Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ABORTUS
Disusun oleh:
Adisti Zakyatunnisa
030.10.006
Pembimbing:
dr. Eddi Junaidi, SpOG, SH, MKes.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat
dan
karuniaNya
sehingga
dapat
terselesaikannya
referat
dengan
judul
Abortus.Penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan Ilmu Obstetri dan Ginekologi di RSUD Budhi Asih periode 19 Oktober 2015
26 Desember 2015.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah
sulit untuk menyelesaikan makalah ini.Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Eddi Junaidi, SpOG, SH, MKes selaku pembimbing yang
telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini, dan kepada
semua pihak yang turun serta membantu penyusunan makalah ini.
Akhir kata dengan segala kekurangan yang penulis miliki, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun akan penulis terima untuk perbaikan selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang mempergunakannya selama proses
kemajuan pendidikan selanjutnya.
Jakarta, November 2015
Penulis
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................2
Definisi .....................................................................................................................2
Etiologi .....................................................................................................................2
Frekuensi ..................................................................................................................8
Patogenesis ...............................................................................................................9
Klasifikasi ................................................................................................................9
Klinis Abortus Spontan ..........................................................................................10
Diagnosis Banding .................................................................................................19
Pemantauan Pasca Abortus ....................................................................................19
Komplikasi Abortus................................................................................................19
Prognosis ................................................................................................................21
Blighted Ovum........................................................................................................21
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Aborsi menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut
pandang kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama. Aborsi merupakan
masalah kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu.
Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yang utama adalah perdarahan, infeksi dan
eklampsia serta pre-eklamsia.1,3
Pendarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut yang dapat
membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat menimbulkan kematian. Sebanyak 20%
wanita hamil pernah mengalami pendarahan pada awal kehamilan dan sebagian mengalami
abortus.
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus perjam. Sebagian besar studi mengatakan kasus
abortus spontan antara 15-20 % dari semua kehamilan. Jika dikaji lebih jauh kejadian
abortus sebenarnya bisa mendekati 50 %.1
Kejadian abortus habitualis sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan
bahwa setelah satu kali abortus spontan, pasangan punya risiko 15 % untuk mengalami
keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya meningkat 25 %. Beberapa studi
meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah sekita 30-45 %.1
Penyebab abortus sendiri multifaktorial dan masih diperdebatkan, umumnya
terdapat lebih dari satu penyebab. Penyebabnya seperti Faktor genetik, kelainan kongenital
uterus, autoimun, infeksi, defek luteal.
Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak aman, 70
ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan
oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi tidak aman) dintaranya bahkan terjadi
di negara berkembang. 9,10
Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya 43
kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran bahwa
masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000). Suatu hal yang dapat kita
tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-negara dimana
aborsi dilarang keras oleh undang-undang. 9,10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
berkembang sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan, dan sebagai batasan
digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1,3,4,5
ETIOLOGI
1.
Kelainan genetik
Ada banyak sebab genetik yang berhubungan dengan abortus. Sebagian besar
abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip dari embrio. 3 Data ini berdasarkan
pada 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik
yang berupa aneuploidi yang bisa disebabkan oleh kejadian nondisjuction meiosis
atau poliploidi dari fertilitas abnormal dan separuh dari abortus karena kelainan
sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom.1,3
Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana terjadi fertilisasi ovum
normal oleh 2 sperma (dispermi). Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya
usia. Trisomi 16 (30% dari seluruh trisomi) adalah penyebab terbanyak abortus
spontan diikuti dengan sindroma Turner (20-25%) dan Sindroma Down atau trisomi
21 yang sepertiganya bisa bertahan sehingga lahir.1,3
Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu penyebab kelainan
sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering diturunkan oleh ibu,
dibandingkan kelainan struktur kromoson pada pria yang berdampak pada rendahnya
konsentrasi sperma, infertelitas dan faktor lainnya yang bisa mengurangi peluang
kehamilan.1,3
Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu proses
implantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yang berakibat pada
kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Gangguan genetik seperti
Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, hemosisteinuri dan pseusoxantoma
elasticum merupakan gangguan jaringan ikat yang bisa berakibat abortus. Kelainan
hematologik seperti pada penderita sickle cell anemia, disfibronogemi, defisiensi
Kelainan anatomik
Defek anatomi uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk
uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat
abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien.
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,
sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab
terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%).
Mioma uteri juga dapat menyebabkan baik infertilitas maupun abortus
berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi.
Sebagian besar mioma tidak menumbulkan gejala, hanya yang berukuran besar atau
yang memasuki cavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan.
3.
Kelainan autoimun
Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus. Diantaranya
adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA).3 ApA adalah antibodi spesifik
yang ditemukan pada ibu yang menderita SLE. 3 Peluang terjadinya pengakhiran
kehamilan pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%.3 Menurut penelitian,
sebagian besar abortus berhubungan dengan adanya aPA yang merupakan antibodi
yang akan berikatan dengan sisi negatif dari phosfolipid. 3 Selain SLE, antiphosfolipid
syndrome (APS) dapat ditemukan pada preemklamsia, IUGR, dan prematuritas. 3 Dari
international consensus workshop pada tahun 1998, klasifikasi APS adalah:3
1)
trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapiler
yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, dan histopatologi)3
2)
komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa
kelainan anatomik, genetik atau hurmonal/ satu atau lebih kematian janin di mana
gambaran sonografi normal/ satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran
janin normal dan berhubungan dengan preeklamsia berat,atau insufisiensi plasenta
yang berat)3
3
3)
kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi
pada 2 kali atau lebih dengan pemeriksaan jarak lebih dari 1 atau sama dengan 6
minggu)3
4)
33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus berulang,
ditemukan infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular.3
4.
Bakteria:
listeria
monositogenes,
klamidia
trakomatis,
ureaplasma
2) Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasio kordis, penyakit paru berat, anemi
gravis.
6.
Faktor hormonal1
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung
terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon
setelah konsepsi terutama kadar progesteron.
1) Diabetes mellitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak
lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi
perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko
abortus dan malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulindependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat
mengalami abortus.
2) Kadar progesteron yang rendah
Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium
terhadap
implantasi
embrio.
Pada
tahun
1929,
Allen
dan
Corner
mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus uteum, dan sejak itu diduga
bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus.
Support fase luteal mempunyai peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu,
yaitu saat dimana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang
kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan
menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan
bisa diselamatkan.
3) Defek fase luteal
Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron
saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23-60% perempuan dengan
abortus berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk
mendiagnosis gangguan ini. Pada penelitian terhadap perempuan yang
mengalami abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian
defek fase luteal. Dan 50% perempuan dengan histologi defek fase luteal
mempunyai gambaran progesteron yang normal.
4) Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua
Perubahan endometrium menjadi desidua mengubah semua sel pada mukosa
uterus. Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi
juga proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan
ibu. Disini berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi
leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa Large Granular
Lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B.
6
Faktor hematologik1
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi
dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas,
dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan
peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor antikoagulan, dan penurunan
aktivitas fibrinolitik. Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama
kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan
defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dkk menunjukkan bahwa perempuan dengan
riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat
usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan prostasiklin memacu
vasospasme serta agregasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta
nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik
ataupun plasenta dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang
pada lebih dari 22% kasus.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi
metionin ke sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita,
berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskuler dini. Kondisi ini berhubungan
dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif.
Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan
folat akan mengembalikan kadar homosistein normal dalam beberapa hari.
8.
9.
Inkompetensi cervix
Cervix longgar (tidak sempit lagi) sehingga mudah janin jatuh/tidak tertahan di
dalam. Penyebabnyan curettage (krn perlukaan, infeksi) dan operasi konisasi (cervix
diangkat)
FREKUENSI
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan
kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh,
kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka
chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi.
Sebagian besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma
dan disfungsi oosit).1
Namun demikian, frekuensi seluruh keguguran sukar ditentukan karena abortus
buatan banyak yang tidak dilaporkan, kecuali jika terjadi komplikasi. Juga karena sebagian
keguguran spontan hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga wanita tidak datang ke
dokter atau Rumah Sakit.7
Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan abortus spontan
atau kehamilan ektopik. Makin tua umur, abortus makin sering terjadi. Demikian juga
dengan semakin banyak anak, abortus juga akan semakin sering terjadi. Semakin tua umur
kehamilan, kemungkinan abortus makin kecil. Pada wanita berusia kurang dari 20 tahun,
risiko abortus mencapai 12%. Sedangkan pada wanita berusia lebih dari 40 tahun, risiko
abortus meningkat menjadi 26%.
PATOGENESIS
8
Pada permulaan, terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti oleh nekrosis
jaringan sekitar, jika terjadi lebih awal, maka ovum akan tertinggal dan mengakibatkan
kontraksi uterin yang akan berakir dengan ekpulsi karena dianggap sebagai benda asing
oleh tubuh.4 Apabila kandung gestasi dibuka, biasanya ditemukan fetus maserasi yang kecil
atau tidak adanya fetus sama sekali dan hal ini disebut blighted ovum.1 Pada kehamilan
dibawah 8 minggu hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya, karena vili korealis belum
menembus desidua terlalu dalam sedangkan pada kehamilan 8-14 minngu telah masuk agak
dalam sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan tertinggal, maka akan terjadi
banyak perdarahan.8
Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan akan terjadi. Jika fetus yang
tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps, abdomen dipenuhi dengan
cairan yang mengandung darah, dan degenarasi organ internal. Kulit akan tertanggal di
dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat minimal. Bisa juga apabila cairan amniotik
diserap, fetus akan dikompres dan mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus
compressus. Kadang-kadang, fetus boleh juga menjadi sangat kering dan dikompres
sehingga menyerupai kertas yang disebut fetus papyraceous. 4
KLASIFIKASI
Abortus dapat dibagi atas dua golongan :1
1.
Abortus Spontan
Adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan, terbagi menjadi:
a)
Abortus imminens
b) Abortus insipient
c)
Abortus kompletus
d) Abortus inkompletus
e)
Missed abortion
f)
Abortus habitualis
g) Abortus infeksiosus
h) Abortus septik
2.
Adalah abortus karena tindakan dokter, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan
dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis).
b) Abortus Kriminalis atau tidak aman
Adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau
tidak berdasarkan indikasi medis.
Pemeriksaan
a)
penunjang:
Pemeriksaan
hormon
hCG pada
urin
dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran
dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negative maka
prognosisnya dubia ad malam.
b) USG: untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan
plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan juga ukuran
10
Penatalaksanaan:
a) Tirah baring sampai perdarahan berhenti.
b) Asetaminofen dapat diberikan sebagai analgetik untuk menghilangkan kram perut
c)
(mulas).
Spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormone
progesterone atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obat ini
walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis
3.
Abortus Kompletus
Adalah proses abortus dimana keseluruhan hasil konsepsi (desidua dan fetus) telah
keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram sehingga rongga rahim kosong.
Terkadang sudah terjadi ekspulsi dari kehamilan seluruhnya sebelum sampai ke RS,
dan terdapat riwayat adanya perdarahan masif, kram perut (mules), dan keluar
gumpalan berupa hasil konsepsi.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur
kehamilan.
Pemeriksaan penunjang:
a) tes urin kehamilan masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus
b) USG: biasanya tidak diperlukan bila pemeriksaan klinis sudah memadai.
Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Tidak
perlu dilakukan evakuasi lagi. Namun perlu dilakukan observasi untuk melihat
perdarahan banyak/tidak. Uterotonika tidak perlu diberikan. Apabila terdapat anemia
sedang, berikan tablet sulfas ferrosus 600mg/hari selama 2 minggu, jika anemia berat
berikan tranfusi darah.
4.
Abortus Inkompletus
12
Adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram dengan masih ada sisa yang tertinggal dalam uterus.
Pada pemeriksaan vagina didapatkan kanalis servikalis masih terbuka dan teraba
jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan
biasanya masih terjadi dan jumlahnya bisa banyak atau sedikit bergantung pada
jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka
sehingga perdarahan berjalan terus, dan biasanya berupa stolsel (darah beku). Uterus
berukuran lebih kecil dari usia kehamilan. Biasanya didapatkan nyeri pada perut
(mulas). Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa
jaringan konsepsi dikeluarkan.
Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila ragu dengan diagnosis secara klinis. Yang
didapatkan dalam USG adalah besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan
kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang
bentuknya tidak beraturan.
Penatalaksanaan:
a) pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan
mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan
tindakan kuretase.
b) Bila perdarahan berhenti diberi ergometrine 0,2 mg I.M atau misoprostol 400 mg
per oral
c) Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa
hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi
uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Bila perdarahan terus
berlangsung, evakuasi sisa konsepsi dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan
secara hati-hati sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan
yang dianjurkan adalah dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik.
d) Pasca tindakan diberika uterotonika parenteral ataupun per oral dan antibiotika
Ampicillin 1 gr dan Metronidazol 500 mg setiap 8 jam.
e) Bila anemia terapi dengan Fe kalau perlu transfusi darah.
5.
Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus yang telah meninggal dalam
kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, namun keseluruhan hasil konsepsi masih
tertahan dalam uterus selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulanbulan dengan ostium serviks yang masih tertutup.
Penderita biasanya tidak merasakan keluhan apapun kecuali merasakan pertumbuhan
kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai
13
20 minggu, penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tandatanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Kadangkala missed
abortion juga diawali dengan abortus imminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi
pertumbuhan janin terhenti.
Pemeriksaan penunjang:
a)
Tes urin kehamilan biasanya negative setelah satu minggu dari terhentinya
pertumbuhan kehamilan.
b) USG: didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan
bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda
kehidupan.
c) Pemeriksaan koagulasi perlu dilakukan sebelum tindakan evakuasi dan kuretase
bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu karena kemungkinan akan
terjadi gangguan pembekuan darah.
Penatalaksanaan:
a) pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan
secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus
memungkinkan.
b) Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan
keadaan serviks uterus yang masih kaku, dianjurkan untuk melakukan induksi
terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis.
Caranya antara lain:
infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500 cc
dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total
oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya
sebersih mungkin.
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang menggunakan prostaglandin
atau sintesisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satunya
adalah dengan diberikan mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg
yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak 6 jam. Dengan obat ini akan terjadi
pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga
tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum
14
uteri. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini,
dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
c) Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau
fibrinogen
d) Pasca tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin
dan antibiotika.
6. Abortus Habitualis
ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Penyebab abortus
habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya dengan reaksi
imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphosite trophoblast cross
reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan
terjadi abortus. Salah satu penyebab lain yang sering dijumpai ialah inkompetensia
serviks, yaitu keadaan dimana serviks uteri tidak dapat menerima beban untuk tetap
bertahan menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium
serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan
akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks
pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang
berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah
melebar.
Diagnosis
dapat
ditegakkan
dengan
anamnesis
cermat.
Pada
pemeriksaan
dalam/inspekulo dinilai diameter kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang
mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi 8
mm.
Pemeriksaan lainnya:
a) Histerosalfingografi, untuk mengetahui adanya mioma uterus submukosa atau
anomali congenital.
b) BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau tidak
c)
Penatalaksanaan :
a)
Untuk kelainan kegagalan reaksi antigen TLX, maka diobati dengan transfusi
Abortus Infeksiosus
Ialah suatu abortus yang telah disertai komplikasi berupa infeksi genitalia. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan adanya amenore, perdarahan, keluar jaringan yang telah
ditolong di luar rumah sakit. Pada pemeriksaan ditemukan kanalis servikalis terbuka,
teraba jaringan, perdarahan, serta ditemukan tanda tanda infeksi yakni kenaikan suhu
tubuh lebih dari 38,5 derajat Celcius, kenaikan leukosit dan discharge berbau
pervaginam, uterus besar dan lembek disertai nyeri tekan.
Penatalaksanaan
a) Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup
b) Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (untuk pemeriksaan pembiakan dan uji
kepekaan obat)
Berikan suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 6 jam
Berikan suntikan streptomisin 500mg setiap 12 jam
Atau antibiotika spektrum luas lainnya.
c) Bila tetap terjadi perdarahan banyak setelah 1-2 hari lakukan dilatasi dan kuretase
untuk mengeluarkan hasil konsepsi
8.
Septic Abortion
ialah abortus yang disertai dengan penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritoneum (septikemia atau peritonitis). Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi
tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Bakteri memasuki uterus dan berkolonisasi pada
produk konsepsi yang sudah mati. Organisme akan menginvasi jaringan miometrium
kemudian menyebabkan parametritis, peritonitis, septikemia, dan jarang endokarditis.
Terlebih, yang menakutkan adalah akan menyebabkan severe necrotizing infections dan
toxic shock syndrome yang disebabkan oleh streptococcus grup AS pyogenes.
Diagnosis septic abortion ditegakan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya
tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat
gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan
pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada
laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis
16
dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah
turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam.
a) untuk tahap pertama dapat diberikan penisilin 4 x 1,2 juta unit atau ampisilin 4 x 1
gram ditambah gentamisin 2 x 80 mg dan metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya
antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur.
b) Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal enam
jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus
c)
sesuai.
d) Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi
kanalis vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2), kalau perlu histerektomi
total secepatnya.
DIAGNOSIS BANDING
1.
17
2.
Mola Hidatidosa : uterus biasanya lebih besar daripada lamanya amenore dan muntah
lebih sering.
3.
Kehamilan dengan kelainan serviks seperti karsinoma servisi uteri, polipus uteri, dsb.
KOMPLIKASI ABORTUS
1)
Perdarahan.6
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan
jika perlu pemberian transfusi darah.Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila
pertolongan tidak diberikan.Perdarahan yang berlebihan sewaktu atau sesudah abortus
bisa disebabkan oleh atoni uterus, laserasi cervikal, perforasi uterus, kehamilan serviks,
dan juga koagulopati.
2)
Perforasi.6
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi.Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus kriminalis.
Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan
alat-alat lain. Pasien biasanya datang dengan syok hemoragik.
18
3)
Syok.6
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi
berat.Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis sevikalis sewaktu dilatasi
juga boleh terjadi namum pasien sembuh dengan segera.
4)
Infeksi.6
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan
flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci,
Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira,
jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci,
staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria
dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua.Pada
abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba,
parametrium, dan peritonium.
Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi paska
abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens.
Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan
Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat
membentuk gas.
5)
Efek anesthesia.7
Pada penggunaan general anestesia, komplikasi atoni uterus bisa terjadi yang
berakibatkan perdarahan. Pada kasus therapeutic abortus, paracervical blok sering
digunakan sebagai metode anestesia. Sering suntikan intravaskular yang tidak
disengaja pada paraservikal blok akan mengakibatkan komplikasi fatal seperti
konvulsi, cardiopulmonary arrest dan kematian.
6)
PROGNOSIS6
19
20
Hingga saat ini belum ada cara untuk mendeteksi dini kehamilan blighted ovum.
Seorang wanita baru dapat diindikasikan mengalami blighted ovum bila telah melakukan
pemeriksaan USG transvaginal. Namun tindakan tersebut baru bisa dilakukan saat
kehamilan memasuki usia 7-8 minggu. Sebab saat itu diameter kantung kehamilan sudah
lebih besar dari 16 milimeter sehingga bisa terlihat lebih jelas. Dari situ juga akan tampak
adanya kantong gestasi yang tidak berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang tidak
disertai adanya gambaran mudigah. Untuk itu, bila pada saat USG pertama kita
mendapatkan gambaran seperti ini perlu dilakukan evaluasi USG 2 minggu kemudian. Bila
tetap tidak dijumpai struktur mudigah atau kantung kuning telur dan diameter kantung
gestasi sudah mencapai 25 mm, maka dapat dinyatakan sebagai kehamilan anembrionik.
Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah
mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (terminasi kehamilan) dengan dilatasi dan kuretase
secara elektif. Hasil kuretase akan dianalisa untuk memastikan apa penyebab blighted ovum
lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini
tidak berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi
sehingga kelak dapat hamil sungguhan.
Karena gejalanya yang tidak spesifik, maka biasanya blighted ovum baru ditemukan
setelah akan tejadi keguguran spontan dimana muncul keluhan perdarahan. Selain blighted
ovum, perut yang membesar seperti hamil, dapat disebabkan hamil anggur (mola
hidatidosa), tumor rahim atau penyakit usus.
BAB III
KESIMPULAN
21
Penyebab utama kematian maternal adalah disebabkan oleh 3 hal, yaitu perdarahan
dalam kehamilan, pre-eklampsia/eklampsia dan infeksi.
Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut yang dapat
membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat menimbulkan kematian. Sebanyak 20%
wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan sebagian mengalami
abortus.
Pada kasus perdarahan pada masa kehamilan, dengan usia kehamilan dibawah 20
minggu selain dicurigai sebagai abortus tapi perlu juga dipikirkan diagnosa banding lainnya
seperti adanya KET dan mola hidatidosa.
Pada abortus diperlukan penanganan yang segera, untuk mengatasi perdarahan,
maupun untuk mencegah terjadinya syok dan komplikasi lainnya.
22
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Mochtar R, Lutan D. Sinopsis Obstetri. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1998.
4.
5.
6.
Setiowulan W, dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Jilid pertama, Media
Auesculapius FKUI, Jakarta, 2001.
7.
8.
9.
2015.
10. Griebel CP, et all. Management of Spontaneous Abortion. University of Illinois College
of Medicine. Peoria.
11. Ware Branch, M.D. Recurrent Miscarriage. N Engl J Med 2010; 363: 1740-1747.
Available at http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1005330. Accessed on
October 31st 2015.
23