Vous êtes sur la page 1sur 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan
era
millenium
yang
sudah
di
deklaraasikan, dikenal dengan millennium development
goals (MDGs), dan deklarasi MDGs merupakan hasil
perjuangan dan kesepakatan bersama antara negaranegara berkembang dan negara maju. Negara-negara
berkembang berkewajiban untuk melaksanakannya,
termasuk salah satunya Indonesia di mana kegiatan
MDGs di Indonesia mencakup pelaksanaan kegiatan
monitoring MDGs. Sedangkan negara-negara maju
berkewajiban mendukung dan memberikan bantuan
terhadap upaya keberhasilan setiap tujuan dan target
MDGs. Secara nasional, komitmen tersebut dituangkan
dalam berbagai dokumen perencanaan nasional, antara
lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 20042009. Lalu, dipertegas pada
RPJMN 2010-2014 dan Inpres No 3 Tahun 2010 tentang
Program Pembangunan Berkeadilan.

Saat ini pemerintah serius memberi perhatian terhadap


pencapaian delapan tujuan millennium development
goals (MDGs). Setiap tujuan MDGs menetapkan satu atau
lebih target, serta masing-masing indikator akan diukur
tingkat pencapaiannya atau kemajuannya hingga tahun
2015. Secara global, ditetapkan 18 target dan 48 indikator.
Namun, implementasinya tergantung pada setiap negara
disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan
ketersediaan data yang digunakan untuk mengatur
tingkat kemajuannya. Indikator global tersebut bersifat
fleksibel
bagi
setiap
negara.
Keseriusan
itu
diimplementasikan dengan mengintegrasikannya dalam
program-program daerah sesuai acuan program
pembangunan nasional.

Delapan tujuan MDGs yang akan dicapai, pada bidang


kesehatan diantaranya pertama, menurunkan angka
kematian anak terhitng dari tahun 1990 sampai 2015.
Pada 2007, angka kematian anak sekitar 44 per 1.000
kelahiran hidup. MDGs menargetkan pengurangan angka
kematian anak 2015 adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Kedua, meningkatkan kesehatan ibu, sejak 1990 terjadi
penurunan yaitu dari 390 menjadi sekitar 307 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Target MDGs
2015 adalah sekitar 110 per 100.000 kelahiran hidup.

Untuk mencegah terjadinya kematian ibu, di antaranya


adalah persalinan yang aman bagi ibu yaitu persalianan
yang dibantu tenaga persalinan terlatih. Tahun 2007,
proporsi persalinan yang dibantu tenaga persalinan
terlatih adalah 73 persen. Ketiga, penanganan berbagai
penyakit menular berbahaya yaitu HIV, TBC, malaria dan
penyakit menular lainnya, prevalensi HIV-AIDS nasional
saat ini adalah 5,6 per 100.000 orang. Namun, tidak ada
indikasi laju penyebaran HIV-AIDS terhenti (Stalker,
2007). Derajat kesehatan masyarakat yang masih belum
optimal pada hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan
dan genetika, hasil Riskesdas (2007), diketahui bahwa
rumah tangga yang telah mempraktikkan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) baru mencapai 38,7%.
Kementerian
Kesehatan
Tahun
2010-2014
mencantumkan target 70% rumah tangga sudah
mempraktekkan (perilaku hidup bersih dan sehat) PHBS
pada tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2011)..

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, tapi


belum sepenuhnya mencapai target MDGs baik secara
general maupun khusus di bidang kesehatan. Masih
banyak masyarakat yang belum tahu MDGs. Pemerintah
melalui instansi terkaitnya dalam menjalanakan

pencapaian program MDGs, kurang memanfaatkan


kegiatan-kegiatan
yang
bersinggunngan
terhadap
pencapaian MDGs, seperti: praktik keperawatan
komunitas yang dilakukan oleh instansi-instansi
pendidikan keperawatan. Padahal perawat komunitas
dalam memberikan asuhan kepada masyarakat, yaitu
mengajarkan bagaimana upaya-upaya peningkatan
kesehatan kepada masyarakat. Besar peran perawat
komunitas perlu diapresiasi oleh pemerintah melalui
dinas terkaitnya untuk di jadikan mitra dalam pencapaian
MDGs, atau dapat diarahkan kepada pencapaian MDGs
supaya apa yang akan dan telah dilakkukan dapat lebih
focus kepada pencapaian target MDGs. Utamanya
menjadikan masyarakat yang mandiri dan dapat
menolong dirinya sendiri. Masyarakat sebagai warga
Negara yang baik, sudah seharusnya turut mensukseskan
apa yang menjadi tujuan pemerintah.

B. Rumusan Masalah
1.
2.

Menjelaskan tentang isi dari MDGs


Menjelaskan peran perawat dalam pencapaian
MDgs tahun 2015.
3. Bagaimanakah pencapaian MDGs Bidang
Kesehatan di Indonesia

C. Tujuan

1.
2.

Untuk mengetahui isi dari MDGs


Untuk mengetahui peran perawat dalam
pencapaian MDGs tahun 2015
3. Untuk mengetahui pencapaian MDGs Bidang
Kesehatan di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Millennium Development Goals (MDGs).


Millennium Development Goals atau disingkat dalam
bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi Milenium hasil
kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189

negara
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB),
ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala
negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Milenium di New York pada bulan September 2000.
Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah
resolusi majelis umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18
September
2000,
(A/Ris/55/2
United
Nations
Millennium Development Goals). Deklarasinya sendiri
berisi komitmen untuk mencapai 8 buah sasaran
pembangunan, sebagai satu paket tujuan yang terukur
untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan
pembangunan masyarakat pada tahun 2015.

Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan


Puncak Milenium di New York tersebut dan juga turut
menandatangani Deklarasi Milenium. Pencapaian sasaran
MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa
Indonesia. Delapan tujuan umum MDGs secara general
mencakup
pengentasan
kemiskinan,
pendidikan,
kesetaraan gender, kesehatan, kelestarian lingkungan dan
permasalahan global. Adapun secara rinci target MDGs
memuat 8 tujuan yang meliputi;
1.

penanggulangan kemiskinan dan kelaparan,

2.
3.

mencapai pendidikan dasar untuk semua,


kesetaraan
gender
dan
pemberdayaan
perempuan,
4. mengurangi angka kematian bayi,
5. meningkatkan kesehatan ibu,
6. melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit
menular lain,
7. memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan
8. kemitraan untuk pembangunan.

Memasuki tahun ke sepuluh, pencapaian MDGs dirasa


belum optimal, maka pemerintah melakukan percepatan
pencapaian, oleh karena itu percepatan pencapaian target
MDGs merupakan amanah dari Inpres No 1 Tahun 2010
tentang Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Nasional
2010, dan Inpres No 3 Tahun 2010 tentang Program
Pembangunan Berkeadilan. Pada tingkat daerah (provinsi
dan kabupaten/kota), dituangkan dalam RAD percepatan
pencapaian tujuan pembangunan millenium. Kemudian
delapan sasaran umum itu, dikembangkan melalui
program Ditjen Bina Kesmas, Kementrian Kesehatan RI,
dengan lima tambahan sasaran utama MDGs, yakni :
1.
2.

Meningkatkaan cakupan antenatal,


Meningkatkan
cakupan
persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih,

yang

3.
4.

Meningkatkan cakupan neonatal,


Meningkatkan prevalensi kurang gizi pada
balita,
5. Meningkatkan tingkat kunjungan penduduk
miskin ke puskesmas.
Tujuan tersebut pada dasarnya berkaitan satu sama lain,
dan MDGs bukan sekedar soal angka angka dan
pencapaian target, namun untuk lebih mendorong
tindakan nyata. Salah satu manfaat dari MDGs adalah
berbagai persoalan yang diusung menjadi perhatian
berbagai pihak termasuk masyarakat secara luas,
seharusnya (Stalker, 2007).
Adapun tujuan
Pembangunan Milennium
yang
diterapkan di Indonesia meliputi 8 tujuan (Laporan
Perkembangan Pencapaian Millennium Development
Goals Indonesia 2005: 45) yaitu :
1. Menaggulangi Kemiskinan Dan Kelaparan.
Dengan target :
1.

Menurunkan
proporsi
penduduk
yang
tingkatannya di bawah $ 1per hari menjadi
setengahnya antara tahun 1990-2015
2. Menurunkan
proporsi
penduduk
yang
menderita kelaparan menjadi setengahnya
antara tahun 1990-2015

3. Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semuanya.


Dengan target :
Memastikan pada tahun 2015 semua anak di manapun,
laki-laki
maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan
dasar.
1.

Mendorong
Kesetaraan
Gender
dan
Pemberdayaan Perempuan.
Dengan target : Menghilangkan ketimpangan gender di
tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005
dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun
2015
1. Menurunkan Angka Kematian Anak
Dengan target : Menurunkan angka kematian balita
sebesar dua pertiganya, antara tahun 1990 dan 2015
1. Meningkatkan Kesehatan Ibu.
Dengan target : Menurunkan angka kematian ibu sebesar
tiga perempatnya antara tahun 1990-2015.
1.

Memerangi HIV / AIDS dan Penyakit Menular


Lainnya
Dengan target :

1.

Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan


mulai menurunnya jumlah kasus baru pada 2015
2. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai
menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit
lainnya.
3. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Dengan target :
1.

Memadukan
prisip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan dengan kebijakan dan program
nasional.
2. Penurunan sebesar separuh penduduk tanpa
akses terhadap sumber air minum yang aman
dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar
pada tahun 2015.
3. Mencapai perbaikan yang berarti dalam
kehidupan penduduk miskin di pemukiman
kumuh pada tahun 2020
4. Membangun
Kemitraan
Global
untuk
Pembangunan

1.

Peran perawat dalam pencapaian MDGs tahun


2015.
Peran perawat dalam pencapaian target MDGs tahun
2015, yaitu dengan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat seoptimal mungkin melalui praktik

keperawatan komunitas, dilakukan melalui peningkatan


kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit
(preventif) di semua tingkat pencegahan (levels of
prevention).Perawat dalam melaksanakan praktik
kelapangan melaksanakan atau memberikan asuhan
keperawatan di komunitas atau masyarakat pertama,
berbasis institusi pendidikan ketika sedang menempuh
program diploma, pada saat menempuh program sarjana
(tahap akademik dan profesi), pada tahap menempuh
pascasarjana baik aplikasi maupun spesialis, dan ketika
berada di tatanan tempat kerja yaitu didinkes dan
puskesmas.

Orientasi praktik perawat komunitas tidak hanya kepada


masalah sakit saja tetapi juga kepada masalah sehat,
dimana perawat komunitas mengajarkan kepada
masyarakat bagaimana mengatasi sakit supaya tidak
terjadi keparahan dan menjadi sehat sehat, dan bagi yang
sehat
bagaimana
menjaga
kesehatannya
dan
meningkatkan
kesehatannya.
Juga
menjadikan
masyarakat dari yang tidak tau menjadi tahu, dari yang
tidak mau menjadi mau dan dari yang tidak mampu
menjadi mampu.

Smith, et.all (1995) menjelaskan bahwa tanggung jawab


perawat adalah:
1. Menyediakan pelayanan bagi orang sakit atau
orang cacat di rumah mencakup pengajaran
terhadap pengasuhnya,
2. Mempertahankan lingkungan yang sehat,
3. Mengajarkan
upaya-upaya
peningkatkan
kesehatan,
4. Pencegahan, penyakit dan injuri.
5. Identifikasi standar kehidupan yang tidak
adekuat atau mengancam penyakit/injuri.
6. Melakukan rujukan.
7. Mencegah dan melaporkan adanya kelalaian
atau penyalahgunaan (neglect & abuse).
8. Memberikan pembelaan untuk mendapatkan
kehidupan dan pelayanan kesehatan yang sesuai
standart.
9. Kolaborasi dalam mengembangkan pelayanan
kesehatan yang dapat diterima, sesuai dan
adekuat,
10. Melaksanakan
pelayanan
mandiri
serta
berpartisipasi
dalam
mengembangkan
pelayanan profesional,
11. Menjamin
pelayanan
keperawatan
yang
berkualitas, dan
12. Melaksanakan riset keperawatan.

13. Pencapaian MDGs Bidang Kesehatan di


Indonesia
Secara umum, pencapaian MDGs bidang kesehatan di
Indonesia cukup baik. Kematian bayi dan kematian balita
dapat diturunkan dengan relatif cepat. Imunisasi pada
anak secara umum juga menunjukkan kenaikan yang
cukup signifikan. Dengan perkembangan tersebut,
kemungkinan besar, target MDGs untuk penurunan
Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita pada
tahun 2015 akan dapat tercapai. Kematian ibu juga
menunjukkan penurunan yang cukup berarti dalam satu
dekade terakhir. Persalinan oleh tenaga kesehatan secara
konsisten menunjukkan peningkatan. Walaupun begitu,
diperlukan upaya yang lebih keras untuk mempercepat
penurunan angka kematian ibu untuk mencapai target
MDGs. Dalam hal pengendalian penyakit menular, upaya
penanggulangan tuberkulosis (TB) telah berhasil
menunjukkan hasil yang cukup signifikan antara lain
dengan pencapaian target global dan nasional angka
keberhasilan penyembuhan TB. Namun perkembangan
penyakit HIV/AIDS dan malaria yang cukup
mengkhawatirkan masih merupakan persoalan serius dan
perlu mendapat penanganan khusus.
1.

1.
Menurunkan Kekurangan Gizi Pada
Anak Balita Menjadi Setengahnya Pada
Tahun 2015

Kekurangan gizi pada anak balita erat hubungannya


dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan
rendahnya akses ke pelayanan kesehatan. Kurang gizi
pada masa kanakkanak menyebabkan tingginya risiko
kematian,
hambatan
perkembangan
kecerdasan
(kemampuan kognitif) dan berpengaruh pula pada status
kesehatan pada fase kehidupan selanjutnya. Kecukupan
dan kualitas gizi merupakan landasan utama untuk
perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup
sekarang dan alih generasi. Gizi yang cukup dan seimbang
pada wanita hamil dan menyusui juga penting agar anakanak yang dilahirkan mempunyai perkembangan fisik dan
mental yang baik. Jika pertumbuhan anak yang optimal,
maka
akselerasi
pembangunan
ekonomi
akan
berkesinambungan. Pada tahun 1989, prevalensi
kekurangan gizi pada anak balita sekitar 37,5 persen.
Artinya dari 100 anak berusia antara 0-59 bulan, 37 anak
di antaranya menderita kekurangan gizi. Hingga tahun
2000 prevalensi ini terus menurun hingga mencapai 24,7
persen. Namun kemudian angka ini kembali cenderung
meningkat, dan pada tahun 2005 adalah menjadi 28
persen, dengan 8,8 persen diantaranya mengalami gizi
buruk.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional


(RPJMN)
2004-2009
menargetkan
prevalensi
kekurangan gizi balita pada tahun 2009 sebesar 20
persen, sedangkan tujuan MDGs pada tahun 2015 sebesar
15 persen. Dengan kondisi saat ini, untuk mencapai target
MDGs, maka Indonesia harus mampu menurunkan kasus
gizi kurang setiap tahun rata-rata 1,35 persen. Dengan
melihat kecenderungan yang ada, sasaran RPJM dan
MDGs tersebut akan sulit untuk dicapai tanpa upaya
khusus. Oleh karena itu Indonesia harus berupaya keras
untuk mempercepat penurunan kekurangan gizi pada
balita.

Salah satu faktor utama penyebab kekurangan gizi adalah


kurangnya asupan zat gizi yang cukup dan seimbang. Hal
ini terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan
pangan di tingkat rumah tangga sehingga mereka dapat
mengkonsumsi kalori dan gizi secara cukup. Faktor lain
adalah perilaku asuhan keluarga terhadap gizi balita,
penyakit infeksi yang diderita secara berulang, dan
lingkungan yang tidak sehat. Menurut WHO masalah gizi
kurang pada balita merupakan penyebab pokok
(underlying causes) yang mencapai sekitar 45 persen dari
kematian balita. Selain itu permasalahan gizi juga
ditentukan oleh penyebab tidak langsung yang terkait

dengan tingkat rendahnya pendidikan


kemiskinan dan masalah budaya.

masyarakat,

1. 2.
Menurunkan Kematian Anak
Kematian anak balita (anak usia di bawah 5 tahun)
menjadi penting karena mencakup lebih dari 90 persen
kematian global anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Kematian balita merefleksikan kondisi sosial, ekonomi
dan lingkungan tempat anak-anak hidup termasuk
perawatan kesehatan mereka. Angka kematian balita
sering digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang
mudah atau rentan (vulnerable) terserang penyakit,
karena data insiden dan prevalen penyakit (data
morbiditas) sering tidak tersedia dengan baik.
Menurut SDKI, Angka Kematian Anak Balita (AKBA)
pada tahun 1989 sebesar 97 per 1000 kelahiran hidup.
AKBA kemudian terus menurun hingga mencapai 46 per
1000 kelahiran hidup (2002-2003. Rata-rata penurunan
AKBA pada dekade 1990-an adalah sebesar 7 persen (3,2
balita) per tahun, lebih tinggi dari dekade sebelumnya
sebesar 4 persen per tahun. Pada tahun 2000 Indonesia
telah
mencapai
target
yang
ditetapkan
dalam World Summit for Children (WSC) yaitu 65 per
1.000 kelahiran hidup. Untuk pencapaian kematian balita
32 per 1000 kelahiran hidup pada 2015, Indonesia
memerlukan penurunan AKBA sebesar 1,75 per tahun.

Dengan perkembangan seperti ini, diperkirakan target


MDGs sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup akan dapat
dicapai dengan memperbaiki kualitas pelayanan
kesehatan balita agar tidak terjadi kejadian-kejadian luar
biasa yang merenggut nyawa balita. Untuk dapat
menekan AKBA tersebut perlu dilakukan intervensi
kepada penyebab kematian balita. Penyebab kematian
balita antara lain adalah diare (19 persen), ISPA (37
persen), campak (7 persen), dan gizi buruk (54 persen)
(SDKI, 2002).
Kematian bayi adalah kematian pada anak usia di bawah
satu tahun. Angka Kematian Bayi (AKB) sangat relevan
untuk merepresentasikan komponen AKBA. AKB juga
menggambarkan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan
di mana bayi tinggal. Pada tahun 1989 AKB di Indonesia
sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini
kemudian menurun dengan tajam dan hingga mencapai
35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Pada
tahun 2007 diproyeksikan AKB telah mencapai 29,4 per
1.000 kelahiran hidup (BPS, Bappenas dan UNFPA,
2005). Target AKB MDGs pada tahun 2015 sebesar 23 per
1.000 kelahiran hidup, sedangkan target RPJM sebesar 26
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Dengan
kecenderungan yang ada, diperkirakan target ini dapat
tercapai.

Diperkirakan sekitar 75 persen dari seluruh kematian


anak terjadi pada bulan pertama kelahiran (neonatus).
Menurut SDKI, penurunan kematian neonatus relatif
lebih lambat dibandingkan dengan kematian bayi dan
kematian anak balita. Pada SDKI 1989, kematian
neonatus mencapai 29 per 1.000 kelahiran hidup dan
menurun menjadi 20 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI
2002-2003). Oleh karena itu, penanganan bayi baru lahir
yang memadai sangat penting dalam menurunkan angka
kematian anak. Penyebab utama kematian neonates
adalah tetanus (10 persen), berat badan lahir rendah
(BBLR) sebesar 28 persen, asfiksia 27 persen, dan infeksi
15 persen (SKRT, 2001). Upaya penting untuk
menurunkan kematian neonatus antara lain adalah
meningkatkan persalinan kepada petugas kesehatan
terlatih dan pelayanan yang mampu menangani penyebab
kematian neonatus.
Angka kematian balita, bayi dan neonatus saling
mempengaruhi yang dikenal dengan fenomena duapertiga
yaitu:
1.

Kematian bayi baru lahir atau neonatal (028


hari) merupakan duapertiga dari kematian bayi.
2. Kematian perinatal (0 7 hari) merupakan dua
pertiga dari kematian bayi baru lahir.

3.

Kematian bayi (0 1 hari) merupakan


duapertiga dari kematian perinatal
4. 3.
Meningkatkan Kesehatan Ibu
Kematian ibu adalah jumlah ibu meninggal karena hamil,
bersalin dan nifas (42 hari setelah bersalin). Angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia menurun dari 390 (SDKI
1994) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI
2002-2003). Penurunan ini antara lain disebabkan oleh
meningkatnya persalinan oleh tenaga kesehatan dari
46,13 persen (1995) menjadi 72,4 persen (2006).
Meskipun diperkirakan AKI saat ini lebih rendah lagi,
untuk dapat mencapai tujuan MDGs, perlu upaya yang
lebih keras lagi. Pencapaian target MDGs sebesar 102 per
100.000 kelahiran hidup akan dapat terwujud hanya jika
dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat
laju penurunannya. Penurunan AKI pada periode 1990
1994 adalah sebesar 8 persen per tahun, pada tahun 1994
1997 sebesar 14 persen per tahun dan periode 1997
2002 sekitar 8 persen per tahun. Penurunan yang tinggi
terjadi pada tahun 1994 ke 1997 antara lain karena adanya
intensifikasi program bidan di desa. Namun, pada era
desentralisasi, program bidan di desa kurang mendapat
perhatian sehingga penurunan angka kematian menjadi
sangat lambat. Bila pemerintah ingin mengejar
ketinggalan penurunan angka kematian ibu dengan
asumsi AKI sama dengan 2002 maka penurunan AKI
setiap tahun harus mencapai 26 ibu per 100.000

kelahiran hidup. Apabila asumsi AKI tahun 2007 sebesar


262, maka penurunan AKI setiap tahun mencapai 16 ibu
per 100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian, AKI
merupakan salah satu tujuan MDGs yang sulit tercapai
(off track) jika pemerintah tidak memfokuskan semua
sumberdaya dan jenis intervensi dengan lebih efektif
Kematian ibu dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk
status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan
kesehatan selama kehamilan dan persalinan. Penyebab
utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (28
persen), infeksi (24 persen), eklamsia (11), komplikasi
puerperium atau nifas (8 persen), partus macet/lama (5
persen), komplikasi abortus (5 persen) dan lainnya (11
persen).

4. Menanggulangi HIV/AIDS,
Penyakit Menular Lainnya

Malaria,

dan

a. HIV dan AIDS


Saat ini Indonesia menghadapi epidemi Human Immune
Virus(HIV)
dan Acquired
Immune
Deficiency
Syndrome (AIDS) yang cukup serius. Walaupun
prevalensi AIDS pada populasi umum masih cukup

rendah, namun pada sub-populasi perilaku berisiko


seperti pengguna narkotika dan psikotropik suntik
(intravenous drug use/IDU) dan pekerja seks komersial
telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV dan AIDS
telah masuk pada populasi umum dengan prevalensi 2,4
persen (usia 15-49 tahun). Kasus HIV dan AIDS
meningkat cukup tajam dari 276 kasus HIV dan 112 kasus
AIDS (1995) menjadi 5.229 kasus HIV dan 8.139 kasus
AIDS (2006). Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi
yang melaporkan adanya kasus AIDS, maka pada tahun
2007 AIDS telah dilaporkan di 32 provinsi. Hingga akhir
September 2007, jumlah kumulatif kasus AIDS yang
dilaporkan mencapai 10,384 kasus. Angka penggunaan
kondom digunakan untuk memonitor perkembangan
arah penghentian
dan
pengurangan
penyebaran
HIV/AIDS. Kondom juga merupakan metode yang efektif
dalam pengurangan penyebaran HIV. Penggunaan
kondom saat hubungan seksualdengan pekerja seks
komersial pada tahun 2004 mencapai 59,7 persen, naik
dari 41 persen pada tahun sebelumnya. Meskipun
demikian, survei di tiga kota menunjukkan bahwa
hanya 10 persen dari 7-10 juta pelanggan seks pria yang
menggunakan kondom secara konsisten.
Survey di Papua tahun 2006 menunjukkan bahwa
penggunaan kondom dalam hubungan sekspada pekerja
komersial juga sekitar 14,1 persen. Sementara itu,

penggunaan kondom sebagai alat KB (contraceptive


prevalence rate) pada wanita berstatus kawin pada tahun
2002-2003 sebesar 0,9 persen. Sebesar 65,8 persen
wanita dan 79,4 persen pria usia 15-24 tahun telah
mendengar tentang HIV dan AIDS. Pada wanita usia
subur usia 15-49 tahun, sebagian besar (62,4 persen) telah
mendengar HIV dan AIDS, tetapi hanya 20,7 persen di
antaranya yang mengetahui bahwa menggunakan
kondom setiap berhubungan seksual dapat mencegah
penularan HIV (SDKI 2002-2003).
b.Malaria
Hampir separuh populasi Indonesiasebanyak lebih dari
110 juta orangtinggal di daerah endemik malaria,
sebagian besar berada di bagian timur Indonesia di mana
malaria merupakan penyakit endemik. Di Jawa Tengah
dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang
muncul kembali (re-emerging diseases). Diperkirakan
saat ini terdapat 30 juta kasus malaria setiap tahunnya.
Sejak tahun 1990, kasus malaria cenderung berfluktuasi
dengan kecenderungan menurun dari tahun 1990 hingga
tahun 1996, kemudian meningkat cukup tinggi pada
tahun 2000. Sejak tahun 2000, kasus malaria cenderung
mengalami penurunan hingga pada tahun 2005 mencapai
18,94 kasus per 1.000 penduduk (Annual Parasite
Rate/API di Jawa dan Bali) dan 0,15 kasus per 1.000

penduduk (Annual Malaria Rate/AMI di luar Jawa dan


Bali). Di antara anak di bawah lima tahun (balita) dengan
gejala klinis malaria, hanya sekitar 4,4 persen yang
menerima pengobatan malaria. Sementara balita yang
menderita malaria umumnya hanya menerima obat untuk
mengurangi demam (67,6 persen). Kurang lebih separuh
dari kasus yang dilaporkan diperkirakan hanya
didiagnosis berdasarkan gejala klinis tanpa dukungan
konfirmasi laboratorium.
c.Tuberkulosis (TB)
Indonesia juga masih berada pada urutan ketiga terbesar
penyumbang kasus tuberkulosis (TB) di dunia. Tahun
2005 prevalensiTB (all cases) nasional mencapai 262 per
100.000 penduduk dengan 533,000 kasus. Insidens
bakteri tahan asam positif (smear sputum positive atau
SS+) nasional pada tahun 2005 adalah 125 kasus per
100.000 penduduk di menunjukkan prevalensi bakteri
tahan asam positif tahun 1990 menurut kawasan
Sumatera, Jawa Bali, Kawasan Indonesia Timur, dan
nasional masing-masing menurun sebesar 35 persen, 54
persen, 28 persen, dan 42 persen. Angka kematian
tuberculosis (death rate) secara nasional pada tahun
2005 sebesar 41 per 100.000 penduduk Kinerja program
TBDirectly-Observed Treatment Short Course (DOTS)
telah meningkat dengan baik. Angka penemuan kasus TB

meningkat pesat dari 1 persen menjadi 76 persen (2006)


dan angka keberhasilan pengobatan TB meningkat tajam
dari 51 persen menjadi 91 persen (2005). Dengan
kemajuan ini, Indonesia telah mencapai target global dan
nasional sebesar 85 persen. Pada tahun 2003, sebanyak
87 persen penderita menyelesaikan pengobatan
(pengobatan lengkap dan sembuh). Angka ini telah
mencapai target global dan nasional sebesar 85 persen
pada tahun 2000. Angka keberhasilan pengobatan ini
pada tahun 2005 terus meningkat menjadi 91 persen.

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Millennium Development Goals atau disingkat dalam
bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi Milenium hasil
kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189
negara
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB),
ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala

negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)


Milenium di New York pada bulan September 2000.
Adapun peran perawat dalam pencapaian target MDGs
tahun 2015, yaitu dengan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat seoptimal mungkin melalui praktik
keperawatan komunitas, dilakukan melalui peningkatan
kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit
(preventif) di semua tingkat pencegahan (levels of
prevention).
Secara umum, pencapaian MDGs bidang kesehatan di
Indonesia cukup baik, seperti kematian bayi dan
kematian balita dapat diturunkan dengan relatif cepat.

1. SARAN
Adapun yang saya harapkan, hendaknya kita tetap
menjaga kesehatan karena kesehatan merupakan salah
satu tiang utama dalam usaha peningkatan kualitas
sumber daya manusia maupun dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Terdapat tiga tujuan MDGs
yang berhubungan langsung dengan sektor kesehatan,
maka marilah kita berusaha untuk mewujudkan
Indonesia sehat dengan mengoptimalkan pelaksanaan
program MDGs 2015.

Vous aimerez peut-être aussi