Vous êtes sur la page 1sur 13

BAB I

PENDAHULUAN
Pada era globalisasi ini permintaan akan jasa audit terus meningkat seiring dengan
semakin berkembangnya perusahaan di Indonesia. Faktor-faktor yang menjadi pendorong
tingginya permintaan jasa audit dan pesatnya pertumbuhan profesi akuntan publik di Indonesia
adalah karena perkembangan pasar modal, pertumbuhan ukuran dan kompleksitas bisnis, serta
regulasi (perundang-undangan, peraturan-peraturan).
Kantor Akuntan Publik merupakan tempat penyediaan jasa oleh profesi akuntan publik
bagi masyarakat berdasarkan Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP). Jasa yang diberikan
Kantor Akuntan Publik berupa jasa audit operasional, audit kepatuhan, dan audit laporan
keuangan.
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan keprcayaan
dari masyarakat yang dilayaninya. Profesi akuntan ublik merupakan profesi keprcayaan
masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan lebih tinggi, jika
profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan professional
yang dilakukan oleh anggota profesinya. Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk
menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memeperoleh
informasi keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Auditor eksternal dalam menjalankan profesinya diatur oleh kode etik profesi. Di
Indonesia dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Disamping itu dengan adanya
kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor eksternal telah bekerja
sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya. Dengan melihat
kenyataan yang ada tentang arti penting seorang auditor sebagai pihak yang bertanggungjawab
untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang
apakah laporan keuangan suatu perusahaan/instansi itu bebas dari salah saji material, baik yang
disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, maka sudah sepantasnya hal tersebut di atas diberi
perhatian lebih karena adanya suatu harapan yang tinggi terhadap kinerja profesional seorang
auditor dalam melaksanakan penugasan auditnya.

Auditor eksternal dalam melaksanakan audit, memperoleh kepercayaan dari klien dan
para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun
dan disajikan oleh klien. Klien dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin
bertentangan dengan kepentingan para pemakai laporan keuangan. Demikian pula, kepentingan
pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai lainnya.
Pada era globalisasi ini masih banyak kasus yang melibatkan profesi auditor. Ketatnya
persaingan dalam bisnis membuat banyak perusahaan melakukan kecurangan dalam pembuatan
laporan keuangan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi seperti menaikkan laba perusahaan
dalam laporan keuangan. Skandal seperti ini akan berdampak bagi nilai saham suatu perusahaan.
Maraknya kasus kecurangan dalam laporan keuangan tersebut membuat profesi auditor semakin
disoroti. Dalam kasus seperti ini, masyarakat berharap bahwa auditor mampu mengungkapkan
skandal-skandal yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dalam upaya mempercantik laporan
keuangan Dan masyarakat berharap bahwa auditor tidak membantu perusahaan dalam
memperlancar tindakan kecurangan yang dapat merugikan banyak pihak.
Namun, akhir-akhir ini banyak oknum auditor yang membantu dalam hal melakukan
kecurangan yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Oknum tersebut juga memperlancar tindakan
menyimpang dari suatu perusahaan. Tindakan yang dilakukan oleh oknum auditor tersebut tidak
etis dan melanggar Kode Etik Akuntan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kasus PT. Kereta Api
Indonesia, PT. Kimia Farma, dan perusahaan Raden Motor. Kasus PT KAI bermuara pada
perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite Audit dimana
Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh
Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan
dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada. Kasus PT. Kimia Farma
berawal dari pelaporan laba bersih sebesar Rp 135 miliar. Kementrian BUMN dan Bapepam
menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah
dilakukan audit ulang, ditemukan sebuah kesalahan yang cukup mendasar. Sedangkan kasus
Raden Motor, ada empat data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam laporan keuangan yang
diajukan ke BRI oleh akuntan publik, sehingga terjadi kesalahan dalam proses kredit dan
ditemukan dugaan korupsi. Ketiga kasus tersebut telah melibatkan auditor untuk membantu
dalam mempercantik laporan keuangan dan memperlancar tindakan penyimpangan.

BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.1. Kasus PT. KAI
PT KERETA API INDONESIA (PT KAI) terdeteksi adanya kecurangan dalam
penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan
investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode
etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI
tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp6,9 Miliar. Padahal
apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan justru menderita kerugian sebesar Rp63
Miliar.
Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan
Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan,
laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap
laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh
Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), sedangkan untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan
akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan Direksi PT KAI untuk disetujui sebelum
disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dan Komisaris PT KAI yaitu Hekinus
Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh
akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan
dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 sebagai berikut:
1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan
keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai
piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung
beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standar Akuntansi, pajak pihak ketiga yang

tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada
kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
2. Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 Miliar
yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen
PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun
2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai
kerugian sebesar Rp6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam
tahun 2005.
3. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai
kumulatif sebesar Rp674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp70
Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005
sebagai bagian dari hutang.
4. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap
kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah
dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI
tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara Komisaris dan auditor
akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik.
Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru
bisa mengakses laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah
mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan
Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau
pencabutan izin praktik.
Kasus PT KAI berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum
sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip
akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihakpihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data
disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa
terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor

menyatakan Laporan Keuangan itu Wajar Tanpa Pengecualian. Tidak ada penyimpangan dari
standar akuntansi keuangan. Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang
melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan
dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI
melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan
masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika
profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja
akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan.
Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui
prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan
harus mendapat perhatian khusus dan tindakan tegas perlu dilakukan.
Pembahasan
Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan
keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan
stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi
akuntansi.
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005,
perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila
diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63
Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan
Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan,
laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap
laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh
Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan
publik.

Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum
disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus
Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh
akuntan publik.
PT KAI pun juga telah melanggar pendekatan 5 Question Approachyaitu:
1. Profitable
Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan
perusahaan seolah-olah baik (laba Rp6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita
kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus
dari laba semu tersebut. Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan,
dimana dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa
Pengecualian.
2. Legal
PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Dalam
kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak
langsung:
a. Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara
apa pun.
b. Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak
mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak
menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan
maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri
atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau
menjual Efek.
PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang
menyatakan: (1) Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau
merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan,
menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan
catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk
Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) KAP S.
Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP).
3. Fair
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
a. Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan,
sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI
menjadi tidak akurat/salah.
b. Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak
yang diterima pemerintah lebih kecil.
4. Right
a. Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang menyesatkan,
sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat
b. Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil
5. Suistainable Development
Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan jangka
panjang,

karena

hanya

menginginkan

keuntungan/laba

untuk

kepentingan

pribadi/manajemen (motivasi bonus).


Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal
pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya
menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab
profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian
profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika
akuntan yang dilanggar antara lain :
1. Tanggung jawab profesi; dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara
professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI
kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan
memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan
keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.

2. Kepentingan Publik; dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau
mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain.

Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena
diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya
menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami
keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila
kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak
sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3. Integritas; dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam
kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan
manipulasi laporan keuangan.
4. Objektifitas; dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau
tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena
diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihakpihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5. Kompetensi dan kehati-hatian professional; akuntan dituntut harus melaksanakan jasa
profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta
mempunyai

kewajiban

untuk

mempertahankan

pengetahuan

dan

keterampilan

profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak
melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang
mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam laporan
keuangan mengalami keuntungan.
6. Perilaku profesional; akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku
konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku
profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan
keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
7. Standar teknis; akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan
mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas
dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis
karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak
pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai

pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan


dalam bentuk pendapatan atau asset.

2.2. Kasus PT. Kimia Farma


PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di
Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan
adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai
bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan
audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali
(restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan
yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah
sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul
pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstatedpenjualan sebesar Rp 2,7
miliar, pada unit Logistik Sentral berupaoverstated persediaan barang sebesar Rp 23,9
miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1
miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada
dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur
produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1
dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan
dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember
2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan
dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada
unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT
Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi
kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen
melakukan kecurangan tersebut.

Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa


Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di
PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam
laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar
Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2
Khusus huruf m Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan
Mendasar, sebagai berikut:
Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis,
kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan
atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk
periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa
sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode.
Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam
ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam
laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa
keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah
dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun,
pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk
bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar
Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha
Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan
keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta
& Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001.
HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99
milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati

para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam
rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak
memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen pun
tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan
informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang
fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan
keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair
membuat pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur
profesi akuntan dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar
etika oleh para akuntan publik.
Pembahasan
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP
HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma
Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.Dalam kasus ini, jika dipandang dari
sisi KAP HTM, maka urutanstakeholder mana ditinjau dari segi kepentingan stakeholder
adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan
dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata
yang tidak mampu melakukan reviewmenyeluruh atas semua elemen laporan keuangan,
tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi
dengan penggelembungan nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu
tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan

ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM
adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata
pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko
seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan
pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor
Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada
kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi
laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus
manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat
diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko
etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan
stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian
risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
a. Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja parastakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para
stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat
melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan
kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
b. Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder,
dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
c. Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas,
reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja
dalam melakukan perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM
dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk

menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil
keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari
segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan
stakeholder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat
memenuhi harapan para stakeholder HTM.

Vous aimerez peut-être aussi