Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1. ETNOSENTRISME
Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok
atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain
yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain
yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur
budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70)
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita
hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang
asing sebagai budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah
angan-angan karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan
dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan
dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan
membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul
konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku
madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak
mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan
bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak
bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang
mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh
lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang vulgar
dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling
unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan
orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan
tercemarbudaya barat sebagai polusi pencemar.
1. STEREOTIPE
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping), yakni
menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi
orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain,
penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke dalam kategori-kategori yang
mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategorikategori yang sesuai, ketimbang berdasarkan karakteristik individual mereka. Banyak
definisi stereotype yang dikemukakan oleh para ahli, kalau boleh disimpulkan, stereotip
adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan
perbedaan-perbedaan individual. Kelimpik-kelompok ini mencakup : kelompok ras,
kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan
fisik tertentu. Stereotip tidak memandang individu-individu dalam kelompok tersebut
sebagai orang atau individu yang unik.
Contoh stereotip :
Laki-laki berpikir logis
Komunikasi
Lintas
(Antar)
Budaya
Komunikasi
Lintas
(Antar)
Budaya
Tema pokok yang sangat membedakan studi komunikasi antar budaya dari studi komunikasi
lainnya ialah derajat perbedaan, latarbelakang, pengalaman yang relatif besar antara para
komunikator, yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kebudayaan. Sebagai asumsi dasar
adalah bahwa di antara individu-individu dengan kebudayaan yang sama umumnya terdapat
kesamaan (homogenitas) yang lebih besar dalam hal latar belakang pengalaman secara
keseluruhan dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kebudayaan berlainan.
Perbedaan-perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta perbedaan lainnya,
spserti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan inheren dalam
proses komunikasi manusia. Dengan sifatnya yang demikian, komunikasi antar budaya
dianggap sebagai perluasan dari bidang-bidang studi komunikasi manusia, seperti komunikasi
antarpribadi,
komunikasi
organisasi
dan
komunikasi
massa.
Ada beberapa alasan mengapa perlunya komunikasi antar budaya, antara lain: a) membuka
diri memperluas pergaulan; b) meningkatkan kesadaran diri; c) etika/etis; d) mendorong
perdamaian dan meredam konflik; Komunikasi antar budaya menurut Samovar dan Porter
merupakan komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya suku
bangsa, etnik, dan ras, atau kelas sosial. Komunikasi antar budaya ini dapat dilakukan dengan
negosiasi, pertukaran simbol, sebagai pembimbing perilaku budaya, untuk menujukkan
fungsi sebuah kelompok. Dengan pemahaman mengenai komunikasi antar budaya dan
bagaimana komunikasi dapat dilakukan, maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi
dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan
komunikasi yang intens kita dapat memahami akar permasalahan sebuah konflik, membatasi
dan mengurangi kesalahpahaman, komunikasi dapat mengurangi eskalasi konflik sosial.
Menurut Charles E Snare bahwa usaha meredam konflik dan mendorong terciptanya
perdamaian tergantung bagaimana cara kita mendefinisikan situasi orang lain agar kita dapat
mencapai perdamaian dan kerjasama.Jadi jelas dengan mempelajari komunikasi antar budaya
berarti kita mempelajari (termasuk membanding) kebiasaan-kebiasaan setiap etnis, adat,
agama, geografis dan kelas sosial di masyarakat kita. Dengan pemahaman tersebut kita
mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan tersebut dengan komunikasi antar budaya, guna
menyelesaikan konflik melalui dialog yang baik antara lain dengan identifikasi perspektif
budaya.
HAMBATAN-HAMBATAN
DALAM
KOMUNIKASI
LINTAS
BUDAYA
1.
ETNOSENTRISME
Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau
budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak
sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak
sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya
asing
dengan
budayanya
sendiri.
(Mulyana:2000;70)
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai.
Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai
budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan
karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin
tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita.
Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri
sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh
konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus
terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan
menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang
paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik
namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar
anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat
sebagai budaya yang vulgar dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai
sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung
membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya
maka budaya asli akan tercemarbudaya barat sebagai polusi pencemar.
2.
RASIALISME
Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial.
Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial.
Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan
budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah
ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika istilah rasisme umumnya merujuk
pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu
gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan
bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk,
sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasikonotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras,
Rasialisme di sini menjadi sangat berbahaya karena selain menghambat keefektifan
komunikasi antar budayaantar ras yang berbeda, rasialisme dapat menjadi pemicu
pertikaian antar ras, di mana konflik yang terjadi akan sulit sekali untuk didamaikan dan
berlangsung lama. Contoh konflik akibat rasialisme yang pernah terjadi dan terkenal di
Indonesia adalah konflik- rasialisme anti-Tionghoa, di mana di Indonesia pernah terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap ras Tionghoa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Butuh perjuangan yang panjang agar ras Tionghoa diterima dan diakui-dihargai
keberadaannya.
AnneAhira.com
Sosial
Konflik Sosial
Saat ini pemberitaan di berbagai media banyak menceritakan kabar tentang peperangan yang
ada di kawasan Timur Tengah. Sementara di Indonesia selain masalah korupsi dan politik,
berita lain yang juga sering menjadi perhatian adalah konfik budaya. Tanpa melihat mana
yang benar dan mana yang salah, banyak contoh konflik antar budaya yang dapat
menimbulkan ketegangan hubungan sesama manusia.
Contoh Konflik Antarbudaya Luar Negeri
Salah satu contoh konflik antar budaya di luar negeri yang paling sering terjadi berada di
wilyah Timur Tengah khususnya Israel dan Palestina. Banyak yang menyatakan jika
pertempuran yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan peperangan untuk
memperebutkan daerah serta mempertahankan kedaulatan negara.
Namun sebenarnya jika diamati secara lebih seksama, masalah ini juga bisa dikatakan
sebagai salah satu contoh konflik antarbudaya juga. Karena sumber dari peperangan yang
terjadi selama ini salah satunya adalah faktor sejarah.
Orang Israel berpendapat jika tanah sengketa itu adalah milik nenek moyang mereka.
Sementara bangsa Palestinaa juga menganggap apabila wilayah itu merupakan hak bagi
rakyatnya. Jadi, meski gencatan senjata sudah berulang kali dilakukan, tapi jika sumber dari
masalah ini tidak diselesaikan, maka konflik akan terus terjadi.
Selain itu konflik di daerah Timur Tengah ini juga dipengaruhi oleh satu pandangan budaya
yang berbeda. Palestina mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab yang pada
umumnya masih menerapkan sifat antidemokrasi atau otoriter. Pemimpin atau raja bisa jadi
sumber dari segala sumber hukum. Apa saja yang dikatakan atau diperbuat raja, maka rakyat
harus menurutinya.
Sementara itu Israel mendapatkan dukungan yang lebih besar dari Amerika serta negaranegara barat lainnya. Pada umumnya mereka lebih suka menerapkan demokrasi liberal di
mana suara terbanyak dijadikan sebagai produk hukum dan undang-undang. Selain itu,
mereka lebih senang serta menghargai hak-hak individu dan kebebasan untuk melakukan apa
saja sepanjang tidak mengganggu urusan orang lain.
Dunia yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan menganggap jika budaya yang
masih terjadi di negara-negara Arab adalah budaya kuno sehingga harus ditinggalkan
secepatnya dan diganti dengan budaya baru. Yang dimaksud dengan budaya baru adalah
budaya demokrasi dan liberal yang sekarang diterapkan di Amerika dan negara-negara Barat
tersebut. Hal inilah yang menjadikan konflik di Timur Tengah seakan tidak pernah ada
akhirnya.
Menghormati Budaya Masing-Masing
Agar konflik dan peperangan yang terjadi di Timur Tengah ini bisa berhenti, salah satu cara
yang bisa ditempuh adalah mau memahami dan menghormati budaya masing-masing. Namun
selain itu juga harus mau memahami jika budaya itu akan selalu berkembang dan terus
mengalami perubahan.
Contohnya di Timur Tengah yang masih menganut paham otoriter dan kekuasaan absolut
berada di tangan raja, sebaiknya mulai melalukan perubahan meski tidak perlu secara radikal.
Raja tetap bisa menjadi penguasa tunggal namun kekuasaannya harus mendapat kontrol dari
majelis atau dewan khusus. Sehingga jika raja atau penguasa melakukan kesalahan tetap bisa
mendapatkan peringatan dari para anggota dewan tersebut.
Atau bisa juga raja dijadikan sebagai simbol persatuan negara sementara kepala pemerintahan
dipilih oleh rakyat atau orang maupun lembaga yang dianggap mampu mewakili kepentingan
mereka. Mungkin hal ini jika diterapkan secara cepat bisa menimbulkan konflik baru,
terutama dari para raja dan penguasa yang tidak mau kehilangan kekuasaannya.
Tapi jika mereka mau berpikir jernih demi kehidupan untuk masa depan yang lebih baik,
sudah sepantasnya apabila penguasa tersebut mau berbesar hati untuk berbagi kekuasaan
dengan pihak lain agar proses pengontrolan terhadap sistem penyelenggaraan negara bisa
berjalan lebih baik dan bisa memuaskan semua pihak. Rakyat bisa terpenuhi keinginannya
sementara penguasa dan raja tetap tidak kehilangan kehormatannya.
Sementara itu untuk bangsa Amerika dan negara-negara barat lainnya, meski punya
pandangan yang berbeda, tapi tetap harus mau menghormati budaya negara lain khususnya
Timur Tengah. Boleh saja mereka mengembangkan ideologi demokrasi di wilayah tersebut.
Tapi perlu disadari tidak semua pemikiran mereka bisa diterapkan dengan baik di daerah atau
wilayah lain.
Apalagi mengingat sebelum mempraktekan paham demokrasi, beberapa abad yang lalu
negara-negara barat juga masih menerapkan sistem kekuasaan absolut di tangan raja. Barulah
setelah terjadi revolusi, mereka merubah paham tersebut secara radikal. Kekuasaan raja
dibatasi bahkan ada yang menghilangkannya sama sekali.
Untuk saat ini perubahan secara radikal belum bisa diterapkan di negara-negara Arab atau
Timur Tengah. Sebaiknya perubahan dilakukan secara satu langkah demi satu langkah
sehingga pada suatu saat nanti akan tercipta suatu sistem pemerintahan yang lebih adil dan
bijaksana di mana raja atau penguasa bisa berbagi kekuasaan dengan orang atau lembaga lain.
Contoh Konflik Antarbudaya di Indonesia
Di negeri sendiri yaitu Indonesia, salah satu contoh konflik antarbudaya yang hingga saat ini
masih sering terjadi adalah hubungan antara Indonesia sendiri dengan Malaysia. Banyak
cabang seni yang merupakan hasil karya dari bangsa Indonesia namun dinyatakan sebagai
milik bangsa Malaysia.
Misalnya lagu daerah yang berjudul Rasa Sayange. Bahkan negara jiran tersebut sudah berani
menantang negeri kita untuk membuktikan jika lagi tersebut memang milik Indonesia.
Kemudian, ada lagi seni pembuatan batik yang juga diklaim oleh mereka. Padahal selama ini
dunia sudah mengakui jika batik adalah milik Indonesia. Bahkan PBB melalui salah satu
lembaganya yaitu UNESCO sudah menegaskan hal tersebut.
Selain lagu Rasa Sayange dan batik, beberapa seni dan budaya lain yang pernah diklaim oleh
Malaysia antara lain adalah tari Pendet dari Bali, Reog dari Ponorogo, seni angklung dari
Jawa Barat dan sebagainya.
Namun sayang sekali klaim dari Malaysia tersebut tidak dipersoalkan oleh pemerintah.
Mereka menyatakan jika antara bangsa Indonesia dan Malaysia memang punya banyak
kesamaan dan pada jaman dulu orang Indonesia yang bertempat tinggal maupun menetap di
Malaysia sudah membagi ilmunya pada penduduk setempat.
Perlu dipahami bahwa budaya adalah salah satu kebanggaan dan simbol harga diri suatu
bangsa. Maka jika budaya tersebut dinyatakan sebagai budaya bangsa lain sudah sepantasnya
kita harus berani menyatakan jika perbuatan tersebut merupakan suatu kesalahan besar.
Untuk negara Malaysia, boleh saja menggunakan budaya bangsa lain termasuk Indonesia
untuk berbagai macam kepentingan. Namun mereka dilarang keras untuk mengklaim atau
menyatakan jika budaya tersebut adalah hasil karya mereka sendiri.
Contohnya adalah seni barongsai. Kesenian ini sebenarnya berasal dari negara China. Namun
di beberapa negara lain, termasuk Indonesia, tetap bisa berkembang dan menjadi salah satu
bagian dari budaya negeri ini. Namun Indonesia tidak pernah mau mengakui jika barongsai
adalah milik bangsa ini sendiri. Sebaiknya Malaysia harus mau meniru atau mencontoh
tindakan seperti itu serta tidak melakukan praktek-praktek yang membuat hubungan kedua
negara jadi tegang dan terus memanas.
Apabila mau menghormati kedaulatan dan hak-hak masing-masing negara, sebenarnya
beberapa contoh konflik antarbudaya tersebut tidak perlu terjadi. Jika ingin menggunakan
budaya milik bangsa lain harus tetap menyatakan jika dirinya bukan pencipta atau pemilik
budaya tersebut tapi hanya menjadikannya sebagai suatu pengembangan atas budaya yang
menjadi milik sendiri.
1.1.
LATAR BELAKANG
Gagap budaya merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari
suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang
yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut
(Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Gagap budaya adalah
fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Orang yang
mengalami Gagap budaya berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun
emosional.
Gagap budaya banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu yang sering ditemui
adalah gagap budaya dalam berpakaian. Orang sering berpakaian tidak sesuai dengan tempat,
situasi dan suasana yang sebenarnya. Misalnya saja gaya pakaian kuliah mahasiswa dan
mahasiswi yang baru memasuki universitas, mereka biasanya bingung mengenakan pakaian
yang sesuai dengan dunianya sekarang. Selain itu, gagap budaya juga dialami pada kalangan
artis, mereka sering kali mengenakan pakaian dan aksesoris yang berlebihan sehingga tidak
sesuai dengan situasi tersebut.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1.4.
MANFAAT PENULISAN
Dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru yang akan berpindah dari
lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan universitas yang baru.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
DEFINISI KEBUDAYAAN
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah bentuk jamak
dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan
hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Definisi kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh
segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang
dan waktu. Cara berpikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam cara berlaku dan cara
berbuat.
Dengan demikian definisi itu dapat dipersingkat sebagai berikut: cara berlaku atau berbuat
dalam kehidupan, atau dapat disingkat lagi menjadi cara hidup (Inggris: way of life). Jadi
kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia.
2.2.
Istilah gagap budaya pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg.
Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul
dari kehilangan semua lambang dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk
di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya:
bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita
tidak perlu merespon (Mulyana, 2008).
Banyak definisi dari para ahli tentang gagap budaya, namun pada initinya, jika kami
menyimpulkan, gagap budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam
rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak
sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan
gagap budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan
faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan
dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan
baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb.
2.3.
1.
1.
Gagap budaya terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensireferensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya.
Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak
pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll.
Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar anak baik
sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya.
Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai anak ketinggalan jaman,
kuno dan kolot. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali
keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali
konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini.
2.4.
Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu
penyesuaian diri, Samovar, (2000) menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan
culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga
disebut u-curve.
1. 1.
Fase optimistis, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas
dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. 2.
Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru,
dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan
sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan,
mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
3. 3.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan
dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam
lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
4. 4.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti
elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi,
keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya
juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan
bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi
kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve,
yaitu gabungan dari 2 U-curve.
Pada saat seseorang memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya dialami
individu tersebut sehubungan dengan culture shock (Oberg dalam Irwin, 2007; Guanipa,
1998). Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu:
1. 1.
Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung
sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan
segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias,
terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih
dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan.
2. Tahap Krisis yaitu: agresif/regresi/Flight
Pada tahap berikutnya, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan
budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya
sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif,
marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal.
3. Proses Adjustment
Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap
ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini,
individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan
kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara
menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok
dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah
untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa
humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner
(1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang
lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan
antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru.
Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai
menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga
tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian,
dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada
akhirnya bisa dinikmati dan diterima.
4. Fit/Integration
Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal
yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini
akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru,
dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini
memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri.
5. Re-entry shock
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri asalnya. Individu
mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti
dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang
lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000)
ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture
shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami
masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry gagap budaya yang
rendah.
Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat
mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali mengalami
jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya.
2.5. GEJALA-GEJALA GAGAP BUDAYA
Gejala munculnya gagap budaya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain.
Namun ada beberapa symptom yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture
shock, yaitu antara lain:
v Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan, disorientasi.
v Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang
lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitive terhadap masalah kebersihan di tempat yang
baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan
berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat.
v Menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi, serta gangguangangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll.
v Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak
berdaya.
v Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan
orang lain.
v Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara
berlebihan.
v Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya.
Misalnya, sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba kini
merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll.
v Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya
(karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa
menimbulkan perasaan kewalahan.
v Tidak mampu memecahkan masalah sederhana.
v Kehilangan kepercayaan diri.
Secara singkat, Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental maupun fisik
yang dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala gagap budaya.
2.6. REAKSI PADA GAGAP BUDAYA
Reaksi terhadap gagap budaya bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan
dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1. 2.
1. 3.
Menimbulkan kecemasan
Pemicu awal stress
Bisa menimbulkan penyakit fisik
Meningkatnya perasaan iritasi dan frustasi
Nafsu makan berkurang atau kebalikannya
Takut kontak fisik dengan pribadi lain
Kurang tidur atau kebalikannya
Perasaan sakit yang tidak jelas sebabnya
Tatapan mata yang kosong
Perasaan tidak berdaya dan ingin terus bergantung pada penduduk sebangsanya
Cepat marah
2.9.
2.10.
Gagap budaya tidak dapat dihindari. Semakin berbeda budayanya makin makin parah efek
yang ditimbulkan. Sebagai pemicu awal dari timbulnya stress, gagap budaya bersifat
spesisfik pada tiap orang. Untuk itu, cara mengatasinya pun berbeda-beda disesuaikan dengan
karakteristik individu masing-masing.
Gagap budaya umumnya dapat diatasi atau dikelola dengan berusaha tidak terjebak dalam
emosi-emosi negative tersebut. Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan sosial yang
melibatkan orang banyak. Bisa juga dengan memiliki kenalan orang setempat.
Akan lebih baik lagi jika kenalan itu dapat menjadi sahabat. Tak hanya sekedar teman.
Dengan ikatana emosi yang kuat hasil dari persahabatan, terbukti manjur mengikis rasa
terasing atau perasaan sendiri di negeri orang. Gagap budaya juga bisa dikurangi jika kita
mempelajari lebih dalam tentang budaya setempat.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka
penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai
dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Pengalaman gagap budaya ini sebenarnya
dianggap hal yang wajar yang banyak dialami oleh individu yang berada dalam lingkungan
yang baru (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut
bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada
dalam diri individu tersebut.
Tahap terjadinya gagap budaya, yaitu: Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun; Tahap Krisis;
agresif/ regresi/Flight; Proses Adjustment; Fit/Integration; Re-entry shock.
3.2.
SARAN
Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga kerja,
yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue
mengenai gagap budaya tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada
sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena gagap budaya bisa
menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering
melakukan aktifitas lintas budaya.
Usaha untuk mengatasi gagap budaya, akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu secara
perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh instansi atau
lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya
Menurut pendapat saya perbedaan Budaya Amerika dan Indonesia yaitu sebagai berikut :
Amerika sangatlah bebas seperti hubungan seks diluar nikah, kumpul kebo, bermesraan di
depan umum, perempuan Amerika yang sedang makan menggunakan tangan kirinya (kidal),
Amerika roti gandum atau sereal untuk sarapan, Amerika jauh lebih aktif dibandingkan siswa
Indonesia. Dalam pelajarannya, guru selalu menyempatkan sebuah sesi tanya jawab seusai
menjelaskan materi. Dan siswa selalu bertanya apapun yang tidak ia mengerti. Amerika
bekerja dalam sektor swasta, bukan negeri. Amerika, atlet mendapat penghargaan dari
masyarakat biasa karena mereka merasa ia bak seorang hero yang berjuang demi negara
bagiannya. Indonesia Indonesia masih sangat tabu dan aneh walaupun ada beberapa orang
yang menganut kebiasaan ini. perempuan indonesia menanggapi wanita yang menggunakan
tangan kiri untuk makan (kidal)itu akan dianggap kasar. Indonesia yang setiap harinya selalu
bertemu nasi Siswa Indonesia cenderung merasa cukup apabila sudah menguasai isi suatu bab
dengan baik Indonesia, pekerjaan PNS lebih banyak dicari Indonesia berlangganan juara
Olimpiade. Jangan salah, setiap Olimpiade Sains Internasional, Indonesia pasti menghasilkan
juara
yang
banyak
Modernitas di Indonesia semakin lama semakin kuat kita rasakan. Nggak hanya dalam hal
hiburan dan teknologi aja, hal-hal intangible seperti gaya hidup dan cara berpikir dan
keefisienan kita dalam bekerja pun semakin lama semakin blend in dengan kebiasaan belahan
dunia lain. Is this a bad thing? Nggak juga. Bila kita melipir sebentar dari perdebatan tradisi
yang semakin luntur, misalnya, ada banyak manfaat yang kita peroleh dari pergeseran ini.
Salah satunya adalah kita jadi lebih terbuka dan open minded terhadap ide-ide baru dan
perbedaan.
Bagi sebagian orang, kita mulai kebarat-baratan, namun kalau diteliti benar, nggak sedikit
perbedaan budaya yang masih kental yang memisahkan kita dari warga dunia barat. Budaya
di sini maksudnya bukan kesenian atau tari-tarian, melainkan soal value yang berujung pada
penghargaan kita terhadap orang lain. Ambil contoh perbedaan budaya Indonesia dengan
Amerika. Apa saja yang jelas kentara?
Waiter bukan pekerjaan bawahan
Di Indonesia: Terserah mau ngaku atau enggak, tapi seringkali, kalau mau jujur, kita
menganggap waiter atau pelayan restoran kelasnya ada di bawah kita yang bekerja di kantor,
mungkin di gedung yang tinggi, dengan klien-klien internasional. Dalam hati seringkali kita
menganggapwaiter nggak beda dengan asisten rumah tangga yang bisa kita suruh
mengerjakan apa saja demi kepuasan hati merasa dilayani.
Di Amerika: Adalah keterlaluan bila memperlakukan waiter tidak selevel dengan kita.
Pertama, kita nggak semestinya memanggil waiter di resto karena akan dianggap rude.
Kedua, kalau ingin melihat menu, kita harus menunggu dan waiter akan datang ke meja kita.
Begitu juga saat ingin memesan makanan dan mendapatkan bill. Memang ini ada
hubungannya dengan customer service mereka yang baik. Setiap meja punya
satu waiter yang didedikasikan untuknya dan mereka akan sangat attentive dan menanyakan
apa kita membutuhkan tambahan sesuatu setiap 5-10 menit. Intinya lupakan perasaan
superior bahwa mereka adalah pelayan kita. Di Amerika dan di banyak negara di Eropa (atau
di negara-negara Barat), waiter adalah orang yang akan membantu kita mendapatkan
makanan atau minuman dan seperti kita memperlakukan sesama manusia, mereka berhak
atas respect dari kita.
Pejalan kaki adalah raja
Di Indonesia: Lets be honest, di sini, nasib pejalan kaki nggak terlalu mujur. Nggak hanya
nggak punya trotoar yang bebas dari pedagang kaki lima dan motor-motor yang
pengemudinya nggak sekolah, saat kita menyetir dan lampu baru berubah dari kuning ke
merah, kadang kita nekat nyempet-nyempetin untuk terus maju, tanpa memperhatikan
bahwa mungkin ada pejalan kaki yang sudah siap menyebrang. (Tentu ini bicara pejalan kaki
yang taat aturan ya, yang menyebrang pada tempatnya. Yang nggak taat aturan nggak usah
dibahas, panjang pasti ceritanya!)
Di Amerika: Pejalan kaki adalah raja. Ketika mobil kita berbelok dan ada pejalan kaki yang
sudah bersiap menyebrang, mereka boleh marah sama kita. Mereka boleh protes dan akan
membuat kita merasa malu karena tidak memperhatikan jalan atau bersikap arogan. Bahkan
di beberapa jalan, ada zebra cross khusus di mana begitu di salah satu ujung jalan ada orang
yang menginjakkan 1 kaki saja di zebra cross tersebut (belum nyebrang ya, baru naro kaki
doang :D), mobil sudah harus berhenti.
Time is money so stop basa-basi
Di Indonesia: Saya tau kita nggak bermaksud buruk dengan berbasa-basi. Malah tujuannya
baik, kita mau menghormati orang lain, makanya kita meluangkan banyak waktu untuk ice
breakingsaat baru ketemu orang, lalu meluangkan waktu saat menyampaikan kabar kurang
sedap (baca: ngomong muter-muter biar lawan bicara nggak tersinggung), lalu meluangkan
banyak waktu lagi saat berpamitan (bener loh, coba perhatiin, saat berkunjung ke rumah
keluarga atau teman, atau bahkan ke kantor klien, pamitannya bisa 15 menit sendiri!).
Di Amerika: Warga Amerika punya cara menghormati orang lain dengan cara yang berbeda,
yaitu dengan tidak menghabiskan waktu mereka. Its true. Especially in big cities like New
York or Los Angeles, its rude to waste peoples time. Langsung aja bilang butuh apa dan
mereka akan bantu dengan segera. Time efficiency sangat penting buat mereka.
Lalu, mana yang lebih baik? Ini bukan soal budaya Barat lebih baik dari budaya Timur dan
sebaliknya. Setiap budaya dan tradisi berasal dari histori. Tapi nggak ada salahnya selain
meniru cara berpakaian dan mengekspresikan diri, kita adopsi juga hal-hal baik dari belahan
dunia lain ini.
Perilaku Komunikasi Nonverbal Jerman vs Indonesia :)
PERILAKU KOMUNIKASI NONVERBAL
JERMAN vs INDONESIA
Paper ini disusun dalam rangka untuk memenuhi Tugas Mata kuliah ManajemenHumas
Dosen Pengampu: Naviah Kaviati, S.T.
Disusun oleh :
INA AFIFAH
NIM : 10141007
S1 MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TERPADU
YOGYAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan
sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya
seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan
perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan
teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara
yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal
dari daerah lain. Dari sebuah hubungan interaksi sosial itu menimbulkan suatu budaya baru
yang berawal dari sebuah proses akulturasi budaya.
Perlu mengetahui dan memahami bagaimana sebuah Negara berbudaya dan berkomunikasi
dalam komunikasi antarbudaya sehingga dengan demikian kita akan memahami perbedaan
dan kesamaan budaya kita dengan budaya orang lain, begitu juga dengan kita memahami
bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh orang Jerman yang budaya jerman seperti
layaknya budaya barat pada umumnya sangat berbeda dengan komunikasi ala Indonesia yang
berkonteks tinggi dimana kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus
terang dan bisa dikatakan lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal dalam
berkomunikasi. Budaya jerman dan budaya barat (eropa barat, Amerika, dan Australia) yang
berkonteks rendah ditandai dengan pesan lebih bersifat verbal dan eksplisit, gaya bicara
langsung, lugas, berterus terang, menekankan komunikasi langsung dan ekplisit: pesan-pesan
verbal sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi dalam pesan verbal.
Dari budaya konteks tinggi seperti yang telah disebutkan, tidak menutup kemungkinan bahwa
orang-orang/masyarakat Jerman tidak pernah menggunakan bahasa nonverbal dalam
berinteraksi. Oleh karenanaya, penulis ingin sedikit mengulas tentang keunikan bahasa
nonverbal yang dilakukan oleh orang-oang Jerman pada umumnya dengan memberikan
bandingan bahasa nonverbal dari orang-orang Indonesia.
Berikut adalah beberapa contoh perbedaaan perilaku nonverbal antara orang Jerman dengan
orang Indonesia :
Dalam berjabat tangan ada pengecualian dari jerman umumnya orang jerman baik
pria ataupun wanita tidak suka menyentuh apalagi memegang sesama jenis kecuali mereka
mau dipanggil gay atau lesbi sedangkan di Indonesia, berjabat tangan sesama jenis saat
bertemu adalah hal yang wajar, bahkan terkadang untuk kalangan tertentu di Indonesia,
cipika-cipiki juga merupakan hal yang wajar.
Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam
pergaulan sosial sedangkan di Indonesia, berjabat tangan lawan jenis bisa menjadi hal yang
wajar tapi bisa menjadi hal yang dilarang jika dilihat dari sudut pandang islam.
Di Jerman, pemuda yang menggandeng bahu sesama jenis dikatakan gay, sedangkan
di Indonesia tidak jarang seorang pemuda menggandeng bahu temannya ketika berjalan kaki
menyusuri trotoar tanpa ada kekhawatiran dikatakan homo, dan perilaku tersebut di Indonesia
lebih menandakan keakraban kekerabatan maupun kekeluargaan
Di jerman, acungan jempol juga dapat berarti satu, isyarat seperti ini terkadang
digunakan oleh orang jerman untuk memesan satu (botol atau gelas) bir kepada pelayan
sedangkan di Indonesia acungan jempol mungkin mengatakan bagus, oke, sip atau beres.
Untuk menunjukkan istimewa (excellent) terkadang orang jerman mempertemukan
ujung jempol dan telunjuk (membentuk lingkaran) dengan meninggalkan dan membiarkan
ketiga jari lainnya berdiri sedankan di Indonesia, isyarat ini untuk menunjukkan bahwa segala
sesuatunya sudah beres.
Di Indonesia menyentuhkan telunjuk kanan di kening dengan posisi miring
menjunjukkan bahwa seseorang itu sinting sedangkan di Jerman hal ini dilakukan dengan
nenunjukkan telunjuk sebelah kanan ke kening sebelah kanan pula. Isyarat gila di Jerman
bisa berarti pikirlah pakai otak atau sebagai tanda untuk berpikir.
Orang jerman sangat lazim menunjukkan sesuatu dengan telunjuk kepada atasannya
semisal seorang atasan bertanya dimana buku saya ? sedangkan di Indonesia, hal tersebut
adalah merupakan ketidaksopanan. Orang-orang kita biasanya menggunakan ibu jari
menghadap ke atas dengan arah menunjukkan tempat/benda tersebut.
Orang Jerman mengetuk-ngetuk meja dengan semua jari yang ditekukkan sehingga
tangan terkepal ini bertujuan member applause seseorang, di Indonesia seseorang
memberikan applause dengan menepuk-nepukkan kedua telapak tangan dan terkadang
diiringi dengan berdiri untuk lebih menjadikan orang yang diberi applause itu istimewa.
Orang Jerman menyuruh orang lain diam dengan cara meletakkan jari telunjuk di
bibir sambil mengatakan ssstt hal ini mirip dengan apa yang dilakukan di Indonesia, tapi di
Indonesia bisa juga dengan menempelkan ujung jari-jari tangan kanan ke telapak tangan
sebelah kiri atau sebaliknya sehingga membentuk seperti huruf T, bisa juga dengan
mengatup-atupkan antara ibu jari dengan dua jari di atasnya (telunjuk dan jari tengah)
Orang Jerman meletakkan jempol ke lubang telinga, membiarkan kelingking berdiri
dan menekuk ketiga jari lainnya, isyarat seperti ini berarti mengatakanmari kita bicara lewat
telepon nanti, sama seperti di Indonesia hanya saja terkadang di Indonesia ditambah dengan
tangan digerak-gerakkan.
Dijerman isyarat yang buruk seperti mengacungkan jari tengah dapat membawa
pelakunya ke meja hijau karena sudah termasuk pelanggaran yang sangat berat, sedangkan di
Indonesia isyarat seperti itu memang sangat tidak sopan tetapi bisa tidak sampai membawa
pelaku ke meja hijau.
Di jerman memberikan bunga mawar merah kepada wanita dianggap sebagai suatu
undangan yang romantis, tetapi menjadi tidak baik jika dikaitkan dengan hubungan bisnis.
Tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana budaya mempengaruhi
komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal dan pemaknaan terhadap pesan nonverbal
tersebut, kita bisa gagal berkomunikasi dengan orang lain. Kita cenderung menganggap
budaya kita, dan bahasa nonverbal kita sebagai standar dalam menilai bahasa nonverbal
orang dari budaya lain. Bila kita langsung berkesimpulan tentang orang lain berdasarkan
perilaku nonverbalnya yang berbeda itu, maka kita terjebak dalam etnosentrisme.
Etnosentrisme bisa diartikan kecenderungan untuk menilai kelompok lain dengan standar,
perilaku, dan adat atau kebiasaan dalam kelompoknya, serta melihat kelompok lain lebih
rendah dibandingkan kelompoknya sendiri(Mulyana & Rakhmat:77) sederhananya dapat
diartikan menganggap budaya sendiri sebagai standar dalam mengukur budaya orang lain dan
disadari atau tidak, kita sering mengganggap kelompok kita sendiri, negeri kita
sendiri,budaya kita sendiri, sebagai yang terbaik, yang paling bermoral.
KESIMPULAN
Seluruh keberhasilan proses komunikasi pada akhirnya tergantung pada efektivitas
komunikasi, yakni sejauh mana para partisipannya memberikan makna yang sama atas pesan
yang dipertukarkan. Pada gilirannya, latar belakang budaya partisipan yang acapkali berbeda
akan sangat menentukan efektivitasnya itu. Oleh karenanya, memahami budaya adalah
merupakan prasyarat penting dalam keberhasilan komunikasi.
Pentingnya pesan non verbal ini misalnya dilukiskan dengan frase, bukan apa yang ia
katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya . Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat
mengetahui suasana emosional seseorang.
Betapapun banyaknya kata-kata yang digunakan sebagai bahasa verbal di dunia ini, akan
lebih kompleks ketika ada pendampingnya yakni bahasa nonverbal. Dapat dikatakan bahwa
secara sederhana, bahasa non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata, mencakup
semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, dan
bermakna bagi orang lain.
Sumber :
http://belajar-komunikasi.blogspot.com/2010/12/perilaku-verbal-dan-non-verbal pada.html
http://dewey.petra.ac.id/dts_res_detail.php?mode=extended&knokat=6785
Mulyana,Deddy.2005.Komunikasi
Efektif
budaya.Bandung.PT.Remaja Rosda Karya
suatu
pendekatan
http://komunikasi-bisnis.blogspot.com/2011/02/tantangan-komunikasi di-tengah.html
lintas
Abstract
Globalization has allowed more and more people to encountere new culture as sojourners.
The experience of having a shock culture will be more common to be experienced by more
people. This article tackles about the issue of culture shock, included its origin, symptoms,
different theories that explain about it, and suggestion to handle culture shock.
Latar Belakang
Program internasional yang dibuka oleh beberapa sekolah di dunia membuka
kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar
bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia sendiri, semakin banyak dibuka
sekolah internasional yang memungkinkan diterimanya pelajar dari negara lain untuk belajar
di Indonesia. Demikian juga, tak kalah banyak, masyarakat Indonesia yang memilih untuk
mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka
menyesuaikan diri dengan budaya baru.
Istilah culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal medis sebagai penyakit
yang parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang), yang diperoleh individu saat ia secara
tiba-tiba dipindah ke luar negri (www.wzo.org.il/en/resources/view.asp?id=1445). Namun
istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh seorang sosiolog
Kalervo Oberg di akhir tahun 1960. (dalam Irwin, 2007) mendefinisikan culture
shock sebagai penyakit yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan
kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian adanya perasaan cemas, hilangnya arah,
perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan
sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang
secara kultur maupun sosial baru. Oberg (dalam Irwin, 2007) lebih lanjut menjelaskan hal itu
dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini
dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru
dalam jangka waktu yang relative lama.
Definisi Adler (1975) lebih menekankan bahwa culture shock adalah suatu
rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan (reinforcement) yang
selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang
terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan
berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut
bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka
dan perasaan diabaikan oleh orang lain.
Guanipa (1998) menambahkan bahwa perasaan tidak nyaman akibat culture
shock tidak hanya melulu reaksi emosioanl, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita
individu ketika mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Pengalaman ini
juga bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan norma-norma masyarakat yang berbeda,
tetapi juga karena iklim, makanan, teknologi yang berbeda dari negara asal dengan negara
yang didatanginya. Berbagai keberbedaan tadi menimbulkan perasaan asing, kehilangan
orientasi dan kebingungan. Milton (1998) mengamati bahwa pengalaman culture shock itu
sendiri bisa sangat unik antara satu orang dengan yang lain, karena berbagai penyebab yang
sifatnya bervariasi pula antara satu individu dengan individu lain, maupun antara satu dan
budaya lain yang dimasuki individu tersebut.
Pengalaman culture shock ini sebenarnya dianggap hal yang wajar yang banyak
dialami oleh individu yang berada dalam lingkungan yang baru (Guanipa, 1998). Hanya saja,
tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut bisa berbeda dari satu orang ke orang
yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut.
Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung
sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan
segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias,
terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih
dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai
masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan pulang sebelum masa honeymoon
selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal menyenangkan yang ia
temui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi
keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu sudah mulai
mengalami persoalan-persoalan yang muncul karena adanya keberbedaan budaya.
2. Tahap Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight
Pada tahap berikutnya, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan
budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya
sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif,
marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya individuindividu akan berpaling kepada teman-teman senegaranya, yang dianggap lebih bisa diajak
bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki kultur yang sama. Seringkali muncul
pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur asalnya adalah kultur yang paling baik,
dan mengkritik kultur barunya sebagai kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan
dan aneh. Kondisi mengkritik kultur baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian terhadap
kultur baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di kultur baru tsb. Pada
masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang dari kultur baru yang bisa
menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli.
Oberg (dalam Irwin 2007) menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan menentukan
apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa
muncul keinginan regresi, keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan
kondisi-kondisi yang ada di negri asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang
yang memiliki kultur yang sama.
3. Proses Adjustment
Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap
ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini,
individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan
kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara
menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok
dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah
untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa
humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner
(1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang
lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan
antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru.
Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai
menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga
tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian,
dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada
akhirnya bisa dinikmati dan diterima.
4. Fit/Integration.
Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal
yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini
akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru,
dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini
memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri.
5. Re-entry shock
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri asalnya. Individu
mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti
dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang
lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000)
ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture
shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami
masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry culture shock yang rendah.
Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya.
Sangat mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali
mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian
dirinya.
Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang
lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitive terhadap masalah kebersihan di tempat yang
baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan
berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat.
Menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi, serta gangguangangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll.
Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak
berdaya
Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan
orang lain
Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya.
Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba kini
merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll.
Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya
(karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa
menimbulkan perasaan kewalahan.
Secara singkat Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental
maupun fisik yang dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock.
kehilangan makna lama yang ia miliki dari kultur lamanya. Hal ini bisa saja membawa
implikasi terjadinya krisis identitas dalam diri individu yang terpapar di suatu lingkungan
baru.
Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya
individu akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang
tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di lingkungan yang baru.
Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka menggunakan
standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam
lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat
penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu
kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
b)
Pendekatan Perilaku
Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami
sistim hadiah dan hukuman yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan
hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur
tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di
kultur asal dianggap sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin
di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia
menanyakan Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum? pada teman dianggap
sebagai perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri
urusan orang dan membuat orang tersinggung.
c)
Pendekatan Fenomenologis
Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari kondisi
kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi akan diri dan kultur
(Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan ini, culture
shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai
kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya
ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak
melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat
menggunakan standar anak baik sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya. Di tempat
yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai anak ketinggalan jaman, kuno dan
kolot. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinankeyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya
yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi
individu tersebut.
d)
Pendekatan sosiopsikologis
Pada pendekatan ini, meliputi
d.1. Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan kultur di
tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat
yang baru bagi dirinya.
d.2. Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu tidak memiliki
pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan warga
lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga
menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.
Lebih lanjut Chapdelaine (2004) mengembangkan penelitian ini dengan melihat hubungan
beberapa variable lain dengan interaksi sosial dengan penduduk asli. Ternyata ditemukan
bahwa perbedaan budaya antara kultur asalnya dengan kultur baru yang dimasukinya
berhubungan positif dengan interaksi individu tersebut dengan penduduk asli yang
didatanginya. Semakin besar perbedaan budaya, semakin rendah tingkat interaksi individu
dengan penduduk asli negara tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan budaya
yang terlalu besar membuat individu kesulitan untuk melakukan interaksi dengan penduduk
asli.
Selain itu juga ditemukan bahwa semakin besar jumlah orang sebangsa yang ada di
negara tersebut, semakin rendah tingkat interaksi individu dengan penduduk asli. Selanjutnya
juga ditemukan bahwa bila siswa internasional tadi datang dengan membawa keluarga, maka
semakin rendah pula interaksinya dengan penduduk asli. Kedua hal ini bisa dipahami karena
adanya orang-orang senegaranya, maupun keluarganya, maka individu cenderung menjalin
interaksi dengan orang-orang senegaranya maupun keluarganya. Hal ini semakin kuat terlihat
pada mereka yang sibuk mengerjakan urusan studinya, sehingga pada sisa waktu yang
dimilikinya di luar kesibukannya untuk sekolah, individu lebih memilih untuk menghabiskan
waktu dengan orang-orang yang dianggapnya dekat dan memahaminya (dalam hal ini
keluarganya maupun orang-orang yang sebangsa dengan dirinya). Sementara itu, penelitian
Lin (2007) menemukan bahwa interaksi dengan rekan sesama bangsa tidak terlalu banyak
membantu untuk mengatasiculture shock apabila tidak dibarengi dengan program-program
orientasi untuk memberikan dukungan sosial untuk terjadinya penyesuaian intercultural.
Dalam penelitian Chapdelaine (2004) ini ternyata tidak ditemukan hubungan
langsung antara besarya perbedaan budaya dengan culture shock yang dialami individu.
Penelitian ini juga tidak menemukan hubungan antara besarnya paparan terhadap budaya
yang berbeda di masa lalu dengan culture shock yang dialami oleh individu. Kedua hal ini
mungkin mengindikasikan bahwa yang menjadi hal penting untuk menghindari culture
shock adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri, dan belajar dari budaya-budaya
baru yang pernah dimasukinya. Meskipun budaya begitu berbeda, ataupun minimnya paparan
terhadap budaya yang berbeda sebelumnya, tapi dengan kemauan untuk belajar, maka
memungkinkan individu tadi untuk menyikapi dengan baik keberbedaan yang ada dan
membantu individu untuk mengatasiculture shock.
Sedangkan penelitian
Lin (2007) menemukan bahwa keterlibatan individu dalam berbagai organisasi akan sangat
membantu individu untuk mengatasi culture shock dengan memberikan dukungan sosial dan
memampukan individu untuk melakukan penyesuaian budaya.
Beberapa literatur yang lain menyarankan
mengatasi culture shock dengan baik, yaitu antara lain:
hal-hal
berikut
ini
untuk
1. Sebelum individu berangkat ke negara baru yang akan dimasukinya, ada baiknya
apabila ia sudah terlebih dahulu membaca tentang negara tersebut dan budaya yang
ada di negri tersebut. Hal ini akan membantu individu ini untuk lebih familier dengan
negara yang akan dimasukinya, dan lebih siap untuk berhadapan dengan berbagai
perbedaan
yang
akan
dihadapinya
(www.ips.uiuc.edu/sao/students/currcultureshock.html).
memang masalah watak dari individu tersebut. Dengan kata lain, individu harus
menghindari mencampuradukkan masalah personal sebagai masalah kultur. Hal ini
berarti, orang dengan watak yang mengganggu tsb. bisa saja ditemukan di kultur
manapun, termasuk di kultur asalnya sendiri, sehingga tidak perlu menyalahkan
negara baru sebagai pihak yang bertanggungjawab atas ketidaknyamanan yang
dialaminya.
8. Memelihara dukungan sosial dan emosional.
Ketika berada di lingkungan yang baru, seseorang membutuhkan orang-orang yang bersedia
memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial meliputi dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental (material), maupun dukungan informasi. Individu harus
berusaha agar di tempat yang baru ini, ia memiliki orang-orang yang dapat memberikan
dukungan-dukungan sosial yang diperlukan. Dukungan ini bisa diperoleh melalui orangorang yang berasal dari satu negara (misalnya ada perkumpulan pelajar Indonesia di Amerika
dll.), atau bisa diperoleh dari orang-orang dari lembaga pelayanan (misalnya di gereja
biasanya ada divisi pelayanan mahasiswa/mahasiswa asing). Dengan mengikuti organisasiorganisasi tertentu individu bisa membuka network dan persahabatan dengan orang-orang ini
yang
bisa
memberikan
dukungan
sosial
yang
diperlukan
(www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445).
9. Membangun zona stabilitas. Yang dimaksud dengan zona stabilitas adalah segala
sesuatu yang bisa membuat individu merasa nyaman dan relax. Hal ini bisa segala
sesuatu yang berhubungan dengan hobi,atau hal-hal yang menyenangkan lainnya. Hal
ini berarti bahwa selama di negara baru, individu tidak boleh melupakan untuk
melakukan hal-hal yang menyenangkan yang bisa membuat individu merasa nyaman
dan relax (www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445).
10. Beberapa orang menyarankan untuk memiliki jurnal harian. Dalam kondisi belum
memiliki seorangpun yang bisa diajak bicara, mencurahkan kegelisahan pada jurnal
harian akan membantu proses katarsis individu. Seringkali menuliskan hal-hal yang
menggelisahkan dalam jurnal juga menolong individu untuk melihat persoalanpersoalan yang sesungguhnya yang mungkin tak akan tampak bila hanya tersimpan di
dalam pikiran saja (www.juliaferguson.com/shock.html)
Penutup
Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang
tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda,
issue mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada
sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa
menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering
melakukan aktifitas lintas budaya.
Usaha untuk mengatasi culture shock, akhirnya tidak hanya harus dilakukan
individu secara perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh
instansi atau lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di sekolah
internasional, yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya perlu
menyediakan tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu penyesuaian diri
siswa-siswi yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga diperlukan bagi
DAFTAR PUSTAKA
Adler, P. 1975. The Transitional Experience: An Alternative View of Culture Shock. Journal of
Humanistic Psychology 15, 13-23.
Brown, L. & Holloway, I. . The Initial Stage of The International Sojourn: Excitement or Culture
Shock?
______________ Expcerpts
from
Managing
Shock.www.juliaferguson.com/shock.html (retrieved Maret 2006)
Culture
______________
Dealing
with
Culture
cultureshock.html(retrieved Maret 2006).
Shock.www.ips.uiuc.edu/sao/students/curr-
Chapdelaine, R.F. 2004. Social Skills Difficulty: Model of Culture Shock for International Graduate
Students. Journal
of
College
Student
Development
March-April
2004.www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3752/is_200403/ai_n9351704/print (retrieved
Maret 2006)
Chapman, A. 2005. Culture Shock and the International Sutdent Offshore. Journal of Research in
International Education, 4, 23-42.
Gaw, K.F. 2000. Reverse Culture Shock in Students Returning from Overseas. International Journal
of Intercultural Relations, 24, 83-104.
Guanipa, C. 1998. Culture Shock and The Problem of Adjustment to New Cultural
Environment. www. worldwide. edu/planning_guide/culture_re-entry_shock.html (retrieved
April, 2006)
Hopkins, J.R. 1999. Studying Abroad as A Form of Experiential Education. Liberal Education, 85,
36-41.
Irwin, R. 2007. Culture Shock: Negotiating Feeling in the Field.Anthropology Matters Journal, 9, 114.
Kaye, M. & Taylor, W.G.K. 1997. Expatriate Culture Shock in China: A Study in the Beijing Hotel
Industry. Journal of Managerial Psychology, 12, 495-510.
Lin , C. 2000. Culture Shock, Social Support, and Intercultural Competence: An Investigation of a
Chinese Student Organization on a U.S. Campus. Paper presented at the annual meeting of
the International Communication Association, Sheraton New York, New York City,
NY, Online diambil darihttp://www.allacademic.com/meta/p15158_index.html.
Roland, A, (1988). In Search of Self in India and Japan: A Cross-Cultural Psychology. New York:
Princeton University Press.
Wang, J. 2000. Evaluation of CSB/SJUs China Program. Paper presented at the annual meeting
of the International Communication Association, Sheraton New York, New York City,
NY, Online diunduh dari :http://www.allacademic.com/meta/p15162_index.html