Vous êtes sur la page 1sur 3

Aristotelianisme merupakan pandangan filsafat yang berasal dari Aristoteles (384-322 SM),

yang dibandingkan dengan aliran Plato yang sebelumnya lebih bersifat realis. Pada mulanya
gereja tidak mengindahkannya atau melawannya, namun kemudian etika, logika dan teori
kausalitas serta pandangan Aristoteles mengenai jiwa manusia sebagai forma tubuh (tidak sama
dengan Platonisme yang memandang tubuh sebagai penjara jiwa), besar pengaruhnya selama
abad pertengahan, melalui dukungan para ahli filsafat Arab (Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina),
Moses Maimonides (1135-1204) dan Thomas Aquinas (1255-1274). Thomas Aquinas
mengembangkan bukti-bukti adanya Allah atas dasar pemikiran Aristoteles, tetapi juga merintis
pandangan bahwa jiwa itu kodratnya tidak dapat mati, hal yang tampaknya ditolak dalam
Aristotelianisme. [1]
Arti dasar dari Aristotelianisme adalah aliran yang mengikuti ajaran Aristoteles. Meski demikian
filsafat para pengikut Aristoteles tidak seluruhnya seragam. Untuk menunjuk para pengikut
Aristoteles biasanya digunakan istilah netral Aristotelian dan bukan paripatetik. Alasannya,
istilah yang belakangan bisa saja menimbulkan kesan keliru bahwa metode pengajaran
Aristoteles adalah percakapan sambil jalan-jalan. [2]

Sejarah Aristotelianisme
Aristoteles mendirikan sebuah sekolah, Lyceum, yang hidup selama 139 tahun (339 SM 200
SM). Sekolah itu semula berfungsi sebagai pusat penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah tetap
merupakan tema utama selama berdirinya, walau kadang-kadang perhatian pada ilmu dikalahkan
oleh perhatian pada polemik dengan aliran-aliran filsafat yang lain dan monograf-monograf
tentang sejarah filsafat. Sekolah ini mundur sejak pertengahan abad ke-3 SM. [2] Aristotelianisme
bangkit kembali di Aleksandria pada abad pertama SM. Gerakan ini berpusat sekitar Andronikos
dari Rodi. Dia inilah yang menemukan kembali tulisan-tulisan Aristoteles yang hilang selama
setahun. Tokoh penting lain ialah Ariston dari Aleksandria dan Nikolas dari Damaskus. Dalam
arti umum, Ptolemaeus yang astronominya diterima selama 1400 tahun dan Galen yang analisisanalisis medisnya berlangsung cukup lama merupakan anggota mahzab tersebut.[2]
Antara abad keempat dan ketujuh Masehi aliran Neoplatonisme di Athena dan Aleksandria sering
mempelajari Aristoteles bersamaan dengan Plato. Dan malah sering ada anggapan bahwa dua
sistem pemikiran itu cocok. Aristotelianisme dan Neoplatonisme cenderung berfungsi selama
kurun waktu ini.[2]
Tokoh terkemuka dalam filsafat Islam antara abad ke-9 dan abad ke -13 (yang berpusat pada
penafsiran atas Aristoteles) adalah Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina. Filsuf Yahudi pengikut
Aristoteles adalah Avicebron dan Maimonides.[2]
Sintetis Abad Pertengahan (sejak abad 13) sebetulnya merupakan filsafat Aristoteles yang
dimodifikasi oleh implikasi komitmen terhadap iman Kristiani, terutama melalui karya Albertus
Agung dan Thomas Aquinas, ajaran ini berpengaruh besar di dalam pemikir Kristiani Barat,
dimana, bagaimanapun, mengalami beberapa perubahan pokok karena kontaknya dengan iman
Kristiani (skolastisisme).[2]

Aliran Thomisme muncul dengan kukuh dari Abad Pertengahan dan hidup terus sampai
sekarang, tetapi pandangan Thomas Aquinas bukanlah satu-satunya bentuk Aristotelianisme yang
muncul dari Abad Pertengahan. Tak ketinggalan pula Scotisme, filsafat Duns Scotus, dan secara
tidak langsung, filsafat Suarez yang lahir abad ke-16.[2]

Pokok-pokok Pikiran
Pengetahuan
Aristoteles mendasarkan kebenaran pengetahuan manusia bukan pada dunia gagasan yang
transeden terpilah dan terpisah dari hal-hal pengalaman sehari-hari seperti dalam Platonisme,
melainkan pada forma (ide) yang termuat dalam benda-benda dan yang berhubungan dengan
konsep-konsep manusia yang objektif dan nyata. Pengalaman inderawi dan abstraksi intelektual
bekerja sama dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan manusia.[2]

Metafisika
Filsafat pertama atau metafisika, yang merupakan ilmu mengenai yang-ada dan bentukbentuknya, adalah mahkota dari semua ilmu. Yang-ada yang kontingen, yang berubah-ubahyang
tunduk kepada menjadi dan perubahan, tersusun dari prinsip potensial dan prinsip aktual yang
disebut Aristoteles materi dan forma. Menjadi bukanlah awal dari sesuautu yang sama sekali
baru yang tidak ada sebelumnya, melainkan perubahan esensial. Di sini materi, yang diduga
merupakan bagian yang kekal, tak diciptakan, dapat menentukan, kehilangan bentuk esensial
awalnya; dan di bawah pengaruh sebuah sebab efisien mendapat bentuk yang lain, determinasi
formal yang baru (hal ini berkaitan dengan teori Aristoteles hilemorfisme[2]

Kosmologi dan Antropologi Filosofis


Terdapat sejumlah penjelasan yang bertentangan mengenai apa persis hakikat komponenkomponen ini khususnya tentang forma (bentuk) dan bagaimana bentuk ini berbeda dari ide
Platonis. Forma (ide) adalah prinsip batiniah determinasi dan tujuan (tolos, entelechy). Ini
menunjukkan khususnya prinsip-prinsip formal dalam benda-benda hidup: jiwa tumbuhan, jiwa
binatang, dan jiwa manusia. Jiwa manusia juga menjalankan fungsi-fungsi kehidupan vegetatif
dan kehidupan hewani. Manusia memperoleh pengetahuan rohani bukan dengan
menghasilkannya secara murni keluar dari dirinya sendiri, melainkan karena determinasideterminasi yang sampai padanya melalui pancainderanya. Dalam proses ini, ia sama sekali tidak
pasif melainkan bekerja melalui kekuatan intelek spontan yang kekal; ia tidak dihasilkan dengan
kelahiran melainkan datang dari luar. Filsuf Arab menafsir teks Aristoteles yang tidak jelas
sebagai monopsikisme. Mereka mengatakan bahwa terdapat satu intelek pelaku (agent intellect)
yang berfungsi dalam semua manusia. Keempat, mengenai etika. Berhubungan dengan
kehendak, Aristoteles mengajarkan bahwa manusia mempunyai kebebasan pilihan, tetapi ia tidak
membuat suatu perbedaan tajam (jelas) antara kebebasan dan kerelaan. Dalam etikanya tujuan
hidup manusia dilukiskan sebagai kebahagiaan yang dapat dicapai dalam kontemplasi
(perenungan) tentang kebenaran.[2]

Mengenai Allah
Allah dipandang sebagai pikiran murni (noesis noeseos = pikiran dari pikiran) dan penggerak
pertama dari benda-benda langit.[2]

Politik dan Masyarakat


Dalam politiknya ia juga mengajarkan bahwa keluarga dan negara, sebagai komunitas sosial,
pada mulanya bersifat alami. Demikian pula ia menolak gagasan utopis Plato tentang isteri-isteri
dan milik-milik umum dalam suatu negara ideal. Ajaran Aristoteles pada umumnya
dikembangkan dalam suatu konfrontasi yang bijaksana, kritis namun cermat antara gagasangagasannya sendiri dengan gagasan-gagasan dari para pendulunya, khususnya Plato.[2]

Vous aimerez peut-être aussi