Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pre eklampsia merupakan penyakit pada kehamilan yang ditandai oleh peningkatan
tekanan darah dan proteinuria. Penyakit ini mengenai 3-5% ibu hamil dan merupakan
penyebab utama kematian ibu hamil. Pengaruhnya pada ibu hamil bervariasi dari hipertensi
ringan, hipertensi berat/krisis hipertensi, eklampsia sampai sindroma HELLP (hemolysis,
elevated liver enzyme, and low platelet count), sedangkan dampak kelainan ini pada janin
juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat), sampai
kematian janin. Penyebab yang pasti dari pre eklampsia sampai saat ini belum jelas, namun
ada beberapa teori tentang sindroma klinis pre eklampsia itu. Hipotesis yang telah diterima
secara luas oleh para ahli tentang munculnya sindroma klinis pre eklampsia adalah teori
iskemik plasenta yang disebabkan oleh kegagalan invasi tropoblas ke dalam arteri spirales,
sehingga menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi terganggu. Iskemik plasenta
tersebut pada akhirnya menyebabkan terlepasnya beberapa mediator molekuler yang
mempengaruhi fungsi endotel (Hubel, 2000).
Plasenta sebagai trigger pada kelainan yang mengancam kelangsungan hidup ibu
hamil dan janin yang dikandungnya, sehingga pengobatan definitif untuk pre eklampsia
adalah melahirkan plasentanya, yang berarti melahirkan janinnya. Namun seringkali kita
berhadapan dengan pre eklampsia yang terjadi pada kehamilan yang prematur sehingga
untuk menghindari risiko morbiditas prematur, kita mengambil sikap konservatif dengan
menunda persalinan. Sikap ini bukannya tanpa risiko sebab perburukan kondisi ibu dan
janin bisa terjadi setiap saat, yang dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Akan
tetapi bila terdapat indikasi untuk dilakukan perawatan aktif yang pada akhirnya harus
dilakukan terminasi kehamilan maka keputusan ini tentu harus dipilih. Karena
penyebabnya belum diketahui, maka diperlukan upaya-upaya untuk menemukan kasus
secara dini, dengan mengawasi orang-orang yang berisiko mendapat pre eklampsia, sampai
saat ini telah ada beberapa faktor resiko yang terbukti berperan dalam patogenesis pre
eklampsia. Dengan pendekatan preventive medicine yaitu dengan mengenal faktor risiko,
mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi pre eklampsia kejadian pre eklampsia dan
kematian akibat pre eklampsia dapat diturunkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pre Eklampsia
Pre eklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang disertai proteinuria dan/atau edema
yang terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu
daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosa pre eklampsia, kenaikan tekanan
sistolik meningkat 15 mmHg atau mencapai 140 Hg atau lebih, dengan tekanan diastolik
naik 15 mmHg atau mencapai 90 mmHg atau lebih. Proteinuria berarti konsentrasi protein
dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/L dalam air kencing 24 jam, atau dalam
pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1~+2 atau lebih. Edema yang merupakan akumulasi
cairan ekstravaskuler yang bersifat bebas, saat ini tidak lagi dipakai sebagai syarat untuk
menegakkan pre eklampsia, karena sebagian besar wanita hamil normal mengalami tanda
ini, namun apabila ada edema hal ini perlu diwaspadai akan munculnya pre eklampsia di
kemudian hari.
2.2 Epidemiologi Pre Eklampsia
Pada umumnya pre eklampsia merupakan suatu penyakit bagi wanita nulipara, dengan
wanita berumur di bawah 20 tahun memiliki insiden lima kali lebih besar daripad mereka
yang berusia di atas 20 tahun. 85% dari semua kasus pre eklampsia adalah wanita nulipara,
walaupun morbiditas dan mortalitasnya lebih tinggi pada multipara dengan umur tua. Efek
menguntungkan dari multiparitas ini dalam kaitannya dengan kejadian pre eklampsi belum
diketahui dengan jelas, mungkin sebagian berhubungan dengan paparan imunologis yang
berulang dari janin dengan ibu. Yang menarik ditemukan bahwa efek protektif dari
multiparitas ini hilang bila ayah dari janin yang dikandung saat ini tidak sama dengan ayah
dari anak terdahulu, sehingga hal ini mungkin menunjukkan adanya suatu mekanisme imun
sebagai basis dari pre eklampsia. (Solomon, 2004)
Di seluruh dunia WHO melaporkan kejadian pre eklampsia berkisar 3 5% dengan
beberapa variasi di beberapa tempat. Sibai (1997), melakukan penelitian multisenter di
Inggris dan menemukan kejadian pre eklampsia sebesar 7,6%. Marcola (2002),
menemukan kejadian pre eklampsia di Dublin, Irlandia sebesar 2%. Di Amerika Serikat
dilaporkan kejadian pre eklampsia sekitar 3-10% dari seluruh kehamilan. Laporan kejadian
pre eklampsia di Indonesia juga bervariasi antara 3, 4-8,5% Sudinaya (2000), di RS
Tarakan kejadian pre eklampsia sebesar 3,86% dari seluruh persalinan dalam kurun waktu
tersebut. Sedangkan dari 23 kematian ibu di RS Sanglah selama kurun waktu 3 tahun
(2002 2004) ditemukan 6 kematian ibu (26%) kematian ibu yang berhubungan dengan
pre eklampsia / eklampsia.
2.3 Patogenesis Pre Eklampsia
Penyebab pasti dari sindroma pre eklampsia sampai saat ini belum pasti, karena itu
terminologi diseases of theory masih melekat pada sindroma ini, sampai saat ini masih
banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mempelajari patogenesis penyakit ini.
Walker (2000), menjelaskan bahwa manifestasi klinis dari pre eklampsia ini diawali
dengan adanya proses patologis yang terjadi di plasenta (plancental trigger) dan endotel
sebagai organ yang terlibat baik sebagai objek maupun subjek. Pengobatan empiris yang
ada sekarang ditujukan untuk memperbaiki kerusakan plasenta dan endotel.
Beberapa teori patogenesis berikut telah diterima secara luas yang dapat
menerangkan sebagian dari sindroma klinis pre eklampsia (hipertensi, proteinuria, dan
edema), sebagai berikut
1.
tergantung dari proses proliferasi, migrasi, dan invasi tropoblas ke dalam desidua maternal
dan miometrium pada masa kehamilan yang sangat dini. Proses invasi tropoblas ini
menyebabkan transformasi atau perubahan dari arteria spirales yang mensuplai darah ke
ruang intervili. Perubahan yang dimaksud adalah pelebaran lumen arteria spirales yang
disebabkan oleh digantinya lapisan endotel dan lamina elastik internal oleh tropoblas,
sehingga pembuluh dari membentuk sinusoid-sinusoid, yang bersifat low pressure dan
high flow system yang memungkinkan suplai darah ke plasenta dan fetus. Sampai
sekarang mekanisme invasi tropoblas pada kehamilan yang normal dan tidak normal masih
kontroversi, disebabkan karena penelitian tentang arteria spirales, sebagian besar
melibatkan analisis imunohistokimia dari biopsi plasenta, dimana in vitro sangat sulit
mencari model yang cocok untuk melihat secara langsung interaksi seluler pada proses
invasi. Kenny (2004), mengemukakan bahwa pada plasenta, cytotropoblast stem cells
berdiferensiasi menjadi 2 populasi sel yang berbeda secara fisik dan fungsi.
Pada trimester pertama, cytotropoblast stem cells akan membentuk lapisan
sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk sederetan topoblas yang invasif, yang
maturasi diferensiasi, pada saat ini percabangan kapiler darah tidak lagi (non branching
angiogeniesis), vili berkembang mejadi matang, yang memungkinkan vili dapat melakukan
pertukaran gas. Saat ini telah diketahui pula adanya suatu protein anti angiogenik yang
beredar di dalam darah penderita pre eklampsia, protein tersebut adalah soluble fins-like
tyrosine kinase (sflt-1). Protein ini bertindak sebagai antagonis faktor angiogenik, dengan
cara mengikat reseptor PLGF dan VEGF, sehingga peran keduanya dalam prolifersu dan
invasi tropoblas menjadi kurang. Richard Levien (2004) melaporkan hasil penelitiannya
tentang perbedaan kadar sflt-1 pada penderita pre eklampsia dan kehamilan normal,
didapatkan kadar sflt-1 pada pre eklampsia lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan kehamilan normal, keadaan ini sudah terjadi 5 minggu sebelum onset sindroma pre
eklampsia muncul.
2.
tropoblas ke dalam arteria spirales, sehingga terjadi hipoperfusi plasenta. Keadaan ini
menyebabkan iskemik plasenta, plsaenta yang mengalami iskemik ini akan menghasilkan
oksidan yang disebut juga radikal bebas. Radikal bebas atau oksidan ini adalah hasil dari
metabolisme oksigen yang mempunyai sifat reaktif, sangat labil karena mempunyai
elektron bebas yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga radikal bebas ini
akan mencari pasangannya atau bereaksi dengan molekul lainnya untuk mencari pasangan
elektron sehingga bentuknya menjadi lebih stabil. Radikal bebas yang jumlahnya paling
banyak adalah molekul oksigen dengan 2 elektron yang tidak berpasangan, disamping
bentuk lainnya seperti anion superoksida (O2) dan radikal hidroksil (OH). Asam lemak tak
jenuh merupakan pasangan yang paling dicari oleh radikal bebas ini, dari reaksi itu akan
terbentuk perioksida lipid. Pasangan yang dicari oleh radikal bebas itu akan memberikan
elektronnya, akibatnya pasangan itu pun akan menjadi radikal bebas lagi dan seterusnya
sehingga terjadi apa yang disebut reaksi berantai radikal bebas. Asam lemak tak jenuh
terdapat di membran endoted, sehinga dengan terbentuknya peroksida lipid itu maka terjadi
kehancuran sel endoted dan lebih jauh dapat masuk sampai DN sel yang selanjutnya dapat
menyebabkan kerusakan atau mutasi DNA, sehingga sel kehilangan fungsi biologik. Yang
amat menakutkan akibat kerusakan sel ialah tidak berfungsinya pompa ion, dengan akibat
masuknya Na+ ke dalam sel yang mempercepat edema dan kematian sel (Gulardi, 2002).
Hipotesis yang penting pada patogenesis pre eklampsia adalah terdapatnya senyawa yang
dihasilkan oleh jaringan plasenta yang disebut radikal bebas (oksidan) yang masuk ke
sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan fungsi endotel dianggap
sebagai penyebab utama timbulnya gejala pre eklampsia seperti hipertensi, proteinuiria,
dan aktivasi sistem koagulasi (Wibowo, 2002). Endotel merupakan organ terluas dalam
tubuh manusia, yang terdapat sepanjang dinding setelah dalam pembuluh darah. Endotel
ini berperan penting untuk mengontrol aliran darah dan tahanan perifer, melalui mediatormediator kimiawi yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kimiawi, dan fisik,
yaitu: NO, PG12, dan EDHF yang semuanya bersifat vasodilator. Selain itu endotel juga
berperan dalam proses trombosis, dengan demikian peran endotel bukan saja sebagai barier
mekanik antara plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler, tetapi mempunyai
fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran darah serta mekanisme
pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel harus mampu merespon situasi stress
fisik (tekanan oksigen) yang buruk atau situasi patologik yang buruk, seperti iskemik dan
hipolasia.
Pada pre eklampsia dimana terjadi kerusakan endotel maka fungsi endotel sebagai
barier mekanik hilang sehingga terjadi kebocoran endotel yang bearkibat ekstravasasi
cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fiingsi endotel untuk memproduksi PGI2 dan
NO juga menurun sehingga terjadi vasokonstriksi dengan akibat peningkatan tekanan
darah (Wareing & Preek, 2004).
3. Teori maladaptasi imunologik
Adanya faktor imunologik yang berperan dalam munculnya sindroma klinis pre
ekiampsia telah terbukti dengan adanya fakta baliwa primigravida mempunyai risiko lebih
besar dibandingkan dengan multigravida, dari kenyataan ini muncul anggapan bahwa pre
eklampsia adalah "the disease of first pregnancy", namun fakta itu menjadi hilang apabila
seorang ibu multipara menikah lagi, maka ia akan mempunyai risiko menderita pre
ekiampsia yang lebih besar dibandingkan apabila pasangan/suaminya tetap. Fenomena ini
kemudian melahirkan teori "the disease of first paternity". Hasil konsepsi berasal dari 2
komponen, dari ayah dan ibu. Dengan demikian seharusnya hasil konsepsi ditolak oleh ibu,
namun pada kehamilan normal terjadi adapatasi, dimana "human leucocyte antigen-G"
berperan dalam modulasi respon imun, dengan adanya HLA ini maka tropoblas tidak dapat
dikenali oleh mekanisme imun ibu, sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan baik,
tidak demikian halnya dengan pre eklampsia dimana telah dibuktikan bahwa HLA
jumlahnya menurun atau terdapat HLA dalam bentuk Iain, sehingga terjadi penolakan
sebagian dari ibu terhadap komponen plasenta. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang
ibu hamil ada dalam keadaan imunokompeten, dan plasenta merupakan barier sehingga
fetus rerselamarkan dari reaksi imunologik maternal, namun pendapat ini tidak seluruhnya
benar, karena sesungguhnya komponen penting dan pertama kali muncul adalah
tropboblas, sehingga fokus penolakan terhadap "konseptus sebagai benda asing"
sebenarnya adalah penolakan terhadap tropoblasnya (Dikman, 2003; Crocker 2004).
Teori maladaptasi imun ini juga berlaku apabila ibu berganti suami, dimana
kemungkinan menderita pre eklampsia pada ibu tersebut akan meningkat. Fenomena ini
pertama kali dijelaskan oleh Robillard (1993), yang dalam penelitiannya menemukan
kejadian pre ekiampsia sebesar 61,7% pada multigravida dengan suami baru dibandingkan
dengan kejadian pre eklampsia sebesar 16,6% pada multigravida dengan partner sama.
Oleh karena itu, Robillard mengemukakan bahwa faktor suami berperan dalam pre
eklampsia. Diduga baliwa paparan spemiatozoa memberikan efek protektif untuk pre
eklampsia, dalam arti makin lama seseorang mendapatkan paparan spermatozoa maka
kemungkinan terjadinya pre eklampsia akan semakin menurun. Hal ini telah dibuktikan
oleh Gus Dekker (2002) bahwa seorang wanita yang mendapatkan paparan spermatozoa
selama 0-4 bulan sebelum hamil maka kemungkinan kehamilannya mengalami pre
eklampsia sebesar 11,6 kali, sedangkan bila paparan spennatozoa terjadi 5-8 bulan maka
kemungkinan menjadi pre eklampsia sebesar 5,9 kali, dan bila paparan spennatozoa itu
terjadi lebih dari 9 bulan sebelum hamil maka kemungkinan menjadi pre eklampsianya
menjadi 4,2 kali.
Mekanisme yang pasti belum jelas namun diduga bahwa deposisi cairan semen di
traktus genitalia wanita dapat merangsang respon inflamasi, dimana terjadi peningkatan
TGFB1, kemudian merangsang pelepasan GM-CSF, dan menghambat respon Th| dan
merangsang aktifitas Th2, sehingga aktifitas sitokin proinflamasi menjadi berkurang.
Demikian juga paparan spennatozoa itu dapat merangsang makrofag desidual, yang dapat
menghambat aktifitas NK cell melalui pelepasan TGFB, IL-10, dan PGE2. Seperti
diketahui bahwa pada pre eklampsia terjadi peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF
alfa, 11-6, dan 11-8 (Robertson 2002).
4. Teori defisiensi mikronutrien
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa pre eklampsia berhubungan
dengan adanya defisiensi beberapa mikronutrien, misalnya kekurangan asam folat, vitamin
C dan E, kalsium dan asam lemak tak jenuh. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan
disfungsi endotei dan aterosklerosis melalui kondisi hiperhomosisteinemia. Homosistein
mempakan asam amino yang mengandung gugus S yang dibentuk dalam proses
metabolisme metionin. Pembentukan homosistein ini melalui 2 jalur, jalur pertamayaitu
jalur remetilasi dimana homosistein dibentuk dengan bergabungnya gugus metil yang
diberikan oleh 5 metil tetrahidrofolat sebagai donor metil, reaksi ini dikatalisator oleh
vitamin B12 dan enzim metionin siritase. Bila asam folat kurang maka terjadi kekurangan 5
metil tetrahidrofolat, sehingga terjadi penumpukkan homosistein dalam darah. Jalur yang
kedua adalah pemecahan homosistein menjadi sistationon dan sistein melalui jalur
transulfiirasi yang membutuhkan vitamin B6.
Cotter (2001), membandingkan kadar homosistein pada pre eklampsia (56 kasus)
dengan non pre eklampsia (112 kasus) dan mendapatkan kadar homosistein lebih
tinggi secara bermakna pada pre eklampsia (9,8umol/L) dibandingkan dengan kadar
homosistein pada hamil nomial (8,4 umol/L). Demikian juga penelitian yang dilakukan
Jayakusuma di RS Sanglah pada tahun 2004 dengan membandingkan kadar asam folat
dan homosistein pada masing masing 30 kasus pre eklampsia dan hamil normal,
didapatkan kadar asam folat pada kehamilan dengan pre eklampsia lebih rendah
(12,3 ng/ml) secara bermakna (pO.05) dibandingkan dengan kehamilan normal (14,2
ng/ml), didapatkan korelasi negatif yang bermakna antara kadar asam folat dan
homosistein, demikian juga kadar asam folat ternyata mempunyai korelasi negatif
yang bermakna dengan tekanan darah sistolik, yang berarti bahwa makin rendah kadar
asam folat maka tekanan darah sistoliknya makin tinggi.
2.4 Diagnosis dan Penatalaksanaan Pre Eklampsia
Diagnosis pre eklampsia ringan ditegakkan jika terdapat gejala sebagai berikut.
1.
Hipertensi
a. Tekanan darah > 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110
b. Kenaikan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
c. Kenaikan tekanan darah diastolik > 15 mmHg
2.
1. Tekanan darah sistol > 160 mmHg dan diastol > 110 mmHg. Tekanan darah ini
tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring
1.
2.
Oligouria. Jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang
disertai kenaikan kadar kreatinin darah
3.
b.
c.
d.
Hiperefleks
4.
5.
Sianosis
6.
PJT
b.
Diet biasa
c.
d.
e.
f.
2.
Rawat tinggal
a.
b.
10
3.
b.
c.
Baik
d.
Bila didapatkan keluhan subjektif seperfi di bawah ini, dirawat sebagai pre
eklampsia berat
Mata berkunang-kunang
Iritabel
Sakit kepala
e.
Bila umur kehamilan atenn (lebih dari 37 mg) Iangsung dilakukan tenninasi
kehamilan
Perawatan konservatif
a.
Bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa adanya keluhan subjektif
dengan keadaan janin baik.
b.
Tirah baring
2)
3)
Pemberian MgSO4
11
4)
Bila sistolik > 180 mmHg atau diastolik >110 mmHg, digunakan
injeksi 1 ampul clonidine yang dilarutkan dengan 10 cc larutan. Mula-mula
disuntikan 5 cc perlahan-lahan selama 5 menit, 5 menit kemudian tekanan
darah diukur, bila belum ada penuriman maka diberikan lagi 5 cc intravena
dalam 5 menit sampai tekanan diastolik normal, dilanjutkan dengan
nifedipine 3x10 mg
Bila tekanan darah sistolik < 180 mmHg dan diastolik < 110
mmHg, antihipertensi yang diberikan adalah nifedipine 3x10 mg
5)
c.
Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (selama 24 jam
di ruang bersalin)
1)
Tirah baring
2)
Medikamentosa
3)
4)
Diet biasa
5)
d.
2)
3)
4)
5)
12
e.
Penderita boleh pulang bila penderita sudah mencapai perbaikan dengan tandatanda pre eklampsia ringan, perawatan dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 3
hari lagi
f.
2.
Perawatan aktif
a. Indikasi:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
b. Pengobatan medisinal
1)
2)
3)
4)
Pembenan anti kejang MgSO4, dosis awal MgSO4 20%, 4 gr (iv) dan
MgSO4 40% 10 gr (im), dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan MgSO 4 40% 5
g (im) setiap 6 jam s/d 24 jam pasca persalinan
5)
c. Pengobatan obstetrik
1)
2)
13
3)
Induksi dengan drip oksitosin dikerjakan dengan NST baik dan PS baik
4)
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
3.2
Identitas Pasien
Nama
: Nur Ariyani
Jenis kelamin
: perempuan
Umur
: 17 tahun
Status Perkawinan
: menikah
Agama
: Islam
Pendidikan
: tamat SLTA
Pekerjaan
: wiraswasta
Alamat
MRS
Anamnesis
Pasien rujukan Klinik dan Rumah Bersalin Nurjaya (Jl. Raya Sempidi 35) dengan
G1P0000 + PE Berat+Inpartu
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah bersalin karena sudah merasa sakit perut. Setelah
pemeriksaan di rumah bersalin didapatkan pasien dalam keadaan inpartu
dengan PE Berat. Tekanan darah 170/110 dan edema pada kedua kaki,
sehingga pasien kemudian dirujuk ke RS Sanglah. Pasien mengeluh nyeri
perut, keluar darah campur lendir. Keluhan keluar air disangkal. Pasien juga
mengeluh agak pusing, sedangkan keluhan penglihatan kabur, pandangan
berkunang-kunang disangkal oleh penderita.
HPHT : 23/08/2006
TP
: 21/05/2007
14
Nadi
: 88 x/mnt
: 20 x/mnt
Tax
: 370C
TB/BB : 157cm/64kg
Status general
Keadaan Umum
: baik
Mata
Thoraks
Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
Status obstetri
Abdomen
15
Vagina
3.4
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 29/05/2007
Kimia Klinik
Fungsi Ginjal:
Ureum: 30,0 mg/dL
BUN: 14 mg/dL
Fungsi Hepar:
Bilirubin total: 5,9 g/dL
Diagnosis
G1P0000 39-40mg T/H PK I dengan PE Berat
3.6
Penatalaksanaan
Tx.
:
-
Nifedipine
3x10mg
16
Mx
KIE
3.7
Refleks Patella
Tanda vital
Perjalanan penyakit
30/05/2007 (Pukul: 01.00 wita)
S: Pusing (+)
O: St Present
TD: 150/90 mmHg, N: 88 x/mnt, R: 20 x/mnt
St Generalis
Mata: anemis -/Thoraks: jantung/paru dbn.
St Obstetri
Abdomen:
His (+) 2-3x/10 mnt ~ 30-35dtk
DJJ (+) 12.13.12
Vagina:
Pembukaan 2cm effiscement 40% ketuban (+)
Teraba kepala, sutura sagitalis melintang
Penurunan bidang Hodge I (+)
Tidak teraba bagian kecil/ tali pusat
Evaluasi panggul normal
A: G1P0000 40mg T/H PEB PK I
P:
- IVFD D 5%
- Injeksi MgSO4 20% 4 g bolus i.v. pelan-pelan, dilanjutkan MgSO4 40% 10
g secara bergantian bokong kanan bokong kiri, kemudian MgSO4 40%
5g tiap 6 jam s.d. 24 jam pasca persalinan.
17
18
O:
19
S: keluhan (-)
O: St Present
TD: 140/90 mmHg, N: 80 x/mnt, R: 20 x/mnt
St Generalis
Mata: anemis -/Thoraks: jantung/paru dbn.
St Obstetri
Abdomen:
Kontraksi uterus (+) baik
Vagina:
Perdarahan (-)
A: P1001 PP PEB
P:
20
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Pada Kasus ini, pasien tampaknya memiliki kesadaran akan pentingnya asuhan antenatal,
sehingga pasien mengaku memeriksakan diri secara teratur sebulan sekali ke bidan.
Terakhir ke bidan pada tanggal 22 Mei 2007, karena saat itu merupakan tanggal perkiraan
partus, namun pasien belum merasakan tanda-tanda persalinan. Pada pemeriksaan ini tidak
ditemukan tanda-tanda pasti adanya pre eklampsia. Pada pasien hanya didapatkan edema
pada kedua tungkai dengan tekanan darah 120/80 mmHg sesuai dengan rata-rata tekanan
darah pada pemeriksaan sebelumnya.
Pasien baru merasakan sakit perut pada tanggal 29 Mei 2007 pukul. 19.00 wita dan
sesuai petunjuk bidan pada pemeriksaan sebelumnya, pasien segera pergi ke rumah
bersalin. Pada pemeriksaan di rumah bersalin pasien didapatkan dalam keadaan inpartu
dengan tekanan darah saat itu 170/110 mmHg. Dengan demikian pasien didiagnosis
dengan PE berat ditambah adanya keluhan pusing yang baru dirasakan pasien kira-kira tiga
hari sebelumnya. Keputusan bidan di rumah bersalin sudah tepat dengan segera merujuk
pasien ke RS Sanglah untuk memastikan diagnosis dan penanganan lebih lanjut.
Untuk memastikan diagnosis di RS Sanglah dilakukan pemeriksaan Hematologi
rutin, urine rutin, dan fungsi hati, serta fungsi ginjal. Dari pemeriksaan urine didapatkan
protein kualitatif +4 sehingga dengan demikian diagnosis pre eklampsia dapat ditegakkan.
Dari pemeriksaan hematologi rutin tidak didapatkan adanya tanda-tanda terjadinya
hemolisis yaitu penurunan Hb dan HCT yang bermakna. Sekalipun tampak adanya
peningkatan enzim hati di atas normal, namun masih berada dalam batas yang
mencerminkan belum adanya kerusakan hati. Demikian pula fungsi ginjal masih normal,
yang ditunjukkan oleh konsentrasi ureum dan kreatinin yang masih dalam batas normal.
Pasien didiagnosis dengan G1P0000 39-40mg T/H dengan pre eklampsia berat PK I.
21
Diagnosis pre eklampsia berat dapat ditegakkan karena pada pasien didapatkan tekanan
darah 170/110mmHg (sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 110 mmHg), adanya
proteinuria + 4 dan dikeluhkan adanya gejala subjektif yaitu sakit kepala/pusing. Pada
kasus ini tidak didapatkan terjadinya sindroma HELLP.
4.2
Setelah didiagnosis dengan G1P0000 39-40mg T/H dengan PE berat PK I maka dilakukan
perawatan aktif karena usia kehamilan sudah lebih dari 37 minggu dan dalam keadaan
inpartu, sehingga dengan demikian memungkinkan dilakukan terminasi kehamilan dalam
waktu 24 jam. Pasien segera dirawat inap kemudian dipasang infus D5%. Diberikan anti
kejang MgSO4 dengan dosis awal MgSO4 20% 4g (i.v) dan MgSO4 40% 10g (i.m.),
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan MgSO4 40% 5g (i.m.) setiap 6 jam s.d. 24 jam
pasca persalinan. Pemberian MgSO4 pada pasien ini sudah sesuai dengan prosedur tetap
yang diterapkan di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah. Untuk mengatasi
hipertensinya diberikan Nifedipine 3x10mg oral. Antihipertensi intravena berupa clonidine
tidak diberikan pada pasien ini karena tekanan darah sistoliknya tidak melebihi 180 mmHg
sekalipun diastoliknya 110 mmHg. Hal ini dilakukan karena ditakutkan apabila clonidine
diberikan dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat atau justru terjadi hipotensi
dan syok, sedangkan pasien berada dalam keadaan inpartu. Bila hal ini terjadi maka akan
berbahaya bagi janin, ibu, dan proses melahirkannya. Pemberian nifedipine dapat
dipertimbangkan karena nifedipine hanya berefek menurunkan tekanan darah yang tinggi
saja dia atas 160mmHg, namun tidak akan berefek pada tekanan darah yang rendah.
Karena itu nifedipine dapat diberikan untuk mengendalikan tekanan darah pasien yang
tinggi.
Selama perawatan dilakukan monitoring terhadap efek samping dari MgSO4
dengan melihat refleks patella. Pada pasien ini tidak ada tanda intoksikasi MgSO4 selama
pemberian. Kesejahteraan janin baik selama perawatan ditunjukkan dengan denyut jantung
janian yang baik. Pada pasien ini tidak diperlukan lagi induksi persalinan dengan drip
oksitosin. Hanya menunggu sampai pasien dapat dipimpin mengedan dan pasien siap
sebelum 24 jam. Tidak ada kesulitan yang memperlama kala II pada persalinannya
sehingga tidak diperlukan percepatan kala II dengan EF sebagaimana yang biasa
direncanakan pada kasus-kasus pre eklampsia berat. Setelah persalinan tekanan darah
pasien mulai kembali normal. Walau demikian MgSO4 terus dilanjutkan selama 24 jam
22
untuk mencegah terjadinya eklampsi pasca persalinan. Nifedipine juga dilanjutkan untuk
menghindari terjadinya rebound phenomenon dari hipertensinya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Dari pembahasan kasus di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.
Penegakan diagnosis pada kasus pre eklampsia sudah dapat dilakukan dengan baik.
Hal ini ditunjang oleh ketepatan petugas kesehatan yang menangani ibu hamil
pertama kali dalam merujuk pasiennya sehingga tidak terjadi keterlambatan dalam
perawatan.
2.
3.
Pemilihan
antihipertensi
sudah
dipertimbangkan
dengan
baik,
dengan
Saran
Berikut beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan pada kehamilan.
1.
terminasi
kehamilan,
maka
adanya
informasi
data
yang
23