Vous êtes sur la page 1sur 38

BAB I

PENDAHULUAN
Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang
ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan
gejala gangguan afektif. Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui,
tetapi empat model konseptual telah dikembangkan. Gangguan dapat berupa tipe
skizofrenia atau tipe gangguan mood. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan
tipe psikosis ketiga yang berbeda, yang bukan merupakan gangguan skizofrenia
maupun gangguan mood. Keempat dan yang paling mungkin, bahwa gangguan
skizoafektif adalah kelompok heterogen gangguan yang menetap ketiga
kemungkinan pertama. 1
Pada gangguan skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala
gangguan mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit
yang sama, baik secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. 2 Bila
gejala skizofrenik dan manik menonjol pada episode penyakit yang sama,
gangguan disebut gangguan skizoafektif tipe manik. Sedangkan pada gangguan
skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.2 Gejala yang khas pada
pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi, perubahan dalam berpikir,
perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik
itu manik maupun depresif.2,3
Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif berdasarkan DSM-IV-TR,
merupakan suatu produk beberapa revisi yang mencoba mengklarifikasi beberapa
diagnosis, dan untuk memastikan bahwa diagnosis memenuhi nkriteria baik
episode manik maupun depresif dan menentukan lama setiap episode secara
tepat.1 Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik, pemeriksaan medis
lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik. semua kondisi
yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood perlu
dipertimbangkan. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif
mempunyai prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia
dan prognosis pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien

dengan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang lebih buruk daripada


pasien dengan gangguan depresif maupun gangguan bipolar, tetapi memiliki
prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia.1

BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN

II.

a.Nama

: Tn. BE

b.Jenis kelamin

: Laki-laki

c.Umur

: 25 tahun

d.Status perkawinan

: Belum menikah

e.Agama

: Islam

f. Tingkat pendidikan

: Tamat SMA

g.Warga negara

: Indonesia

h.Alamat

: Pasar Bawah No. 30 Lawang Kidul Muara Enim

ANAMNESIS

A. ALLOANAMNESIS (Dilakukan pada hari Rabu, 27 Mei 2015 di


Bangsal Aster G pukul 11.00 WIB)
Diperoleh dari

: Nn. A dan Ny. B

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 20 tahun dan 55 tahun

Alamat

: Pasar Bawah No. 30 Lawang Kidul Muara Enim

Pendidikan

: Tamat SMA dan Tamat SMP

Pekerjaan

: Pedagang

Hubungan dengan pasien : Adik pasien dan Ibu pasien


a. Sebab utama

: Pasien tidak mau bicara 2 minggu SMRS

b. Keluhan utama

: Kelemahan motorik 1 minggu SMRS

c. Riwayat perjalanan penyakit


Kurang lebih 2 minggu SMRS, pasien mengeluh pusing dan tibatiba pingsan. Ketika sadar, sejak saat itu pasien dilaporkan sering
melamun dan merasa ketakutan. Pasien juga sering menangis tanpa
alasan. Saat ditanya oleh keluarganya, pasien diam saja dan tidak

bergeming. Pasien memang dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan


cenderung tertutup.
Pasien dilaporkan sering melihat ke langit-langit rumah pasien
sejak 2 minggu SMRS tersebut. Selain itu, pasien juga sering berbicara
sendiri dan terkadang tidak nyambung saat mengobrol.
Seminggu kemudian, pasien mengalami kelemahan motorik.
Pasien kemudian dibawa keluarga ke RSEB untuk berobat. Namun,
pasien dinyatakan tidak memiliki gangguan kejiwaan oleh dokter di IGD
RSEB. Menurut dokter RSEB, kelainan motorik yang dialami pasien
disebabkan oleh kelainan neurologis.
Pasien kemudian dibawa ke RSMH dan dirawat di Bagian
Neurologi. Bagian Neurologi RSMH menyatakan tidak ada kelainan
neurologis yang berarti pada pasien. Pasien kemudian dikonsulkan ke
Poli Psikiatri RSMH.
Riwayat trauma kepala, penggunaan alkohol dan NAPZA
disangkal oleh keluarga. Setelah ditanyai lebih dalam mengenai
kemungkinan stressor pada pasien, diketahui bahwa pasien telah
bertunangan dengan perempuan yang dikenalkan oleh keluarganya sejak
4 bulan yang lalu. Sesuai pengakuan, pasien belum siap untuk menikah,
namun keluarga calon istri pasien ingin pasien segera menikah. Selain
itu, keluarga menyatakan bahwa pasien terlihat sering murung saat
memikirkan kakak pasien yang tidak bekerja. Hubungan pasien dan
kakak pasien cukup dekat.

d. Riwayat penyakit dahulu


Pasien adalah perokok ( 2-3 batang/hari) sejak remaja. Riwayat
penyakit lain disangkal.
e. Riwayat premorbid
- Lahir

: lahir spontan, langsung menangis

- Bayi

: tumbuh kembang baik

- Anak-anak

: sosialisasi baik

- Remaja

: sosialisasi baik (kepribadian pendiam dan cenderung

tertutup)

f. Riwayat perkembangan organobiologi


-

Riwayat kejang (-)

Riwayat demam tinggi yang lama (-)

Riwayat trauma kepala (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat sakit ginjal (-)

g. Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang


Riwayat mengonsumsi alkohol dan NAPZA disangkal.
h. Riwayat pendidikan
Pasien tamat SMA.
i. Riwayat pekerjaan
Pasien adalah seorang pedagang pakaian.
j. Riwayat perkawinan
Pasien belum menikah.
k. Keadaan sosial ekonomi
Pasien tinggal bersama keluarga dengan keadaan sosial ekonomi
cukup.
l. Riwayat keluarga
-

Riwayat gangguan jiwa dalam keluarga disangkal

Pedigree:

B. AUTOANAMNESIS DAN OBSERVASI


Wawancara

dan

observasi

dilakukan

bersamaan

dengan

alloanamnesis pada Rabu, 27 Mei 2015 pukul 11.00 s.d. 12.00 WIB di
Bangsal Aster G RSUP Moh Hoesin, Palembang. Pemeriksa dan pasien
berhadapan dengan posisi pasien berbaring di atas tempat tidur. Wawancara
dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pasien
tidak dapat berbicara, namun pasien dapat menyampaikan pesan melalui
isyarat gerakan kepala.

Pemeriksa

Pasien

Interpretasi

Selamat Siang Pak EB.

(saat datang, pasien

Tanda-tanda mutisme dan

tampak diam dan tidak

stupor

mau berbicara. Aktivitas


psikomotor yang
ditunjukkan sangat
lemah)
Kami dokter muda dari

(pasien awalnya hanya

Sensorium: apatis

bagian Jiwa, boleh tanya-

diam, lalu diberikan

Afek: datar

tanya sebentar ya, Pak?

stimulus eksternal, pasien Kontak: atensi inadekuat


menggangguk sedikit)

Pak, umurnya berapa?

Sekarang kita lagi dimana

(pasien ingin menjawab

Daya ingat: baik

namun tidak dapat

Orientasi waktu, tempat,

berbicara)

dan personal: baik

(pasien mengangguk)

tau gak, Pak? Kalo tau,


mengangguk ya Pak

Sekarang hari apa, Pak?

Konsentrasi: kurang

(pasien hanya diam dan


tidak berbicara)

Ini siapa, Pak? Tau gak,

(pasien hanya

Pak? (sambil

mengangguk)

menunjukkan ibu dan adik


os)

Pak, tidurnya nyenyak

(pasien mengangguk)

dak?
Galak denger suaro-suaro

(pasien diam, lalu sesaat

Arus dan isi pikiran tidak

apo bisikan-bisikan atau

kemudian pasien

dapat dinilai secara

bunyi-bunyi dak, Pak?

menunjukkan gerakan

adekuat. Adanya

berupa kepala dan bibir

halusinasi auditorik dan

Galak jingok bayangan

yang miring ke kanan

visual didapatkan dari

apo benda yang dak

disertai dengan aktivitas

kesimpulan

dilihat samo yang lain

motorik berulang yang

alloanamnesis.

Pak?

cenderung ke arah

Bentuk pikiran: autistik

medialis. Aktivitas

(+), konversi (+)

motorik ini berlangsung

Keadaan dorongan

selama kira-kira 1 menit

instinktual dan perbuatan:

dan dapat berulang

katatonia (+)

sewaktu-waktu)
Ya sudah, Bapak gak usah
banyak mikir yang

(pasien mengangguk

macam-macam ya, supaya sambil sedikit


Bapak cepat sembuh.

Hidup emosi: labil

menunjukkan ekspresi
fasial sedih dan murung)

III.

PEMERIKSAAN

A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu

Sensorium

: 36,6 0C

: Kompos mentis

Frekuensi nadi : 80 x/menit

Frekuensi napas

: 20 x/menit

B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Urat saraf kepala (panca indera)

: belum dapat dinilai

2) Gejala rangsang meningeal

: belum dapat dinilai

3) Gejala peningkatan tekanan intracranial

: belum dapat dinilai

4) Mata
Gerakan

: baik ke segala arah

Persepsi mata

: baik, diplopia tidak ada, visus normal

Pupil

: bentuk bulat, sentral, isokor, 3mm/3mm

Refleks cahaya

: +/+

Refleks kornea

: +/+

Pemeriksaan oftalmoskopi : tidak dilakukan

5) Motorik
Lengan

Fungsi Motorik

Tungkai

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Gerakan

Luas

luas

luas

luas

Kekuatan

bdd

bdd

bdd

bdd

Tonus

Eutoni

eutoni

eutoni

eutoni

Klonus

Refleks fisiologis

Refleks patologis

0)
6) Sensibilitas

: normal

7) Susunan saraf vegetatif

: belum dapat dinilai

8) Fungsi luhur

: belum dapat dinilai

9) Kelainan khusus

: tidak ada

C. STATUS PSIKIATRIKUS
KEADAAN UMUM
a. Sensorium

: Kompos mentis terganggu

b. Perhatian

: atensi inadekuat

c. Sikap

: tidak kooperatif

d. Inisiatif

: tidak ada

e. Tingkah laku motorik : hipoaktif


f. Ekspresi fasial

: datar

g. Verbalisasi

: tidak dapat berbicara

h. Cara bicara

: tidak dapat berbicara

i. Kontak psikis
Kontak fisik

: ada, inadekuat

Kontak mata

: ada, inadekuat

Kontak verbal

: ada, inadekuat

KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)


a. Keadaan afektif
Afek

: datar

Mood

: hipotimik

b. Hidup emosi
Echt-unecht

: echt

Stabilitas

: labil

Skala diferensiasi

: normal

Dalam-dangkal

: dangkal

Pengendalian

Einfuhlung

:sukar

dirabarasakan
Arus emosi

terkendali
: normal

Adekuat-Inadekuat

c. Keadaan dan fungsi intelektual


Daya ingat

: baik

Daya konsentrasi

: baik

Orientasi orang/waktu/tempat : baik


Luas pengetahuan umum

: sesuai

10

: inadekuat

Discriminative judgement

: baik

Discriminative insight

: baik

Dugaan taraf intelegensi

: baik

Depersonalisasi dan derealisasi : belum dapat dinilai


d. Kelainan sensasi dan persepsi
Halusinasi

: ada

Ilusi

: tidak ada

(dugaan dari alloanamnesis)


e. Keadaan proses berpikir
Psikomotilitas : sedang
Mutu

: baik

Arus pikiran
- Terhalang(blocking)

belum

- Flight of ideas

dapat dinilai
- Terhambat

(inhibition):

belum

- Inkoherensi

belum

belum

belum

dapat dinilai
:

belum

- Sirkumstansial

dapat dinilai
- Verbigerasi

belum

dapat dinilai

dapat dinilai
- Perseverasi

dapat dinilai
:

belum

- Tangensial

dapat dinilai

dapat dinilai

Isi pikiran

11

- Ide melukai diri

belum - Hipokondria

dapat dinilai
- Lain-lain

belum

belum

dapat dinilai
: belum

- Ide bunuh diri

dapat dinilai

dapat dinilai

Pemilikan pikiran
-

Obsesi

: belum dapat dinilai

Aliensi

: belum dapat dinilai

Bentuk pikiran
- Paralogik

: belum

dapat dinilai
- Konkritisasi

: belum

dapat dinilai
- Overinklusif

- Autistik

: ada

- Konversi

: ada

- Simbolik

: belum

dapat dinilai
: belum

- Dereistik

dapat dinilai

: belum

dapat dinilai
- Simetrik

dapat dinilai

12

: belum

- Deviasi seksual

: belum dapat

dinilai
- Logore

f. Keadaan dorongan instinktual dan


: belum dapat

perbuatan

: belum dapat

- Hipobulia

: ada

- Vagabondage

: belum dapat

dinilai
- Ekopraksi

dinilai
- Mutisme

dinilai

: ada
- Ekolalia

: belum dapat

dinilai
- Lain-lain

- Stupor

: ada

- Pyromania

: belum dapat

dinilai
: belum dapat

dinilai
g. Kecemasan

: belum dapat

dinilai

- Raptus/Impulsivitas : belum dapat

dinilai
h. Dekorum

- Mannerisme

- Kebersihan

: baik

- Cara berpakaian

: baik

- Sopan santun

: baik

: belum dapat

dinilai
- Kegaduhan umum

: belum dapat

dinilai
- Autisme

i. Reality testing ability

dinilai

RTA terganggu

13

: belum dapat

D. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan elektroensefalogram

: tidak dilakukan

b. Pemeriksaan radiologi/ CT scan

: dilakukan, kesan tidak ada kelainan

c. Pemeriksaan laboratorium

: tidak dilakukan

IV. DIAGNOSIS BANDING


- Gangguan Schizofreniform

- Skizofrenia katatonik
- Gangguan psikotik lir-skizofrenia (Schizofrenia like) akut
V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I

: F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif


dd/ Gangguan Schizofreniform
Skizofrenia katatonik
Gangguan psikotik lir-skizofrenia (Schizofrenia like) akut

Aksis II

: R46.8 Diagnosis Aksis II Tertunda

Aksis III

: Tidak ada diagnosis

Aksis IV

: Masalah dengan primary support group (keluarga)

Aksis V

: GAF scale 50-41

VI. TERAPI
a. Psikofarmaka
Risperidon 1 mg 2 x 1
Lorazepam 2 mg 1 x 1/2
b. Psikoterapi
Suportif
- Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi

masalah.
- Memotivasi pasien agar meminum obat secara teratur

13

Kognitif
Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara
berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap masalah
yang dihadapi.
Keluarga
Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang diharapkan
keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien.
Religius
Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai
ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu,
menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada
Allah SWT.
VII.

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

VIII. FOLLOW UP
S : pasien sudah bisa berkomunikasi dengan keluarga tetapi belum jelas, gerakan
pada bibir dan tangan berkurang, nafsu makan dan minum membaik
O : sens : kompos mentis terganggu
TD : 130/90 mmHg T : 36.5C N: 84x/menit RR : 19x/menit
Keadaan umum : kompos mentis terganggu
Keadaan spesifik :
Afek (mood)

: belum dapat dinilai

Hidup emosi

: belum dapat dinilai

Fungsi intelektual/kognisi

: belum dapat dinilai

Taraf pendidikan

: belum dapat dinilai

14

Daya konsentrasi

: belum dapat dinilai

Orientasi W/T/O

: belum dapat dinilai

Daya ingat

: belum dapat dinilai

Keadaan sensasi & persepsi : belum dapat dinilai


Keadaan proses berfikir

: belum dapat dinilai

Pengendalian impuls

: belum dapat dinilai

RTA

: belum dapat dinilai

A : Diagnosis multiaksial
Aksis I

: F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif


dd/ Gangguan Schizofreniform
Skizofrenia katatonik
Gangguan psikotik lir-skizofrenia (Schizofrenia like) akut

Aksis II

: R46.8 Diagnosis Aksis II Tertunda

Aksis III

: Tidak ada diagnosis

Aksis IV

: Masalah dengan primary support group (keluarga)

Aksis V

: GAF scale 50-41

P : IVFD NaCl 0.9 gtt xx/makro


Carbamazepine 200 mg 2 x 1
Ceftriaxone 2g 2 x 1 (IV)
Omeprazol 5mg 4 x 1 (IV)
Acyclovir 800mg x 5
Risperidon 1 mg 2 x 1
Lorazepam 2 mg 1 x 1/2

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

15

3.1 SKIZOAFEKTIF
3.1.1 Definisi
Gangguan skizoafektif adalah penyakit mental yang serius yang memiliki
gambaran skizofrenia dan gangguan afektif. Gangguan skizoafektif memiliki
gejala khas skizofrenia yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala
gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu tipe
manik dan tipe depresif. Skizofrenia adalah gangguan otak yang mendistorsi cara
seseorang berpikir, bertindak, mengungkapkan emosi, merasakan realitas, dan
berhubungan dengan orang lain. Depresi adalah penyakit yang ditandai dengan
perasaan sedih, tidak berharga, atau putus asa, serta masalah berkonsentrasi dan
mengingat detail.
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup pada gangguan skizoafektif kurang dari 1%,
berkisar antara 0,5%-0,8%. Tetapi, gambaran tersebut masih merupakan
perkiraan.Gangguan skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada orang tua
dibanding anak muda. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah.Usia
awitan perempuan lebih sering dibandingkan laki-laki, seperti pada skizofrenia.
Laki-laki engan gangguan skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku
antisosial dan mempunyai afek tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National
Comorbidity Study menyatakan dari 66 orang dengan diagnose skizofrenia, 81%
pernah didiagnosis gangguan afektif yang terdiri dari 59% depresi dan 22%
gangguan bipolar.

3.1.3 Etiologi

16

Sulit untuk menentukan penyebab dari penyakit yang telah berubah begitu
banyak dari waktu ke waktu.Dugaan saat ini bahwa gangguan skizoafektif
mungkin mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu etiologi mengenai
gangguan skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan. Penyebab
gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui, namun empat model konseptual
telah diajukan, yaitu:
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau
suatu tipe gangguan mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari
skizofrenia dan gangguan afektif
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang
berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun
gangguan afektif
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah
kelompok

gangguan

yang

heterogen

yang

meliputi

semua

tiga

kemungkinan yang pertama.


Penelitian yang dilakukan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan
tersebut telah memeriksa riwayat keluarga, petanda biologis, respon pengobtanan
jangka pendek, dan hasil akhir jangka panjang..
3.1.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya skizoafektif belum diketahui apakah merupakan
suatu patologi yang terpisah dari skizofrenia dan gangguan mood atau merupakan
gabungan dari keduanya yang terjadi secara bersamaan. Jika merujuk pada
kemungkinan kedua, maka telah diketahui neurobiologi baik fungsional ataupun
struktural yang terlibat dalam gangguan ini.
Neurobiologi fungsional yeng mendasari gejala psikotik cukup beragam
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Secara sederhana disimpulkan bahwa
gejala psikotik muncul dari gangguan pada sistem dopamin, serotonin, glutamat,

17

metabolisme otak, dll. Kelebihan dopamin atau peningkatan sensitivitas reseptor


dopamine D2 menjadi penyebab gejala psikotik positif. Serotonin dikaitkan
dengan gejala positif dan negatif. Terlihat penurunan aktivitas glutamat di
beberapa regio otak pada pasien skizofrenia, kelainan pada sistem glutamat
dikaitkan dengan gejala hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas. Gejala
negatif terutama dikaitkan dengan aktivitas norepinefrin yang menurun.
Tabel 1. Abnormalitas fungsi otak pada skizofrenia4

Kelainan struktural (Tabel 2) yang diidentifikasi pada skizofrenia sebagian


besar berupa penurunan volume atau bentuk degenerasi yang bervariasi pada
berbagai regio otak (Gambar 1) yang masing-masing akan menimbulkan gejala
yang khas.
Tabel 2. Abnormalitas struktur otak pada skizofrenia4

18

19

Gambar 1. Area yang terlibat pada gangguan afek dan mood4


3.1.5 Manifestasi Klinis.
Pada gangguan skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala
gangguan mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit
yang sama, baik secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. 2 Bila
gejala skizofrenik dan manik menonjol pada episode penyakit yang sama,
gangguan disebut gangguan skizoafektif tipe manik. Sedangkan pada gangguan
skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.2
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi,
perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala
gangguan suasana perasaan baik itu manik maupun depresif.2,3
Depresi

Nafsu makan yang berkurang

Pengurangan berat badan

Perubahan dari pola tidur biasanya ( sedikit atau banyak tidur )

20

Agitasi

Merasa tidak ada semangat

Kehilangan rasa untuk melakukan kebiasaan sehari-hari

Merasa tidak ada harapan

Selalu merasa bersalah

Tidak dapat berkonsentrasi

Mempunyai pikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri

Mania

Peningkatan aktivitas

Bicara cepat

Pikiran yang meloncat-loncat

Sedikit tidur

Agitasi

Percaya diri meningkat

Mudah teralihkan

Skizofrenia
Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan
jiwa (PPDGJ-III):3
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a) - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

21

- thought broadcasting= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain


atau umum mengetahuinya;
b) - delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas
merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,
atau penginderaan khusus)
- delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c) Halusinasi Auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

22

f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan


(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude) dan penarikan diri secara sosial.6

3.1.6 Diagnosis
Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik
skizofrenia maupun gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik
untuk gangguan skizoafektif (Tabel 3) mencerminkan perubahan yang telah terjadi
di dalam kriteria diagnosis untuk kedua kondisi lain.
Tabel 3. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV) 5
Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif

23

A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode campuran
dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia
Catatan : Episode depresi berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode ditemukan untuk sebagian bermakna
dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit
D. Gangguan bukan kareka efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: Jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau suatu
manik suatu episode campuran dan episode depresi berat)
Tipe depresif: Jika gangguan hanya termasuk episode depresi berat
Tabel dari DSM-IV, diagnostic and statistical manual of mental disorders.Ed. 4.Hak cipta American
Psychiatric Association. Washington. 1994

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien


menderita gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif tipe
depresif.Seorang pasien diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang
ada adalah dari tipe manik atau suatu episode campuran dan episode depresif
berat. Selain itu, pasien diklasifikasikan menderita tipe depresif.
Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah
karena cukup sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitiu saja.
Kondisi-kondisi lain dengan gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan
atau membentuk sebagian penyakit skizoafektif yang sudah ada, atau dimana
gejala-gejala itu berada bersama-sama atau secara bergantian dengan gangguangangguan waham menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang sesuali
dalam F20-F29. Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana perasaan
(mood) pada gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis
gangguan skizoafektif (lihat Tabel 4).

24

Tabel 4. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJIII6

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitive


adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif damasama menonjol pada saat yang bersamaan (stimultaneously), atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang
sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak
memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.

Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gelaja skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbedah.

Bila seseorang pasien skizoafrenik menunjukkan gejala depresif setelah


mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F.20.4 (Depresi
Pasca-skizofrenia)

Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoefektif berulang, baik berjenis


manik (F25.0) maupun depresif (F.25.1) atau campuran dari keduanya
(F.25.2). pasien lain mengalami satu atau dua episode manik atau depresi
(F30-F33)

3.1.7 Diagnosis Banding


Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik, pemeriksaan medis
lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik. semua kondisi
yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood perlu
dipertimbangkan. Pasien yang diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin
dan phencyclidine (PCP), dan beberapa pasien dengan epilepsi lobus temporalis
secara khusus kemungkinan datang dengan gejala skizofrenik dan gangguan
mood yang bersama-sama.1 Selain itu, apabila pasien menunjukkan gejala klinis
lain seperti aktivitas motorik katatonia yang khas, dapat pula didiagnosis banding

25

dengan skizofrenia katatonik (lihat Tabel 5). Setiap kecurigaan terhadap kelainan
neurologis perlu didukung dengan pemeriksaan pemindaian (CT Scan) otak untuk
menyingkirkan kelainan anatomis dan elektroensefalogram untuk memastikan
setiap gangguan yang mungkin.1,4
Tabel 5. Pedoman Diagnostik Skizofrenia Katatonik berdasarkan PPDGJIII6

26

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia

Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
A. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
B. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
C. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
D. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan ke arah yang
berlawanan);
E. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
F. Fleksibilitas cerea/waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
G. Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizorenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit
otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.

27

Diagnosis banding psikiatrik juga termasuk semua kemungkinan yang


dipertimbangkan untuk skizofrenia dan gangguan mood. Di dalam praktik klinis,
psikosis pada saat datang mungkin mengganggu deteksi gejala gangguan mood
pada masa tersebut atau masa lalu. Dengan demikian, klinisi boleh menunda
diagnosis psikiatrik akhir sampai gejala psikosis yang paling akut (perhatikan
Tabel 6) telah terkendali.1
Tabel 6. Pedoman Diagnostik Psikotik Lir-skizofrenia (schizophrenia-like)
Akut berdasarkan PPDGJ-III

Untuk diagnosis pasti harus memenuhi:


H. Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari suatu keadaan
nonpsikotik menjadi keadaan yang jelas psikotik);
I. Gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk skizofrenia (F20.-) harus ada
untuk sebagian besar waktu sejak berkembangnya gambaran klinis yang jelas
psikotik;
J. Kriteria untuk psikotik polimorfik akut tidak terpenuhi.

Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk kurun waktu lebih dari 1 bulan
lamanya, maka diagnosis harus dirubah menjadi skizofrenia.

3.1.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan
prognosis pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan
gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien
dengan gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien
dengan gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien
dengan skizofrenia. Generalisasi tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian
yang mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang

28

ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan
gangguan itu sendiri.
Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe
bipolar, mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan
gangguan bipolar dan bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang
perlahan-lahan; tidak ada faktor pencetus; menonjolnya gejala pskotik, khususnya
gejala defisit atau gejala negatif; onset yang awal; perjalanan yang tidak
mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masingmasing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya atau
tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak meramalkan
perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan
jenis kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan
bahwa perilaku bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan
skizoafektif daripada laki-laki dengan gangguan tersebut. Insidensi bunuh diri di
antara pasien dengan gangguan skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.
3.1.9 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah
perawatan di rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Terapi
psikofarmaka yang diberikan pada skizoaktif tipe bipolar adalah obat golongan
mood stabilizer, baik lithium atatu carbamazepine sama efektifnya, sedangkan
untuk tipe depresif yang terbukti lebih efektif adalah dengan pemberian
carbamazepine dibanding lithium. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi
untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa antidepresan dan antimanik diberikan
sesuai bentuk afek yang menonjol dan bahwa antipsikotik digunakan berdasarkan
gejala psikotik yang muncul. Pada skizoafektif tipe manik, terapi dilakukan lebih
agresif untuk mencapai konsentrasi obat dalam darah pada tingkat menengah
sampai tinggi. Ketika pasien sudah dalam fase maintenance, dosis dapat
diturunkan untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan. Pemeriksaan

29

laboratorium secara berkala perlu dilakukan untuk menilai fungsi thyroid, ginjal
dan sel-sel darah.
Antidepresan diberikan pada pasien skizoafektif tipe depresif, tetapi harus
dengan perhatian yang ketat karena dapat terjadi pergeseran gejala dari episode
depresif menjadi episode manik pada pemberian antidepresan. Antidepresan lini
pertama yang diberikan adalah golongan SSRI, karena selain cukup efektif, obat
ini juga memiliki sedikit efek samping pada sistem kardiovaskular. Pasien
skizoafektif dengan gejala agitasi atau insomnia lebih berespon dengan obat
golongan trisiklik.
3.1.10 Farmakologi Anti Depresan
1. Carbamazepine
Absorbsi carbamazepine lambat dan tidak terprediksi. Pemberian bersama
makanan mempercepat proses absorbs. Konsentrasi puncak dicapai dalam 2-8 jam
setelah pemberian dosis tunggal dengan waktu paruh rata-rata 26 jam. Pada
penggunaan jangka panjang, waktu parah dapat menurun hingga rata-rata 12 jam.
Carbamazepine terdiri dari dua bentuk sediaan, yaitu extended release dan
kombinasi intermediate, extended-release, dan very slow-release beads. Bentuk
pertama diberikan setelah makan untuk menjamin waktu transit gastrointestinal
yang normal,bentuk kedua lebih cocok diberikan pada malam hari.
Efek carbamazepine diduga akibat ikatannya dengan berikatan
pada voltage-dependent sodium channel di fase inaktif sehingga
memperpanjang masa inaktifnya. Selain itu juga diduga bekera pada
NMDA glutamate-receptor channel, competitive antagonism of adenosine
A1 receptor, dan sistem katekolamin.
Indikasi pemberian carbamazepine diantaranya episode manik
akut; profilaksis gangguan bipolar, skizoafektif, dan manik disforia;
episode depresi akut. Respon terhadap episode manik terlihat setelah 2-3
minggu pemberian. Efek samping carbamazepine diantaranya diplopia,
vertigo, gangguan gastrointestinal, efek hematologi, agranulositosis,
sindrom steven Johnson, anemia aplastik, sirosis hepatis.

30

Dosis target untuk efek antimanik sekitar 1.200 mg per hari dengan
pemberian 3-4 kali per hari carbamazepine 300-400 mg dalam bentuk
immediate release. Carbamazepine extended release tersedia dalam
sediaan kapsul dan tablet 100, 200, dan 300 mg. Obat dapat diberikan
dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.8
2. Lithium
Lithium diabsorbsi secara komplit dan cepat setelah administrasi oral
dengan konsentrasi puncak terjadi setelah 1-1,5 jam denganbentuk sediaan biasa,
dan 4-4,5 jam dengan bentuk sediaan lambat atau lepas terkontrol. Waktu paruh
1,3 hari pada awal pemberian dan menjadi 2,4 hari setelah penggunaan lebih dari
satu tahun.
Indikasi pemberian lithium diantaranya episode manik, episode
depresif pada gangguan bipolar, episode depresif mayor, skizofrenia dan
skizoafektif. Penggunaan lithium pada pasien skizoafektif lebih efektif
pada pasien dengan gejala afektif yang lebih dominan. Lithium memiliki
risiko efek samping yang tinggi, efek samping yang beragam terjadi pada
80% pengguna lithium. Untuk itu pentung untuk meminimalisir risiko efek
samping dengan cara mengawasi kadar lithium dalam darah dan
memberikan intervensi farmakologi yang sesuai untuk mengatasi efek
samping yang muncul. Efek samping lithium dapat terjadi di semua sistem
organ dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Pemberian lithium
dengan antipsikotik tipikal juga perlu mendapat perhatian serius karena
interaksi antara keduanya bisa memperburuk gejala ekstrapiramidal.
Lithium karbonat tersedia dalam bentuk kapsul (150, 300, 600 mg),
tablet (300 mg), tablet lepas terkontrol (450mg), tablet lepas lambat (300
mg), dan sirup (8mEq/5 mL). Dosis awal untuk dewasa 300 mg tiga kali
sehari. sedangkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal hanya dua
kali sehari. Dosis kemudian dapat ditingkatkan sampai 1800 mg per hari
untuk mencapai konsentrasi terapetik 1,2 mEq/L. Penghentian pemberian
lithium dilakukan perlahanagar tidak terjadi rekurensi gejala manik.8

31

3. Antipsikotik atipikal
Obat antipsikotik atipikal memiliki kemampuan memblok reseptor
serotonin tipe 2 dan reseptor dopamin D 2. Antispikotik atipikal bekerja
lebih spesifik di mesolimbik dibanding daerah striata. Beberapa obat
golongan ini yang sering digunakan antara lain riseridon, clozapin,
olanzapin, dan aripiprazole (golongan ketiga). Meskipun risiko terjadinya
sindrom ekstrapiramidal rendah, beberapa obat golongan atipikal sering
menyebabkan peningkatan berat badan, yang kemudian menjadi risiko
diabetes melitus dan sindrom metabolik.
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala psikosis baik akut
maupun kronis pada remaja dan dewasa. Selain mengatasi gejala positif
juga berperan dalam mengurangi gejala negatif, afektif, dan kognitif.
Kasus relaps ditemukan lebih rendah pada pasien yang diberi antipsikotik

atipikal dibanding antipsikotik tipikal.8


Gambar 2. Struktur molekuler antagonis serotonin-dopamin

32

BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. BE, laki-laki 25 tahun, datang ke IGD RSMH dengan keluhan
kelemahan aktivitas motorik. Di IGD, pasien diterima oleh Bagian Neurologi.
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, tidak terdapat kelainan neurologis
yang berarti pada pasien. Pasien kemudian dikonsulkan ke Poli Psikiatri RSMH.
Dari alloanamnesis didapatkan bahwa pasien mulai mengalami perubahan
perilaku sejak 2 minggu SMRS. Kurang lebih 2 minggu SMRS, pasien
mengeluh pusing dan tiba-tiba pingsan. Ketika sadar, sejak saat itu pasien sering
melamun dan merasa ketakutan. Pasien dikatakan pernah berbicara seperti
mengobrol di dalam kamar padahal tidak ada orang lain disana. Pasien juga
dikatakan sering melihat ke langit-langit rumah. Pasien menjadi sering murung,
menutup diri, dan membatasi interaksi dengan keluarga, bahkan komunikasi
sering tidak nyambung. Selain itu, pasien menjadi sering menangis tanpa alasan.
Saat ditanya oleh keluarganya, pasien diam saja dan tidak bergeming. Pasien
memang dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan cenderung tertutup.
Seminggu kemudian, pasien mengalami kelemahan motorik. Pasien
kemudian dibawa keluarga ke RSEB untuk berobat. Namun, pasien dinyatakan
tidak memiliki gangguan kejiwaan oleh dokter di IGD RSEB. Menurut dokter
RSEB, kelainan motorik yang dialami pasien disebabkan oleh kelainan
neurologis.
Pasien kemudian dibawa ke RSMH dan dirawat di Bagian Neurologi.
Kemudian Bagian Neurologi RSMH menyatakan tidak ada kelainan neurologis
yang berarti pada pasien. Selain itu, riwayat trauma kepala, penggunaan alkohol
dan NAPZA disangkal oleh keluarga menunjukkan tidak ada kelainan organik.

33

Setelah ditanyai lebih dalam mengenai kemungkinan stressor pada pasien,


diketahui bahwa pasien telah bertunangan dengan perempuan yang dikenalkan
oleh keluarganya sejak 4 bulan yang lalu. Sesuai pengakuan, pasien belum siap
untuk menikah, namun keluarga calon istri pasien ingin pasien segera menikah.
Selain itu, keluarga menyatakan bahwa pasien terlihat sering murung saat
memikirkan kakak pasien yang tidak bekerja. Hubungan pasien dan kakak pasien
cukup dekat.
Berdasarkan pengamatan pemeriksa, sensorium pasien saat dinilai adalah
kompos mentis, terdapat kontak namun tidak adekuat. Pasien dinilai kurang
kooperatif, hipoaktif, afek datar, dan terdapat tanda-tanda katatonia, mutisme, dan
stupor. Mood hipotimik, emosi dangkal dan sukar diraba rasakan, arus pikiran
autistik, konversi dan hipobulia. Dugaan adanya halusinasi auditorik dan visual
didapatkan dari kesimpulan alloanamnesis karena pada pasien belum dapat dinilai.
Pada pasien ini, ditemukan gejala-gejala utama depresi yaitu kehilangan
minat dan kegembiraan (melamun dan sering menangis tanpa alasan) serta
berkurangnya energi yang bermanifestasi menjadi kelemahan motorik. Gejala
depresi lainnya seperti sulit tidur, nafsu makan berkurang, kepercayaan diri
berkurang, gagasan bahwa dirinya tidak berguna, ataupun ide untuk bunuh diri
belum dapat dinilai. Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien mengarah ke
kondisi depresi berat yang terjadi dalam kurun waktu 2 minggu SMRS.
Selain gejala depresi, pada pasien ini juga ditemukan adanya gejala
psikotik. Sehingga diagnosis skizofrenia belum dapat disingkirkan. Temuan yang
mengarah pada skizofrenia di antaranya adanya dugaan halusinasi auditorik dan
visual dari hasil alloanamnesis berupa kecenderungan pasien melihat ke langitlangit rumah dan berbicara sendiri.
Berdasarkan DSM-V maupun PPDGJ-III, gejala klinis yang ditemukan
pada pasien ini mengarah ke gangguan skizoafektif, dikarenakan adanya gejala
gangguan mood (depresi) dan skizofrenia pada saat yang bersamaan. Pada pasien
ini gejala yang lebih menonjol adalah gejala depresi. Maka pada aksis I gangguan
berupa skizoafektif tipe depresi. Diagnosis aksis II tertunda karena belum dapat
dilakukan autoanamnesis yang adekuat. Aksis III tidak ada diagnosis. Pada aksis

34

IV stressor berupa masalah keluarga, yaitu kecenderungan pasien memikirkan


nasib kakaknya yang tidak bekerja. Aksis V GAF scale saat diperiksa 50-41.
Pasien didiagnosis banding dengan gangguan Schizofreniform, Skizofrenia
katatonik dan Gangguan psikotik lir-skizofrenia (Schizofrenia like) akut. Apabila
gejala-gejala skizofrenia menetap untuk kurun waktu lebih dari 1 bulan lamanya, maka
diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia, sehingga pada pasien juga didiagnosis
banding dengan F20.2 skizofrenia katatonik. Diagnosis banding lain yang ditemukan
pada pasien adalah gangguan schizofreniform yang ditandai dengan gejala halusinasi,
berbicara kacau, gejala negatif seperti afek datar.

Terapi yang diberikan berupa psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka


yang diberikan berupa Risperidon 1 mg 2 x 1 sebagai antipsikotik dan Lorazepam
2 mg 1 x untuk mengurangi ansietas yang dapat memicu depresi. Psikoterapi
pada pasien ini lebih ditekankan kepada psikoterapi keluarga, dimana keluarga
dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien. Selain itu, psikoterapi
suportif ditujukan untuk memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam
menghadapi masalah, serta memotivasi pasien agar meminum obat secara teratur,
dan rutin kontrol setelah pulang dari perawatan di rumah sakit.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psychiatry. 9th ed. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins: 2003
2. Benjamin J., Sadock MD. Virginia A. Kaplan & Sadocks Pocket
Handbook of Psychiatric Drug Treatment
3. Kaplan

HI, Sadock

BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid II.

Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 33-46


4. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadocks Comprehensive
Textbook of Physchiatry. 9th ed. Philadelpia: Lippincott William &
Wilkins: 2009
5. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta; 2001.
6. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta;
2013.
7. Jiwo T. Pusat Pemulihan dan Pelatihan Penderita Gangguan Jiwa.
Available from URL: http://www.tirtojiwo.seri-depresi.pdf.com
8. Sulistia G. Ganiswarna. Farmakologi dan terapi. 4

th

ed. Indonesia; Gaya

baru jakarta. 1995


9. Junaldi I. Anomali Jiwa. Dalam : Gangguan Kecemasan. Edisi 1.

36

Yogyakarta:Percetakan Andi, 2012. Hal:124-141

37

Vous aimerez peut-être aussi