia, terdapat 509 orang yang meninggal pada masa
tinggal satu hingga enam bulan di penjara.
Kemudian, terdapat 166 orang meninggal dengan masa tinggal tujuh
hingga 12 bulan dalam penjara. Sebanyak 103 orang meninggal dengan masa

21

tinggal lebih dari 1 tahun. Total ada 778 orang meninggal di penjara pada tahun
2009.

2.5 Pencegahan
a. Sosialisasi Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Pembinaan Narapidana
Hak Asasi Manusia merupakan hak esensial yang dimiliki oleh setiap
manusia sebagaimana yang tertuang dalam Magna Charta atau Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Dalam perjalanan sejarah untuk mencegah terus
berlangsungnya pelanggaran-pelanggaran HAM, PBB menetapkan sejumlah
kovenan yang berkaitan dengan perlindungan HAM seperti Kovenan Hak
Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Hak
Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia,
Standar

Perlakuan

pemasyarakatan,

Minimum

terhadap

Konvensi Internasional

Narapidana/Warga

binaan

Penghapusan Semua

Bentuk

Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk


Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan lain-lain. Beberapa instrumen
internasional tersebut telah diratifikasi ke dalam perundang-undangan RI.
HAM melekat pada diri setiap manusia tanpa memandang bulu,
termasuk juga bagi narapidana/warga binaan pemasyarakatan. Standard
Minimum Rules for Prisoners (SMR)74 Standar Perlakuan Minimum bagi
Narapidana dan Warga binaan pemasyarakatan menyatakan bahwa hak yang
hilang daripada narapidana/warga binaan pemasyarakatan hanyalah hak atas
kebebasan. Akan tetapi hak-hak lain yang melekat pada dirinya harus tetap

22

diberikan selama mereka menjalani masa pidana/masa warga binaan


pemasyarakatannya.
Teori pemidanaan yang dari masa ke masa mengalami perubahan, pada
masa kini sudah tidak lagi berorientasi kepada tujuan pembalasan/penjeraan
yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan lebih
pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar para terpidana bertobat
dan tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan juga melindungi
masyarakat dari tindak kejahatan. Tata perlakuan ini dilaksanakan berdasarkan
Sistem Pemasyarakatan (berlaku sejak 27 April 1964).
Dengan berlandaskan prinsip tersebut, maka rutan/lapas diharapkan
dapat menampilkan fungsi yang diharapkan, antara lain : 76
1. Merupakan komunitas yang teratur dengan baik, seperti : tidak
membahayakan nyawa, kesehatan dan integritas personal.
2. Kondisinya tidak menambah kesulitan yang dialami narapidana akibat
pemidanaan.
3. Aktivitas di dalamnya sebanyak mungkin membantu narapidana untuk
mampu kembali ke masyarakat setelah menjalani pidananya

b. Pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB), Cuti


Mengunjungi Keluarga (CMK), dan Pembebasan Bersyarat (PB) dengan
Syarat-syarat Tertentu
Upaya lain dalam mengurangi kelebihan kapasitas (over kapasitas)
pada Rutan atau lapas adalah dengan pemindahan narapidana dari lapas atau
rutan yang over kapasitas ke lapas atau rutan yang masih memungkinkan

23

untuk menampung hunian narapidana sesuai dengan Keputusan Menteri


Hukum dan Ham No.M. 03- PK.02.01.Tahun 1991 tanggal 12 Juni Tahun
1991 tentang Petunjuk Pemindahan Napi.
Kelebihan kapasitas (over kapasitas) adalah salah satu faktor penyebab
tindak kekerasan di dalam rutan atau lapas. Karena itu untuk mengurangi
jumlah maka pemerintah melalui pembebasan bersyarat (PB), Cuti Menjelang
Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan Cuti Bersyarat (CB).
Secara umum pembebasan bersyarat, CMB, CMK dan CB adalah hak
yang diberikan kepada seorang narapidana untuk menjalani masa hukumannya
di luar tembok penjara.
Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.2.PK.04-10
Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yang diperoleh Kompas,
cuti

menjelang

bebas

adalah

proses

pembinaan

di

luar

lembaga

pemasyarakatan bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana,


minimal sembilan bulan berkelakuan baik, besarnya cuti sama dengan remisi
terakhir maksimal enam bulan.
Syarat-syarat dari program inipun sangat jelas. Di samping telah
menjalani 2/3 dari masa pidana dan berkelakuan baik akan diperoleh apabila ia
tidak pernah melanggar tata tertib atau pelanggaran disiplin, misalnya
melakukan tindak kekerasan terhadap narapidana atau warga binaan
pemasyarakatan lainnya. Di samping syarat berkelakuan baik, maka sang
narapidana juga harus menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan
yang dia lakukan dan telah menunjukkan budi pekerti yang baik.

24

Persyaratan substantif yang harus dipenuhi narapidana di antaranya,


berkelakuan baik selama menjalani pidana dan sekurang-kurangnya untuk
asimilasi dalam enam bulan terakhir, untuk pembebasan bersyarat, dan cuti
menjelang bebas dalam waktu sembilan bulan terakhir, dan cuti bersyarat
dalam waktu enam bulan terakhir tidak pernah mendapat hukuman disiplin
Cuti bersyarat, menurut peraturan tersebut, yaitu proses pembinaan di
luar lembaga pemasyarakatan bagi narapidana yang dipidana satu tahun ke
bawah, minimal telah menjalani 2/3 masa pidana, besarnya cuti maksimal tiga
bulan.

c. Peningkatan Pengawasan
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara aneka penghukuman
terhadap narapidana yang melakukan berbagai pelanggaran disiplin lembaga
(melakukan

pelanggaran

atas

aturan

dan

tata

tertib

lembaga

penahanan/penjara). Dalam instrumen nasional, terdapat hukuman tutupan


sunyi maupun hukuman untuk menghentikan atau menunda hak tertentu untuk
jangka waktu tertentu bagi narapidana yang dianggap melakukan pelanggaran
hukuman disiplin. Padahal dalam instrumen-instrumen internasional, bentuk
hukuman yang demikian ini dilarang.
Mengenai kelengkapan keamanan yang standar bagi petugas lembaga
penahanan atau pemenjaraan dalam menjalankan tugas kesehariannya, perlu
Sangat selektif dalam penggunaan senjata api. Dalam instrumen nasional,
penggunaan sensaja api justru dinyatakan secara eksplisit sebagai satu kondisi
yang umum/biasa.

25

Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru


masuk ke lembaga pemenjaraan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik
lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan
yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana. Bila dalam
instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh
pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional pemberian
pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok (Tampling)
adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa
hukuman dan perilaku patuh 'hukum' (sesungguhnya hanya patuh kepada
petugas) serta memililki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang
diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga
sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi penanggung jawab atas
ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar
dan dihuni oleh sejumlah narapidana.
Keberadaan lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau
oversight committee) pada instrumen internasional, berfungsi sebagai
pengawas atas bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan,
untuk memastikan bahwa lembagalembaga ini telah bekerja sebagaimana
aturan dan perundang-undangan yang berlaku.77Lembaga yang independen ini
juga memiliki otoritas atas akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan
dan terhadap narapidana.
Padahal

sesunnguhnya

Narapidana

pun

memiliki

hak

untuk

menyampaikan keluhan kepada lembaga pengawas yang independen ini secara

26

bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat lembaga pemenjaraan. Tentang


lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur dalam instrumen nasional.
Prinsip-prinsip dasar bahwa pengaturan lembaga pemenjaraan harus
meminimalkan berbagai perbedaan diantara kehidupan dalam lembaga dengan
kehidupan bebas, yang bertujuan untuk mengurangi pertanggung jawaban para
narapidana karena martabat mereka sebagai insan manusia, juga dianut oleh
instrumen nasional.
Hal-hal tentang pencatatan identitas diri narapidana, kategori-kategori
penempatan narapidana, akomodasi, kebersihan pribadi, pakaian narapidana
dan tempat tidur, makanan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain, meskipun tidak
diatur secara rinci sebagaimana dalam Standard Minimum Rules (UN), dalam
instruyen nasional pun hampir semuanya telah diatur, walaupun memang
dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang ketentuan yang secara eksplisit
disebut dalam Standard Minimum Rules (UN). Misalnya, dalam hal pemberian
pakaian, perlengkapan tidur,

77

Lembaga pengawas yang independen

ombudsman atau oversight committee telah diatur keberadaannya di dalam


instrumen internacional ketersediaan obat-obatan dan petugas medis demikian
pula masalah sanitasi dan ventilasi kamar atau sel narapidana.
Sehubungan dengan kekerasan yang terjadi karena over kapasitas
narapidana yang menempati rutan/lapas (faktor ini paling dominan). Bentukbentuk kebijakan pemidanaan yang dapat menimbulkan permasalahan akibat
dari kelebihan kapasitas ini.
Pertama, kebijakan kesehatan kurang maksimal sehingga hak dasar
kesehatan narapidana tidak terpenuhi. Dengan demikian, keterbatasan

27

anggaran dan penghuni rutan yang merupakan masalah klasik menjadi


permasalahan utama dalam menambah keterpurukan rutan.
Kedua,

kebijakan

Ketidaktentraman

di

terhadap

dalam

pelaku

penjara

tawuran

merupakan

didalam
suatu

penjara.
gambaran

ketidakstabilan kerja personil dalam menjalankan sistem yang ada. Dalam


mengatasi fenomena tawuran antar narapidana, pihak lembaga hanya bersifat
reaktif dalam melihat tawuran di dalam penjara tanpa melihat kebijakan
pencegahan tawuran tersebut ketika sudah terjadinya tawuran barulah pihak
dari rutan/lapas mencari sebab-musabab tawuran dan melakukan razia sejata
tajam di lembaga permasyarakatan. Kasus ini sebenarnya dapat dicegah
dengan melakukan pengawasan yang ketat dan tingkat kewaspadaan yang
tinggi.
Terdapat dua fakta penting tentang pentingnya aspek biologis yakni
awal kemunculan perilaku agresif sebagai karakteristik yang ada pada
beberapa individu dan perbedaan individu dalam terkena pengaruh berbahaya
lingkungan. Ada fakta yang menyatakan bahwa hormone memainkan peran
yang penting dalam menentukan perilaku kriminal. Hormon sangat diketahui
mempengaruhi banyak perilaku manusia dan dampak yang kompleks
dimediasi oleh banyak variabel baik biologis maupun sosial. Terdapat dua
fakta penting tentang pentingnya aspek biologis yakni awal kemunculan
perilaku agresif sebagai karakteristik yang ada pada beberapa individu dan
perbedaan individu dalam terkena pengaruh berbahaya lingkungan. Ada fakta
yang menyatakan bahwa hormon memainkan peran yang penting dalam
menentukan perilaku criminal. Hormon sangat diketahui mempengaruhi

28

banyak perilaku manusia dan dampak yang kompleks dimediasi oleh banyak
variabel baik biologis maupun sosialinteraksi sosial seseorang belajar apa
yang terjadi di lingkungannya. Demikian juga halnya, jika tidak difokuskan
pemilahan antara residivis dengan first ofender hampir dipastikan keduanya
berinteraksi melalui komunikasi sehingga adanya proses pembelajaran dan
berpeluang melakukan kejahatan kembali.78
Kedewasaan dan kematangan jajaran pemasyarakatan saat ini berjalan
seiring dengan bergulirnya tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan
yang bersih, profesional dan akuntabel. Perubahan dari sistem kepenjaraan ke
sistem pemasyarakatan membawa dampak demokrasi pembinaan yang
mengedepankan penghormatan dan penegakan hak asasi para narapidana serta
demokratisasi pembinaan. Di samping dampak positif yang manusiawi,
demokrasi pembinaan juga mengandung dampak negatif, yaitu menurunnya
disiplin narapidana, narapidana kurang hormat (dalam arti menghargai
petugas) dan petugas terlalu berhati-hati dalam menindak narapidana yang
melakukan pelanggaran karena adanya sanksi atasan terlalu berat dan tidak
berjenjang.

d. Pengelolaan Pengaduan atau Keluhan


Petugas Kesatuan Pengamanan Rutan juga bertanggung jawab pada
kegiatan diluar Rutan seperti pengawalan ke luar Rutan (ke rumah sakit,
pengiriman jenazah dan sebagainya) dan pemindahan narapidana ke Lembaga
Pemasyarakatan.

29

Petugas Kesatuan Pengamanan Rutan memiliki tanggung jawab untuk


mencegah masuknya barang terlarang ke dalam Rutan seperti narkoba, senjata
api, senjata tajam, minuman keras dan barang berbahaya lainnya yang dapat
mengganggu keamanan dan ketertiban kehidupan Rutan
Sistem pencegahan yang dapat dilakukan petugas rutan/lapas terhadap
warga binaan pemasyarakatan adalah dengan memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada warga binaan pemasyarakatan.

2.6 Aspek Medikolegal


2.6.1

Hak Tahanan(2)
a. Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim dari
petugas. Surat penahanan berisi identitas anda, alasan penahanan serta
uraian singkat tentang kejahatan yang disangkakan atau didakwakan
kepada anda serta tempat anda ditahan nantinya (pasal 21 ayat 2
KUHAP)
b. Meminta petugas menyerahkan tembusan surat perintah penahanan
kepada keluarga anda (pasal 21 ayat 3 KUHAP)
c. Ditempatkan secara terpisah berdasarkan jenis kelamin, umur serta
tingkat

pemeriksaan

(pasal

ayat

PerMenkeh

RI

No.

M.04.UM.01.06 tahun 1983)


d. Mendapat perawatan yang meliputi makanan [PP no. 58 TAHUN 1999
pasal 21] , pakaian dan makan [PP no. 58 TAHUN 1999 pasal 21-33],
tempat tidur, kesehatan rohani dan jasmani [PP no. 58 TAHUN 1999
pasal 14-19] (pasal 5 PerMenkeh RI)

30

e. Tidak diberlakukan wajib kerja bagi tahanan dan bila anda ingin
bekerja secara sukarela, anda harus mendapatkan ijin dari instansi yang
menahan (pasal 15 PerMenkeh RI )
f. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, diajukan kepada
penuntut umum dan kemudian proses ke pengadilan (pasal 50 ayat 1
dan 2 KUHAP). Dapat secara bebas memberikan keterangan kepada
penyidik (pasal 52 KUHAP)
g. Mendapatkan

bantuan

hukum

dari

penasihat

hukum

selama

pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Anda bebas memilih


sendiri penasihat hukum anda (pasal 54 dan 55 KUHAP)
h. Mendapatkan Bantuan Hukum secara cuma-cuma, bila tidak mampu
(pasal 56 ayat 2 KUHAP)
i. Bebas menghubungi penasihat hukum (pasal 57 ayat 1 KUHAP)
j. Mendapatkan kunjungan dari keluarga, penasihat hukum dan orang
lain (pasal 18 ayat 1 PerMenkeh RI dan PP no. 58 TAHUN 1999 pasal
37-38)
k. Bebas melakukan surat-menyurat dengan penasehat hukum atau sanak
keluarga (pasal 18 ayat 4 PerMenkeh RI dan PP no. 58 TAHUN 1999
pasal 39-40)
l. Menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah
(pasal 68 KUHAP)

2.6.2

Hak Narapidana atau Tahanan Perempuan

31

Pada prinsipnya, hak bagi tahanan perempuan yang sedang hamil dan
menyusui tidak berbeda dengan tahanan lainnya. Perbedaannya hanya pada menu
makanan. Menu makanan bagi tahanan perempua n yang hamil dan menyusui,

diatur tersendiri dan berbeda dengan mereka yang dalam kondisi normal
(diatur di pasal 7 PerMenkeh RI).

2.6.3

Hak-Hak Narapidana yang Hilang (3)


Kekerasan di lapas erat kaitannya dengan hilangnya beberapa hak
para napi.
a. Lost of liberty (hilangnya kebebasan). Setiap napi akan merasa
kehidupannya semakin sempit dan terbatas. Mereka tidak hanya
terkungkung

pekatnya

bui,

tapi

juga

terbatasnya

ruang

spiritualitasnya.
b. Lost of autonomy (hilangnya otonomi). Setiap orang yang telah
dikategorikan sebagai napi secara tidak langsung akan kehilangan
sebagian haknya, khususnya masalah hak pengaturan dirinya sendiri,
dan mereka diharuskan untuk tunduk kepada aturan-aturan yang
berlaku

di

lingkungan

bui.

Akibatnya,

mereka

menghadapi

depersonalisasi dan infantilisme, seperti layaknya anak kecil.


c. Lost of good and services. Ketidakbebasan memiliki barang-barang
tertentu secara pribadi dan pelayanan yang tidak memadai dari petugas,
akan memicu perilaku-perilaku baru, seperti mencurigai sesama napi
dan negosiasi atau menyuap sipir penjara demi satu tujuan tertentu.

32

Masuknya barang-barang terlarang (narkoba dan senjata) misalnya,


adalah kategori keinginan tertentu itu.
d. Lost of heterosexual relationship. Hilangnya kesempatan untuk
menyalurkan nafsu seksual dengan lawan jenis akan berakibat
timbulnya

perilaku-perilaku

seks

menyimpang

(homoseksual,

perkosaan homoseksual, dan pelacuran homoseksual).


e. Lost of security. Suasana keterasingan sebagai akibat hilangnya
komunikasi dengan sesamanya dan timbulnya persaingan antarnapi
pada gilirannya akan berubah menjadi bentuk kekhawatiran dan
kecemasan bagi individu-individu.

33

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane


didapatkan hasil Sebagai berikut:

Tabel 3.1 Daftar Kematian Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane


Semarang Tahun 2009

Pada tabel 3.1 dapat dilihat pada tahun 2009 terdapat 9 kasus kematian
dimana 3 kasus disebabkan karena gagal nafas, 3 kasus disebabkan oleh HIV, 2 kasus
disebabkan oleh stroke dan 1 kasus karena gantung diri.

34

Tabel 3.2 Daftar Kematian Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane


Semarang Tahun 2010

Pada tabel 3.2 dapat dilihat pada tahun 2010 terdapat 7 kasus kematian
dimana 4 kasus disebabkan karena HIV, 2 kasus disebabkan oleh gagal nafas, dan 1
kasus karena gantung diri.

35

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat disimpulkan:
a. Distribusi kematian pada tahun 2009 mencakup 9 kasus dengan 3 kasus
disebabkan karena gagal nafas, 3 kasus disebabkan oleh HIV, 2 kasus
disebabkan oleh stroke dan 1 kasus karena gantung diri.
b. Distribusi kematian pada tahun 2010 mencakup 7 kasus dengan 4 kasus
disebabkan karena HIV, 2 kasus disebabkan oleh gagal nafas, dan 1 kasus
karena gantung diri.
c. Penyebab kematian terbanyak disebabkan secara natural karena penyakit HIV

4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka saran yang akan
diajukan adalah sebagai berikut:
a. Perlu dibuat acuan khusus bagi petugas untuk memberikan hak-hak
narapidana dengan baik.
b. Perlu dilakukan tindakan pencegahan terhadap penularan penyakit HIV yang
kasusnya semakin meningkat pada periode 2009-2010 dengan cara pemberian
penyuluhan dan screening pada para warga binaan rutin terhadap
kemungkinan infeksi HIV.
c. Perlu tindakan tegas dan terukur dari aparat terhadap narapidana yang
melakukan tindakan kekerasan. Hal ini juga perlu didukung oleh sarana dan

36

prasarana yang memadai untuk memberikan tindakan kepada narapidana


tersebut.
d. Perlunya kebijakan komprehensif dari pemerintah atau penegak hukum untuk
mengatasi over kapasitas, sehingga dapat mencegah atau mengurangi tindak
pelanggaran hak-hak narapidana terhadap warga binaan pemasyarakatan atau
Warga Binaan Pemasyarakatan yang dapat memicu terjadinya kematian di
penjara.

37

DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia

Ensiklopedia

bebas.

Penjara.

Available

from:

http://id.wikipedia.org/wiki/Penjara.
2. Potret Penjara Indonesia. Jakarta . Kompas: 5 April; 2007.
3. Inquest.

Death

in

Prison.

Available

from:

http://inquest.gn.apc.org/stats_prison.html&rurl.
4. Alamsyah Agus Noor, Satriana, Distia Aviandari, Cerita Anak dari Penjara,
5. Diterbitkan Atas Kerjasama : Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA, Karya
6. Namandira, Yayasan Saudara Sejiwa didukung Save The Children, 2005.
7. Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta : Rineka Cipta, 1995.
8. Anwar H . Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP Buku 11, Bandung:
Alumni,1982.
9. Ashsofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1996.
10. Atmasasmita Romli, Teori dan Kapita selekta Krirninolog, Bandung: Eresco,
1992.
11. -------, Kemandirian Polri dan Penegakan HAM di Indonesia, Lokakarya
Profesional dan Kemandirian POLRI tanggal 3-4 Agustus di Hotel Horizon,
Bandung, 1998.
12. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
13. Bunga Rampai Pemasyarakatan, Kumpulan tulisan Almarhum Baharuddin
Suryobroto, Mantan Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, diterbitkan
dalam rangka Hari Bakti Pemasyarakatan ke . 38, Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Jakarta : April. 2002.

38

14. Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, Teoriteori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002.
15. --------, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
16. Clinard Marshal B, Comparative Criminology and Developing Countries,
dalam CWG. Japerse, eds, Criminologiy : Between The Rule of Law and The
Outlaws Kluwer-Deventer, 1976.
17. Dirdjosisworo Soedjono, Sejarah dan Azas Teknologi Pemasyarakatan,
Bandung : Cv Armiko, 1984.
18. Direktorat Registrasi dan Statistik, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Maret 2008
19. Dokumen Kesatuan Pengamanan Rutan Klas I Medan Berdasarkan Hasil
Berita Acara Pemeriksaan Warga binaan pemasyarakatan Rabu Tanggal 21
Maret 2006.
20. Executive Summary, Indonesia: Demokrasi Etalase, Catatan Kondisi HAM
Indonesia 2007.
21. Ghali Zakaria, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Belum Tersentuh Semangat
Reformasi

dan

Kebangkitan

Nasional,

http://www.infojambi.com/adv/arthess/jadi%20arthess.html,
22. Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP,
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika,2000.
23. Haskell Martin R. dan Lewis Yablonsky, Criminology : Crime and
Criminality Chicago: Rand Mac Nally College Publishing Company, 1974
24. http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan Diakses pada tanggal 14 Oktober 2008

39

25. Implementation Standard Minimum Rules for Prisoners, International Review


of Crime Policy No. 26, .New York:United Nation, 1970.
26. J. E Sahetapy, Penanggulangan Kekerasan Tanpa Kekerasan, http:// www.
polarhome. com/pipe rmail/nasional-m/2002-September/000258.html
27. Kempe G. Th,. diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, Pengantar tentang
Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
28. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10
Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana / Warga binaan
pemasyarakatan.
29. Kususma Mulyana W, Analisa Kriminologi tentang Kejahatan Kejahatan
Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
30. Kunarto, Hak Asasi Manusia dalam penegakan hukum, Jakarta : Cipta
Manunggal, 1996
31. Kusumah, Mulyana W. Kriminalitas Dalam Surat Kabar, Jakarta : Penerbit
Antar Kota, 1991.
32. Lamintang, P. A. F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1987.
33. Mannheim Hermann, Comparative Criminology, Naughton, 1965: 161-173.
Lihat pula Mardjono Reksodiputro dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan
Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum U1, 1994
34. Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Peran Penegak
Hukum melawan kejahatan, dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem
Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994.

40

35. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Dinas Penelitian dan


Pengembangan, Kriminalitas dengan kekerasan di Indonesia dan Konsepsi
Penanggulangannya Makalah Polri dalam Seminar Kriminalitas dengan
Kekerasan di Jakarta, 1983
36. Moleong Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta : Remaja Rosdakarya,
2002.
37. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Penerbit
UNDIP, 1995
38. Mulyadi Mahmud, Criminal Policy,Pendekatan Integral Penal Policy dan
Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan :
Pustaka Bangsa Pres, 2008.
39. Muzakky, .Kejahatan Kekerasan., http://zakysme.blogdetik. com/files /2008/
40. Nowak Manfred, Hasil Laporan Pelapor Khusus PBB, Penyiksaan Dan
Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau
Merendahkan

Martabat

Manusia

Dalam

Institusi

Pemasyarakatan,

November 2007.
41. Petunjuk Pelaksanaan dan Teknis Perawatan Rumah Tahanan Negara,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, 1986.
42. Santoso Topo dan Eva Achjani, Kriminologi, Jakarta: Rajawali Press, 2006.
43. Schaffmeisser D., N. Keijen dan E. P. H. Sutorius, 2004, Hukum Pidana,
Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P dan K, Yogyakarta. Schravendijk,
Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Groningen, 1955

41

44. Setiawan

Aries,

LP

di

Indonesia

Over

Capacity

45%,

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/01/04/1/72751/lp-diindonesia-overcapacity-45
45. Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, Tahun 1981.
46. Soedjono, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 1997.
47. -------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia UI
Press,1986
48. Stephen Schafer, The Beginnings of Victimology, dalam Israel Drapkin dan
Emilio Viano, eds. Victimology Lexington, Mass:Lexington Books, 1974.
49. Sudirman Didin, Posisi Dan Revitalisasi Peasyarakatan dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta: Alnindra Dunia Perkasa, 2007.
50. Sumaryono E., Etika Profesi Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995 Sumber
Data

Direktorat

Keamanan

dan

Ketertiban

Direktorat

Jenderal

Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI, Januari 2008


51. Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1998
52. Soekanto Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 1990.
53. Syahrin Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan
dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003
54. Warta Pemasyarakatan Nomor: 24 Tahun VII, Jakarta : Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Maret, 2007
55. Weiner Neil Allan, Margaret A Zhan, Rita J.Sagi : Violence : Patterns, Causes,
Public Policy, Harcourt Brace Jovanovich HBJ, Publisher, 1990.

42

56. Widyastuti Anastasia Reni, Perbandingan Sistem Peradilan, Medan: Penerbit


Unika St. Thomas, 2003.
57. William III Frank. P. & Marilyn McShane, Criminological Theory, Prince
Hall, New Jersey, 1988.
58. Zubaidi,

Kriminalitas

dan

Sistem

Penanggulangannya,

makalah,

http://zubaedism.blogspot.com/ 2003.
59. Perundang-undangan:
60. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP
61. Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
62. Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.04.UM.01.06
Tahun 1983
63.

43

Vous aimerez peut-être aussi