Vous êtes sur la page 1sur 20

MATERI PENYULUHAN

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI DAN PERAN SERTA KELUARGA


Kegawatdaruratan Psikiatrik
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran
Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan
intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit
umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi
gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera,
antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
a.
b.
c.
d.
e.

Kondisi gaduh gelisah


Tindak kekerasan (violence)
Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
Delirium

Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan
melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan
oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan
status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan
penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter
di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu,
nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna.
Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi
1

nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami
delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus
ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian
obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,
kelainan

metabolisme,

intoksikasi

atau

gejala

putus

zat

seringkali

menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik


umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan
penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat
mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta
kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di
rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.
Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal
yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya penapisan
toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan tes

laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari


sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum
tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.
A. Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya
menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.
Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran
psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis
(Maramis dan Maramis, 2009):
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Delirium
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizotipal
Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium


Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak
organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.
Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu
penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat
di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan
sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis, pneumonia,
malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya
mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan
3

gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri


(Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya
terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya
terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak,
demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu waktu
menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya
secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti
(Maramis dan Maramis, 2009).
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan
manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit
badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara
mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta
afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya
suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan
(disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi,
psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang =
schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok
gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah
ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping
psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang
inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan
hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam
ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba
kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan psikotik
akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan
kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis bipolar
4

Psikosisbipolar

termasuk

dalam

kelompok

psikosa

afektif

karena

pokok

gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap
berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak
ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis
depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga
menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas
tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa
Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok Fenomena dan
Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia (culture bound
phenomena). Efek malu (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya
seorang pria, sesudah periode meditasi atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia
bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula
terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja
yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir
karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau
karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan
Maramis, 2009).
Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu


Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
Membawa benda-benda tajam atau senjata
Adanya perilaku agitatif
Adanya intoksikasi alkohol atau obat
Adanya pikiran dan perilaku paranoid
Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.
Kegelisahan katatonik
Episode manik
Episode depresi agitatif
5

k.

Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):


a.
b.

Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan


Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 24 tahun, status

c.

sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah


Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat

d.

psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis


Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan katakata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah
dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara
dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi.
Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara
fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi
(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu mengendalikan
psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang
mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok
dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai,
misalnya diazepam (5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa
tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya
mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop,
maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu
kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barangbarang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
6

makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan,
tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.


Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi,
kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah
terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

B. Tindak kekerasan (violence)


Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau
tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai
gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi
tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan

mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),


Intoksikasi alkohol atau zat lain,
7

Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif


Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan

pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),


Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis
otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,


Adanya rencana spesifik,
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
Laki-laki,
Usia muda (15-24 tahun),
Tatus sosioekonomi rendah,
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
Tindakan antisosial lainnya
Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak


kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss
sebagai

dasar

rencana

penatalaksanaan,

termasuk

cara-cara untuk

memperkecil

kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.


Panduan wawancara dan Psikoterapi
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas
bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu
dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan

menyuruh pasien secara provokatif: minum tablet ini sekarang


Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan

penuh kontrol.
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

Evaluasi dan penatalaksanaan


1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang

diri

atau

di

ruang

tertutup.

Lepaskan

hal-hal

yang

bisa

dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.


Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada

anggota staf yang terlatih.


Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa
bahwa anda mengancamnya

Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan


rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan

pernah membelakangi pasien


2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,
-

gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,


Ancaman verbal,
Agitasi psikomotor,
Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
Waham kejar, dan
Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti

garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan
pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan
obat antipsikotik atau benzodiazepin:
-

Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,


Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata

per hari 13-14mg,


Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama.

Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia
epilepsi,

mula-mula

berikan

antikonvulsan

misalnya

carbamazepine

lalu

berikan

benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan


respon yang baik dengan pemberian -blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan
Gitayanti Hadisukanto, 2010)
C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan
dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).

Ada

macam-macam

pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat
dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka
tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan
mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang
lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut
sangat mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di Jepang, puputan di Bali beberapa ratus
tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam
jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak
meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang
cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan
manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
1.

Kematian

sebagai

pelepasan

pembalasan

(Death

as

retaliatory

abandonment).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan
kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat
mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2.

Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as retroflexed


murder).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan
emosi dengan keinginan untuk membunuh.

3.

Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion).


Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu
kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).

4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self punishment).


10

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita,
akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya
sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri
sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa
karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum
diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
l.

Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan
tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode
bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat
tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau
menggunakan racun.

m.

Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka

bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh
diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan
percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
n.

Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras
kulit hitam.

o.

Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian
meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal
juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.

p.

Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko
tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki
resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen
asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh
diri.

q.

Kesehatan fisik
11

Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam 6
bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien
hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r.

Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki
gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%,
dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25%
kecanduan juga kepada alkohol.

s.

Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien
bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan
alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam
satu tahun terakhir.

t.

Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga
merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga
dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a.
Pasien pernah mencoba bunuh diri
b.
Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa
ancaman: kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi (sering dikatakan pada
c.
d.

keluarga)
Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan

e.

lain-lain)
Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan
serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang

f.

miliknya.
Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

12

Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh

dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau
luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara
beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam
pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi
dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan
dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri,
buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi
berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di
ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan
pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila
mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara
rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai
kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang
berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri.
(Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat
pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2
13

minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan
sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.
D. Sindroma Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia
mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang
labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat
berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama
pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari
pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada
pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang
meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat
demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
-

Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Mutism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya
sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan
hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala
klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan
kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas.
Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan
pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot
Faktor resiko

14

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor


predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan,
injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan
antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula
terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik
seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat
di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan
teman-temannya.
Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat

antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.


Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila
demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik

maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan

terjadiny agagal ginjal.


Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian
adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda
atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi


Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45

mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

Peran Serta Keluarga


Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung
pada setiap keadaan sehat maupun sakit pada klien. Keluarga merupakan unit yang
terdekat dengan klien dan merupakan perawat utama bagi klien. Menurut Buchanan
(1982) dalam Keliat (1995) mengemukakan bahwa keluarga adalah tempat dimana individu
memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi
15

pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan dan
perilaku.
Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di
rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah
yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga
sejak awal asuhan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien
di rumah, sehingga kemungkinan kekambuhan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari
berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi
individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku (Clement
dan Buchanan, 1982, hal. 171). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan
umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua
ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu
cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger, 1988). Menurut Sullinger, 1988 dan
Carson/Ross 1987, klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada
tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dan
rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat. Empat faktor
penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger, 1988 :
1. Klien
Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur
(Appleton, 1982, dikutip oleh Sullinger, 1988).
2. Dokter (pemberi resep)
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat
neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat
mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3. Penanggung jawab klien
Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas
program adaptasi klien di rumah.
4. Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang
tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan),
hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan
17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah.
Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat,
menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan).
16

Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam peristiwa terjadinya gangguan


jiwa dan proses penyesuaian kembali setiap klien. Peran serta keluarga dalam proses
pencegahan kekambuhan dan pemulihan pada klien gangguan jiwa sangat diperlukan.
Keluarga juga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah
sakit, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi klien berjalan dengan baik.
(Hadit purwanto)
Peran keluarga Dalam Terapi Lingkungan

1. Distribusi kekuatan.
Keluarga mendistribusikan pengetahuan, pengalaman kepada seluruh anggota keluarga
agar kebutuhan yang dibuat bertujuan yang terbaik untuk klien.
2. Komunikasi terbuka.
Komunikasi dilakukan oleh anggota keluarga untuk mendapatkan informasi guna
menetapkan keputusan.

3. Memperhatikan struktur interaksi. Struktur interaksi meliputi :


a. Sikap bersahabat
b. Penuh prihatin
c. Lembut dan tegas
4. Aktifitas kerja
Diperlukan dorongan yang kuat dari lingkungan dengan jalan mengijinkan pasien untuk
memilih terapi. Akan lebih berarti bila dapat diterapkan pada pekerjaan yang nyata.

5. Penyesuaian lingkungan dengan kebutuhan dan perkembangan klien.


6. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman.
7. Penyelenggaraan proses sosialisasi:
a) Membantu pasien belajar berinteraksi dengan orang lain, mempercayai orang lain,
sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang lain.
b) Mendorong pasien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan perilakunya
secara terbuka sesuai dengan aturan di dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
c) Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan yang
baru, dan dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya pada waktu
yang luang.
d) Penanganan gangguan jiwa harus dilakukan dengan tepat dan tepat serta terencana
terutama keluarga. Menurut Prof. Sasanto dalam Bali Post (2005), salah satu titik
penting untuk memulai pengobatan adalah keberanian keluarga untuk menerima
kenyataan. Mereka juga harus menyadari bahwa gangguan jiwa itu memerlukan
pengobatan sehingga tidak perlu dihubungkan kepercayaan yang macam-macam.
Terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi
medik, namun diperlukan peran keluarga dan masyarakat dibutuhkan guna
resosialisasi dan pencegahan kekambuhan.
e) Beberapa di antaranya untuk menangani keluarga yang menderita gangguan jiwa:
Psikofarmakologi
17

penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah dengan


memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan. Terapi obat diberikan
dalam jangka waktu relatif lama, berbulan bahkan bertahun.
Psikoterapi
terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi
psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas
sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi ini bermacammacam bentuknya antara lain psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan
dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan
semangat juangnya.
f)

Psikoterapi Re-eduktif di maksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang


maksudnya

memperbaiki

kesalahan

pendidikan

di

waktu

lalu,

psikoterapi

rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah


mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit,
psikologi kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir
dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai- nilai moral
etika. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri, psikoterapi keluarga
dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya (Maramis, 1990)
g) Terapi Psikososial
Dengan terapi ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga. Penderita
selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat
psikofarmaka( Hawari, 2007).
h) Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang,
berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab
suci. Menurut Ramachandran dalam Yosep( 2007), telah mengatakan serangkaian
penenelitian terhadap pasien pasca epilepsi sebagian besar mengungkapkan
pengalaman spiritualnya sehingga semua yang dirasa menjadi sirna dan
menemukan kebenaran tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa merasa berdekatan
dengan cahaya illahi.
i)

Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali
kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi)
18

rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan
berbagai

kegiatan

antara

lain;

dengan

terapi

kelompok

yang

bertujuan

membebaskan penderita dari stress dan dapat membantu agar dapat mengerti jelas
sebab dari kesukaran dan membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang
lebih baik dan dapt diterima oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah
keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olah raga, keterampilan,
berbagai macam kursus, bercocok tanam, rekreasi (Maramis, 1990). Pada umumnya
program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan
evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program
rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan
ke masyarakat (Hawari, 2007). Selain itu peran keluarga juga penting, keluarga
adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling banyak
tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien.
Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan
pasien. (Yosep, 2007). Alasan utama pentingnya keluarga dalam perawatan jiwa
adalah:
j)

Keluarga merupakan lingkup yang paling banyak berhubungan dengan penderita


Keluarga dianggap paling mengetahui kondisi penderita.

k) Gangguan jiwa yang timbul pada pasien mungkin disebabkan adanya cara asuh
yang kurang sesuai bagi penderita.
l)

Penderita yang mengalami gangguan jiwa nantinya akan kembali kedalam


masyarakat; khususnya dalam lingkungan keluarga.

m) Keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai pemenuhan


kebutuhan dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa bagi penderita.
n) Gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama, sehingga pengertian
dan kerjasama keluarga sangat penting artinya dalam pengobatan.
o) Menurut Harmoko (2011), hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga dalam
perawatan Gangguan Jiwa:
p) Penderita yang mengalami gangguan jiwa adalah manusia yang sama dengan orang
lainnya; mempunyai martabat dan memerlukan perlakuan manusiawi.
q) Penderita yang mengalami gangguan jiwa mungkin dapat kembali ke masyarakat
dan berperan dengan optimal apabila mendapatkan dukungan yang memadai dari
seluruh unsur masyarakat. Pasien gangguan jiwa bukan berarti tidak dapat
sembuh.
r) Penderita dengan gangguan jiwa tidak dapat dikatakan sembuh secara utuh, tetapi
memerlukan bimbingan dan dukungan penuh dari orang lain dan keluarga keluarga
dapat meningkatkan kemandirian dan pengoptimalan peran dalam masyarakat bagi
19

penderita. Penderita memerlukan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari seperti


makan, minum dan berpakaian serta kebersihan diri dengan optimal. Keluarga
berperan

untuk

membantu

pemenuhan

kebutuhan

ini

sesuai

tahap-tahap

kemandirian pasien.
s) Kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah (ringan), membantu usaha
keluarga atau bekerja (seperti orang normal lainnya) merupakan salah satu bentuk
terapi pengobatan yang mungkin berguna bagi pasien.
t)

Berperan secukupnya pada penderita sesuai dengan tingkat kemampuan yang


dimiliki. Pemberian peran yang sesuai dapat meningkatkan harga diri klien gangguan
jiwa.

Berilah motivasi sesuai dengan kebutuhan dalam rangka meningkatkan moral dan harga
diri. Kembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh penderita pada waktu yang lalu.
Kemampuan masa lalu berguna untuk menstimulasi dan meningkatkan fungsi penderita
sedapat mungkin.

DAFTAR PUSTAKA
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

20

Vous aimerez peut-être aussi