Vous êtes sur la page 1sur 6

LAPORAN KASUS: SEORANG ANAK DENGAN PENYAKIT CACING

KELOMPOK II

ILHAM WIJAYA KUSUMA

030.06.121

BAYU AULIA RIENSYA

030.08.055

AYU RIZKYAH

030.09.039

NYIMAS RATIH AMANDHITA N.P.

030.09.176

VANIA PARAMITHA W.

030.09.263

ALBERTUS BERFAN

030.10.017

ANINDA REBECCA LEONORA

030.10.032

BAGUS DWI PUTRANTO

030.10.047

CALLISTUS BRUCE HENFR Y.S.

030.10.060

DESIRA ANGGITANIA

030.10.075

DISA EDRALYN

030.10.086

FARDHIAN ZAENAL

030.10.101

GALIH ARIF SETIAWAN

I NYOMAN HERLIAN BUDIMAN

030.10.112
030.10.130

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2 OKTOBER 2011

PENDAHULUAN
Penyakit cacing tambang lebih banyak disebabkan oleh cacing Necator americanus
daripada cacing Ancylostoma duodenale. Penyakitnya disebut juga ankilostomiasis,
nekatoriasis, unseriasis.1 Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di
1

daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung


berhubungan dengan tanah mendapa infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah dan
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran
infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum untuk N.americanus 28-32C.3 Gejala klinis dan patologis penyakit cacing ini
bergantung pada jumlah cacing yang menginfetasi usus; paling sedikit 500 cacing diperlukan
untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien dewasa.1
Gejala klinis dari penyakit ini adalah rasa gatal di kaki, pruritus kulit, dermatitis,
batuk, rasa tidak enak di perut, kembung, sering mengeluarkan gas, mencret-mencret, dan
anemia.1
LAPORAN KASUS
Seorang anak perempuan, usia 4 tahun, dibawa orang tuanya ke Klinik Kesehatan
dengan keluhan demam dan batuk selama 1 minggu. Menurut ibunya, anak tersebut sudah
diberikan obat batuk dan demam yang biasa dijual di warung, namun keluhan tidak hilang.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran baik, tanda vital normal, kecuali
suhu 37,5C. Pemeriksaan status generalis semuanya normal, hanya terlihat eritem dan papul
pada telapak kaki kanan. Pada pemeriksaan laboratorium darah, didapatkan hasil: Hb 11,5
gr/dL, eritrosit 4,70 juta/mmk, leukosit 13000/mmk, trombosit 278000/mmk.
Satu tahun kemudian, anak tersebut dibawa orang tuanya ke Klinik Tumbuh Kembang
dengan keluhan pucat dan sering terlihat letih lesu, dan lemah. Menurut Ibunya, anak tersebut
menurun nafsu makannya, dan tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya serta terlihat
lebih kecil dibandingkan teman-temannya di sekolah. Dari anamnesa tambahan diketahui
bahwa dalam setahun terakhir, anak tersebut masih sering demam disertai batuk. Karena
masalah biaya, selama ini, orang tua anak tersebut hanya memberinya obat batuk sirup yang
biasa dibeli di toko obat. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital dalam batas normal,
kesadaran baik, terlihat kurus dan puat. Status generalis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan: Hb = 4 gr/dL, Eritrosit 1,2 juta/mmk,
Leukosit = 15400/mmk, hitung jenis = 0/10/3/60/20/7. Trombosit = 252.000/mmk. Hasil
pemeriksaan tinja ditemukan gambaran berupa telur cacing.
PEMBAHASAN
Pertama, perlu dilakukan anamnesis mengenai keluhan yang dialami oleh pasien anak
ini. Yang perlu ditanyakan adalah mengenai keluhan yang dialami oleh pasien. Untuk keluhan
batuk, perlu ditanyakan apakah batuk yang dialami oleh pasien berdahak atau tidak. bila
berdahak ditanyakan pula dahaknya berwarna apa. Selain itu ditanyakan juga apakah
batuknya disertai dengan rasa gatal di tenggorokan, sakit saat menelan, ataukah disertai
2

dengan pilek. Kemudian untuk keluhan demam, perlu ditanyakan sifat demam, apakah naik
turun atau stabil, dan suhu tubuh saat demam. Kemudian untuk keluhan nafsu makan yang
menurun, perlu ditanyakan kira-kira apa yang menyebabkan pasien berkurang nafsu
makannya, apakah mungkin ada makanan yang tidak disukai oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan papul pada telapak kaki kanan.
Eritema merupakan warna kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh
darah kapiler yang reversible. Sedangkan papul adalah penonjolan diatas permukaan kulit,
sirkumskrip, berukuran diameter lebih kecil dari 1/2 cm, dan berisikan zat padat. 2 Kedua
keluhan ini mungkin diderita pasien, yang berumur 5 tahun, karena sering bermain diluar
rumah tanpa memakai alas kaki dan kurang higienis dalam menjaga kebersihan kakinya. Jadi
perlu ditanyakan apakah pasien suka bermain di luar tanpa alas kaki.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hemoglobin pasien 4 gr/dL, sedangkan
nilai normalnya adalah 12-14 gr/dL untuk wanita. Artinya kadar hemoglobin pasien ini
rendah, kemungkinan pasien ini mengalami anemia, namun sebabnya belum diketahui. Kadar
eritrosit 1,2 juta/mmk: rendah. Kadar leukosit 15400/mmk, nilai normalnya adalah 500010000/mmk, artinya lebih tinggi dari normal, kemungkinan pasien ini mengalami infeksi.
Dari hitung jenis didapatkan kadar basofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan
monosit yang normal, sedangkan kadar eosinofil meningkat, yaitu 10%, kemungkinan pasien
ini terinfeksi oleh cacing. Sedangkan kadar trombosit pasien ini dalam batas normal. Selain
itu pada pemeriksaan tinja ditemukan gambaran berupa telur cacing, artinya pasien sudah
terinfeksi oleh cacing. Hal ini menjelaskan mengapa pasien mengalami beberapa keluhan
seperti batuk, demam, lemah, letih, lesu, mengalami gangguan perkembangan, nafsu makan
menurun, kadar hemoglobin yang menurun, serta kadar eosinofil yang meningkat di dalam
darah.
Perlawanan tubuh terhadap infeksi cacing diperankan oleh degranulasi sel.
Degranulasi sel tersebut ialah sel mast, basofil, dan eosinofil. Sel mast sama seperti makrofag
yang diproduksi secara konstan pada jaringan. Sel mast memiliki keterkaitan yang kuat
dengan sel mast walaupun perannya belum diketahui secara jelas. Eosinofil sama seperti
neutrofil yang secara normal tidak terdapat pada jaringan. Namun akan direkrut untuk
melawan infeksi cacing.4
Kemungkinan mast sel diaktifkan saat molekul dari cacing berikatan dengan TLR.
Saat aktif, mast sel akan merubah substansi pada permukaan patogen, bukan memfagositnya
(karena ukurannya yang besar). Substansi tersebut ialah histamin, dan proteolitic enzim.
Prostagladin dan leukotrien juga akan secara cepat diproduksi, dari hasil metabolisme asam
arakidonat.4
3

Masing-masing substansi tersebut meniliki kegunaan. Histamin berperan untuk


konstraksi usus, proteolitik enzim berfungsi dalam pengaktifan jalur komplemen, leukotrien
dari metolisme asam arakidonat memiliki reaksi yang lambat untuk vasodilator, kontraksi
usus, dan sekresi mukosa. Prostaglandin memiliki efek yang cepat berguna sebagai
vasodilator dan berguna untuk kontraksi usus halus.
Cacing tambang dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar
melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus tiap hari mengeluarkan telur
5000-10000 butir. Cacing betina berukuran panjang 1 cm, cacing jantan 0,8 cm. Bentuk
badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S dan mempunyai benda kitin untuk
menyangkutkan mulutnya pada mukosa dinding usus halus. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulatriks.3
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rhabditiform. Dalam waktu 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform,
yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Telur cacing
tambang yang besarnya 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat beberapa sel. Larva rhabditiform panjangnya 250 mikron, sedangkan
larva filariform panjangnya 600 mikron.3
Daur hidupnya adalah sebagai berikut: telur akan berkembang menjadi larva
rhabditiform kemudian menjadi larva filariform. Proses ini terjadi di dalam tanah. Lalu larva
filariform akan menembus kulit melalui kaki yang tidak dilindungi oleh alas kaki dan
menimbulkan ground itch, kemudian melalui kapiler darah masuk ke jantung kanan.
Kemudian melalui pembuluh darah, larva filariform akan berjalan ke paru-paru, lalu ke
bronkus, trakea, laring, faring, kemudian ke usus halus. Pada saat cacing berada di faring,
cacing ini akan mengakibatkan rasa gatal yang akhirnya menimbulkan refleks batuk. Hal ini
menjelaskan mengapa pasien mengalami batuk terus-menerus yang tidak sembuh walaupun
sudah diobati. Setelah terjadi refleks batuk, larva akan tertelan kembali dan masuk ke usus
halus.3
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing tambang di
dalam tinja pasien. Selain dalam tinja, larva dapat juga ditemukan dalam sputum.1
Pemeriksaan penunjang untuk pasien ini dapat dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif.5 Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode Harada
Mori. Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing
Ancylostoma

Duodenale,

Necator

Americanus,

Srongyloides

Stercolaris

dan

Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur
cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih
4

7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan di dalam air yang terdapat pada ujung kantong
plastik. Kelebihan pemeriksaan ini adalah lebih mudah dilakukan karena hanya untuk
mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh lebih besar dibandingkan dengan
telur. Sedangkan kekurangan dari pemeriksaan ini adalah bahwa pemeriksaan ini dilakukan
hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang dibutuhkan lama dan
memerlukan peralatan yang banyak.
Pemeriksaan kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kato atau
disebut juga dengan teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear technique).
Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong cellahane tape. Teknik ini lebih
banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan
untuk pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah. Selain itu morfologi
telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa. Kelebihan pemeriksaan ini adalah dapat
mengidentifikasi tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah telur dan cacing, baik di
kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan tinja masal karena murah dan
sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi sehingga dapat di diagnosis. Sedangkan
kekurangan dari pemeriksaan ini adalah bahan feses yang digunakan banyak.
Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah dengan memberikan perawatan umum dan
pengobatan spesifik.1 Perawatan umum dilakukan denan memberikan nutrisi yang baik,
suplemen, preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat, terutama bila
ditemukan keadaan anemia. Pengobatan spesifik dapat dilakukan dengan memberikan
befanium hidroksinaftat yang merupakan obat pilihan utama, diberikan untuk 3 hari,
albendazol dengan dosis tunggal 400 mg, mebendazol dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari
selama 3 hari, pirantel pamoat 10 mg/kgBB.1 Pemberian pirantel pamoat akan menunjukkan
hasil yang cukup baik, bilamana digunakan beberapa hari berturut-turut.3
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini adalah terjadi dermatitis yang berat
terlebih bila pasien sensitif, anemia berat yang terjadi sering menyebabkan gangguan
pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung.
Prognosis untuk pasien ini adalah ad bonam untuk ad vitam, ad bonam untuk ad
fungsionam apabila diobati dengan baik dan dubia ad malam untuk ad fungsionam, karena
penyakitnya dapat kambuh bila pasien kurang menjaga kebersihan sehingga pasien terinfeksi
cacing tambang lagi.
Usaha pencegahan yang dapat dilakukan agar pasien tidak terinfeksi cacing tambang
adalah mulai membiasakan diri untuk mengenakan alas kaki terutama saat sedang berjalan di
luar rumah, untuk menghindari masuknya larva filariform melalui kulit yang tidak
berpelindung.
5

DAFTAR PUSTAKA
1. Pohan HT. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p.2940-1.
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.35.
3. Supali T, Margono SS, Abidin SAN. Nematoda Usus. In: Sutanto I, Ismid IS,
Sjarifuddin PK, Sungkar S, Editors. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 4th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p.12-5.
4. Helbert M. Flesh and Bones of Immunology. 1st ed. London: Elsevier; 2006. p.22.

Vous aimerez peut-être aussi