Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan semua makhluk-Nya dengan berpasangpasangan

dengan

sumber

pokok

yang

sama.

Hal

ini

mengisyaratkan bahwa keduanya adalah bermitra dan sejajar,


saling membutuhkan, saling melengkapi, saling menghormati,
dan tidak ada yang merasa superior dan inferior, keduanya
sama dan sejajar.
Perkawinan1 adalah ikatan suci berdasarkan agama yang
menghalalkan pergaulan serta menentukan batas-batas hak dan
kewajiban antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak
mempunyai hubungan kekeluargaan (bukan mahram), 2 sebagai
1 Pada dasarnya kata kawin merupakan terjemahan dari bahasa Arab nikah
yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama. Alquran menggunakan kata ini untuk makna bahasa.
Pada mulanya kata nikah yang bersal dari bahasa Arab nikahun dan merupakan
Masdar dari kata
= nakaha, digunakan dalam arti bergabung Muhammad
al-Sharbini al-Khatib, Mughni Juz III (Mesir; Mustafa al-Babby al-Halabi wa
Awladuh,1995), h.123. Terkadang juga digunakan arti = al-wata
(hubungan seksual) atau
= Aqad (perjanjian). Akan tetapi kebanyakan
pemakaiannya untuk aqad. Namun secara leksikal, perkawinan identik dengan
= nikah dan
= Zauwj. Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin
Zakariyah,Mujam Maqayis al-Lugah,Juz III (Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi
wa Awaladuh,1971), h.145

2Departemen Agama R.I. Proyek Peningkatan Peranan Wanita, Modul: Keluarga


Bahagia Sejahtera. (Jakarta: Kementerian Agama RI Proyek Peningkatan Peranan

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)


yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Cukup logis, Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk
mengatur berfungsinya keluarga sehingga dengan perkawinan
yang sah inilah kedua belah pihak suami dan istri dapat
memperoleh

kedamaian

dalam

hidup,

kecintaan

dalam

lingkungan dan keamanan dalam bermasyarakat, serta ikatan


kekerabatan yang diakui oleh negara, yang tercantum dan
terkodifikasi

dalam

Inpres

Nomor

tahun

1991

tentang

Kompilasi Hukum Islam.


Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat
Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi
terhadap harga diri, yang diberikan oleh Islam khusus untuk
manusia di antara makhluk-makhluk yang lain.3
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang

Wanita, 1997), h. 39

3Mahmud al-Shabbaqh,, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa


Bahruddin Fannani, (Cet. III; Mesir: Dar al-Itisham, 2004), h. 23

bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Untuk membentuk keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa
saling memahami antara suami istri sehingga dapat tercipta
keharmonisan, ketenangan dan kasih sayang karena tiga poin
tersebut merupakan kunci dari tujuan perkawinan.4 Firman Allah
dalam QS. Al-Rum/30: 21:

Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya
kamu
cenderung
dan
merasa
tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.5
Betapa indah bahasa al-Quran dalam menggambarkan
kebutuhan manusia terhadap perkawinan, serta ketenangan dan
4Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1/1974, PP No.
9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), h. 7
5Departemen Agama RI, Mushaf Al-Quran Terjemah, (Jakarta: Al-Huda Kelompok
Gema Insani, 2002), h. 407

kebahagiaan yang lahir dari pada perkawinan tersebut. Firman

Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah/2:187

Terjemahnya:
Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah
Pakaian bagi mereka. 6
Ayat di atas mengibaratkan suami istri sebagai pakaian
bagi pasangannya karena masing-masing saling melindungi
pasangannya. Oleh karena itu, keperluan suami kepada istri dan
keperluan istri kepada suami adalah seperti keperluan masingmasing terhadap pakaian. Pakaian diperlukan untuk menutupi
badan dan menghindari suatu yang menyakitkan, begitu juga
dengan

suami

dan

istri,

masing-masing

akan

menjaga

kemuliaan, kehormatan serta memberikan kebahagiaan kepada


masing-masing pasangan.
Tujuan perkawinan menurut Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang
harmonis,

sejahtera,

dan

bahagia.

Harmonis

dalam

menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera


artinya

terciptanya

ketenangan

lahir

bathinnya,

sehingga

timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota

6Departemen Agama RI, Mushaf Al-Quran, h. 30

keluarga. Pernikahan adalah cara yang paling utama bahkan


satu-satunya cara yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
memperoleh keturunan dan menjaga kesinambungan manusia,
seraya memelihara kesucian nasab (silsilah keturunan) yang
sangat diperhatikan oleh agama.7
Pokok-pokok ajaran Islam tentang perkawinan disebut
secara jelas dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw..
Akan tetapi, pelaksanaan dapat diberlakukan sesuai dengan
adat dan tradisi masyarakat, selama itu tidak bertentangan
dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi saw.. Sebagaimana
diketahui bahwa tiap daerah tempat tinggal mempunyai adat
dan tradisi tersendiri yang berkenaan dengan adat perkawinan.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila adat perkawinan di
suatu daerah di negara ini, memiliki tradisi tersendiri pada
masing-masing daerah.
Pasangan yang serasi diperoleh untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rah{mah. Banyak cara
yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya
adalah upaya mencari calon istri atau suami yang baik. Upaya
tersebut bukanlah suatu kunci namun keberadaannya

dalam

7Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Cet. I ;Bandung: Mizan Media


Utama, 2002), h. 125

rumah

tangga

akan

menentukan,

baik

tidaknya

dalam

membangun rumah tangga.8


Kafa>ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon
suami/istri, tetapi dapat menjadi sebuah ukuran sah atau
tidaknya perkawinan. Kafa>ah
walinya.

Suatu

perkawinan

adalah hak bagi wanita atau


yang

tidak

seimbang,

tidak

serasi/tidak sesuai akan menimbulkan problem berkelanjutan,


dan besar kemungkinan

menyebabkan terjadinya perceraian.

Oleh karena itu, perkawinannya boleh dibatalkan.9\


Jumhur fuqaha>, di antaranya adalah ulama empat
madzhab berpendapat bahwa kafa>ah sangat penting dalam
perkawinan meskipun kafa>ah

bukan merupakan syarat sah

suatu perkawinan dan hanya merupakan syarat lazim suatu


perkawinan. Mereka mengemukakan dalil berdasarkan hadits
Rasulullah dan akal (rasio). adapun hadits Nabi saw. yang menjelaskan
tentang kafa>ah adalah sebagai berikut:

8M. Al-Fatih Suryadilaga, Memilih Jodoh, dalam Marhumah dan Al-Fa>tih


Suryadilaga (ed), Membina Keluarga Mawaddah Warahmah dalam Bingkai
Sunnah Nabi (Yogyakarta: PSW IAIN dan f.f., 2003 ), h. 50

9Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, dalam Dedi Supriyadi, Fiqh


Munakahat Perbandingan dari Tektualitas Sampai Legislasi, (Cet. I;
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h. 104

, :

10

. , ,

Artinya :
Dari Said bin Abi Subah dari ayahnya dari Abu Hurairah
dari Nabi SAW. : Sesungguhnya beliau bersabda :
Nikahilah perempuan karena empat perkara : pertama
karena hartanya, kedua karena derajatnya, (nasabnya),
ketiga kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah
karena agamanya, maka terpenuhi semua kebutuhanmu.
Dalam perkawinan adat Bugis (Kab. Bone) dalam hal
mencari jodoh di kalangan orang Bugis menetapkan perkawinan
yang

ideal

adalah.

(1)

perkawinan

yang

disebut

asial

mrol/assialang marola, ialah pernikahan antara sudara sepupu


sederajat kesatu baik dari pihak ayah maupun dari ibu; (2)
perkawinan yang disebut asial emmE/assialang memeng, ialah
perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari
pihak

ayah

maupun

ibu;

(3)

Perkawinan

yang

disebut

asiperewkEn assiparewekenna yaitu perkawinan antara sepupu


derajat

ketiga.

(4)

Perkawinan

antara

ripedep

10Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim Juz 1, (Beirut: Dar Ihya
Turats al Arabiy, TT), h. 623

meblea/ripaddeppe mabelae, ialah perkawinan antara saudara


sepupu derajat tiga juga dari kedua belah pihak.11
Masyarakat Bugis yang menganut sistim

bilateral

memungkinkan seseorang untuk berubah status dalam waktu


singkat akibat ikatan kekeluargaan istri atau suaminya. Hal ini
dapat terjadi dalam perkawinan antara dua status yang
berlainan sehingga satu di antara pasangan tersebut dapat
berpindah status. Oleh karena itu perkawinan bagi masyarakat
Bugis tujuannya tidak hanya semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan biologis, melainkan juga berfungsi untuk menaikkan
gengsi sosial bagi salah satu atau kedua-duanya pasangan
tersebut. Status yang diperoleh melalui keturunan dalam
masyarakat Bugis menurut Friedcricy diklasifikasikan dalam tiga
bahagian, meliputi :
1. Anak Arung/an aruu, adalah lapisan raja dan sanak
keluarganya,

kaum

bangsawan.

Lapisan

ini

dalam

masyarakat mempunyai gelar seperti mangkau/mKai (Raja),


andi/adi dan petta/pEt.

11Asmad Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan dalam Masyarakat


Bugis Bone, (Cet, I Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007), h.
11 Lihat. Lontara Andi Najamuddin Petta Ile, Lihat pula Abd. Kadir Ahmad
MS, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Cet. I;
Makassar: INDOBIS, 2006), h. xii

2. Golongan yang kedua adalah to maradeka/to maredk yang


dikenal pula sebagai to deceng/to edec dan to sama/tosm,
maksudnya orang merdeka dari kekuasaan orang lain.
3. Golongan yang ketiga adalah strata masyarakat yang
paling rendah dan dikenal dengan istilah ata/at (hamba
sahaya atau budak). Lapisan ini sebenarnya hanyalah
merupakan

lapisan

sekunder

yang

hadir

mengikuti

penumbuhan pranata sosial dalam kerajaan-kerajaan di


Sulawesi Selatan pada masa lampau.12
Dalam lembaga perkawinan, kelas sosial yang semula telah
ditempati

oleh

keluarga

sangat

dipengaruhi

jodoh

yang

diperoleh seorang perempuan. Jodoh yang se-kufu dianggap


sebagai solusi yang harus perempuan ambil untuk tetap
mempertahankan stratifikasi sosial yang disandang keluarga.
Oleh karena itu, keluarga (ayah) kerap mendominasi pemilihan
jodoh bagi perempuan demi mendapatkan jodoh yang sekufu, sehingga perempuan terus berada di wilayah subordinasi
di bawah kekuasaan dan kontrol laki-laki. Nilai siri/siri yang
melekat dalam masyarakat Bugis menempatkan perempuan
dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, perempuan dituntut
12Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Biografi Pahlawan La
Pawawoi Karaeng Segeri, (Ujung Pandang, 1993), h. 17-18

10

untuk mempertahankan martabat keluarga. Namun, di sisi lain,


perempuan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan tidak
terpuji (menurut ukuran masyarakat Bugis), sehingga dalam
keseharian

perempuan

perlu

betul

untuk

mendapatkan

penjagaan dan pengawasan laki-laki (ayah dan seluruh anggota


keluarga laki-laki lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa
sistem

patriarki

perempuan

dalam

masyarakat

Bugis

memandang

sedemikian lemahnya, bahkan untuk

menjaga

nilai siri yang dibebankan padanya.


Penggolongan masyarakat dalam status sosial seperti di
atas

kadang-kadang

dapat

berimplikasi

terhadap

peroses

pernikahan di masyarakat Bone, terkadang gagalnya suatu


pernikahan diakibatkan karena salah satu pihak menolak sebab
status sosial yang tidak sama. terutama status sosial sang lakilaki yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial yang
sang perempuan. Praktik tersebut masih banyak dianut oleh
masyarakat di Kabupaten Bone dalam pemilihan jodoh. Dalam
masyarakat Bugis penetapan setara atau tidaknya seorang lakilaki dengan perempuan dalam proses pernikahan ditentukan
oleh kerabat terdekat (orang tua) dari mempelai perempuan,
dan jika salah satu anggota masyarakat tidak menghiraukan

11

adat tersebut maka akan mendapatkan sangksi pengucilan


dalam masyarakat.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Bugis adalah
perkawinan yang dilangsungkan antara kaum keturunan ulama
(topanrita/toprit) orang kaya, pemberani(towarani/towrni) dapat
melangsungkan perkawinan dengan perempuan bangsawan
karena

dalam

Lontara/lotra

antara

ulama,

orang

kaya,

pemberani dan kalangan bangsawan dapat duduk bersanding


satu sama lain.
Paparan di atas menjelaskan bahwa adanya persamaan dan
perbedaan dalam tinjauan tentang kafa>ah
Islam dan budaya bugis sehingga,

dalam hukum

penulis merasa perlu

pengkajian yang mendalam tentang permasalahan keduanya


dalam penelitian yang berjudul Studi Perbandingan Tentang
Kafa>ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka
yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah
Studi Perbandingan Tentang Kafa>ah dalam Hukum Islam dan
Budaya Bugis Bone yang dijabarkan dalam beberapa subpokok
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep kafa>ah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana konsep kafa>ah dalam budaya Bugis?

12

3. Bagaimana perbandingan antara konsep kafa>ah

dalam

budaya Bugis dengan kafa>ah dalam hukum Islam?


C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan penafsiran
pembaca terhadap variabel-variabel atau kata-kata dan istilahistilah teknis yang terkandung dalam judul penelitian ini, maka
penulis akan menguraikan kata-kata yang urgen dalam judul
penelitian ini sebagai berikut:
Secara bahasa kafa>ah berasal

dari

kata yang

berarti ( sama) atau ( seimbang).13 Dalam firman Allah


swt. disebutkan juga kata-kata yang berakar kafa>ah

.14 Dari

uaraian

bahwa kafa>ah dari

arti

seimbang.

Sedangkan

dikaitkan

dengan

di

atas

bahasanya

secara

masalah

dapat
berarti

terminologi
perkawinan.

dijelaskan
sama

atau

kafa>ah selalu
Ibnu

Manzur

mendefinisikan kafa>ah sebagai suatu keadaan keseimbangan


ksesuaian

atau

keserasian.

Ketika

dihubungan

dengan

nikah, kafa>ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara

13Lois Maluf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Alam, (Mesir: Dar Al-Masyriq,


1986), h. 690
14QS. Al-Ikhlas/112/4

13

calon suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama,


keturunan, dan sebagainya.15
Kafa>ah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
kesamaan, derajat, tolok, tara.16 Menurut istilah berarti setara,
sama tinggi derajat martabatnya. Istilah kafa>ah

dalam

perkawinan adalah adanya kesamaan derajat antara suami-istri,


kesamaan itu dipandang dari berbagai segi.17
Kafa>ah adalah berasal dari kata asli al-kufu diartikan
al-musa|wi (Keseimbangan). Ketika dihubungkan dengan nikah,
kafa>ah

diartikan dengan keseimbangan antara calon suami

dan istri, dari segi kedudukan (hasab), agama (din), keturunan


(nasab), dan semacamnya. Sementara di dalam istilah para
fuqaha, kafa>ah didefinisikan dengan kesamaan di dalam halhal kemasyarakatan, yang dengan itu diharapkan akan tercipta
kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga kelak, dan akan
mampu menyingkirkan kesusahan.18
Sayyid Sabiq dalam bukunya

menerangkan

bahwa

kafa>ah adalah persamaan dan keserupaan, sedangkan kufu


15Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor al-Ansori al-Mansur, Lisan alArab (Mesir: Dar al-Misriyah, tt.), h. 134
16Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,edisi ketiga (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 608
17Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia (Buku I), (Cet.I; Ujung
Pandang : CV. Berkah Utami, 2010), h. 55

14

adalah orang yang serupa dan sepadan. Maksud dari kafa>ah


dalam pernikahan adalah bahwa suami harus sekufu bagi
istrinya, artinya dia memiliki kedudukan yang sama dan
sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan
ekonomi. Tidak diragukan bahwa semakin sama kedudukan lakilaki dengan kedudukan perempuan, maka keberhasilan hidup
suami istri semakin terjamin dan semakin terpelihara dari
kegagalan.19
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam alQuran dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam alQuran adalah kata syariah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar
dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari
term Islamic law dari literatur barat, sedangkan definisi hukum
Islam menurut Muh. Daud Ali adalah hukum yang bersumber
dari Allah dan menjadi bagian agama Islam.20
Perkawinan dalam budaya Bugis adalah adanya tanggung
jawab baru bagi kedua orang yang mengikat tali perkawinan
terhadap masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan bagi orang

18Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, Dilengkapi Perbandingan UU


Negara Muslim Kontemporer, (Cet. I; Yogyakarta: Akademia dan Tazaffa,
2005), h. 225
19Sayyid Sabiq, Al-Fiqh Al-Sunnah, Jilid. II, (Cet. VIII; Beirut: Dar al- Kutub alAraby, 407 H, 1987 M,), h. 133

15

Bugis-Makassar dianggap sebagai hal yang suci, sehingga dalam


pelaksanaanya dilaksanakan dengan penuh hikmat dan pesta
yang meriah.21
Budaya atau adat adE/ade adalah unsur bagian dari
pangadereng, yang secara khusus terdiri atas: Pertama, adE
aklbienGE/ade

akkalabinengeng

atau

mengenai

hal

ihwal

20 Yang pertama pengertian hukum yaitu peraturan-peraturan atau seperangkat


norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik
peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Sedangkan pengertian . Hukm dan
Ahkam adalah perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata Hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa
arab. Artinya, norma atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan,pedoman
yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan
benda.Dalam system hukum Islam ada lima Hukm atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang
ibadah maupun di lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut alahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima, yaitu (1) jaiz tatu
mubah atau ibadah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram. Dilihat dari
segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang diterapkan Allah,
yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan
akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia
dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau rinci
lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Karena itu, syariat islam
terdapat didalam al-quran dan di dalam kitab-kitab Hadis. Di dalam bahasa Arab,
perkataan fiqh yang ditulis fiqih atau kadang- kadang ftkih setelah di
Indonesiakan, artinya paham atau pengertian. Kalau dihubungkan dengan
perkataan ilmu tersebut di atas, dalam hubungan ini dapat juga dirumuskan
(dengan kata-kata lain), ilmu fiqih adalah ilmu yang ''bertugas menentukan dan
menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan
ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah nabi yang direkam
dalam kitab-kitab hadis. Muhammad Daud Ali. Hukum Islam pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Ed. 15 ( Cet. 15: Jakarta : Rajawali
Pers. 2009). h. 42-47

21Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi


Barat, (Cet. I; Makassar: Indobis Publishing, 2006), h.ix

16

perkawinan
berwujud

serta

kepada

hubungan

mengenai

kaidah-kaidah

kekerabatan

perkawinan,

dan

kaidah-kaidah

keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga


rumah tangga, etika dalam hal rumah tangga dan sopan santun
pergaulan antara kaum kerabat. Kedua, adE tn/ade tana, atau
norma-norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah
negara dan terwujud sebagai hukum negara, serta etika dan
pembinaan insan politik. Pengawasan dan pembinaan adE/ade
dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh
beberapa pejabat adat seperti: pktEni adE/pakkatenni ade, pua
adE/puang ade, pampawa pPw adE/ade, dan perw adE/parewa
ade.22
Oleh karena itu, secara operasional kafa>ah
Perkawinan (Perbandingan kafa>ah

Dalam

Dalam Islam dan Budaya

Bugis) suatu penelitian yang mengkaji tentang perbandingan


antara

kafa>ah

dalam

perkawinan dalam Islam

budaya

bugis

dengan

hukum

serta persamaan dan perbedaanya

dalam pelaksanaan proses tersebut.


2. Ruang Lingkup penelitian
Mengacu pada beberapa pengertian istilah yang terkait
dengan judul penelitian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan
di atas, maka dapat dipahami bahwa ruang lingkup penelitian ini
22Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan, h. xxi

17

adalah mengkaji tentang konsep kafa>ah

dalam

hukum

perkawinan dalam Islam baik menurut pendapat imam mazhab


maupun perundang-undangan dan konsep kafa>ah

dalam

budaya pernikahan Bugis Bone di Kabupaten Bone.


D. Tinjauan Pustaka
Dalam
penyusunan
penelitian
ini,
penulis

akan

memaparkan tentang Studi Perbandingan Tentang Kafa>ah


dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone penelitian ini
dibutuhkan buku-buku atau literatur yang representatif sebagai
pijakan atau rujukan dalam mengunkap konsep kafa>ah dalam
penelitian ini.
Adapun

penelitian

yang

dianggap

memiliki

relevansi

dengan judul penelitian ini yakni penelitian Nashih Muhammad


yang berjudul Konsep Kafa>ah Menurut Kyai Muda Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

pada Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil

penelitan menyebutkan bahwa mayoritas kyai muda sepakat


bahwa unsur agama merupakan syarat mutlak berlangsungnya
pernikahan. Meskipun demikian, kyai muda Krapyak lebih
terbuka untuk unsur-unsur lainnya dalam konsep kafa>ah
karena kafa>ah menurut mereka adalah syarat lazim saja.
Setiap tempat memiliki kecenderungan sendiri-sendiri dalam

18

memilih pasangan. Selama tidak keluar dari nilai-nilai ajaran


Islam, hal tersebut tidak ada larangan.
Musafak dalam penelitianya yang

berjudul

Konsep

Kafa>ah Dalam Pernikahan (Studi Pemikiran Mahab Hanaf).


Pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Dalam penelitian ini ditemukan hasil bahwa pemicu
utama dari penetapan konsep kafa>ah Mahab Hanaf adalah
kompleksitas dan budaya mayarakat Kufah ketika itu, yang
diketahui dari sejarah penetapannya. Kemudian kriteria yang
semula

ada

lima,

setelah

diteliti

dengan

menggunakan

pendekatan urf dan kemaslahatan, maka yang masih relevan


dalam masyarakat Indonesia ada dua kriteria, yaitu: Agama, dan
kekayaan. Juga perlu adanya kesetaraan dalam tingkat yang lain
demi

terciptanya

keluarga

yang

saki>nah

dalam

bingkai

mawaddah dan rahmah.


Wawan Setiawan dalam penelitian yang berjudul Kafa>ah
Dalam Perkawinan Menurut Jamaah Lembaga Dakwah Islam
Indonesia Di Desa Mojolawaran Kecamatan Gabus Kabupaten
Pati,

Menurut LDII, yang dimaksud se-kufu dalam perkawinan

adalah satu aliran dengan mereka, yakni LDII. Mengenai masalah


kafa>ah ini, para jumhur ulama dari mazhab Maliki, Hanafi,
Syafii, dan Hambali berbeda pendapat dengan konsep kafa>ah

19

yang

diterapkan

oleh

LDII.

Mereka

sama

sekali

tidak

menyebutkan aliran atau golongan sebagai syarat kafa>ah.


Dasar

hukum

yang

dipakai

oleh

Lembaga

Dakwah

Islam

Indonesia (LDII) adalah al-Quran Surah ar-Rum ayat 21 dan


dikuatkan dengan hadist Bukhari dan Muslim. Walaupun tidak
dijelaskan secara langsung, namun dari dasar itulah para ulama
LDII dapat menafsirkan bahwa golongan merupakan syarat
kafa>ah. Akan tetapi, setelah penulis menggali lebih jauh
dengan membandingkan beberapa tafsir lain, seperti tafsir alQurtubi, Tafsir Al-Mishbah, Tafsir Fi Zhilalil-Quran, Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir al-Quranul Majid An-Nur, Shafwatut Tafasir, dan
tafsir al-Imam asy-Syafii, tidak ada satu pun yang menyatakan
bahwasanya golongan atau aliran adalah syarat kafa>ah dalam
perkawinan.
St. Muttia A. Husain dalam karya ilmiah yang berjudul
Proses Dalam Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Desa
Pakkasalo Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone pada Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Hasanuddin Makassar,

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa


tahapan

dalam

proses

mepsEepsE/mappese-pese,

perkawinan

Bugis

mdut/madduta,

terdiri

atas
mepeR

duai/mappenre dui, resepsi dan msit baisE/massita baiseng.

20

Beberapa hal yang dapat menimbulkan siri/siri dalam proses


perkawinan seperti pelamaran, uang belanja, mahar, pesta,
hiburan dan undangan perkawinan. Terdapat perubahan dalam
masyarakat terhadap pemaknaan siri hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor seperti adanya toleransi, pengetahuan dan
pendidikan masyarakat, sistem stratifikasi yang terbuka dan
penduduk yang heterogen.
Dari hasil penyelidikan penulis, terkait dengan penelitian
yang

dikaji,

belum

ada

yang

meneliti

terkait

dengan

Perbandingan Tentang kafa>ah dalam Hukum Islam dan Budaya


Bugis Bone. Olehnya itu penelitian ini dianggap sebagai hal yang
baru dan tidak pernah diteliti sebelumnya.
E. Kerangka Teortis
Bertitik tolak dari teori-teori yang disebutkan di atas, maka
kerangka pikir yang dibangun dalam kajian tulisan ini, dapat
dikemukakan dalam skema berikut:
Bagan Kerangka Teoritis

Kafa>ah Dalam
Perkawinan Islam dalam
Budaya Bugis di Kab.
Bone

Kedudukan Kafa>ah
Dalam Prosesi
Kafa>ah menurut
di
Berdasarkan kerangka teoritis tersebut Perkawinan
di atas dapat
Pandangan Imam
Masyarakat Bugis
Mazhab (Hukum Islam)
digambarkan bahwa dan
posisi
dapat dijumpai dalam
UU di Kafa>ah
Indonesia

Kafa>ah Dalam
Perkawinan Islam

hukum perkawinan dalam Islam dan adat perkawinan dalam

21

budaya Bugis sehingga perlu penelitian yang mendalam antara


persamaan dan perbedaan/perbandingan

kafa>ah dalam

budaya bugis dan hukum Islam. Sehingga nantinya dapat ditarik


simpulan perbandingan tentang Kafa>ah dalam Hukum Islam
dan Budaya Bugis Bone.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan peneltian
a. Untuk mengetahui

konsep

kafa>ah

dalam

hukum

perkawinan Islam.
b. Untuk mengetahui konsep kafa>ah dalam adat Bugis
c. Untuk mengetahui perbandingan antara konsep kafa>ah
dalam budaya Bugis dengan perkawinan dalam Islam.
2. Kegunaan penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan

pengetahun

dalam

pelaksanaan

proses

perkawinan dalam budaya bugis yang Islami.


b. Dalam penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan
kegunaan yang sebesar-besarnya bagi kalangan akademik
dan masyarakat luas, paling tidak sebagai informasi dan
tambahan referensi dalam upaya peningkatan kualitas
keimanan
berbudaya.

dalam

Islam

dan

peningkatan

kesadaran

22

c. Hasil

penelitian

diharapkan

dapat

membantu

dan

member/masukan serta tambahan pengetahuan

bagi

pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.


G. Garis-Garis Besar Isi Tesis
Garis-garis

besar

tesis

ini

mencerminkan

pokok-pokok

bahasan terdiri dari atas lima bab dan beberapa sub bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, akan di dalamnya menguraikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, definisi operasional dan ruang
lingkup pembahasan, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, tujuan
dan kegunaan penelitian, dan garis-garis besar isi tesis
Bab kedua dalam penulisan ini dibahas mengenai kajian
tentang perkawinan dalam Islam, perkawinan dalam budaya
bugis bone, sistem kekerabatan dalam budaya bugis
Bab ketiga dibahas mengenai tata cara penulisan atau
metode yang digunakan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini,
metode yang digunakan

adalah kualitaif deskriptif yaitu data

yang yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka,


semua

yang

dikumpulkan

berkemungkinan

menjadi

kunci

terhadap apa yang sudah diteliti. Mulai dari persiapan penelitian


sampai pada tahap

penyelesaian penulisan, yang berisi jenis

23

penelitian, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data,


dan metode analisis data
Bab keempat sebagai inti dari penulisan penelitian ini di
dalamnya berisi hasil penelitian yang dijabarkan ke dalam
pembahasan yaitu Kondisi Obyektif Lokasi Penelitian, Konsep
Kafa>ah

dalam hukum Islam, Konsep kafa>ah dalam budaya

Bugis, dan Analisis perbandingan antara konsep Kafa>ah dalam


budaya Bugis dengan Kafa>ah dalam hukum Islam
Selanjutnya, pada bab kelima sebagai bab penutup, berisi
simpulan dari permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini
yang selanjutnya dilengkapi dengan saran-saran.

Vous aimerez peut-être aussi