Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I

PENDAHULUAN
Pre eklampsia merupakan penyakit pada kehamilan yang ditandai oleh peningkatan
tekanan darah dan proteinuria. Penyakit ini mengenai 3-5% ibu hamil dan merupakan
penyebab utama kematian ibu hamil. Pengaruhnya pada ibu hamil bervariasi dari hipertensi
ringan, hipertensi berat/krisis hipertensi, eklampsia sampai sindroma HELLP (hemolysis,
elevated liver enzyme, and low platelet count), sedangkan dampak kelainan ini pada janin
juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat), sampai
kematian janin. Penyebab yang pasti dari pre eklampsia sampai saat ini belum jelas, namun
ada beberapa teori tentang sindroma klinis pre eklampsia itu. Hipotesis yang telah diterima
secara luas oleh para ahli tentang munculnya sindroma klinis pre eklampsia adalah teori
iskemik plasenta yang disebabkan oleh kegagalan invasi tropoblas ke dalam arteri spirales,
sehingga menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi terganggu. Iskemik plasenta
tersebut pada akhirnya menyebabkan terlepasnya beberapa mediator molekuler yang
mempengaruhi fungsi endotel (Hubel, 2000).
Plasenta sebagai trigger pada kelainan yang mengancam kelangsungan hidup ibu
hamil dan janin yang dikandungnya, sehingga pengobatan definitif untuk pre eklampsia
adalah melahirkan plasentanya, yang berarti melahirkan janinnya. Namun seringkali kita
berhadapan dengan pre eklampsia yang terjadi pada kehamilan yang prematur sehingga
untuk menghindari risiko morbiditas prematur, kita mengambil sikap konservatif dengan
menunda persalinan. Sikap ini bukannya tanpa risiko sebab perburukan kondisi ibu dan
janin bisa terjadi setiap saat, yang dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Akan
tetapi bila terdapat indikasi untuk dilakukan perawatan aktif yang pada akhirnya harus
dilakukan terminasi kehamilan maka keputusan ini tentu harus dipilih. Karena
penyebabnya belum diketahui, maka diperlukan upaya-upaya untuk menemukan kasus
secara dini, dengan mengawasi orang-orang yang berisiko mendapat pre eklampsia, sampai
saat ini telah ada beberapa faktor resiko yang terbukti berperan dalam patogenesis pre
eklampsia. Dengan pendekatan preventive medicine yaitu dengan mengenal faktor risiko,
mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi pre eklampsia kejadian pre eklampsia dan
kematian akibat pre eklampsia dapat diturunkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pre Eklampsia
Pre eklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang disertai proteinuria dan/atau edema
yang terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu
daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosa pre eklampsia, kenaikan tekanan
sistolik meningkat 15 mmHg atau mencapai 140 Hg atau lebih, dengan tekanan diastolik
naik 15 mmHg atau mencapai 90 mmHg atau lebih. Proteinuria berarti konsentrasi protein
dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/L dalam air kencing 24 jam, atau dalam
pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1~+2 atau lebih. Edema yang merupakan akumulasi
cairan ekstravaskuler yang bersifat bebas, saat ini tidak lagi dipakai sebagai syarat untuk
menegakkan pre eklampsia, karena sebagian besar wanita hamil normal mengalami tanda
ini, namun apabila ada edema hal ini perlu diwaspadai akan munculnya pre eklampsia di
kemudian hari.
2.2 Epidemiologi Pre Eklampsia
Pada umumnya pre eklampsia merupakan suatu penyakit bagi wanita nulipara, dengan
wanita berumur di bawah 20 tahun memiliki insiden lima kali lebih besar daripad mereka
yang berusia di atas 20 tahun. 85% dari semua kasus pre eklampsia adalah wanita nulipara,
walaupun morbiditas dan mortalitasnya lebih tinggi pada multipara dengan umur tua. Efek
menguntungkan dari multiparitas ini dalam kaitannya dengan kejadian pre eklampsi belum
diketahui dengan jelas, mungkin sebagian berhubungan dengan paparan imunologis yang
berulang dari janin dengan ibu. Yang menarik ditemukan bahwa efek protektif dari
multiparitas ini hilang bila ayah dari janin yang dikandung saat ini tidak sama dengan ayah
dari anak terdahulu, sehingga hal ini mungkin menunjukkan adanya suatu mekanisme imun
sebagai basis dari pre eklampsia. (Solomon, 2004)
Di seluruh dunia WHO melaporkan kejadian pre eklampsia berkisar 3 5% dengan
beberapa variasi di beberapa tempat. Sibai (1997), melakukan penelitian multisenter di
Inggris dan menemukan kejadian pre eklampsia sebesar 7,6%. Marcola (2002),
menemukan kejadian pre eklampsia di Dublin, Irlandia sebesar 2%. Di Amerika Serikat
dilaporkan kejadian pre eklampsia sekitar 3-10% dari seluruh kehamilan. Laporan kejadian
pre eklampsia di Indonesia juga bervariasi antara 3, 4-8,5% Sudinaya (2000), di RS

Tarakan kejadian pre eklampsia sebesar 3,86% dari seluruh persalinan dalam kurun waktu
tersebut. Sedangkan dari 23 kematian ibu di RS Sanglah selama kurun waktu 3 tahun
(2002 2004) ditemukan 6 kematian ibu (26%) kematian ibu yang berhubungan dengan
pre eklampsia / eklampsia.
2.3 Patogenesis Pre Eklampsia
Penyebab pasti dari sindroma pre eklampsia sampai saat ini belum pasti, karena itu
terminologi diseases of theory masih melekat pada sindroma ini, sampai saat ini masih
banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mempelajari patogenesis penyakit ini.
Walker (2000), menjelaskan bahwa manifestasi klinis dari pre eklampsia ini diawali
dengan adanya proses patologis yang terjadi di plasenta (plancental trigger) dan endotel
sebagai organ yang terlibat baik sebagai objek maupun subjek. Pengobatan empiris yang
ada sekarang ditujukan untuk memperbaiki kerusakan plasenta dan endotel.
Beberapa teori patogenesis berikut telah diterima secara luas yang dapat
menerangkan sebagian dari sindroma klinis pre eklampsia (hipertensi, proteinuria, dan
edema), sebagai berikut
1.

Teori kegagalan invasi tropoblas (kegagalan remodeling arteria spirales)


Pada kehamilan, pembentukan plasenta hemokorial dan pemeliharaan kehamilan

tergantung dari proses proliferasi, migrasi, dan invasi tropoblas ke dalam desidua maternal
dan miometrium pada masa kehamilan yang sangat dini. Proses invasi tropoblas ini
menyebabkan transformasi atau perubahan dari arteria spirales yang mensuplai darah ke
ruang intervili. Perubahan yang dimaksud adalah pelebaran lumen arteria spirales yang
disebabkan oleh digantinya lapisan endotel dan lamina elastik internal oleh tropoblas,
sehingga pembuluh dari membentuk sinusoid-sinusoid, yang bersifat low pressure dan
high flow system yang memungkinkan suplai darah ke plasenta dan fetus. Sampai
sekarang mekanisme invasi tropoblas pada kehamilan yang normal dan tidak normal masih
kontroversi, disebabkan karena penelitian tentang arteria spirales, sebagian besar
melibatkan analisis imunohistokimia dari biopsi plasenta, dimana in vitro sangat sulit
mencari model yang cocok untuk melihat secara langsung interaksi seluler pada proses
invasi. Kenny (2004), mengemukakan bahwa pada plasenta, cytotropoblast stem cells
berdiferensiasi menjadi 2 populasi sel yang berbeda secara fisik dan fungsi.
Pada trimester pertama, cytotropoblast stem cells akan membentuk lapisan
sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk sederetan topoblas yang invasif, yang

menyusun vili koriales yang disebut anchoring villous tropoblast. Cytotropoblast di


dalam vili tersebut akan menembus sinsitium pada beberapa tempat sehingga membentuk
suatu kelompok sel berlapis yang disebut extravilous tropoblast cells. Kelompok sel
inilah yang secara fisik menghubungkan plasenta dengan dinding uterus ibu.
Perkembangan selanjutnya dari sel tropoblas ekstravilus itu akan mengikuti 2 jalur, jalur
pertama yaitu sel-sel tersebut menginvasi dinding uterus (interstitial invasion) dan jalur
kedua adalah sel-sel itu menembus pembuluh dara (endowascular). Invasi endovaskuler ke
arteria spirales ini merupakan bagian yang sangat penting pada proses ini, dimana
peristiwa ini terjadi paling awal pada umur kehamilan 4 6 minggu, terjadi dalam dua
gelombang, gelombang pertama menembus pembuluh darah di desidua dan yang kedua
menembus pembuluh darah pada tingkat miometrium. Penelitian akhir-akhir ini
membuktikan dari sediaan biopsi plasenta ternyata ditemukan banyak pembuluh darah
miometrial yang mengandung tropoblas pada umur kehamilan 10 12 minggu.
Pada penelitian imunohistokimia dari biopsi plasenta, terbukti bahwa se-sel
tropoblas itu menebus dinding pembuluh darah dan mengalami migrasi sepanjang lumen
pembuluh darah, berjalan di sepanjang endotelnya dan menggantikan posisi endotel dan
lapisan muskularis dari pembuluh darah itu. Perubahan fisik arteria seperti itu
menyebabkan suatu kondisi sirkulasi darah yang high flow dan low resistone sehingga
aliran darah ke plasenta menjadi sangat besar. walaupun peran tropoblas itu sangat besar
dalam proses remodeling arteria spirales, namun peranan sel-sel lain dalam pembuluh
darah juga sangat penting, mislanya peran sel endotel, sel molekul perekat (cells adhesion
molecule/CAM), dan enzim-enzim yang menghancurkan matriks ekstraseluluer. Pada pre
eklampsia, terjadi kegagalan proses invasi, sehingga plasenta menjadi iskemik akibat
kurangnya aliran darah ke plasenta.
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan kegagalan proses invasi tropoblas.
Teori pertama adalah teori tekanan oksigen. Teori ini menjelaskan bahwa selama trimester
pertama awal diferensial tropoblas terjadi pada situasi dimana tekanan oksigen rendah.
Pada sekitar umur kehamilan 10 12 minggu kehamilan, pada saat mana sudah terjadi
hubungan antara ruang intevilus dengan darah ibu, maka tekanan oksigen meningkat.
Peningkatan tekanan oksigen pada saat ini berhubungan dengan saat invasi tropoblas
maksimal ke desidua maternal, yang mana situasi ini memungkinkan sel tropoblas
ekstravilus untuk melakukan remodeling arteria spirales. Pada keadaan pre eklampsia
terjadi pengeluaran Hypoxta Induced-Factor / (HIF-1) yang merupakan faktor yang

mengaktivasi Transforming Griwth Factor beta 3 (TGF-beta 3), yang merupakan


inhibitor proliferasi tropoblas. Dengan adanya peningkatan kedua substansi tersebut akan
terjadi kegagalan invasi tropoblas.
Teori kedua yang mencoba menjelaskan kegagalan invasi tropoblas adalah teori
Angiogenesis, teori ini menyatakan bahwa kelangsungan hidup embrio sangat tergantung
dari aliran darah. Ini berarti bahwa harus ada pembuluh darah sebagai perantara yang
menghantarkan darah dari desidua maternal ke embrio yang sedang berkembang. Dengan
demikian diperlukan proses pembentukan pembuluh darah atau sistem vaskuler yang
disebut vaskulogenesis dan angiogenesis sebagai jawaban terhadap kebutuhan embrio
terhadap oksigen dan nutrisi. Vaskulogenesis merupakan suatu proses pembentukan
pembuluh darah baru, yang merupakan hasil dari interaksi prekursor angioblas dengan
berbagai protein, diantaranya adalah Cell Adesian Molecules, Extracellular Matrix
Components, Transeription Factor, Angiogenic Growth Factors, dan reseptor-reseptornya.
Sedangkan Angiogenesis adalah pembentukan cabang-cabang baru dari pembuluh darah
utama, yang terjadi pada proses implantasi dan plasentasi. Ada tiga fase pada vaskulodiferensiasi. Fase inisiasi dimulai minggu ke-3 pasca konsepsi, dimana pada saat ini mulai
terbentuk vaskularisasi vili plasenta, pohon vili yang terbentuk pada saat ini terdiri dari vili
primer (solid tropoblastic villi) dan vili sekunder 9jaringan mesenkim yang longgar yang
berasal dari extra embryonic coelomie cavity). Sebelum terbentuknya pembuluh darah
yang pertama, sel-sel Hofbauer menghasilkan angiogenic growth factors, dimana
kehadirannya pada saat yang sangat dini. Diperlukan untuk inisiasi vaskulogenesis ini.
Beberapa dari angigenic growth factors itu adalah vascular endothelial growth factor
(VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF) dan placenta growth factor (PIGF). VEGF
merupakan suatu protein penting yang berfungsi sebagai reulator pertumbuhan dn fungsi.
Disrupsi dari gen yang mengkode VEGF telah terbukti menyebabkan .gangguan
pembentukan dan perkembangan karidovaskuler yang menyebabkan kematian embrio. Aa
banyak tipe dari VEGF ini, namun VEGF tipe 165 merupakan VEGF yang paling kuat
dalam perannya sebagai stimulator proliferasi sel endoted, diferensiasi, invasi tropoblas,
dan juga melepaskan mediator yang bersifat vasorelaksan (Chung, 2004) . Segera setelah
terbentuknya pembuluh darah pertama, fase proliferasi-invasi terjadi dengan terbentuknya
cabang-cabang pembuluh darah, branching, yang ditandai dengan peningkatan vsklator
vili, peristiwa ini berakhir sampai akhir trimester pertama. Kemudian sejak umur
kehamilan 26 minggu sampai aterm pertumbuhan pembuluh darah vili memasuki fase

maturasi diferensiasi, pada saat ini percabangan kapiler darah tidak lagi (non branching
angiogeniesis), vili berkembang mejadi matang, yang memungkinkan vili dapat melakukan
pertukaran gas. Saat ini telah diketahui pula adanya suatu protein anti angiogenik yang
beredar di dalam darah penderita pre eklampsia, protein tersebut adalah soluble fins-like
tyrosine kinase (sflt-1). Protein ini bertindak sebagai antagonis faktor angiogenik, dengan
cara mengikat reseptor PLGF dan VEGF, sehingga peran keduanya dalam prolifersu dan
invasi tropoblas menjadi kurang. Richard Levien (2004) melaporkan hasil penelitiannya
tentang perbedaan kadar sflt-1 pada penderita pre eklampsia dan kehamilan normal,
didapatkan kadar sflt-1 pada pre eklampsia lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan kehamilan normal, keadaan ini sudah terjadi 5 minggu sebelum onset sindroma pre
eklampsia muncul.
2.

Teori iskemik plasenta, radikal bebas, dan kerusakan endoted


Seperti yang dijelaskan di atas, pada pre eklampsia terjadi kegagalan invasi

tropoblas ke dalam arteria spirales, sehingga terjadi hipoperfusi plasenta. Keadaan ini
menyebabkan iskemik plasenta, plsaenta yang mengalami iskemik ini akan menghasilkan
oksidan yang disebut juga radikal bebas. Radikal bebas atau oksidan ini adalah hasil dari
metabolisme oksigen yang mempunyai sifat reaktif, sangat labil karena mempunyai
elektron bebas yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga radikal bebas ini
akan mencari pasangannya atau bereaksi dengan molekul lainnya untuk mencari pasangan
elektron sehingga bentuknya menjadi lebih stabil. Radikal bebas yang jumlahnya paling
banyak adalah molekul oksigen dengan 2 elektron yang tidak berpasangan, disamping
bentuk lainnya seperti anion superoksida (O2) dan radikal hidroksil (OH). Asam lemak tak
jenuh merupakan pasangan yang paling dicari oleh radikal bebas ini, dari reaksi itu akan
terbentuk perioksida lipid. Pasangan yang dicari oleh radikal bebas itu akan memberikan
elektronnya, akibatnya pasangan itu pun akan menjadi radikal bebas lagi dan seterusnya
sehingga terjadi apa yang disebut reaksi berantai radikal bebas. Asam lemak tak jenuh
terdapat di membran endoted, sehinga dengan terbentuknya peroksida lipid itu maka terjadi
kehancuran sel endoted dan lebih jauh dapat masuk sampai DN sel yang selanjutnya dapat
menyebabkan kerusakan atau mutasi DNA, sehingga sel kehilangan fungsi biologik. Yang
amat menakutkan akibat kerusakan sel ialah tidak berfungsinya pompa ion, dengan akibat
masuknya Na+ ke dalam sel yang mempercepat edema dan kematian sel (Gulardi, 2002).
Hipotesis yang penting pada patogenesis pre eklampsia adalah terdapatnya senyawa yang
dihasilkan oleh jaringan plasenta yang disebut radikal bebas (oksidan) yang masuk ke

sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan fungsi endotel dianggap
sebagai penyebab utama timbulnya gejala pre eklampsia seperti hipertensi, proteinuiria,
dan aktivasi sistem koagulasi (Wibowo, 2002). Endotel merupakan organ terluas dalam
tubuh manusia, yang terdapat sepanjang dinding setelah dalam pembuluh darah. Endotel
ini berperan penting untuk mengontrol aliran darah dan tahanan perifer, melalui mediatormediator kimiawi yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kimiawi, dan fisik,
yaitu: NO, PG12, dan EDHF yang semuanya bersifat vasodilator. Selain itu endotel juga
berperan dalam proses trombosis, dengan demikian peran endotel bukan saja sebagai barier
mekanik antara plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler, tetapi mempunyai
fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran darah serta mekanisme
pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel harus mampu merespon situasi stress
fisik (tekanan oksigen) yang buruk atau situasi patologik yang buruk, seperti iskemik dan
hipolasia.
Pada pre eklampsia dimana terjadi kerusakan endotel maka fungsi endotel sebagai
barier mekanik hilang sehingga terjadi kebocoran endotel yang bearkibat ekstravasasi
cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fiingsi endotel untuk memproduksi PGI2 dan
NO juga menurun sehingga terjadi vasokonstriksi dengan akibat peningkatan tekanan
darah (Wareing & Preek, 2004).
3. Teori maladaptasi imunologik
Adanya faktor imunologik yang berperan dalam munculnya sindroma klinis pre
ekiampsia telah terbukti dengan adanya fakta baliwa primigravida mempunyai risiko lebih
besar dibandingkan dengan multigravida, dari kenyataan ini muncul anggapan bahwa pre
eklampsia adalah "the disease of first pregnancy", namun fakta itu menjadi hilang apabila
seorang ibu multipara menikah lagi, maka ia akan mempunyai risiko menderita pre
ekiampsia yang lebih besar dibandingkan apabila pasangan/suaminya tetap. Fenomena ini
kemudian melahirkan teori "the disease of first paternity". Hasil konsepsi berasal dari 2
komponen, dari ayah dan ibu. Dengan demikian seharusnya hasil konsepsi ditolak oleh ibu,
namun pada kehamilan normal terjadi adapatasi, dimana "human leucocyte antigen-G"
berperan dalam modulasi respon imun, dengan adanya HLA ini maka tropoblas tidak dapat
dikenali oleh mekanisme imun ibu, sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan baik,
tidak demikian halnya dengan pre eklampsia dimana telah dibuktikan bahwa HLA
jumlahnya menurun atau terdapat HLA dalam bentuk Iain, sehingga terjadi penolakan

sebagian dari ibu terhadap komponen plasenta. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang
ibu hamil ada dalam keadaan imunokompeten, dan plasenta merupakan barier sehingga
fetus rerselamarkan dari reaksi imunologik maternal, namun pendapat ini tidak seluruhnya
benar, karena sesungguhnya komponen penting dan pertama kali muncul adalah
tropboblas, sehingga fokus penolakan terhadap "konseptus sebagai benda asing"
sebenarnya adalah penolakan terhadap tropoblasnya (Dikman, 2003; Crocker 2004).
Teori maladaptasi imun ini juga berlaku apabila ibu berganti suami, dimana
kemungkinan menderita pre eklampsia pada ibu tersebut akan meningkat. Fenomena ini
pertama kali dijelaskan oleh Robillard (1993), yang dalam penelitiannya menemukan
kejadian pre ekiampsia sebesar 61,7% pada multigravida dengan suami baru dibandingkan
dengan kejadian pre eklampsia sebesar 16,6% pada multigravida dengan partner sama.
Oleh karena itu, Robillard mengemukakan bahwa faktor suami berperan dalam pre
eklampsia. Diduga baliwa paparan spemiatozoa memberikan efek protektif untuk pre
eklampsia, dalam arti makin lama seseorang mendapatkan paparan spermatozoa maka
kemungkinan terjadinya pre eklampsia akan semakin menurun. Hal ini telah dibuktikan
oleh Gus Dekker (2002) bahwa seorang wanita yang mendapatkan paparan spermatozoa
selama 0-4 bulan sebelum hamil maka kemungkinan kehamilannya mengalami pre
eklampsia sebesar 11,6 kali, sedangkan bila paparan spennatozoa terjadi 5-8 bulan maka
kemungkinan menjadi pre eklampsia sebesar 5,9 kali, dan bila paparan spennatozoa itu
terjadi lebih dari 9 bulan sebelum hamil maka kemungkinan menjadi pre eklampsianya
menjadi 4,2 kali.
Mekanisme yang pasti belum jelas namun diduga bahwa deposisi cairan semen di
traktus genitalia wanita dapat merangsang respon inflamasi, dimana terjadi peningkatan
TGFB1, kemudian merangsang pelepasan GM-CSF, dan menghambat respon Th| dan
merangsang aktifitas Th2, sehingga aktifitas sitokin proinflamasi menjadi berkurang.
Demikian juga paparan spennatozoa itu dapat merangsang makrofag desidual, yang dapat
menghambat aktifitas NK cell melalui pelepasan TGFB, IL-10, dan PGE2. Seperti
diketahui bahwa pada pre eklampsia terjadi peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF
alfa, 11-6, dan 11-8 (Robertson 2002).
4. Teori defisiensi mikronutrien
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa pre eklampsia berhubungan
dengan adanya defisiensi beberapa mikronutrien, misalnya kekurangan asam folat, vitamin

C dan E, kalsium dan asam lemak tak jenuh. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan
disfungsi endotei dan aterosklerosis melalui kondisi hiperhomosisteinemia. Homosistein
mempakan asam amino yang mengandung gugus S yang dibentuk dalam proses
metabolisme metionin. Pembentukan homosistein ini melalui 2 jalur, jalur pertamayaitu
jalur remetilasi dimana homosistein dibentuk dengan bergabungnya gugus metil yang
diberikan oleh 5 metil tetrahidrofolat sebagai donor metil, reaksi ini dikatalisator oleh
vitamin B12 dan enzim metionin siritase. Bila asam folat kurang maka terjadi kekurangan 5
metil tetrahidrofolat, sehingga terjadi penumpukkan homosistein dalam darah. Jalur yang
kedua adalah pemecahan homosistein menjadi sistationon dan sistein melalui jalur
transulfiirasi yang membutuhkan vitamin B6.
Cotter (2001), membandingkan kadar homosistein pada pre eklampsia (56 kasus)
dengan non pre eklampsia (112 kasus) dan mendapatkan kadar homosistein lebih
tinggi secara bermakna pada pre eklampsia (9,8umol/L) dibandingkan dengan kadar
homosistein pada hamil nomial (8,4 umol/L). Demikian juga penelitian yang dilakukan
Jayakusuma di RS Sanglah pada tahun 2004 dengan membandingkan kadar asam folat
dan homosistein pada masing masing 30 kasus pre eklampsia dan hamil normal,
didapatkan kadar asam folat pada kehamilan dengan pre eklampsia lebih rendah
(12,3 ng/ml) secara bermakna (pO.05) dibandingkan dengan kehamilan normal (14,2
ng/ml), didapatkan korelasi negatif yang bermakna antara kadar asam folat dan
homosistein, demikian juga kadar asam folat ternyata mempunyai korelasi negatif
yang bermakna dengan tekanan darah sistolik, yang berarti bahwa makin rendah kadar
asam folat maka tekanan darah sistoliknya makin tinggi.
2.4 Diagnosis dan Penatalaksanaan Pre Eklampsia
Diagnosis pre eklampsia ringan ditegakkan jika terdapat gejala sebagai berikut.
1.

Hipertensi
a. Tekanan darah > 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110
b. Kenaikan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
c. Kenaikan tekanan darah diastolik > 15 mmHg

2.

Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2


Pre eklampsia berat didiagnosis bila didapatkan satu atau lebih gejala di bawah ini.
Sedangkan pre eklampsia berat jika didapatkan satu atau lebih gejala di bawah ini,

1. Tekanan darah sistol > 160 mmHg dan diastol > 110 mmHg. Tekanan darah ini

tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring
1.

Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau kualitatif +4

2.

Oligouria. Jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang
disertai kenaikan kadar kreatinin darah

3.

Adanya keluhan subjektif


a.

Gangguan visus: mata berkunang-kunang

b.

Gangguan serebral: kepalapusing

c.

Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen

d.

Hiperefleks

4.

Adanya sindroma HELLP

5.

Sianosis

6.

PJT

Penatalaksanaan Pre Eklampsia Ringan


1.

Rawat jalan (pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu)


a.

Banyak istirahat (berbaring/tidur miring)

b.

Diet biasa

c.

Dilakukan pemeriksaan fetal assessment (USG dan NST) setiap 2 minggu

d.

Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, homosistein, urin lengkap,


fungsi ginjal, gula darah acak

e.

Kunjungan ulang setiap 1 minggu

f.

Jika terdapat peningkatan proteinuria dirawat sebagai pre eklampsia berat

2.

Rawat tinggal
a.

Kriteria untuk rawat tinggal

Hasil fetal assessment meragukan atau jelek sehingga dalam hal


ini hams dilakukan tenninasi

Kecenderungan menuju pre eklampsia berat

Bila dalam dua kali kunjungan tidak ada perbaikan (2 minggu)

b.

Evaluasi atau pengobatan selama rawat tinggal

Tirah baring total

Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, homosistein, fungsi


hati/ginjal, urin lengkap

10

3.

Dilakukan fetal assessment

Dilakukan pemeriksaan indeks gestosis

Evaluasi hasil pengobatan


Pada dasarnya evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan hasil dari fetal assessment.
Bila didapatkan hasil:
a.

Jelek, dilakukan tenninasi kehamilan

b.

Ragu-ragu, dilakukan evalasi tilang NST kesejahteraan janin, 1 hari


kemudian

c.

Baik

Penderita dirawat sekurang-kurangnya 4 hari

Bila preterm penderita dipulangkan

Bila aterm dengan PS baik (lebih dan 5), dilakukan terminasi


dengan drip oksitosin

d.

Bila didapatkan keluhan subjektif seperfi di bawah ini, dirawat sebagai pre
eklampsia berat

Nyeri ulu hati

Mata berkunang-kunang

Iritabel

Sakit kepala

e.

Bila umur kehamilan atenn (lebih dari 37 mg) Iangsung dilakukan tenninasi
kehamilan

Penatalaksaaan Pre Eklampsia Berat


1.

Perawatan konservatif
a.

Bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa adanya keluhan subjektif
dengan keadaan janin baik.

b.

Pengobatan dilakukan di kamar bersalin (selama 24 jam)


1)

Tirah baring

2)

Infus ringer laktat yang mengandung 5% dekstrose, 60-125 cc/jam

3)

Pemberian MgSO4

11

Dosis awal MgSO4 40% 10 gr (im), dilanjutkan dengan MgSO4


40% 5 gr (im) tiap 6 jam sampai dengan 24 jam

Dosis pemeliharaan: MgSO4 40% 5 gr tiap 6 jam sampai 24 jam

Ingat, harus selalu tersedia Ca glukonas 10% sebagai antidotum


Diberikan antihipertensi, yang digunakan adalah:

4)

Bila sistolik > 180 mmHg atau diastolik >110 mmHg, digunakan
injeksi 1 ampul clonidine yang dilarutkan dengan 10 cc larutan. Mula-mula
disuntikan 5 cc perlahan-lahan selama 5 menit, 5 menit kemudian tekanan
darah diukur, bila belum ada penuriman maka diberikan lagi 5 cc intravena
dalam 5 menit sampai tekanan diastolik normal, dilanjutkan dengan
nifedipine 3x10 mg

Bila tekanan darah sistolik < 180 mmHg dan diastolik < 110
mmHg, antihipertensi yang diberikan adalah nifedipine 3x10 mg

5)

Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu (fungsi hati dan ginjal), dan


jumlah produksi urine 24 jam 6). Konsultasi dengan bagian penyakit dalam,
bagian mata, bagian jantung, dan yang lain sesuai dengan indikasi

c.

Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (selama 24 jam
di ruang bersalin)
1)

Tirah baring

2)

Medikamentosa

3)

Pemerikaan laboratorium: darah lengkap dan hapusan darah tepi,


homosistein, fungsi ginjal dan hati, urine lengkap, produksi urine 24 jam,
penimhangan berat badan setiap hari dan indeks gestosis

4)

Diet biasa

5)

Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (USG/NST/Doppler USG)

d.

Perawatan konservatif dianggap gagal bila:


1)

Adanya tanda-tanda impending eklampsia (keluhan subjektif)

2)

Kenaikan progresif dari tekanan darah

3)

Adanya sindroma HELLP

4)

Adanya kelainan fiingsi ginjal

5)

Penilaian kesejahteraan janin jelek

12

e.

Penderita boleh pulang bila penderita sudah mencapai perbaikan dengan tandatanda pre eklampsia ringan, perawatan dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 3
hari lagi

f.

Bila keadaan penderita tetap, dilakukan pematangan paru dilanjutkan dengan


terminasi

2.

Perawatan aktif
a. Indikasi:
1)

Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek

2)

Adanya keluhan subjektif

3)

Adanya sindroma HELLP

4)

Kehamilan aterm (sama dengan atau lebih dari 37 mg)

5)

Apabila perawatan konservatif gagal

6)

Dalam 24 jam setelah pengobatan konservatif di kamar bersalin tekanan


darah tetap > 160/110 mmHg

b. Pengobatan medisinal
1)

Segera rawat inap

2)

Tirah baring miring ke satu sisi

3)

Infus ringer laktat yang mengandung dekstrose 5%, 60-125 cc/jam

4)

Pembenan anti kejang MgSO4, dosis awal MgSO4 20%, 4 gr (iv) dan
MgSO4 40% 10 gr (im), dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan MgSO 4 40% 5
g (im) setiap 6 jam s/d 24 jam pasca persalinan

5)

Pembenan anti hipertensi berupa clonidine (iv) dilanjutkan dengan


nifedipine 3x10 mg atau metildopa 3 x 250 mg, dapat dipertimbangkan bila:

Sistolik > 180 mmHg

Diastolik > 110 mmHg

c. Pengobatan obstetrik
1)

Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif setiap penderita dilakukan


pemeriksaan kesejahteraan janin

2)

Tindakan sektio sesaria dilakukan bila:

Hasil kesejahteraan janin jelek

Penderita belum inpartu dengan PS jelek (kurang dari 5)

Kegagalan drip oksitosin

13

3)

Induksi dengan drip oksitosin dikerjakan dengan NST baik dan PS baik

4)

Pada pre eklampsia berat persalinan harus terjadi dalam 24 jam

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

3.2

Identitas Pasien
Nama

: Nur Ariyani

Jenis kelamin

: perempuan

Umur

: 17 tahun

Status Perkawinan

: menikah

Agama

: Islam

Pendidikan

: tamat SLTA

Pekerjaan

: wiraswasta

Alamat

: Banjar Batur, Ubung, Denpasar

MRS

: 29 Mei 2007 pukul 23.50 wita

Anamnesis
Pasien rujukan Klinik dan Rumah Bersalin Nurjaya (Jl. Raya Sempidi 35) dengan
G1P0000 + PE Berat+Inpartu
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah bersalin karena sudah merasa sakit perut. Setelah
pemeriksaan di rumah bersalin didapatkan pasien dalam keadaan inpartu
dengan PE Berat. Tekanan darah 170/110 dan edema pada kedua kaki,
sehingga pasien kemudian dirujuk ke RS Sanglah. Pasien mengeluh nyeri
perut, keluar darah campur lendir. Keluhan keluar air disangkal. Pasien juga
mengeluh agak pusing, sedangkan keluhan penglihatan kabur, pandangan
berkunang-kunang disangkal oleh penderita.
HPHT : 23/08/2006
TP

: 21/05/2007

14

ANC : Bidan, teratur (setiap bulan), USG (-)


Tekanan darah diketahui tinggi setelah diperiksa di klinik/rumah bersalin
Nurjaya.
Riwayat Persalinan
Kehamilan pertama saat ini
Riwayat Pernikahan
Menikah satu kali selama satu tahun
Riwayat Kontrasepsi
Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Asma, DM, hipertensi, penyakit jantung disangkal
3.3

Pemeriksaan Fisik (30/05/07 ~ pkl. 00.45)


Status present
TD

: 170/110 mmHg (MABP: 145 mmHg)

Nadi

: 88 x/mnt

: 20 x/mnt

Tax

: 370C

TB/BB : 157cm/64kg
Status general
Keadaan Umum

: baik

Mata

: anemia -/-, ikterik -/-

Thoraks
Jantung

: S1S2 tunggal, reguler, tidak ada murmur

Paru

: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

: sesuai status obstetri

Ekstremitas

: edema - / -, refleks patella +/+


+/+

Status obstetri
Abdomen

: His (+) 2 3 x/10mnt ~ 30 35 dtk


Tinggi fundus uteri 3 jari bawah pusat (29 cm)
Letak bujur, penurunan 4/5
DJJ (+) 13 12 12

15

Vagina

: (01.00 setelah pemberian MgSO4)


Pembukaan 2cm effiscement 40% ketuban (+)
Teraba kepala, sutura sagitalis melintang
Penurunan bidang Hodge I (+)
Tidak teraba bagian kecil/ tali pusat
Evaluasi panggul normal

3.4

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 29/05/2007
Kimia Klinik
Fungsi Ginjal:
Ureum: 30,0 mg/dL

BUN: 14 mg/dL

Creatinin: 0,7 mg/dL

Fungsi Hepar:
Bilirubin total: 5,9 g/dL

SGOT (AST): 66/L

SGPT (AST): 89 U/L

Bilirubin direk: 2,26 g/dL

Albumin: 4,4 g/dL

Globulin: 2,7 g/dL

Alkali Fosfatase: 293 U/L


Urinalisis
Protein +4
Hematologi Rutin
WBC: 11,5x103/uL
HGB: 11,9 g/dL
HCT: 36,0 %
PLT: 298x103/uL
3.5

Diagnosis
G1P0000 39-40mg T/H PK I dengan PE Berat

3.6

Penatalaksanaan
Tx.

:
-

IVFD D 5% 20 tetes per menit

MgSO4 sesuai protap RS Sanglah

Nifedipine

Ekspektasi per vaginam

3x10mg

16

Mx

KIE
3.7

Kelola dengan Partograf WHO

Refleks Patella

Tanda vital

Keseimbangan cairan masuk keluar

Tanda-tanda impending eklampsia

Kesejahteraan janin : gerak anak, DJJ

: pasien dan keluarga mengenai rencana tindakan.

Perjalanan penyakit
30/05/2007 (Pukul: 01.00 wita)
S: Pusing (+)
O: St Present
TD: 150/90 mmHg, N: 88 x/mnt, R: 20 x/mnt
St Generalis
Mata: anemis -/Thoraks: jantung/paru dbn.
St Obstetri
Abdomen:
His (+) 2-3x/10 mnt ~ 30-35dtk
DJJ (+) 12.13.12
Vagina:
Pembukaan 2cm effiscement 40% ketuban (+)
Teraba kepala, sutura sagitalis melintang
Penurunan bidang Hodge I (+)
Tidak teraba bagian kecil/ tali pusat
Evaluasi panggul normal
A: G1P0000 40mg T/H PEB PK I
P:

- IVFD D 5%
- Injeksi MgSO4 20% 4 g bolus i.v. pelan-pelan, dilanjutkan MgSO4 40% 10
g secara bergantian bokong kanan bokong kiri, kemudian MgSO4 40%
5g tiap 6 jam s.d. 24 jam pasca persalinan.

17

30/05/2007 (Pukul: 05.00 wita)


S: keluhan (-)
O:

TD: 120/80 mmHg N: 80 x/mnt R: 20 x/mnt


His (+) 2-3x/10mnt ~ 35-40dtk
DJJ (+) 12.12.13
Vagina:
Pembukaan 3cm eff 50% ketuban (+)
Teraba kepala UUK kiri melintang, penurunan bidang Hodge I +
Tak teraba bagian kecil/tali pusat

A: G1P0000 40mg T/H PEB PK I


P:

- MgSO4 sesuai protap


- Ekspektasi per vaginam
- Nifedipine 3 x 10mg bila MAP > 126 mmHg
- monitoring sesuai partograf WHO

30/05/2007 (Pukul: 09.00 wita)


S: keluhan (-)
O:

TD: 120/80 mmHg N: 80 x/mnt R: 20 x/mnt


His (+) 3x/10mnt ~ 35-40dtk
DJJ (+) 13.12.13
Vagina:
Pembukaan 4cm eff 50% ketuban (+)
Teraba kepala UUK kiri melintang, penurunan bidang Hodge I +
Tak teraba bagian kecil/tali pusat
Panggul normal

A: G1P0000 40mg T/H PEB PK I


P:

- MgSO4 sesuai protap


- Ekspektasi per vaginam
- Nifedipine 3 x 10mg bila MAP > 126 mmHg
- monitoring sesuai partograf WHO

30/05/2007 (Pukul: 13.00 wita)


S: keluhan (-)

18

O:

TD: 120/80 mmHg N: 80 x/mnt R: 20 x/mnt


His (+) 3-4x/10mnt ~ 40-45dtk
DJJ (+) 12.12.13
Vagina:
Pembukaan 8cm eff 75% ketuban (+)
Teraba kepala UUK kiri depan, penurunan bidang Hodge II
Tak teraba bagian kecil/tali pusat
Panggul normal

A: G1P0000 40mg T/H PEB PK I


P:

- MgSO4 sesuai protap


- Ekspektasi per vaginam
- Nifedipine 3 x 10mg bila MAP > 126 mmHg
- monitoring sesuai partograf WHO

30/05/2007 (Pukul: 17.00 wita)


S: pasien ingin mengedan
O:

TD: 120/80 mmHg N: 80 x/mnt R: 20 x/mnt


His (+) 4x/10mnt ~ 45-50dtk
DJJ (+) 12.11.12
Vagina:
Pembukaan lengkap, ketuban (-)
Teraba kepala UUK kiri depan, penurunan bidang Hodge III
Tak teraba bagian kecil/tali pusat
Panggul normal

A: G1P0000 40mg T/H PEB PK II


P: pimpin persalinan
30/05/2007 (Pukul: 17.10 wita)
Lahir dengan Partus Spt B, bayi perempuan BBL: 2700g AS: 8-9
kelainan (-), anus (+)
(Pukul: 17.15 wita) Lahir plasenta, kesan komplit, kalsifikasi (-)
30/05/2007 (Pukul: 19.00 wita)

19

S: keluhan (-)
O: St Present
TD: 140/90 mmHg, N: 80 x/mnt, R: 20 x/mnt
St Generalis
Mata: anemis -/Thoraks: jantung/paru dbn.
St Obstetri
Abdomen:
Kontraksi uterus (+) baik
Vagina:
Perdarahan (-)
A: P1001 PP PEB
P:

- MgSO4 40% 5g tiap 6 jam s.d. 24 jam pasca persalinan.


- Monitoring keluhan, tanda vital, perdarahan.

20

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1

Penegakan Diagnosis Preeklampsia

Pada Kasus ini, pasien tampaknya memiliki kesadaran akan pentingnya asuhan antenatal,
sehingga pasien mengaku memeriksakan diri secara teratur sebulan sekali ke bidan.
Terakhir ke bidan pada tanggal 22 Mei 2007, karena saat itu merupakan tanggal perkiraan
partus, namun pasien belum merasakan tanda-tanda persalinan. Pada pemeriksaan ini tidak
ditemukan tanda-tanda pasti adanya pre eklampsia. Pada pasien hanya didapatkan edema
pada kedua tungkai dengan tekanan darah 120/80 mmHg sesuai dengan rata-rata tekanan
darah pada pemeriksaan sebelumnya.
Pasien baru merasakan sakit perut pada tanggal 29 Mei 2007 pukul. 19.00 wita dan
sesuai petunjuk bidan pada pemeriksaan sebelumnya, pasien segera pergi ke rumah
bersalin. Pada pemeriksaan di rumah bersalin pasien didapatkan dalam keadaan inpartu
dengan tekanan darah saat itu 170/110 mmHg. Dengan demikian pasien didiagnosis
dengan PE berat ditambah adanya keluhan pusing yang baru dirasakan pasien kira-kira tiga
hari sebelumnya. Keputusan bidan di rumah bersalin sudah tepat dengan segera merujuk
pasien ke RS Sanglah untuk memastikan diagnosis dan penanganan lebih lanjut.
Untuk memastikan diagnosis di RS Sanglah dilakukan pemeriksaan Hematologi
rutin, urine rutin, dan fungsi hati, serta fungsi ginjal. Dari pemeriksaan urine didapatkan
protein kualitatif +4 sehingga dengan demikian diagnosis pre eklampsia dapat ditegakkan.
Dari pemeriksaan hematologi rutin tidak didapatkan adanya tanda-tanda terjadinya
hemolisis yaitu penurunan Hb dan HCT yang bermakna. Sekalipun tampak adanya
peningkatan enzim hati di atas normal, namun masih berada dalam batas yang
mencerminkan belum adanya kerusakan hati. Demikian pula fungsi ginjal masih normal,
yang ditunjukkan oleh konsentrasi ureum dan kreatinin yang masih dalam batas normal.
Pasien didiagnosis dengan G1P0000 39-40mg T/H dengan pre eklampsia berat PK I.

21

Diagnosis pre eklampsia berat dapat ditegakkan karena pada pasien didapatkan tekanan
darah 170/110mmHg (sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 110 mmHg), adanya
proteinuria + 4 dan dikeluhkan adanya gejala subjektif yaitu sakit kepala/pusing. Pada
kasus ini tidak didapatkan terjadinya sindroma HELLP.
4.2

Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

Setelah didiagnosis dengan G1P0000 39-40mg T/H dengan PE berat PK I maka dilakukan
perawatan aktif karena usia kehamilan sudah lebih dari 37 minggu dan dalam keadaan
inpartu, sehingga dengan demikian memungkinkan dilakukan terminasi kehamilan dalam
waktu 24 jam. Pasien segera dirawat inap kemudian dipasang infus D5%. Diberikan anti
kejang MgSO4 dengan dosis awal MgSO4 20% 4g (i.v) dan MgSO4 40% 10g (i.m.),
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan MgSO4 40% 5g (i.m.) setiap 6 jam s.d. 24 jam
pasca persalinan. Pemberian MgSO4 pada pasien ini sudah sesuai dengan prosedur tetap
yang diterapkan di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah. Untuk mengatasi
hipertensinya diberikan Nifedipine 3x10mg oral. Antihipertensi intravena berupa clonidine
tidak diberikan pada pasien ini karena tekanan darah sistoliknya tidak melebihi 180 mmHg
sekalipun diastoliknya 110 mmHg. Hal ini dilakukan karena ditakutkan apabila clonidine
diberikan dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat atau justru terjadi hipotensi
dan syok, sedangkan pasien berada dalam keadaan inpartu. Bila hal ini terjadi maka akan
berbahaya bagi janin, ibu, dan proses melahirkannya. Pemberian nifedipine dapat
dipertimbangkan karena nifedipine hanya berefek menurunkan tekanan darah yang tinggi
saja dia atas 160mmHg, namun tidak akan berefek pada tekanan darah yang rendah.
Karena itu nifedipine dapat diberikan untuk mengendalikan tekanan darah pasien yang
tinggi.
Selama perawatan dilakukan monitoring terhadap efek samping dari MgSO4
dengan melihat refleks patella. Pada pasien ini tidak ada tanda intoksikasi MgSO4 selama
pemberian. Kesejahteraan janin baik selama perawatan ditunjukkan dengan denyut jantung
janian yang baik. Pada pasien ini tidak diperlukan lagi induksi persalinan dengan drip
oksitosin. Hanya menunggu sampai pasien dapat dipimpin mengedan dan pasien siap
sebelum 24 jam. Tidak ada kesulitan yang memperlama kala II pada persalinannya
sehingga tidak diperlukan percepatan kala II dengan EF sebagaimana yang biasa
direncanakan pada kasus-kasus pre eklampsia berat. Setelah persalinan tekanan darah
pasien mulai kembali normal. Walau demikian MgSO4 terus dilanjutkan selama 24 jam

22

untuk mencegah terjadinya eklampsi pasca persalinan. Nifedipine juga dilanjutkan untuk
menghindari terjadinya rebound phenomenon dari hipertensinya.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1

Kesimpulan
Dari pembahasan kasus di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1.

Penegakan diagnosis pada kasus pre eklampsia sudah dapat dilakukan dengan baik.
Hal ini ditunjang oleh ketepatan petugas kesehatan yang menangani ibu hamil
pertama kali dalam merujuk pasiennya sehingga tidak terjadi keterlambatan dalam
perawatan.

2.

penatalaksanaan pasien pre eklampsia berat sudah sesuai dengan menerapkan


perawatan aktif pada pasien dalam keadaan inpartu dan usia kehamilan di atas 37
minggu.

3.

Pemilihan

antihipertensi

sudah

dipertimbangkan

dengan

baik,

dengan

memperhatikan efek dan kemungkinan terjadi pada pemberiannya.


5.2

Saran
Berikut beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan pada kehamilan.

1.

Petugas kesehatan perlu meyakinkan pasien dan keluarganya mengenai pentingnya


pemeriksaan yang diperlukan selama kehamilan seperti USG. Hasil pemeriksaan
USG dapat memastikan keadaan kesejahteraan janin, posisi janin, keadaan plasenta
dan jalan lahir yang sangat diperlukan dalam memutuskan proses persalinan yang
akan dipilih ibu. Terutama apabila diperlukan penanganan penyakit yang
membutuhkan

terminasi

kehamilan,

maka

adanya

informasi

data

yang

lengkapmakan mempercepat pengambilan keputusan.


2.

kualitas penatalaksanaan pasien dengan pre eklampsia berat harus dipertahankan


untuk mencegah terjadinya kematian ibu dan janin.

23

Vous aimerez peut-être aussi