Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang
ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan
gejala gangguan afektif. Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui,
tetapi empat model konseptual telah dikembangkan. Gangguan dapat berupa tipe
skizofrenia atau tipe gangguan mood. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan
tipe psikosis ketiga yang berbeda, yang bukan merupakan gangguan skizofrenia
maupun gangguan mood. Keempat dan yang paling mungkin, bahwa gangguan
skizoafektif adalah kelompok heterogen gangguan yang menetap ketiga
kemungkinan pertama. 1
Pada gangguan skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala
gangguan mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit
yang sama, baik secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. 2 Bila
gejala skizofrenik dan manik menonjol pada episode penyakit yang sama,
gangguan disebut gangguan skizoafektif tipe manik. Sedangkan pada gangguan
skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.2 Gejala yang khas pada
pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi, perubahan dalam berpikir,
perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik
itu manik maupun depresif.2,3
Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif berdasarkan DSM-IV-TR,
merupakan suatu produk beberapa revisi yang mencoba mengklarifikasi beberapa
diagnosis, dan untuk memastikan bahwa diagnosis memenuhi nkriteria baik
episode manik maupun depresif dan menentukan lama setiap episode secara
tepat.1 Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik, pemeriksaan medis
lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik. semua kondisi
yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood perlu
dipertimbangkan. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif
mempunyai prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia
dan prognosis pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN
II.
a.Nama
: Tn. BE
b.Jenis kelamin
: Laki-laki
c.Umur
: 25 tahun
d.Status perkawinan
: Belum menikah
e.Agama
: Islam
f. Tingkat pendidikan
: Tamat SMA
g.Warga negara
: Indonesia
h.Alamat
ANAMNESIS
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
: Pedagang
b. Keluhan utama
- Bayi
- Anak-anak
: sosialisasi baik
- Remaja
tertutup)
Pedigree:
dan
observasi
dilakukan
bersamaan
dengan
alloanamnesis pada Rabu, 27 Mei 2015 pukul 11.00 s.d. 12.00 WIB di
Bangsal Aster G RSUP Moh Hoesin, Palembang. Pemeriksa dan pasien
berhadapan dengan posisi pasien berbaring di atas tempat tidur. Wawancara
dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pasien
tidak dapat berbicara, namun pasien dapat menyampaikan pesan melalui
isyarat gerakan kepala.
Pemeriksa
Pasien
Interpretasi
stupor
Sensorium: apatis
Afek: datar
berbicara)
(pasien mengangguk)
Konsentrasi: kurang
(pasien hanya
Pak? (sambil
mengangguk)
(pasien mengangguk)
dak?
Galak denger suaro-suaro
kemudian pasien
menunjukkan gerakan
adekuat. Adanya
kesimpulan
alloanamnesis.
Pak?
cenderung ke arah
medialis. Aktivitas
Keadaan dorongan
katatonia (+)
sewaktu-waktu)
Ya sudah, Bapak gak usah
banyak mikir yang
(pasien mengangguk
menunjukkan ekspresi
fasial sedih dan murung)
III.
PEMERIKSAAN
A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu
Sensorium
: 36,6 0C
: Kompos mentis
Frekuensi napas
: 20 x/menit
B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Urat saraf kepala (panca indera)
4) Mata
Gerakan
Persepsi mata
Pupil
Refleks cahaya
: +/+
Refleks kornea
: +/+
5) Motorik
Lengan
Fungsi Motorik
Tungkai
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Gerakan
Luas
luas
luas
luas
Kekuatan
bdd
bdd
bdd
bdd
Tonus
Eutoni
eutoni
eutoni
eutoni
Klonus
Refleks fisiologis
Refleks patologis
0)
6) Sensibilitas
: normal
8) Fungsi luhur
9) Kelainan khusus
: tidak ada
C. STATUS PSIKIATRIKUS
KEADAAN UMUM
a. Sensorium
b. Perhatian
: atensi inadekuat
c. Sikap
: tidak kooperatif
d. Inisiatif
: tidak ada
: datar
g. Verbalisasi
h. Cara bicara
i. Kontak psikis
Kontak fisik
: ada, inadekuat
Kontak mata
: ada, inadekuat
Kontak verbal
: ada, inadekuat
: datar
Mood
: hipotimik
b. Hidup emosi
Echt-unecht
: echt
Stabilitas
: labil
Skala diferensiasi
: normal
Dalam-dangkal
: dangkal
Pengendalian
Einfuhlung
:sukar
dirabarasakan
Arus emosi
terkendali
: normal
Adekuat-Inadekuat
: baik
Daya konsentrasi
: baik
: sesuai
10
: inadekuat
Discriminative judgement
: baik
Discriminative insight
: baik
: baik
: ada
Ilusi
: tidak ada
: baik
Arus pikiran
- Terhalang(blocking)
belum
- Flight of ideas
dapat dinilai
- Terhambat
(inhibition):
belum
- Inkoherensi
belum
belum
belum
dapat dinilai
:
belum
- Sirkumstansial
dapat dinilai
- Verbigerasi
belum
dapat dinilai
dapat dinilai
- Perseverasi
dapat dinilai
:
belum
- Tangensial
dapat dinilai
dapat dinilai
Isi pikiran
11
belum - Hipokondria
dapat dinilai
- Lain-lain
belum
belum
dapat dinilai
: belum
dapat dinilai
dapat dinilai
Pemilikan pikiran
-
Obsesi
Aliensi
Bentuk pikiran
- Paralogik
: belum
dapat dinilai
- Konkritisasi
: belum
dapat dinilai
- Overinklusif
- Autistik
: ada
- Konversi
: ada
- Simbolik
: belum
dapat dinilai
: belum
- Dereistik
dapat dinilai
: belum
dapat dinilai
- Simetrik
dapat dinilai
12
: belum
- Deviasi seksual
: belum dapat
dinilai
- Logore
perbuatan
: belum dapat
- Hipobulia
: ada
- Vagabondage
: belum dapat
dinilai
- Ekopraksi
dinilai
- Mutisme
dinilai
: ada
- Ekolalia
: belum dapat
dinilai
- Lain-lain
- Stupor
: ada
- Pyromania
: belum dapat
dinilai
: belum dapat
dinilai
g. Kecemasan
: belum dapat
dinilai
dinilai
h. Dekorum
- Mannerisme
- Kebersihan
: baik
- Cara berpakaian
: baik
- Sopan santun
: baik
: belum dapat
dinilai
- Kegaduhan umum
: belum dapat
dinilai
- Autisme
dinilai
RTA terganggu
13
: belum dapat
D. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan elektroensefalogram
: tidak dilakukan
c. Pemeriksaan laboratorium
: tidak dilakukan
- Skizofrenia katatonik
- Gangguan psikotik lir-skizofrenia (Schizofrenia like) akut
V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I
Aksis II
Aksis III
Aksis IV
Aksis V
VI. TERAPI
a. Psikofarmaka
Risperidon 1 mg 2 x 1
Lorazepam 2 mg 1 x 1/2
b. Psikoterapi
Suportif
- Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi
masalah.
- Memotivasi pasien agar meminum obat secara teratur
13
Kognitif
Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara
berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap masalah
yang dihadapi.
Keluarga
Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang diharapkan
keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien.
Religius
Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai
ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu,
menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada
Allah SWT.
VII.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
VIII. FOLLOW UP
S : pasien sudah bisa berkomunikasi dengan keluarga tetapi belum jelas, gerakan
pada bibir dan tangan berkurang, nafsu makan dan minum membaik
O : sens : kompos mentis terganggu
TD : 130/90 mmHg T : 36.5C N: 84x/menit RR : 19x/menit
Keadaan umum : kompos mentis terganggu
Keadaan spesifik :
Afek (mood)
Hidup emosi
Fungsi intelektual/kognisi
Taraf pendidikan
14
Daya konsentrasi
Orientasi W/T/O
Daya ingat
Pengendalian impuls
RTA
A : Diagnosis multiaksial
Aksis I
Aksis II
Aksis III
Aksis IV
Aksis V
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
3.1 SKIZOAFEKTIF
3.1.1 Definisi
Gangguan skizoafektif adalah penyakit mental yang serius yang memiliki
gambaran skizofrenia dan gangguan afektif. Gangguan skizoafektif memiliki
gejala khas skizofrenia yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala
gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu tipe
manik dan tipe depresif. Skizofrenia adalah gangguan otak yang mendistorsi cara
seseorang berpikir, bertindak, mengungkapkan emosi, merasakan realitas, dan
berhubungan dengan orang lain. Depresi adalah penyakit yang ditandai dengan
perasaan sedih, tidak berharga, atau putus asa, serta masalah berkonsentrasi dan
mengingat detail.
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup pada gangguan skizoafektif kurang dari 1%,
berkisar antara 0,5%-0,8%. Tetapi, gambaran tersebut masih merupakan
perkiraan.Gangguan skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada orang tua
dibanding anak muda. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah.Usia
awitan perempuan lebih sering dibandingkan laki-laki, seperti pada skizofrenia.
Laki-laki engan gangguan skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku
antisosial dan mempunyai afek tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National
Comorbidity Study menyatakan dari 66 orang dengan diagnose skizofrenia, 81%
pernah didiagnosis gangguan afektif yang terdiri dari 59% depresi dan 22%
gangguan bipolar.
3.1.3 Etiologi
16
Sulit untuk menentukan penyebab dari penyakit yang telah berubah begitu
banyak dari waktu ke waktu.Dugaan saat ini bahwa gangguan skizoafektif
mungkin mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu etiologi mengenai
gangguan skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan. Penyebab
gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui, namun empat model konseptual
telah diajukan, yaitu:
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau
suatu tipe gangguan mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari
skizofrenia dan gangguan afektif
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang
berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun
gangguan afektif
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah
kelompok
gangguan
yang
heterogen
yang
meliputi
semua
tiga
17
18
19
20
Agitasi
Mania
Peningkatan aktivitas
Bicara cepat
Sedikit tidur
Agitasi
Mudah teralihkan
Skizofrenia
Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan
jiwa (PPDGJ-III):3
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a) - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
21
22
3.1.6 Diagnosis
Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik
skizofrenia maupun gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik
untuk gangguan skizoafektif (Tabel 3) mencerminkan perubahan yang telah terjadi
di dalam kriteria diagnosis untuk kedua kondisi lain.
Tabel 3. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV) 5
Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif
23
A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode campuran
dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia
Catatan : Episode depresi berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode ditemukan untuk sebagian bermakna
dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit
D. Gangguan bukan kareka efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: Jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau suatu
manik suatu episode campuran dan episode depresi berat)
Tipe depresif: Jika gangguan hanya termasuk episode depresi berat
Tabel dari DSM-IV, diagnostic and statistical manual of mental disorders.Ed. 4.Hak cipta American
Psychiatric Association. Washington. 1994
24
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gelaja skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbedah.
25
dengan skizofrenia katatonik (lihat Tabel 5). Setiap kecurigaan terhadap kelainan
neurologis perlu didukung dengan pemeriksaan pemindaian (CT Scan) otak untuk
menyingkirkan kelainan anatomis dan elektroensefalogram untuk memastikan
setiap gangguan yang mungkin.1,4
Tabel 5. Pedoman Diagnostik Skizofrenia Katatonik berdasarkan PPDGJIII6
26
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
A. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
B. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
C. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
D. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan ke arah yang
berlawanan);
E. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
F. Fleksibilitas cerea/waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
G. Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizorenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit
otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.
27
Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk kurun waktu lebih dari 1 bulan
lamanya, maka diagnosis harus dirubah menjadi skizofrenia.
28
ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan
gangguan itu sendiri.
Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe
bipolar, mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan
gangguan bipolar dan bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang
perlahan-lahan; tidak ada faktor pencetus; menonjolnya gejala pskotik, khususnya
gejala defisit atau gejala negatif; onset yang awal; perjalanan yang tidak
mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masingmasing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya atau
tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak meramalkan
perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan
jenis kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan
bahwa perilaku bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan
skizoafektif daripada laki-laki dengan gangguan tersebut. Insidensi bunuh diri di
antara pasien dengan gangguan skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.
3.1.9 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah
perawatan di rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Terapi
psikofarmaka yang diberikan pada skizoaktif tipe bipolar adalah obat golongan
mood stabilizer, baik lithium atatu carbamazepine sama efektifnya, sedangkan
untuk tipe depresif yang terbukti lebih efektif adalah dengan pemberian
carbamazepine dibanding lithium. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi
untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa antidepresan dan antimanik diberikan
sesuai bentuk afek yang menonjol dan bahwa antipsikotik digunakan berdasarkan
gejala psikotik yang muncul. Pada skizoafektif tipe manik, terapi dilakukan lebih
agresif untuk mencapai konsentrasi obat dalam darah pada tingkat menengah
sampai tinggi. Ketika pasien sudah dalam fase maintenance, dosis dapat
diturunkan untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan. Pemeriksaan
29
laboratorium secara berkala perlu dilakukan untuk menilai fungsi thyroid, ginjal
dan sel-sel darah.
Antidepresan diberikan pada pasien skizoafektif tipe depresif, tetapi harus
dengan perhatian yang ketat karena dapat terjadi pergeseran gejala dari episode
depresif menjadi episode manik pada pemberian antidepresan. Antidepresan lini
pertama yang diberikan adalah golongan SSRI, karena selain cukup efektif, obat
ini juga memiliki sedikit efek samping pada sistem kardiovaskular. Pasien
skizoafektif dengan gejala agitasi atau insomnia lebih berespon dengan obat
golongan trisiklik.
3.1.10 Farmakologi Anti Depresan
1. Carbamazepine
Absorbsi carbamazepine lambat dan tidak terprediksi. Pemberian bersama
makanan mempercepat proses absorbs. Konsentrasi puncak dicapai dalam 2-8 jam
setelah pemberian dosis tunggal dengan waktu paruh rata-rata 26 jam. Pada
penggunaan jangka panjang, waktu parah dapat menurun hingga rata-rata 12 jam.
Carbamazepine terdiri dari dua bentuk sediaan, yaitu extended release dan
kombinasi intermediate, extended-release, dan very slow-release beads. Bentuk
pertama diberikan setelah makan untuk menjamin waktu transit gastrointestinal
yang normal,bentuk kedua lebih cocok diberikan pada malam hari.
Efek carbamazepine diduga akibat ikatannya dengan berikatan
pada voltage-dependent sodium channel di fase inaktif sehingga
memperpanjang masa inaktifnya. Selain itu juga diduga bekera pada
NMDA glutamate-receptor channel, competitive antagonism of adenosine
A1 receptor, dan sistem katekolamin.
Indikasi pemberian carbamazepine diantaranya episode manik
akut; profilaksis gangguan bipolar, skizoafektif, dan manik disforia;
episode depresi akut. Respon terhadap episode manik terlihat setelah 2-3
minggu pemberian. Efek samping carbamazepine diantaranya diplopia,
vertigo, gangguan gastrointestinal, efek hematologi, agranulositosis,
sindrom steven Johnson, anemia aplastik, sirosis hepatis.
30
Dosis target untuk efek antimanik sekitar 1.200 mg per hari dengan
pemberian 3-4 kali per hari carbamazepine 300-400 mg dalam bentuk
immediate release. Carbamazepine extended release tersedia dalam
sediaan kapsul dan tablet 100, 200, dan 300 mg. Obat dapat diberikan
dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.8
2. Lithium
Lithium diabsorbsi secara komplit dan cepat setelah administrasi oral
dengan konsentrasi puncak terjadi setelah 1-1,5 jam denganbentuk sediaan biasa,
dan 4-4,5 jam dengan bentuk sediaan lambat atau lepas terkontrol. Waktu paruh
1,3 hari pada awal pemberian dan menjadi 2,4 hari setelah penggunaan lebih dari
satu tahun.
Indikasi pemberian lithium diantaranya episode manik, episode
depresif pada gangguan bipolar, episode depresif mayor, skizofrenia dan
skizoafektif. Penggunaan lithium pada pasien skizoafektif lebih efektif
pada pasien dengan gejala afektif yang lebih dominan. Lithium memiliki
risiko efek samping yang tinggi, efek samping yang beragam terjadi pada
80% pengguna lithium. Untuk itu pentung untuk meminimalisir risiko efek
samping dengan cara mengawasi kadar lithium dalam darah dan
memberikan intervensi farmakologi yang sesuai untuk mengatasi efek
samping yang muncul. Efek samping lithium dapat terjadi di semua sistem
organ dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Pemberian lithium
dengan antipsikotik tipikal juga perlu mendapat perhatian serius karena
interaksi antara keduanya bisa memperburuk gejala ekstrapiramidal.
Lithium karbonat tersedia dalam bentuk kapsul (150, 300, 600 mg),
tablet (300 mg), tablet lepas terkontrol (450mg), tablet lepas lambat (300
mg), dan sirup (8mEq/5 mL). Dosis awal untuk dewasa 300 mg tiga kali
sehari. sedangkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal hanya dua
kali sehari. Dosis kemudian dapat ditingkatkan sampai 1800 mg per hari
untuk mencapai konsentrasi terapetik 1,2 mEq/L. Penghentian pemberian
lithium dilakukan perlahanagar tidak terjadi rekurensi gejala manik.8
31
3. Antipsikotik atipikal
Obat antipsikotik atipikal memiliki kemampuan memblok reseptor
serotonin tipe 2 dan reseptor dopamin D 2. Antispikotik atipikal bekerja
lebih spesifik di mesolimbik dibanding daerah striata. Beberapa obat
golongan ini yang sering digunakan antara lain riseridon, clozapin,
olanzapin, dan aripiprazole (golongan ketiga). Meskipun risiko terjadinya
sindrom ekstrapiramidal rendah, beberapa obat golongan atipikal sering
menyebabkan peningkatan berat badan, yang kemudian menjadi risiko
diabetes melitus dan sindrom metabolik.
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala psikosis baik akut
maupun kronis pada remaja dan dewasa. Selain mengatasi gejala positif
juga berperan dalam mengurangi gejala negatif, afektif, dan kognitif.
Kasus relaps ditemukan lebih rendah pada pasien yang diberi antipsikotik
32
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. BE, laki-laki 25 tahun, datang ke IGD RSMH dengan keluhan
kelemahan aktivitas motorik. Di IGD, pasien diterima oleh Bagian Neurologi.
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, tidak terdapat kelainan neurologis
yang berarti pada pasien. Pasien kemudian dikonsulkan ke Poli Psikiatri RSMH.
Dari alloanamnesis didapatkan bahwa pasien mulai mengalami perubahan
perilaku sejak 2 minggu SMRS. Kurang lebih 2 minggu SMRS, pasien
mengeluh pusing dan tiba-tiba pingsan. Ketika sadar, sejak saat itu pasien sering
melamun dan merasa ketakutan. Pasien dikatakan pernah berbicara seperti
mengobrol di dalam kamar padahal tidak ada orang lain disana. Pasien juga
dikatakan sering melihat ke langit-langit rumah. Pasien menjadi sering murung,
menutup diri, dan membatasi interaksi dengan keluarga, bahkan komunikasi
sering tidak nyambung. Selain itu, pasien menjadi sering menangis tanpa alasan.
Saat ditanya oleh keluarganya, pasien diam saja dan tidak bergeming. Pasien
memang dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan cenderung tertutup.
Seminggu kemudian, pasien mengalami kelemahan motorik. Pasien
kemudian dibawa keluarga ke RSEB untuk berobat. Namun, pasien dinyatakan
tidak memiliki gangguan kejiwaan oleh dokter di IGD RSEB. Menurut dokter
RSEB, kelainan motorik yang dialami pasien disebabkan oleh kelainan
neurologis.
Pasien kemudian dibawa ke RSMH dan dirawat di Bagian Neurologi.
Kemudian Bagian Neurologi RSMH menyatakan tidak ada kelainan neurologis
yang berarti pada pasien. Selain itu, riwayat trauma kepala, penggunaan alkohol
dan NAPZA disangkal oleh keluarga menunjukkan tidak ada kelainan organik.
33
34
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psychiatry. 9th ed. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins: 2003
2. Benjamin J., Sadock MD. Virginia A. Kaplan & Sadocks Pocket
Handbook of Psychiatric Drug Treatment
3. Kaplan
HI, Sadock
th
36
37