Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Defenisi
Asma adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunanai yang berarti terengah engah
atau serangan nafas pendek.Merupakan penyakit jalan napas obstruktif
intermitten, reversible dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
B. Etiologi
Asma sering dijadikan alergi , idiopatik / non alergi, atau gabungan.
Jenis Asma :
a. Asma alergi disebabkan oleh allergen mis : serbuk sari, binatang, amarah,
makanan dan jamur.
b. Asma idiopatik/non alergi , tidak berhubungan dengan alerden spesifik .Faktor
pencetusnya antara lain : common cold, infeksi traktus resperatorius, emosi,
latihan, dan polutan lingkungan, agen farmakolosi seperti aspirin dan agens
anti inflamasi non steroid, pewarna rambut, antagonis beta andrenergik dan
agens sulfit ( pengawet makanan )
c. Asma gabungan.
Asma ini mempunyai karakteristik dalam bentuk alergik maupun dalam
bentuk idiopatik/ non alergi.
C. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mucus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstriksi bertambah
berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase
tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya peningkatan
volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF). Dan pasien akan bernapas pada
volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Kedalaman hiper
inflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan

lancar. Untuk mempertahankan hiperinfalsi ini dipertukarkan otot-otot

bantu

napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
objektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi paru detik pertama) atau APE (Arus
puncak Ekspirasi) menggambarkan derajat

hiperinflasi paru. Penyempitan

saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun
kecil. Gejala mengi menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar,
sedangkan pada saluran napas yang keil gejala batuk dan sesak lebih dominan
disbanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru.
Ada daerah-daerah yag kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin
merupakan kelainan pada asma sub klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen,
tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi
akibatnya pengeluaran CO2 jadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang
kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih
berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mucus sehingga nanti
tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan
hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat terjadi peningkatan
produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan
ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis
metabolic dan terjadi konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian
menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas
yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian
penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidak seimbangan ventilasi
perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setera dengan sirkulasi darah paru. 3).
Gangguan difusi gas ditingkat alveoli.
Ketiga factor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemi, hiperkapnia,
asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.

Asma ialah penyakit paru dengan cirri khas yakni saluran napas sangat
mudah bereaksi terhadap barbagai ransangan atau pencetus dengan manifestasi
berupa serangan asma. Kelainan yang didapatkan adalah:
1. Otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan)
2. Selaput lendir bronkus udema
3. Produksi lendir makin banyak, lengket dan kental, sehingga ketiga hal
tersebut menyebabkan saluran lubang bronkus menjadi sempit dan anak akan
batuk bahkan dapat sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang
sendiri atau hilang dengan pertolongan obat.
Pada stadium permulaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema
dan sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat
kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil dalam secret didlam lumen
saluran napas. Jika serangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat
deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran hialin bosal, hyperplasia
serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada serangan yang
berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan bronkus oleh mucus
yang kental.
Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen
antibody menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan
kelainan patologi tadi. Mediator kimia tersebut adalah:
a.

Histamin

Kontraksi otot polos


Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga terjadi

edema
Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus, mukosaa,
hidung dan mata

b.

Bradikinin

Kontraksi otot polos bronchus


Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
Vasodepressor (penurunan tekanan darah)
Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah

c.

Prostaglandina

bronkokostriksi (terutama prostaglandin F)

Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena iritasi dan
batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang
merangsang batuk
Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan
berbusa. Pada stadium

ini anak akan mulai merasa sesak napas berusaha

bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak
otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi supra sternal, epigastrium
dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan
menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi
sekitar mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat
pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan
abdominal, retraksi supra sternal dan interkostal.
Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara sangat sedikit sehingga
suara napas hampir tidak terdengar.
Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk
seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang
mendadak meninggi.
D. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, mengi dan sesak
napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan
pada asma alergik mungkin diserai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya
batuk tanpa disertai secret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan secret baik baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulent. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicuragai,

perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau


uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering berhubungan antara pemajanan allergen dengan
gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asama alergik juga memberikan
gejala terhadap factor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang
merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asama yang berkaitan dengan pekerjaan. Gejala
biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu.
Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepajang minggu, gejalanya
mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dengan lingkungan kerjanya,
seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
1.

Wheezing

2.

Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori pernapasan

3.

pernapasan cuping hidung


4.

batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen jalan napas
sempit

5.

diaphoresis

6.

sianosis

7.

nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernapasan

8.

kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn

9.

tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan, bahkan bicara


E. Evaluasi Diagnostik
1) Riwayat penyakit atau pemeriksaan fisik
2) Foto rontgen dada
3) Pemeriksaan fungsi paru : menurunnya tidal volume, kapasitas vital, eosinofil
biasanya meningkat dalam darah dan sputum
4) Pemeriksaan alergi (radioallergosorbent test ; RAST)

5) Analisa gas darah pada awalnya pH meningkat, PaCO 2 dan PaO2 turun
(alkalosis respiratori ringan akibat hiperventilasi ); kemudian penurunan pH,
penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 (asidosis respiratorik)
F. Penatalaksanaan
Berdasarkan pathogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asama
dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respon saluran napas,
mencegah ikatan allergen IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan
merelaksasi otot-otot polos bronkus.
Mencegah ikatan allergen-IgE
a. Menghindari allergen.
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil allergen yang dosisnya
mungkin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking
antibody) yang akan mencegah ikatan allergen dengan IgE pada sel mast.
Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan.
Mencegah penglepasan mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang
dicetuskan oleh allergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya disuga
mencegah penglepasan mediator dari monosit. Obat tersebut tidak dapat
mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi, oleh karena itu obat ini hnya dapat
dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan.
Golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga
dapat mencegah penglepasan mediator.
Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator
a. Simpatomimetik: 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol,
prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut.
Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau
nebulizer; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2
pada serangan asma berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau
dewasa muda.

b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti
dengan dosis pemeliharaan.
c. Kortikosteroid. Tidak termasuk golongan bronkodilator tetapi secara tidak
langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut
atau terapi pemeliharaan.
d. Antikolinergik (ipatropium bromide) terutama dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis beta 2.
Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran napas
Asma baik yang ringan maupun yang berat menunjukkan inflamasi saluran napas.
Secara histiopatologis ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator
inflamasi di tempat tersebut. Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah
meredam inflamasi yang baik dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten
dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma
akut atau kronik.
Pengobatan asma menurut GINA (Glonal Initiative for Asthma)
Ada enam komponen pengobatan asma adalah, yaitu:
1. Penyuluhan kepada pasien.
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan
kerja sama antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat
tercapai bila pasien dan keluarganya memahami penyakitnya, obat-oabat yang
dipakai serta efek sampingnya.
2. Penilaian derajat beratnya asma.
Penilaian derajat beratnya asma baik melalui pengukuran gejala, pemeriksaan
uji faal paru dan analisa gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil
pengobatan.
3. Pencegahan dan pengendalian factor pencetus serangan.
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan factor pencetus serangan
asma semakin berkurang atau derajat asma makin ringan.
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang.

Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala


asma, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan: a). oabt-obat anti asma; b).
pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga; c). pengobatan
asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
Obat-obat anti asma. Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk
mencegah dan mengendalikan gejala asma, fungsi penggunaan obat-obat anti
asma antara lain:
Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan
agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat
anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti
inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagi
pencegah. Obat-obat anti alergi, bronkodilator atau obat golongan lain
seringdianggap termasuk obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat,
karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi
paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat anti
inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis
dan supresi. Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus lebih baik
bila

dibandingkan

bronkodilator.

Termasuk

golongan

pencegah

adalah

kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium


nedokromolin, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup
(salmeterol dan formoterol) dan oral, dan obat-obatan anti alergi.
Penghilang gejala (relever). Yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi
broonkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan

segera.

Termasuk dalam golongan ini adalah agonis beta 2 hirup kerja pendek (shortacting), kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek,
agonis beta 2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salutamol, terbutalin, prokaterol)
merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum

kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani.


Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma episodic.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah
pemburykan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah
atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap.
Antikolinergik hirup atau ipatropim bromide selain sipakai sebagai tambahan
terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternative
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin
merupakan agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa
memakai sediaan hirup.
Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga, maka menurut berat
ringannya asma dapat dibagi atas empat:
1. Asma intermitten
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu)

Serangan singkat (bebrapa jam sampai hari)

Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan.

Diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal.

Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.

Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas
serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikoosteroid oral.
2. Asma persisten ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala lebih dari satu kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari.

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur.

Serangan asma malam lebih dari dua kali per bulan.

Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.

Obat yang digunakan: setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu.
3. Asma persisten sedang

Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala setiap hari.

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur.

Serangan asma malam lebih dari satu kali seminggu.

Setaiap hari menggunakan beta 2 agonis hirup.

Nilai APE dan VEP1 antara 60-80% dari nilai prediksi, variabilitas >30%.

Obat yang dipakai: setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan
bronkodilator kerja panjang.
4. Asma persisten berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala terus menerus, sering mendapat serangan.

Gejala asma malam sering.

Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma.

Nilai APE dan VEP1 < 60% dari nilai prediksi, variabilitas > 30%.

Obat yang dipakai: setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid
hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral kerja panjang.
1.
2.

3.

Tahap
Asma Intermitten
Asma Persisten Ringan

Asma Persisten Sedang

Obat Pencegah Harian


Tidak diperlukan
Kortikosteroid hirup (500g

Teofilin lepas lambat

BDP

Kromolin

BDP=Beclomethasone

Anti leukotrin

diprooprionate
Kortikosteroid hirup (200-

Kortikosteroid hirup (500-

1000

atau

ekuivalen)

BDP

Pilihan Lain

atau

1000

BDP

atau

ekuivalen) + LABA (Long

ekuivalen) + teofilin lapas

Acting Beta Agonist)

lambat atau

Kortikosteroid hirup (5001000

BDP

atau

ekuivalen) + oral LABA


atau

Kortikosteroid hirup dosis


tinggi (>1000 g BDP atau

ekuivalen)

Kortikosteroid hirup dosis


lebih tinggi (>1000 g BDP
atau

ekuivalen)

leukotrin
4.

Asama Persisten Berat

Kostikosteroid
(>1000

inhalasi
BDP

atau

ekuivalen)+LABA satu atau


lebih

obat

berikut

bila

diperlukan

Teofilin lepas lambat

Anti leukotrin

LABA oral

Kortikosteroid oral

Anti IgE

Penanganan Kegawat Daruratan


Terapi awal
1. Oksigen 4-6 liter/menit
2. Agonis beta 2 (salbutamol 5 mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg)
inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit samapi
1jam. Pemberian agonis beta 2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis
salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan
diberikan perlahan.
3. Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam
12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera atau
pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut:
1. Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan.
2. Pemeriksaan fisik normal.
3. Arus puncak ekspirasi (APE) > 70%

anti

G. Komplikasi
1)
2)
3)
4)

Status asmatikus
Bronkhitis kronik, bronkhiolus
Ateletaksis : lobari segmental karena obstruksi bronchus oleh lender
Pneumo thoraks
Kerja pernapasan meningkat, kebutuhan O2 meningkat. Orang asam tidak
sanggup memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk
bernapas melawan spasme bronkhiolus, pembengkakan bronkhiolus, dan m
ukus yang kental. Situasi ioni dapat menimbulkan pneumothoraks akibat

besarnya teklanan untuk melakukan ventilasi


5) Kematian
H. Penyimpangan KDM

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Riwayat asthma atau alergi dan serangan asthma yang lalu, alergi dan
masalah pernapasan
2. Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit dan pengobatan
3. Riwayat psikososial: factor pencetus, stress, latihan, kebiasaan dan rutinitas,
perawatan sebelumnya
4. Pemeriksaan fisik
a. Pernapasan
-

Napas pendek

Wheezing

Retraksi

Takipnea

Batuk kering

Ronkhi
b. Kardiovaskuler
-

Takikardia

c. Neurologis
-

Kelelahan

Ansietas

Sulit tidur

d. Muskuloskeletal
-

Intolerans aktifitas

e. Integumen
-

Sianosis

pucat

f. Psikososial
-

Tidak kooperatif selama perawatan

5. Kaji status hidrasi

Status membran mukosa

Turgor kulit

Output urine

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas b.d. bronkospasme
dan udema mukosa
2. Kelelahan b.d. hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan
3. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. distress GI
4. Resiko kekurangan volume cairan b.d. meningkatnya pernapsan dan
menurunnya intake oral
5. Kecemasan b.d. hospitalisasi dan distress pernapasan
6. Perubahan proses keluarga b.d. kondisi kronik
7. Kurang pengetahuan b.d. proses penyakit dan pengobatan]
C. Intervensi
1. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas b.d. bronkospasme
dan udema mukosa
Tujuan :
-

anak akan menunjukkan perbaikan pertukaran gas ditandai


dengan :

tidak ada wheezing dan retraksi

batuk menurun

warna kulit kemerahan


-

anak tidak menunjukkan gangguan ketidakseimbangan asam basa yang


ditandai dengan saturasi oksigen 95 %

Intervensi:
a. Kaji RR, auskultasi bunyi napas
R/: sebagai sumber data adanya pewrubahan sebelum dan sesudah perawatan
diberikan
b. Beri posisi high fowler atau semi-fowler
R/; mengembangkan ekspansi paru
c. Dorong anak untuk latihan napas dalam dan batuk efektif

R/: membantu membersihkan mucus dari p[aru dan napas dalam memperbaiki
oksigenasi
d. Lakukan suction jika perlu
R/: membantu mengeluarkan secret yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak
sendiri
e. Lakukan fisioterapi
R/: membantu pengeluaransekresi, menmingkatkan ekspansi paru
f. Berikan oksigen sesuai program
R/ : memperbaiki oksigenasi dan mengurangi sekresi
g.

Monitor peningkatn pengeluaran sputum

R/: sebagai indikasi adanya kegagalan pada paru


h. Berikan bronchodilator sesuai indikasi
R/: otot pernapasan menjadi relaks dan steroid mengurangi inflamasi
2. Kelelahan b.d. hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan
Tujuan : Anak menunjukkan penurunan kelelahan ditandai dengan tidak
iritabel, dapat berpartisipasi dan peningkatan kemampuan dalam beraktifitas
Intervensi :
a. Kaji tanda tanda hipoksia / hypercapnea ; kelelahan, agitasi, peningkatan
HR, peningkatan RR
R/: deteksi dini untuk mencegah hipoksia dapat mencegah keletihan lebih
lanjut
b. Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat
membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup
R/: Istirahat yang cukup dapat menurunkan stress dan meningkatkan
kenyamanan
c. Minta orang tua untuk selalu menemani anak
R/: Menurunkan ketakutan dan kecemasan
d. Berikan istirahat cukup dan tidur 8 10 jam tiap malam
R/: istirahat cukup dan tidur cukup menurunkan kelelahan dan meningkatkan
resistensi terhadap infeksi

e. Ajarkan teknik manajemen stress


R/ : Bronkospasme mungkin disebabkan oleh emosional dan stress
3. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. distress GI
Tujuan : Anak akan menunjukkan penurunan distress GI ditandai dengan:
Penurunan nausea dan vomiting, adanya perbaikan nutrisi / intake
Intervensi:
a.

Berikan porsi makan kecil tapi sering 5 6 kali sehari dengan makanan
yang disukainya
R/: makanan kecil tapi sering menyediakan energi yang dibutuhkan , lambung
tidak terlalu penuh, sehingga memberikan kesempatan untuk penyerapan
makanan. Makanan yang disukai mendporong anak untuk makan dan
meningkatkan intake

b.

Berikan makanan halus, rendah lemak, gunakan warna


R/: Makanan berbumbu dan tinggi lemak dapat meningkatkan distress pada
GI sehingga sulit dicerna

c.

Anjurkan menghindari makanan yang menyebabkan alergi


R/:Dapat menimbulkan serangan akut pada anak yang sensitive

4. Resiko kekurangan volume cairan b.d. meningkatnya pernapsan dan


menurunnya intake oral
Tujuan :
Anak dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat ditandai dengan turgor kulit
elastis, membrane mukosa lembab, intake cairan sesuai dengan usia dan berat
badan, output urine : 1-2 ml/kg BB/jam
Intervensi:
a. Kaji turgor kulit, monitor urine, output tiap 4 jam
R/: untuk mengetahui tingkat hidrasi dan kebutuhan cairannya
b. Pertahankan terapi parenteral sesuai indikasi dan monitor kelebihan cairan
R/: kelebihan cairan dapat menyebabkan udema pulmonar
c. Setelah fase akut, anjurkan anak dan orangtua untuk minum 3-8 gelas / hari,
tergantung usia dan berat badan anak

R/: anak membutuhkan cairan yang cukup untuk mempertahankan hidrasi dan
keseimbangan asam basa untuk mencegah syok
Kecemasan b.d. hospitalisasi dan distress pernapasan
Tujuan :
5. Kecemasan menurun, ditandai dengan anak tenang dan dapat mengekspresikan
perasaannya
Intervensi:
a. Ajarkan teknik relaksasi; latihan napas dalam, imajinasi terbimbing
R/: pengalihan perhatian selama episode asma dapat menurunkan ketakutan
dan kecemasan
b. Berikan terapi bermain sesuai indikasi
R/: terapi bermain dapat menurunkan efek hospitalisasi dan kecemasan
c. Informasikan tentang perawatan, pengobatan dan kondisi anak
R/: menurunkan rasa takut dan kehilangan control akan dirinya

DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume I.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Masjoer, A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI;


Jakarta.
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid I, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006.
Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Volume 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Sylvia A.Price, Lorraine M.Wilson, Patofisiologi (Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 4, Jilid I, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 1995.

Vous aimerez peut-être aussi