Vous êtes sur la page 1sur 16

Kesusastraan Buton Abad XIX:

Kontestasi Sastra Lisan dan Sastra Tulis, Budaya dan Agama


Asrif
asrif_wakatobi@yahoo.co.id
ABSTRAK Penerapan syariat Islam di Kesultanan Buton pada abad ke-19 menandai
fase baru perkembangan kesusastraan Buton yang condong ke kebudayaan Islam.
Gerakan penyesuasian sastra lokal yang dikumandangkan penguasa setempat, yakni
pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (18241851 M.) yang mengusung
ajaran tasawuf, telah merasuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk
berkesenian. Akibatnya, terjadi kontestasi antara masyarakat yang mengusung sastra
lokal (sastra lisan) dan penguasa yang mengusung sastra yang bernuansa Islami
(sastra naskah). Kedua sastra tersebut berkembang dalam tempat yang berbeda, namun
dalam ruang waktu yang sama. Kontestasi disebabkan oleh upaya mempertahankan
kedudukan dan fungsi, sekaligus berharap memperoleh dukungan dari masyarakat luas.
Kata Kunci kontestasi, sastra lisan, sastra tulis, budaya, agama.
Pergolakan kesusastraan Buton1 terjadi pada abad ke-19 seiring penerapan
syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Ajaran tasawuf yang dikembangkan Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin (18241851 M.) (Zahari, 1977 [III]: 28) berdampak luas
ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal berkesenian. Sastra-sastra
lokal dikehendaki agar disesuaikan dengan tradisi dan ajaran tasawuf yang
dikembangkan saat itu. Salah satu sastra lokal yang dikehendaki untuk disesuaikan
dengan tradisi dan ajaran tasawuf adalah sastra lisan kabanti2. Sastra lisan kabanti
sebagai sastra pertunjukan yang digemari masyarakat dinilai bertentangan dengan
1

Buton dapat dipahami sebagai nama suku yang berada di Sulawesi Tenggara yang penduduknya terkonsentrasi di
Kota Baubau, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Buton. Kedua, Buton sebagai nama
pulau yang berada di Sulawesi Tenggara. Ketiga, Buton merupakan nama salah satu kabupaten di Sulawesi
Tenggara. Keempat, Buton dapat dipahami pula sebagai nama bekas Kerajaan/Kesultanan yang mencakupi empat
wilayah, yakni Muna, Tiworo, Kulinsusu, dan Kaledupa.
Ada beberapa pengertian tentang kabanti. Pertama, kabanti merupakan pernyataan rasa dalam bentuk yang amat
digemari dan mengena hingga ke dasar hati yang dinyanyikan oleh muda-mudi pada acara-acara khusus yang
populer dengan sebutan pobanti (berbalas pantun) (Malim 1981: 18). Kedua, kabanti merupakan kesusastraan
berbentuk puisi (Niampe, 1999: 1). Ketiga, kabanti merupakan puisi syair, sajak, atau nyanyian (Anceaux, 1984
dikutip Zuhdi, 2010). Dari ketiga definisi di atas, penulis mengacu pada definisi kabanti yang dikemukakan Malim.
Kabanti yang dimaksud Malim mengacu pada kabanti sebagai sastra lisan yang dipertunjukan, bukan kabanti
sebagai sastra tulis (naskah).

tradisi dan etika moral dalam tatanan kehidupan kaum sufi. Oleh sebab tersebut, sastra
lisan kabanti dilarang dipertunjukan di sekitar keraton Kesultanan Buton. Selain itu,
kabanti yang semula sebagai sastra lisan, diadopsi penguasa menjadi sastra tulis.
Pertunjukan kabanti yang semula mengisahkan realitas sosial sehari-hari, bergeser
menjadi sarana penyampaian ajaran agama. Ruang pertunjukan sastra lisan kabanti
bergeser dari sekitar keraton ke daerah yang jauh dari keraton. Perubahan dan
pergeseran tersebut merupakan kontestasi yang terjadi dalam kesusastraan Buton yang
sebab dan alasannya akan diungkap pada uraian di bawah ini.

Dari Budaya Lokal menuju Budaya Islam


Kebijakan penguasa Kesultanan Buton yang dikuasai kaum sufi berdampak pada
perubahan tatanan berkesenian masyarakat Buton. Pertunjukan-pertunjukan rakyat yang
semula berjalan secara alami mengalami pengawasan hingga pelarangan untuk digelar
dalam pesta-pesta rakyat. Pertunjukan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tatanan
kehidupan kaum sufi karena dalam pertunjukan kabanti, laki-laki dan perempuan
terlibat secara langsung, baik sebagai penyanyi maupun sebagai pengiring nyanyian
(pajogi dan ngibing)3. (Malim, 1981: 3435) menjelaskan pajogi dan ngibing sebagai
tarian atau semacam joget berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan. Pajogi dan
ngibing merupakan satu kesatuan tarian. Pajogi dimainkan oleh wanita yang bertujuan
mengundang ngibing yang ditarikan laki-laki. Dalam tradisi pajogi dan ngibing, setiap

Pajogi merupakan tarian perempuan. Aksi pajogi memicu laki-laki untuk melakukan aksi ngibing.
Pajogi dan ngibing serupa dengan joget dakung dalam tari melemang di Kepulauan Riau. Sikap
penguasa yang tidak menyetujui aksi joget dakung juga terjadi pada pajogi dan ngibing dalam
pertunjukan sastra lisan kabanti. Lihat Rohana, 2006, hlm. 781782.

pria yang mengibing biasanya melepaskan uang ke sekitar perempuan yang sedang
pajogi. Uang tersebut selanjutnya dipungut oleh perempuan pajogi.
Tradisi pajogi di dalam pertunjukan kabanti dinilai bertentangan dengan adat
dan moral ajaran Islam. Gerakan gemulai dari perempuan pajogi dan aksi para laki-laki
pengibing diduga sebagai penyebab kaum sufi melarang pertunjukan tersebut. Aksi
pajogi dan ngibing dipandang sebagai perbuatan maksiat yang bertentangan dengan
agama. Penilaian tersebut berdampak pada pelarangan pertunjukan kabanti di sekitar
keraton kesultanan atau hanya dapat digelar di daerah yang jauh dari pusat Kesultanan
Buton. Kaum sufi menghendaki tradisi pertunjukan yang digelar masyarakat perlu
disesuaikan dengan tatanan pergaulan kaum sufi yang dilandasi ajaran tasawuf.
Semangat ajaran tasawuf (tarekat Khalwatiyyah Sammaniyyah) 4

yang

dipedomani oleh beberapa Sultan Buton melahirkan penegakan syariat Islam yang ketat.
Penegakan syariat Islam berdampak pada pelarangan menggelar pertunjukan sastra lisan
kabanti. Malim (1981: 20) menjelaskan pelarangan tersebut mula-mula hanya sebagai
anjuran untuk tidak menggelar pertunjukan tersebut di sekitar keraton yang kemudian
meningkat menjadi setengah wajib. Pelarangan pertunjukan kabanti di sekitar keraton
Buton, selain disebabkan oleh keberadaan pajogi dan ngibing, diduga disebabkan oleh
pergantian penguasa Kesultanan Buton. Penerapan syariat Islam yang dikumandangkan
oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin mengakibatkan tradisi pajogi dan ngibing
dilarang digelar di sekitar keraton. Kabanti yang semula merupakan sastra pertunjukan
yang diperbolehkan di sekitar keraton, tidak diperkenankan digelar sebagai konsekuensi
4

Pada abad ke-19 tarekat tasawuf yang dipedomani Sultan-Sultan Buton, yakni Khalwatiyyah
Sammaniyah. Tarekat lainnya sebelum Khalwatiyyah Sammaniyah, yakni Kadiriyyah dan Satariyyah .
Lihat Yunus, 1995, hlm. 136137.

dari penerapan syariat Islam tersebut. Situasi tersebut menjadikan kabanti yang semula
sebagai sastra lisan keraton, bergeser menjadi kesenian luar keraton.
Kebijakan penguasa yang mendasarkan penilaian dari sudut pandang agama
diungkap Malim sebagai berikut.
Di Wolio pada masa lampau, yaitu hingga pada awal masuknya Jepang di Indonesia, pantunmemantuni cukup ramai. Antara lain sangat digemari pada acara pajogi. Tetapi, di masa
Sultan-Sultan menjadi sangat menentukan, sejak sekitar 1700, dianjurkanlah untuk tidak
membuat acara-acara yang tidak sesuai dengan tata hidup bermasyarakatnya kaum sufi.
Beberapa lamanya kemudian, anjuran-anjuran itu dijadikan setengah wajib. Pajogi dan yang
sejenis pajogi dilarang di sekitar Keraton Wolio; dianjurkan supaya diadakan saja di daerahdaerah yang jauh dari Ibu Kota Kesultanan. Kemudian diusahakan untuk dihidupkan di pulaupulau Tukang Besi (Wakatobi), utamanya di Kaledupa. Akhirnya, di semua tempat lain punah
dan yang masih utuh sisa di Kaledupa dan sedikit di pulau Wanci (1981: 20).

Deskripsi Malim di atas menegaskan adanya ketegangan yang terjadi di dalam


masyarakat Buton sebagai dampak penerapan syariat Islam. Ketegangan terjadi antara
penguasa kebijakan di satu pihak dan masyarakat pendukung tradisi kabanti di pihak
lainnya. Para penguasa memegang kuasa penting di dalam menetapkan dan
mengizinkan pertunjukan kesenian yang boleh atau tidak boleh dipertunjukan di
lingkungan keraton. Boleh-tidaknya masyarakat menggelar pertunjukan kesenian
bergantung dari persetujuan pihak penguasa.
Dalam kasus pertunjukan kabanti, penguasa masih memberi kelonggaran kepada
masyarakat untuk menggelar pertunjukan kabanti. Namun demikian, penguasa
mengajukan persyaratan kepada para pelaku kabanti, yakni kabanti hanya dapat
dipertunjukan di daerah yang jauh dari keraton. Pertunjukan kabanti yang dinilai tidak
sesuai dengan tatanan kehidupan kaum sufi menjadi dasar pelarangan pertunjukan
kabanti. Selain itu, hiruk-pikuk pertunjukan sastra lisan kabanti dapat mengganggu
konsentrasi masyarakat yang sedang beribadah.
4

Sikap longgar penguasa terhadap pertunjukan kabanti dipahami sebagai langkah


negosiasi penguasa terhadap pelaku kabanti. Sastra lisan kabanti sebagai sastra
pertunjukan yang telah merakyat tentu tidak mudah untuk dihentikan pertunjukannya.
Kepopuleran pertunjukan kabanti sebagai pertunjukan yang digemari masyarakat akan
menjadi ancaman bagi penguasa jika pertunjukan tersebut dihentikan seketika. Oleh
karena itu, sikap penguasa yang mengizinkan pertunjukan kabanti di daerah-daerah
tertentu merupakan sikap yang tepat di dalam meredakan potensi ketegangan antara
penguasa dan masyarakat.
Penerapan syariat Islam, berdampak pada perebutan ruang berkesenian, antara
kesenian lokal dan kesenian yang berbudaya Islami. Sastra lisan kabanti sebagai sastra
pertunjukan rakyat yang diwarnai aksi berbalas pantun muda-mudi, pajogi, dan aktivitas
lain yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam telah sebagai sastra pertunjukan
yang populer. Pelaku kabanti tetap menghidupkan pertunjukan kabanti meski secara
diam-diam. Sebaliknya, penguasa yang menyadari kepopuleran sastra kabanti berupaya
menggeser posisi kabanti dari sekitar keraton atau setidaknya menyesuaikan
pertunjukan tersebut dengan budaya Islam. Sikap penguasa yang menegosiasi pelaku
pertunjukan kabanti agak berhasil yang ditandai dengan penggunaan sarung dan
songkok sebagai atribut pakaian dalam beberapa pertunjukan kabanti. Pelaku kabanti
kadang menggunakan sarung dan songkok dalam pesta-pesta adat sebagai wujud
penonjolan keislaman. Namun, akar masalah utama, yakni keterlibatan langsung lakilaki dan perempuan dalam nyanyian kabanti serta tradisi pajogi, tetap dipertahankan
sebagai ciri khas pertunjukan kabanti.

Problematika penyesuaian kesenian tradisi, dari budaya lokal menuju budaya


Islam, terjadi pula di daerah-daerah kesultanan lainnya di Indonesia. Tari melemang dan
joget dakung di Kepulauan Riau mengalami nasib serupa dengan sastra lisan kabanti.
Kedua seni tradisi masyarakat Melayu tersebut tersingkir dari kesenian Melayu karena
alasan etika dan moral agama. Penguasa lokal menilai joget dakung cenderung
mengundang orang (penonton yang bukan muhrim) untuk berbuat maksiat. Para pelaku
tari melemang dan joget dakung dipandang rendah oleh masyarakat. Kegiatan yang
mereka lakukan dinilai bertentangan dengan moral dan etika dalam agama Islam yang
menjadi sendi budaya Melayu. Penilaian tersebut melahirkan gerakan pembersihan5
terhadap kebiasaan yang dipandang bertentangan dengan etika dan moral agama.
Pembersihan yang utama adalah penghilangan kebiasaan ngibing6 seperti dalam joget
dakung (Rohana, 2006: 781782).
Dalam beberapa pertunjukan kabanti, tradisi pajogi berfungsi sebagai tarian
yang mengiringi pertunjukan kabanti. Pertunjukan kabanti menjadi semakin meriah jika
masyarakat sekitar tidak sekadar hadir menonton pertunjukan, tetapi terlibat dalam
tradisi pajogi. Oleh penguasa, tradisi pajogi dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
agama. Kaum sufi menghendaki tradisi pertunjukan yang digelar masyarakat perlu
disesuaikan dengan tatanan pergaulan kaum sufi yang dilandasi ajaran tasawuf.

Pembersihan yang dimaksud dalam tulisan ialah penghilangan bagian-bagian pertunjukan karena
bagian tersebut dinilai bertentangan dengan etika dan ajaran agama Islam.
6
Ngibing mirip dengan joget. Perbedaannya, pada ngibing, laki-laki mengitari atau memutari perempuan
(lawan main). Dalam masyarakat Buton, ngibing disebut dengan nama ngifi.

Foto 1. Tradisi pajogi dan ngibing dalam tarian lariangi di Buton7. (Sumber: Dinas
Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara).

Intervensi penguasa terhadap sastra lisan kabanti, tari melemang, dan joget
dakung merupakan upaya mengganti atau merevitalisasi kebudayaan lokal menuju
kebudayaan yang lebih Islami. Sebagai pengganti kesenian tradisi yang dianggap
bertentangan dengan etika moral dan agama, penguasa mengembangkan kesenian yang
bernuansa Islam. Sastra lisan kabanti yang semula menonjolkan kelokalan, diarahkan
menjadi kesenian yang Islami. kabanti sebagai sastra lisan menjelma menjadi kabanti
sebagai sastra tulis. Syair kabanti yang semula berisi masalah-masalah sosial
kemasyarakatan, berganti menjadi syair yang bernapaskan agama dan falsafah hidup
yang berlandaskan ajaran agama Islam. Namun demikian, di beberapa daerah di Buton,
kabanti sebagai seni tradisi masyarakat, tetap berkembang walau di daerah yang jauh
dari pusat Kesultanan Buton.
7

Tradisi pajogi digelar untuk menghibur tuan rumah penyelenggara hiburan pesta adat. Masyarakat hadir
menonton pertunjukan hiburan sekaligus meleburkan diri dalam tradisi pajogi. Kebahagiaan tuan rumah
penyelenggara hiburan pesta adat akan semakin meningkat jika banyak masyarakat yang hadir
mengikuti pajogi. Sebaliknya, tuan rumah akan merasa dikucilkan jika gelaran pajogi-nya tidak dihadiri
oleh banyak masyarakat. Banyak-tidaknya masyarakat yang menonton dan terlibat dalam pajogi
menjadi penanda hubungan baik atau buruk tuan rumah penyelenggara hiburan dengan masyarakat
sekitar.

Dari Sastra Lisan menuju Sastra Tulis


Sejak masa pemerintahan Raja La Kilaponto (yang kemudian menjadi sultan
pertama di Buton), Buton tidak hanya menjadi agama Islam sebagai agama resmi
Kerajaan Buton, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam di kawasan Sulawesi
Tenggara. Kehadiran Islam termasuk kebudayaannya di Buton diperkuat dengan
pendirian lembaga pengkajian Islam yang bernama belo baruga8 di Keraton Sultan
Buton pada abad XVI (Burhanuddin, B dkk. 1980/1981: 92 dan 56). Selain belo baruga,
Kesultanan Buton membangun tempat pengajaran tarekat yang populer dengan nama
zaawiyah9. Yunus (1995: 7273) menyebutkan bahwa zaawiyah merupakan sebuah
bangunan pengajian untuk mempelajari tarekat. Selain sebagai tempat pengajian,
zaawiyah berfungsi sebagai tempat penyimpanan surat-surat dan buku-buku keagamaan
(Zahari, 1977, II: 144). Bangunan tersebut juga dikenal sebagai tempat Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin belajar tarekat sebelum dirinya menjadi sultan.
Kedua tempat tersebut, yakni belo baruga dan zaawiyah menjadi pusat
pengajaran agama Islam. Bangsawan kesultanan mempelajari bahasa Arab dan tarekat
Islam di kedua tempat itu. Pelajaran bahasa Arab mencapai puncaknya pada masa
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (18241851) yang ditandai dengan penetapan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi di lingkungan keraton Buton. Tulisan Arab
merupakan tulisan yang resmi dipakai, baik untuk menuliskan bahasa Melayu yang
8

Belo artinya hiasan, baruga artinya balairung. Belo baruga adalah pemuda/pemudi umur sebelum 15
tahun yang tinggal di keraton Sultan Buton untuk mendapat pengalaman (pelajaran langsung) dalam
tata cara pemerintahan dan adat Istiadat, juga ditugaskan dalam upacara-upacara (Burhanuddin, B
dkk. 1980/1981: 92 dan 156).
Zaawiyah dibangun pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin (17631788). Bangunan tersebut
merupakan tempat Muhammad Idrus Kaimuddin (kelak menjadi sultan ke-29) mendapat pelajaran
tarekat dari kakeknya (Sultan Kaimuddin). Bekas bangunan zaawiyah masih dapat disaksikan hingga
saat ini.

merupakan bahasa perhubungan dengan kerajaan-kerajaan lain termasuk Belanda,


maupun untuk tulisan-tulisan bahasa Wolio (Burhanuddin, B dkk. 1980/1981: 90).
Lembaga belo baruga mencapai puncak keberhasilan pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, yakni dengan hadirnya pujangga-pujangga Buton
yang mampu menulis dan berbahasa Arab dengan sangat baik. Penguasaan yang baik
terhadap bahasa dan aksara Arab berdampak pada kedudukan bahasa Arab yang semula
sebagai bahasa asing, meningkat menjadi bahasa resmi di lingkungan Kesultanan Buton.
Aksara Arab digunakan dalam menulis surat-surat, perjanjian, ataupun ajaran-ajaran
yang dikembangkan para sultan dan pujangga Buton.
Pengajaran bahasa dan aksara Arab melahirkan beberapa penulis yang menandai
masa baru kesusastraan Buton. Penulis-penulis Buton yang populer, antara lain Sultan
La Elangi, Sapati La Singka, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Kenepulu Bula, dan
seorang perempuan bernama Wa Ode Samarati. Karya sastra yang dihasilkan antara lain
Bula Malino (Bulan yang Terang), Kaluku Panda (Kelapa Pendek), Jaohara (Permata),
Nuru Molabi (Cahaya yang Mulia), Kalipopo Mainawa (Bintang Terang), Bunga Malati
(Bunga Melati), Tula-Tula Koburu (Cerita dari Kubur), Pakeana Mia Arifu (Pakaian
Orang Arif), Ana-Ana Maelu (Anak Yatim Piatu), Wa Hadini (Wa Hadini), Kanturuna
Molingkana (Pelita bagi Orang yang Pergi), dan Ajonga Inda Malusa (Pakaian yang
Tidak Luntur). Bahasa dan aksara yang digunakan para penulis, yakni bahasa Arab
menggunakan aksara Arab, bahasa Melayu menggunakan aksara Arab-Melayu, dan
bahasa Wolio menggunakan aksara Arab Melayu (Niampe, 2000: 1). Oleh masyarakat
Buton, aksara Arab yang dipakai dalam menulis kabanti ataupun naskah lainnya populer

dengan sebutan buri wolio10. Buri wolio merupakan nama aksara Arab yang telah
dimodifikasi para penulis agar dapat menampung semua bunyi konsonan dan vokal
bahasa Wolio yang tidak terdapat di dalam bahasa Arab. Hasil modifikasi bahasa Arab
yang merupakan kolaborasi antara bahasa Arab dengan bunyi-bunyi konsonan dan
vokal bahasa Wolio melahirkan aksara yang populer di Buton dengan nama buri wolio.

Foto 2. Sastra tulis kabanti.11 (Sumber: Dinas Pariwisata Kota Baubau, Provinsi
Sulawesi Tenggara).
Kehadiran para penulis dan pujangga Buton menandai kesuksesan pihak
Kesultanan Buton mengembangkan tradisi tulis. Sastra lisan kabanti yang semula
ditradisikan secara lisan mulai digubah ke dalam naskah-naskah. Isi sastra lisan kabanti
yang semula merupakan potret keseharian masyarakat bergeser ke petuah-petuah adat
dan agama. Nyanyian kabanti berevolusi menjadi pembacaan naskah (tembang). Chalik
(1978/1979: 43) mengungkapkan jika pada pertengahan abad ke-19, para penulis telah
10

11

Buri artinya tulisan, sedangkan Wolio artinya nama daerah yang menjadi pusat pemerintahan
Kesultanan Buton.
Karya sastra Kabanti dan karya tulis lainnya (naskah) menandai keberhasilan keraton Buton
mengembangkan pelajaran bahasa Arab. Karya sastra seperti ini masih dapat dijumpai di beberapa
rumah pribadi masyarakat Buton, khususnya yang bermukim di lingkungan keraton Buton. Beberapa
kalangan masyarakat Buton mengultuskan karya-karya tersebut dengan menyebut karya itu dengan
nama boku tambaga. Boku artinya buku, tambaga artinya tembaga.

10

menggubah sastra lisan Buton menjadi sastra tulis. Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin
disebut sebagai sastrawan Buton yang memiliki kemampuan menulis dalam tiga bahasa,
yaitu bahasa Wolio (Buton), Arab, dan Melayu. Gubahan-gubahannya menjadi bahan
bacaan dan pelajaran yang didendangkan di semua wilayah Kesultanan Buton.
Keberadaan sastra tulis yang merupakan hasil gubahan dari sastra lisan kabanti
mempertegas posisi sastra tulis sebagai sastra keraton. Sebaliknya, sastra lisan kabanti
semakin tergeser hingga ke daerah yang jauh dari keraton, yakni ke daerah kepulauan
Wakatobi (Kepulauan Tukang Besi). Sastra lisan kabanti yang semula sebagai
pertunjukan komunal, tergantikan oleh pertunjukan yang hanya dihadiri kalangan adat
dan tokoh-tokoh kesultanan. Keriuhan yang menjadi ciri pertunjukan sastra lisan
kabanti terganti oleh kekhusuan pembacaan naskah kabanti. Sastra lisan kabanti yang
semula merupakan pertunjukan lisan yang spontan, tergantikan oleh pertunjukan
pembacaan naskah yang mirip dengan pembacaan tembang Macapat yang terdapat di
dalam tradisi masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura.
Tradisi pembacaan naskah kabanti sangat mirip dengan tradisi tembang macapat
(Jawa dan Sunda) atau mamaca (Madura). Sastra tulis kabanti, macapat, dan mamaca
dipertunjukan dengan cara membaca naskah yang telah ditulis sebelumnya. Pembacaan
naskah-naskah tersebut memiliki aturan atau pakem yang wajib diikuti. Saputra (1992:
61) mengatakan pembacaan macapat memunyai aturan tersendiri, yakni dengan
dilagukan. Bouvier12 (2002: 58159) yang meneliti seni musik dan pertunjukan
masyarakat Madura menggambarkan mamaca sebagai puisi yang mula-mula
12

Bouvier (2002) menyebut mamaca seni pertunjukan masyarakat Madura yang diadopsi dari seni
pertunjukan macapat masyarakat Jawa. Pembacaan kabanti mirip dengan pembacaan mamaca dan
macapat.

11

dinyanyikan: suatu cerita (careta), dibaca (dibaca atau maos) dengan dinyanyikan
dalam tembang (tembhang) sambil menambah penjelasan (tegghes). Perbedaan kabanti
dengan mamaca, yakni mamaca disertai dengan penjelasan (tegghes), sedangkan pada
kabanti naskah, hanya berupa pembacaan naskah. Kabanti naskah tidak disertai tegghes
karena kalangan bangsawan keraton mampu memahami isi naskah kabanti.
Kesuksesan keraton Buton melahirkan sastra tulis memunculkan kontradiktif
pada nama sastra tulis tersebut. Jika sastra lisan yang tersingkir populer dengan nama
kabanti, sastra tulis juga menggunakan nama yang sama, yakni kabanti. Naskah prosa
yang ditulis para pujangga Buton menggunakan nama kabanti, padahal sastra tulis
tersebut lahir untuk menggantikan posisi kabanti yang dianggap sebagai sastra yang
bertentangan dengan etika moral dan agama. Pengadopsian nama sastra lisan kabanti
menjadi nama sastra tulis merupakan upaya merebut popularitas nama pertunjukan
kabanti. Dari sudut pandang lain, penggunaan nama kabanti sebagai nama sastra tulis
yang digubah para penguasa Kesultanan Buton merupakan klimaks dari kontestasi
antara sastra lisan yang sosialis dengan sastra tulis yang Islami.
Penggunaan nama kabanti sebagai nama sastra tulis tidak hanya disebabkan oleh
dua hal seperti yang telah dikemukakan di atas. Sastra lisan kabanti diduga bermula dari
sastra lisan keraton yang terganti seiring perubahan kebijakan penguasa di Kesultanan
Buton. Dugaan tersebut didukung oleh proses Islamisasi di Buton yang terjadi dalam
tiga tahap13. Tahap pertama terjadi pada masa Raja La Kilaponto (Sultan pertama), tahap

13

Abdullah membagi Islamisasi Buton dalam tiga tahap, pertama, masa Raja La Kilaponto (Sultan
Pertama), kedua, masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (Sultan keenam), ketiga, masa Sultan Abdul Wahab
(Sultan kelima), 2007, hlm. 107117. Pembagian Islamisasi di Buton menurut Abdullah tersebut
bertolak belakang dengan tulisan Zahari (1997: 107117). Abdullah menyebut Haji Abdul Ganiu yang

12

kedua pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (Sultan keempat), dan tahap ketiga pada
masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan keduapuluh sembilan). Tahapantahapan Islamisasi tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kebijakan penguasa
seiring dengan perubahan tahapan Islamisasi. Kesenian tradisi pada masa Raja La
Kilaponto (sultan pertama) akan tetap bertahan atau justru berubah pada masa Islamisasi
tahap dua pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Begitu pula Islamisasi tahap ketiga
pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang berpotensi melakukan perubahan
tradisi masyarakat yang disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkannya.
Fakta lain yang memperlihatkan sastra lisan kabanti sebagai sastra lisan yang
berasal dari keraton, yakni aksi berbalas pantun dalam pertunjukan kabanti yang
merupakan ciri kemelayuan. Sastra lisan kabanti merupakan karangan prosa yang tetap
memperlihatkan ciri-ciri pantun Melayu. Meskipun beberapa larik kabanti tidak terdapat
sampiran (hanya berupa isi), namun umumnya, larik sastra lisan kabanti terdiri atas
sampiran dan isi. Kemelayuan kabanti juga diketahui dari alat musik yang mengiringi
pertunjukan, yakni gambus yang merupakan alat musik bernuansa Islam, khususnya di
wilayah Nusantara.
Kemungkinan lain penggunaan nama kabanti sebagai nama sastra tulis
merupakan upaya menghapus memori masyarakat atas pertunjukan yang dianggap
bertentangan dengan etika moral dan agama. Penggunaan nama kabanti sebagai nama
naskah (sastra tulis) yang berisi ajaran agama Islam dan pandangan hidup orang Buton
bergelar Kenepulu Bula sebagai pembantu Sultan kelima, sedangkan dalam Zahari, Haji Abdul Ganiu
disebut sebagai pembantu Sultan Idrus Kaimuddin (sultan keduapuluh sembilan). Sultan kelima (Sultan
Abdul Wahhab) tidak lama memimpin Kesultanan Buton karena dewan adat menganggap Sultan Abdul
Wahhab masih terlalu muda dan memiliki kebiasaan menyabung ayam. Lebih jelas mengenai
Islamisasi Buton dapat dilihat dalam Zahari (1977 [I]). hlm. 142147.

13

dinilai sebagai upaya menggiring dan mengikis tradisi lokal yang kurang Islami ke
tradisi yang Islami. Sikap penguasa tersebut dilatari oleh semangat ajaran tasawuf dan
syariat Islam yang diterapkan oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Kebijakan
tersebut menandakan sikap penguasa yang melihat kesenian bukan dari sudut pandang
masyarakat, tetapi dari sudut pandang agama. Kesenian yang merupakan tradisi lokal
disesuaikan dengan ajaran tasawuf seperti yang terjadi pada tari melemang dan joget
dakung di Kepulauan Riau.

Kesimpulan
Upaya menyesuaikan pertunjukan kabanti, dari tradisi lisan menuju tradisi tulis
dan dari budaya lokal menjadi budaya Islam, merupakan rangkaian kontestasi
kesusastraan Buton abad ke-19. Anjuran penguasa yang melarang pertunjukan sastra
lisan tradisi lisan menuju tradisi tulis di sekitar keraton Buton merupakan cara penguasa
menyesuaikan pertunjukan sastra lisan tradisi lisan menuju tradisi tulis menuju
pertunjukan yang lebih Islami. Begitu pula halnya dengan sikap pelaku kabanti lisan
yang menggunakan pakaian bercorak Islam merupakan upaya kooperatif pelaku kabanti
terhadap penguasa Kesultanan Buton. Penggunaan pakaian yang Islami merupakan
upaya membudayaislamkan sastra lisan kabanti dari penilaian sebagai sastra lisan yang
kurang Islami. Melalui negosiasi seperti itu, pelaku kabanti memperoleh ruang
menggelar pertunjukan dan terhindar dari anggapan tidak Islami.

14

Daftar Acuan
Abdullah, Muhammad. 2007. Manuskrip keagamaan dan Islamisasi di Buton abad
1419 dalam Jurnal SARI edisi Juli Manuskrip dunia Melayu (Titik
Pudjiastuti dan Suryadi, editor). Kuala Lumpur: University Kebangsaan
Malaysia Press.
Bouvier, Helene. 2002. Lebur!: Seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura.
(Penerjemah: Rahayu S. Hidayat dan Jean Conteau). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Burhanuddin, B dkk. 1980/1981. Sejarah pendidikan daerah Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chalik, Husen A. 1978/1979. Sejarah kebangkitan nasional daerah Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Malim, La Ode. 1983. Membara di api Tuhan. (Edisi II). Jakarta: Balai Pustaka.
(1981). Kesenian daerah Wolio. Jakarta: Balai Pustaka.
Munafi, La Ode Abdul dan Andi Tenri. 2002. Tradisi perantauan orang Buton: Suatu
kajian strukturalisme. (Laporan Penelitian). Baubau: Universitas Dayanu
Ikhsanuddin.
Niampe, La. 2000. Kabanti oni Wolio (Puisi berbahasa Wolio) II. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
1999. Kabanti oni Wolio (Puisi Berbahasa Wolio) I. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Rohana, Siti. 2006. Tari melemang: Mencari identitas di tengah puing-puing sejarah
Laporan penelitian tentang Kebijakan kebudayaan di masa orde baru. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat dan Kebudayaan LIPI.
Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar sekar macapat. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Zahari, A.M. 1977. Sejarah dan adat fiy darul Butuni. Jilid I, II, dan III. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang terabaikan: Labu rope labu wana. Jakarta:
PT Rajawali Press.

15

Biodata Penulis

Nama: Asrif, mahasiswa program doktoral di Fakultas Ilmu pengetahuan


Budaya Universitas Indonesia, Departemen Susastra, Kekhususan Budaya
Pertunjukan.
Email: asrif_wakatobi@yahoo.co.id

16

Vous aimerez peut-être aussi