Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan
melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan
oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan
status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan
penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter
di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu,
nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna.
Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi
1
nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami
delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus
ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian
obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,
kelainan
metabolisme,
intoksikasi
atau
gejala
putus
zat
seringkali
Delirium
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizotipal
Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
Amok
Psikosisbipolar
termasuk
dalam
kelompok
psikosa
afektif
karena
pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap
berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak
ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis
depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga
menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas
tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa
Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok Fenomena dan
Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia (culture bound
phenomena). Efek malu (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya
seorang pria, sesudah periode meditasi atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia
bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula
terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja
yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir
karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau
karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan
Maramis, 2009).
Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
c.
d.
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan katakata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah
dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara
dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi.
Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara
fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi
(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu mengendalikan
psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang
mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok
dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai,
misalnya diazepam (5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa
tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya
mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop,
maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu
kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barangbarang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
6
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan,
tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).
dasar
rencana
penatalaksanaan,
termasuk
cara-cara untuk
memperkecil
penuh kontrol.
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
diri
atau
di
ruang
tertutup.
Lepaskan
hal-hal
yang
bisa
garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan
pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan
obat antipsikotik atau benzodiazepin:
-
Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia
epilepsi,
mula-mula
berikan
antikonvulsan
misalnya
carbamazepine
lalu
berikan
Ada
macam-macam
pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat
dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka
tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan
mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang
lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut
sangat mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di Jepang, puputan di Bali beberapa ratus
tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam
jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak
meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang
cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan
manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
1.
Kematian
sebagai
pelepasan
pembalasan
(Death
as
retaliatory
abandonment).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan
kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat
mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2.
3.
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita,
akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya
sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri
sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa
karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum
diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
l.
Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan
tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode
bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat
tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau
menggunakan racun.
m.
Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka
bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh
diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan
percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
n.
Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras
kulit hitam.
o.
Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian
meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal
juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
p.
Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko
tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki
resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen
asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh
diri.
q.
Kesehatan fisik
11
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam 6
bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien
hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r.
Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki
gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%,
dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25%
kecanduan juga kepada alkohol.
s.
Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien
bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan
alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam
satu tahun terakhir.
t.
Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga
merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga
dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a.
Pasien pernah mencoba bunuh diri
b.
Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa
ancaman: kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi (sering dikatakan pada
c.
d.
keluarga)
Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
e.
lain-lain)
Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan
serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang
f.
miliknya.
Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
12
Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh
dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau
luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara
beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam
pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi
dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan
dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri,
buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi
berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di
ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan
pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila
mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara
rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai
kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang
berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri.
(Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat
pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2
13
minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan
sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.
D. Sindroma Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia
mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang
labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat
berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama
pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari
pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada
pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang
meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat
demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
-
Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Mutism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya
sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan
hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala
klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan
kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas.
Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan
pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot
Faktor resiko
14
maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan
Terapi Psikofarmaka
mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan dan
perilaku.
Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di
rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah
yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga
sejak awal asuhan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien
di rumah, sehingga kemungkinan kekambuhan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari
berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi
individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku (Clement
dan Buchanan, 1982, hal. 171). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan
umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua
ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu
cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger, 1988). Menurut Sullinger, 1988 dan
Carson/Ross 1987, klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada
tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dan
rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat. Empat faktor
penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger, 1988 :
1. Klien
Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur
(Appleton, 1982, dikutip oleh Sullinger, 1988).
2. Dokter (pemberi resep)
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat
neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat
mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3. Penanggung jawab klien
Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas
program adaptasi klien di rumah.
4. Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang
tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan),
hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan
17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah.
Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat,
menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan).
16
1. Distribusi kekuatan.
Keluarga mendistribusikan pengetahuan, pengalaman kepada seluruh anggota keluarga
agar kebutuhan yang dibuat bertujuan yang terbaik untuk klien.
2. Komunikasi terbuka.
Komunikasi dilakukan oleh anggota keluarga untuk mendapatkan informasi guna
menetapkan keputusan.
memperbaiki
kesalahan
pendidikan
di
waktu
lalu,
psikoterapi
Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali
kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi)
18
rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan
berbagai
kegiatan
antara
lain;
dengan
terapi
kelompok
yang
bertujuan
membebaskan penderita dari stress dan dapat membantu agar dapat mengerti jelas
sebab dari kesukaran dan membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang
lebih baik dan dapt diterima oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah
keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olah raga, keterampilan,
berbagai macam kursus, bercocok tanam, rekreasi (Maramis, 1990). Pada umumnya
program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan
evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program
rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan
ke masyarakat (Hawari, 2007). Selain itu peran keluarga juga penting, keluarga
adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling banyak
tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien.
Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan
pasien. (Yosep, 2007). Alasan utama pentingnya keluarga dalam perawatan jiwa
adalah:
j)
k) Gangguan jiwa yang timbul pada pasien mungkin disebabkan adanya cara asuh
yang kurang sesuai bagi penderita.
l)
untuk
membantu
pemenuhan
kebutuhan
ini
sesuai
tahap-tahap
kemandirian pasien.
s) Kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah (ringan), membantu usaha
keluarga atau bekerja (seperti orang normal lainnya) merupakan salah satu bentuk
terapi pengobatan yang mungkin berguna bagi pasien.
t)
Berilah motivasi sesuai dengan kebutuhan dalam rangka meningkatkan moral dan harga
diri. Kembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh penderita pada waktu yang lalu.
Kemampuan masa lalu berguna untuk menstimulasi dan meningkatkan fungsi penderita
sedapat mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
20