Vous êtes sur la page 1sur 16

DAMPAK REVALUASI ASET TETAP TERHADAP PERPAJAKAN

Mata Kuliah : Perpajakan Lanjutan


Dosen Pengajar: Dr. Luk Luk Fuadah, SE., M.Si., Ak.
Dr. Saadah Siddik, M.Si., Ak., CA.

NAMA:
ANISA LISTYA (01022681519017)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

I. PENDAHULUAN
Aset tetap merupakan bagian terpenting dalam laporan keuangan, bahkan untuk entitas
yang capital intensif jumlah aset tetap ini dominan dibandingkan dengan aset yang lain.
Penggunaan aset tetap yang efisien menentukan kinerja entitas. Pada saat entitas menambah
modalnya dalam bentuk utang, aset tetap sangat diperhatikan dalam menentukan kelayakan
dan jumlah kredit yang akan diberikan, karena aset tetap digunakan sebagai jaminan kredit.
Umumnya aset tetap dinilai sebesar harga perolehan. Selama masa manfaat aset tersebut
disusutkan sehingga nilai aset menjadi semakin kecil. Penggunaan harga perolehan
menjadikan beberapa nilai aset di neraca tidak mencerminkan nilai sebenarnya. Gedung yang
telah dipakai untuk operasi lebih dari 20 tahun, mungkin nilainya sudah mendekati nol,
walaupun sebenarnya nilai gedung tersebut masih tinggi. Entitas yang memiliki umur lebih
tua cenderung memiliki aset yang lebih kecil sedangkan entitas yang baru berdiri memiliki
aset yang tinggi karena aset tetapnya dibeli dengan menggunakan harga terkini.
Berdasarkan ketentuan PSAK 16 tahun 1994, entitas melakukan penilaian kembali
asetnya sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Biasanya revaluasi aset dilakukan pada saat
akan go publik, menambah modal dengan menerbitkan tambahan saham, restrukturisasi,
akuisisi atau dalam rangka kuasi reorganisasi. Salah satu tujuan revaluasi adalah agar nilai
aset perusahaan menunjukkan kondisi yang sebenarnya, sehingga entitas dapat menjual
sahamnya dengan harga yang lebih tinggi, atau memiliki nilai yang tinggi pada saat diakuisisi
pihak lain. Penggunaan nilai historis (harga perolehan) menjadikan nilai aset tetap kehilangan
relevansi karena tidak mencerminkan nilai terkini sehingga perlu dibaca dengan hati-hati.
Beberapa analis kredit meminta bantuan apraisal untuk menilai kembali aset tetap jika akan
digunakan untuk menentukan jumlah kredit dan kelayakan entitas menerima kredit. Namun
nilai historis memiliki keunggulan dari sisi keandalan. Nilai historis didasarkan pada harga
perolehan saat pembelian sehingga bukti dan nilainya dapat diverifikasi. Sedangkan nilai
wajar atau nilai terkini untuk aset tetap tidak mudah diperoleh karena tidak ada harga pasar
aktif untuk aset tetap. Jika ditentukan sendiri oleh perusahaan memungkinkan bias dalam
penilaian. Penilaian oleh appraisal dapat memberikan hasil beragam jika asumsi yang
digunakan berbeda.
Ketentuan penilaian kembali aset tetap (revaluasi) lazim didahului kondisi ekonomi dan
moneter dengan indikator devaluasi terhadap nilai tukar mata uang asing, volatilitas nilai
tukar, perkembangan harga yang semakin mencolok, dan sebagian upaya memperbaiki iklim
investasi. Dengan alasan tersebut, harga perolehan aset tetap pada masa lalu dapat dinilai
kembali berdasar harga pasar yang wajar. Melalui revaluasi, penetapan laba dan biaya diukur

secara sepadan, struktur ekuitas dan posisi finansial perusahaan diperbaiki pada tingkat yang
sesungguhnya, dan penghematan pajak untuk masa mendatang dapat diharapkan. Pemahaman
atas revaluasi aset tetap terkait dengan konsepsi dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya:
akuntansi, perpajakan, dan metode yang lazim digunakan dalam penilaian aset. Kajian teoritis
berkenaan dengan pandangan akuntansi mengenai penilaian aset menjadi signifikan. Di
samping pemahaman terhadap arti penilaian oleh lembaga penilai, pemikiran tersebut juga
memberikan wacana untuk memahami ketentuan revaluasi untuk tujuan perpajakan.
Kebijakan perpajakan di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun pernah menetapkan
ketentuan revaluasi, yaitu pada tahun 1971, 1976, 1979, 1986, 1996, dan 1998. Ketentuan
revaluasi tersebut bersifat opsional sehingga rnemberikan kelonggaran kepada wajib pajak
untuk mengambil manfaat atau rnenghindari akibat finansial yang ditimbulkan. Analisis
terhadap ekspektasi benefit masa mendatang dapat digunakan untuk mengukur arus kas yang
disebabkan revaluasi aset tetap. Posisi finansial, terutama struktur permodalan dapat
diperbandingkan antara melakukan revaluasi atau tidak melakukan revaluasi. Pertimbangan
aspek pajak dan aspek pengaturan menjadi tinjauan dalam mengevaluasi kebijakan pajak atas
revaluasi. Disparitas tarif pajak revaluasi 10% dan tarif maksimum 30% PPh Badan dan
pengeluaran lainnya, karakteristik aset yang dinilai kembali, faktor diskonto, berpengaruh
terhadap ekspektasi benefit. Nampaknya perlu dikaji lebih mendalam sehubungan dengan
tidak signifikannya ekspektasi benefit dan cost untuk wajib pajak (tertentu) apabila
melakukan revaluasi aset tetap. Berbagai aspek perpajakan terhadap revaluasi dapat menjadi
pertimbangan dalam kondisi kesulitan likuiditas dan kelangkaan sumber dana (funds market).
Otoritas fiskus dapat mengefektifkan fungsi regulasi atas kebijakan revaluasi yang pada
gilirannya dapat mengefisienkan penerimaan pajak. Sehubungan dengan kebijakan revaluasi
aset tetap bagi perusahaan, rumusan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah:
Bagaimana dampak revaluasi aset tetap terhadap perpajakan (pajak penghasilan badan)?
II. KAJIAN TEORI
A. Pengertian Revaluasi Aset Tetap
Menurut PSAK 16 revisi 2007, revaluasi merupakan salah satu metode penilaian aset
tetap. Jika suatu entitas memilih menggunakan metode revaluasi maka metode ini harus
diterapkan secara konsisten oleh perusahaan. Perusahaan tidak boleh hanya menggunakan
metode revaluasi sesekali untuk tujuan seperti yang disebutkan di atas, tetapi revaluasi
harus dilakukan secara reguler. Penerapan metode revaluasi dilakukan untuk aset tetap
dalam kelompok yang sama. Tidak ada penjelasan rinci pengertian kelompok yang sama,

namun secara implisit dapat dikatakan jika suatu entitas memiliki aset tetap yang
disajikan dalam satu kelompok, maka model penilaian yang digunakan harus sama.
Sebagai contoh jika induk menggunakan metode revaluasi maka konsekuensinya anak
perusahaan untuk kelompok aset tanah harus menggunakan metode revaluasi. Namun
untuk peralatan, apakah dianggap satu kelompok atau dapat menggunakan sub kelompok
misal kendaraan, mesin, peralatan kantor, tidak ada pedoman yang mengaturnya.
Pada saat melakukan revaluasi, selisih antara nilai tercatat aset dan nilai hasil
revaluasi akan dibukukan sebagai surplus revaluasi. Revaluasi tidak diakui dalam laporan
laba rugi tahun berjalan tetapi merupakan komponen dalam laba rugi komprehensif yang
merupakan bagian dari ekuitas. Jika sebelum revaluasi entitas telah melakukan penurunan
nilai maka, akan dilakukan pembalikan penurunan nilai sebelum diakui sebagai surplus
revaluasi. Jika revaluasi menghasilkan nilai yang lebih kecil dari nilai aset tercatat maka
penurunan nilai ini, pertama akan mengurangi surplus revaluasi (jika ada), setelah tidak
ada lagi baru akan mengurangi saldo laba. Dengan pencatatan seperti itu, maka entitas
akan mengakui penurunan nilai (impairment), ketika revaluasi menghasilkan nilai aset
lebih kecil dari nilai terbawa (carrying value) dengan menggunakan metode biaya.
Surplus revaluasi yang telah disajikan ke saldo laba pada saat aset tersebut dihentikan
pengakuan atau disusutkan. Surplus revaluasi akan dipindahkan ke saldo laba selama sisa
masa manfaat aset tersebut, jika aset tersebut dihentikan pengakuan pemindahannya
dilakukan sekaligus dari sisa surplus revaluasi yang masih ada. Pemindahan dilakukan
dengan mendebit surplus revaluasi dan kredit saldo laba tanpa melalui laporan laba rugi.
Revaluasi merupakan salah satu cara untuk mewajarkan nilai aset/aset yang dimilki
perusahaan dan seringkali digunakan untuk menghemat pajak yang harus dibayar. Aset
tetap merupakan aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau
penyediaan barang atau jasa untuk disewakan kepada pihak lain, atau tujuan administratif
dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode (SAK-ETAP). Revaluasi
aset tetap merupakan penilaian kembali aset tetap perusahaan, yang diakibatkan adanya
kenaikan nilai aset tetap tersebut di pasaran atau karena rendahnya nilai aset tetap dalam
laporan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh devaluasi atau sebab lain, sehingga
nilai aset tetap dalam laporan keuangan tidak lagi mencerminkan nilai yang wajar
(Waluyo, 2011). Pada dasarnya penilaian kembali aset tetap dilakukan berdasarkan nilai
pasar atau nilai wajar aset tetap tersebut pada saat penilaian dengan menggunakan metode
penelitian yang lazim berlaku di Indonesia dan dilakukan oleh perusahaan penilai atau
penilai yang diakui oleh Pemerintah. Jika nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan

penilai atau penilai yang diakui oleh Pemerintah tidak mencerminkan keadaan yang
sebenarnya maka Direktur Jenderal Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai
wajar asset yang bersangkutan.
B. Revaluasi Aset Tetap Berdasarkan Undang-Undang Pajak
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 384/KMK.04/1998 tanggal 14 Agustus
1998 dan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 29/Pj.42/1998, menjelaskan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang dapat melakukan revaluasi adalah WP Badan dalam negeri yang
terletak atau berada di Indonesia. Wajib Pajak Badan dalam negeri adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, dana persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
2. Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir
sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali. Kewajiban pajak yang
dimaksud terdiri dari:
a. Pajak Penghasilan (PPh);
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM);
c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Dalam pasal 19 Undang-Undang No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang No. 36/2008 disebutkan
Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aset dan
faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga. Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No.
79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Untuk Tujuan
Perpajakan disebutkan atas selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan di atas
nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar
10%. Dalam beleid itu diamanatkan revaluasi aset tetap perusahaan dilakukan terhadap
seluruh aset tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna
bangunan. Revaluasi juga dilakukan pada aset tetap selain berwujud tanah yang terletak
atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dalam rangka menambah setoran

tunai pajak penghasilan, pemerintah telah mengeluarkan fasilitas perpajakan terkait


revaluasi aset. Fasilitas ini memberikan tiga keuntungan bagi pelaku usaha jika pelaku
usaha melakukan revaluasi aset tahun 2015 dan tahun 2016. Jika tahun 2017 atau
setelahnya, maka pemajakannya tidak mendapat diskon.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015 pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan perpajakan terkait revaluasi, khususnya revaluasi yang dilakukan
tahun 2015 dan 2016. Peraturan menteri keuangan ini diberi nama "Penilaian Kembali
Aset Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015
Dan Tahun 2016". PMK Nomor 191 tentang revaluasi aset ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan yakni 20 Oktober 2015. Secara formal, tujuan kebijakan khusus ini adalah:
menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena ini
merupakan

kebijakan

khusus,

maka

Peraturan

Menteri

Keuangan

nomor 191/PMK.010/2015 tidak mencabut atau mengubah Peraturan Menteri Keuangan


nomor 79/PMK.03/2008. Jadi, setelah 2016 ketentuan tentang PPh atas revaluasi kembali
lagi ke Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 dan tarif yang dikenakan
10%. Tarif khusus tahun 2015 dan 2016 itu sebagai berikut:

3% (tiga persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian
kembali aset tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, dan melunasi Pajak
Penghasilan sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;

4% (empat persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian
kembali aset tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, dan melunasi Pajak
Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai
dengan tanggal 30 Juni 2016;

6% (enam persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian
kembali aset tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, dan melunasi Pajak
Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2016

Idealnya PPh ini dikenakan selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan di atas
nilai sisa buku fiskal semula. Selisih lebih ini diketahui setelah ada laporan perusahaan
jasa penilai atau ahli penilai. Inilah yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan

nomor 79/PMK.03/2008. Adapun keuntungan bagi Wajib Pajak yang melakukan revaluasi
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015 adalah:
1.

Diskon tarif PPh menjadi lebih kecil yaitu, 3%, 4% atau 6% saja;

2.

Sisi aset Neraca perusahaan akan naik sebesar nilai lebih dan dicatat dalam
akun "Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap Wajib Pajak Tanggal .... ". Akun ini
disusutkan sesuai masa manfaat aset Tetap. Artinya, tahun-tahun setelah revaluasi
penghasilan neto fiskal akan tergerus oleh penyusutan selish lebih revaluasi.

3.

Sisi ekuitas Neraca akan muncul "saham baru" baik berupa saham bonus atau
saham baru tanpa penyetoran. Saham baru ini bukan objek PPh sesuai Pasal 2b
Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2010. Secara umum, penambahan saham tanpa
setoran, apapun namanya, dianggap dividen. Bisa lihat bagian penjelasan Pasal 4 (1)
huruf g UU PPh.

Jadi, keuntungan bagi pebisnis dengan revaluasi ini adalah selain mendapat diskon pajak
penghasilan, pemegang saham juga dapat tambahan saham yang bukan objek PPh, dan
secara fiskal penghasilan neto akan lebih kecil dibanding tahun lalu. Satu lagi keuntungan
revaluasi adalah bahwa dengan tambahan nilai aset maka perusahaan mendapat tambahan
kredit bank untuk modal kerja atau menaikkan nilai saham sebelum Initial Public
Offering (IPO).
C. Aset Tetap yang Dapat Direvaluasi
Aset tetap yang dapat direvaluasi, yaitu:
1. Aset tetap berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan, dan bukan i Aset Tetap
bangunan yang tidak dimaksudkan untuk dialihkan atau dijual.
2. Aset tersebut terletak atau berada di wilayah Indonesia.
3. Penilaian kembali dapat dilakukan terhadap seluruh aset tetap (revaluasi total) atau
terhadap sebagian aset tetap (revaluasi parsial) yang dimiliki perusahaan.
4. Penilaian kembali aset tetap dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset
tetap pada saat penilaian dilakukan, yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau
penilai yang diakui oleh pemerintah.
5. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau
penilai yang diakui oleh pemerintah ternyata kemudian tidak mencaerminkan keadaan
yang sebenarnya, Dirjen Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar
yang bersangkutan.
6. Selisih antara nilai pasar atau nilai wajar dengan nilai buku fiskal aset tetap yang
dinilai kembali wajib dikompensasikan terlebih dahulu dengan kerugian fiskal tahun

berjalan dan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan.
7. Selisih lebih karena penilaian kembali setelah dilakukan kompensasi kerugian
dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, sebesar 10% .
8. Bagi WP yang melakukan penggabungan usaha, pajak penghasilan yang terhutang
sebesar 10% di atas, dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama 5 tahun terhitung
sejak tahun dilakukannya penilaian kembali aset tetap perusahaan.
9. Pajak penghasilan yang harus dilunasi untuk setiap tahun paling sedikit sebesar 20%
dari jumlah pajak yang terutang, kecuali pelunasan untuk tahun terakhir.
10. Apabila WP melakukan penilaian kembali aset tetap sebelum akhir tahun pajak, maka
kerugian fiskal pada tahun buku yang bersangkutan, diperhitungkan sampai dengan
dilakukannya revaluasi aset tetap tersebut.
11. Nilai pasar atau nilai wajar merupakan dasar penyusutan aset mulai tahun pajak
dilakukannya penilaian kembali aset tetap tersebut penyusutan dilakukan sesuai
dengan Pasal 11 UU Pajak Penghasilan.
12. Aset tetap yang telah dilakukan penilaian kembali dan telah dikenakan Pajak
Penghasilan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain sebelum lewat jangka waktu 5
tahun setelah dilakukannya penilaian kembali.
13. Apabila WP mengalihkan aset tetap tersebut sebelum lewat jangka waktu 5 tahun,
maka atas selisih penilaian aset tetap tersebut tetap dikenakan Pajak Penghasian yang
terutang sebesar 10% dan tambahan Pajak Penghasilan final sebesar 15%.
14. Dikecualikan dari jangka waktu 5 tahun jika aset tetap tersebut dialihkan kepada
pemerintah atau dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran
usaha.
D. Alasan Wajib Pajak Melakukan Revaluasi Aset Tetap
Beberapa alasan wajib pajak melakukan revaluasi aset tetap yaitu:
1. Meningkatkan nilai perusahaan (mark-up) sehingga memudahkan perusahaan dalam
proses pencarian dana, baik pinjaman bank maupun pinjaman saham (go public);
2. Meningkatkan biaya penyusutan aset tetap di masa datang sehingga deductible
expense di masa datang semakin besar dan beban pajak semakin kecil;
3. Meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun biaya sehingga
mencerminkan kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba;
4. Agar neraca perusahaan menunjukan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya.
E. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Melakukan Revaluasi Aset Tetap
1. Revaluasi Parsial atau Menyeluruh
Objek revaluasi adalah aset berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan, dan
bukan bangunan yang tidak dimaksudkan untuk dialihkan atau dijual atau bukan

barang dagangan. Revaluasi parsial berarti perusahaan hanya melakukan revaluasi


atas sebagian aset tetap yang ada sesuai pertimbangan perusahaan. Bagi perusahaan
tertentu, misalnya perusahaan perkebunan, revaluasi atas tanah tidak menarik. Hal ini
disebabkan adanya pembayaran PPh sebesar 10% atas selisih lebih penilaian kembali
aset padahal tanah tidak disusutkan, sehingga tambahan beban penyusutan tahuntahun mendatang hanya dari selisih lebih revaluasi atas aset tetap selain tanah,
padahal asset tanah nilainya paling besar dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan
demikian, perusahaan dapat melakukan revaluasi parsial sepanjang yang tidak
direvaluasikan adalah aset tetap berupa tanah yang tidak disusutkan.
2. Pembayaran PPh Sebesar Sepuluh Persen yang Bersifat Final
Bagi perusahaan yang akan melakukan revaluasi perlu melakukan penghitungan
apakah membayar PPh 10% itu lebih menguntungkan dibanding dengan tarif PPh
badan sebesar 25%. Aset tetap yang sudah direvaluasi dan biaya penyusutan akan
mengurangi Penghasilan Kena Pajak (PKP). Umur aset akan kembali seperti semula,
meskipun sebenarnya telah digunakan lebih dari separuh umur.
3. Pembayaran Pajak Selama Lima Tahun
Bagi perusahaan yang melakukan penggabungan usaha, PPh sebesar 10% yang
terutang dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama lima tahun. Kemudian ini
sangat membantu likuiditas perusahaan yang melakukan revaluasi dan kemudian
melakukan penggabungan. Namun, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 4 huruf b
Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.04/1998 yang menegaskan bahwa Wajib
Pajak yang melakukan penggabungan, peleburan, atau pemekaran harus melunasi
seluruh utang pajak dari tiap perusahaan terkait.

F. Permohonan Ijin Revaluasi Aset Tetap


Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa
pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali. Perusahaan adalah Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang
memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar
Amerika Serikat. Untuk melakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan, perusahaan
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. Persetujuan Direktur Jenderal
Pajak diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang

membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Perusahaan terdaftar (KPP Domisili), dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. PER-12/PJ./2009. Bersamaan dengan surat Permohanan Persetujuan Penilaian
Kembali Aset Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan, juga wajib dilampirkan:
1. Fotokopi surat ijin usaha perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh ijin
dari Pemerintah, yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang berwenang menerbitkan
surat ijin usaha tersebut;
2. Laporan penilaian Perusahaan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang
memperoleh ijin dari Pemerintah;
3. Daftar Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan sebagaimana
dimaksud dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ./2009 ];
4. Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aset tetap perusahaan
yang telah diaudit akuntan publik.
Bila permohonan Perusahaan telah memenuhi persyaratan formal dan material, Kepala
Kantor Wilayah DJP atas nama DJP wajib menerbitkan keputusan persetujuan. Tetapi jika
berdasarkan hasil penelitian, permohonan Perusahaan tidak memenuhi persyaratan formal
dan/atau material, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama DJP wajib menerbitkan keputusan
penolakan. Keputusan persetujuan atau keputusan penolakan wajib diterbitkan paling lama
tiga puluh hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Perusahaan. Apabila jangka
waktu 30 hari kerja terlampaui dan DJP belum menerbitkan keputusan persetujuan atau
keputusan penolakan, permohonan Perusahaan dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah
DJP atas nama DJP wajib menerbitkan keputusan persetujuan. Keputusan persetujuan wajib
diterbitkan paling lama tiga hari kerja setelah tanggal berakhirnya jangka waktu. Artinya
wajib diterbitkan pada hari ke 33 (tiga puluh tiga).
III.

P EMBAHASAN
A. Pembahasan Jurnal dan Artikel
Dalam penelitian Hudan Akbar Ramadhan (2013) yang membahas tentang
Analisis Revaluasi Aset Tetap Terhadap Penghematan Beban Pajak Penghasilan Pada
PT. INKA Madiun, didapatkan hasil penelitian sebagai berikut: PT. INKA melakukan
revaluasi aset tetap efektif per 14 Januari 2010. Metode revaluasi yang digunakan
perusahaan adalah revaluasi parsial. Revaluasi parsial adalah revaluasi yang hanya
dilakukan pada sebagian aset yang dimilki perusahaan, seperti tanah, bangunan, dan
sarana pelengkap serta mesin produksi. Pada tahun 2010, perusahaan melakukan
pencatatan atas aset yang telah direvaluasi sebesar nilai wajar pada tanggal revaluasi

dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilaiyang terjadi setelah
tanggal revaluasi. Penyusutan atas aset yang direvaluasi dihitung dengan metode garis
lurus berdasarkan prakiraan masa manfaat ekonomis aset tersebut.
Penerapan revaluasi aset tetap akan berdampak langsung pada bertambahnya nilai
aset tersebut. Adanya perubahan pada nilai aset akibat revaluasi tentu saja akan
berdampak pada bertambahnya nilai beban penyusutan. Berdasarkan kondisi tersebut,
maka laba fiskal yang dimiliki PT. INKA akan mengalami perubahan bila melakukan
revaluasi atas aset tetap. Perubahan yang terjadi pada laba fiskal perusahaan juga akan
berdampak pada perubahan beban pajak penghasilan yang harus dibayarkan
perusahaan karena beban pajak penghasilan perusahaan dihitung berdasarkan laba
fiskal. Apabila laba fiskal menjadi lebih kecil karena bertambahnya nilai penyusutan,
maka besaran nilai pajak yang dibayarkan juga akan menjadi lebih kecil. Pada saat
perusahaan tidak melakukan revaluasi, jumlah beban pajak perusahaan lebih besar
daripada jika perusahaan melakukan revaluasi. Besarnya kewajiban pajak yang sedikit
lebih kecil ketika perusahaan melakukan revaluasi belum bisa dijadikan sebagai ukuran
untuk ditarik suatu kesimpulan bahwa revaluasi aset tetap yang dilakukan PT. INKA
berhasil meminimalkan beban pajak penghasilan yang harus dibayarkan.
Kebijakan revaluasi aset tetap yang dilakukan PT. INKA tidak hanya membuat
kewajiban pajak menjadi Rp10.847.079.530 saja namun masih ada pajak final yang
harusdibayarkan perusahaan dari adanya selisih akibat revaluasi aset teap yang
dilakukan oleh PT. INKA. Berdasarkan ketentuan perpajakan, telah diatur bahwa setiap
selisih lebih akibat revaluasi aset tetap dikenakan pajak final sebesar 10% setelah
dikompensasikan ke kerugian fiskal jika ada. Sesuai kebijakan revaluasi yang dilakukan
oleh PT. INKA terhadap aset tetapnya, maka dapat diketahui pajak final yang harus
dibayarkan adalah sebagai berikut:
Selisih lebih akibat revaluasi Rp. 111.274.994.620
Pajak tangguhan

Rp. (2.436.365.610)

Surplus revaluasi

Rp. 108.838.629.010

Pajak final 10%

Rp. 10.883.862.901

Kebijakan revaluasi aset tetap yang dilaksanakan oleh PT. INKA pada tahun 2010
berdampak pada membesarnya beban pajak yang harus dibayar perusahaan. Hal ini
disebabkan oleh peraturan yang berlaku atas pengenaan pajak final akibat surplus
revaluasi.
Berdasarkan hasil penelitian Yolanda C. Katuuk (2013) mengenai Analisis
Perencanaan Pajak Melalui Revaluasi Aset Tetap Pada PT. Angkasa Pura I (Persero)
Bandara Sam Ratulangi, dapat disimpulkan sebagai berikut: Aset tetap PT. (Persero)
Angkasa Pura I Kantor Cabang Bandar Udara Sam Ratulangi dinilai berdasarkan harga
perolehan. Hak atas tanah tidak diamortisasi, sedangkan aset tetap selain tanah,
disusutkan menggunakan metode garis lurus (straight line). Tarif penyusutan dan
taksiran masa manfaat aset tetap pada PT. (Persero) Angkasa Pura I sesuai dengan
Undang-Undang Perpajakan. Pendekatan Revaluasi dalam penilaian kembali aset tetap
PT. (Persero) Angkasa Pura I Kantor Cabang Bandar Udara Sam Ratulangi Manado ini
adalah pendekatan apresiasi yaitu penilaian kembali aset tetap yang tercatat. Laba rugi
perusahaan adalah Rp. 4.464.157.916,71 sebelum dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)
terhadap Badan dengan pengenaan tarif pajak Badan sebesar 10%,15%, dan 30%.
Dengan demikian besarnya PPh Terhutang PT. (Persero) Angkasa Pura I Kantor Cabang
Bandar Udara Sam Ratulangi sesuai dengan tarif pajak PPh Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008 adalah sebagai berikut:
10% x Rp. 50.000.000
15% x Rp. 50.000.000
30% x Rp. 4.364.157.916,71

= Rp. 5.000.000
= Rp. 7.500.000
= Rp. 1.309.247.375,01
Rp. 1.321.747.375,01
Pengaruh Revaluasi Aset Tetap Terhadap Laba Kena Pajak
Laporan laba rugi sebelum PPh badan sebesar Rp.3.084.186.685,97. Perhitungan PPh
Terhutang adalah:
10% x Rp. 50.000.000
= Rp. 5.000.000
15% x Rp. 50.000.000
= Rp. 7.500.000
30% x Rp. 2.984.186.685,97
= Rp. 892.256.006
Jumlah PPh Terhutang
= Rp. 907.756.006
Tarif PPh Final:
10% x Rp.270.663.749.737,26 = Rp. 27.066.374.973,73
Sehingga total pajak yang harus dibayar oleh perusahaan karena merevaluasi aset
tetapnya yaitu sebesar PPh Final ditambah dengan PPh badan yaitu sebesar
Rp27.976.130.979,73.

Perbandingan tersebut menunjukkan akibat melakukan revaluasi aset tetap perusahaan


dikenakan PPh Final sebesar 10%. Besarnya biaya PPh Final Revaluasi aset tetap
sebesar Rp.27.006.374.973,73, dan laba operasi perusahaan mengalami penurunan
sebesar

Rp.1.379.971.231,

serta

terjadi

penghematan

beban

pajak

sebesar

Rp.413.991.368,-.
Dalam penelitian A.A. Ngr. Yudi Surya Kusuma dan I Kadek Sumadi (2013)
tentang Dampak International Accounting Standard (IAS) No. 16 Terhadap Laba Kena
Pajak Pada PT. X mendapatkan hasil sebagai berikut: Penggunaan IFRS terutama
IAS 16 menyatakan aset tetap dalam pelaporannya harus menggunakan nilai wajar
sehingga harus dinilai kembali setiap tahunnya. Oleh karena itu, yang menjadi dasar
penyusutan menurut akuntansi adalah nilai wajar sedangkan menurut fiskal yang
menjadi dasar penyusutannya adalah nilai buku dari aset tetap tersebut sehingga
berdampak pada laporan laba/ rugi dan perlu dilakukan koreksi fiskal atas dampak yang
ditimbulkan. Koreksi yang ditimbulkan atas digunakannya standar yang berbeda dalam
penghitungan penyusutan aset tetap adalah koreksi fiskal berupa perbedaan tetap. PT.
X dalam menghitung nilai penyusutan aset tetapnya menggunakan metode saldo
menurun ganda. Dampak lain yang ditimbulkan oleh penerapan IFRS khususnya IAS
No. 16 ini adalah pada saat koreksi fiskal terdapat koreksi fiskal berupa beda tetap dan
beda waktu secara bersamaan, sedangkan pada saat sebelum menggunakan IFRS, hanya
terdapat beda waktu saja dalam koreksi fiskal terhadap penyusutan aset tetap yang
dikarenakan oleh perbedaan pengakuan masa manfaat oleh akuntansi dan fiskal. Dalam
koreksi fiskal tersebut terdapat dua macam koreksi secara bersamaan, yaitu koreksi
berupa beda tetap dan beda waktu. Koreksi berupa beda tetap muncul karena adanya
penilaian kembali aset tetap, sedangkan beda waktu muncul karena adanya perbedaan
pengakuan masa manfaat aset tetap oleh PT. X dan oleh fiskal. Koreksi fiskal berupa
beda tetap dan beda waktu ini perlu dipilah karena apabila koreksi fiskal berupa beda
tetap dan beda waktu ini tidak dipilah, maka akan mengakibatkan laporan keuangan
yang menyesatkan bagi pembacanya. Untuk menentukan masing-masing besaran
perbedaan tersebut, bisa diperoleh dengan cara seperti di bawah ini.

Penyusutan Fiskal

Rp 4.880.934.020

Penyusutan Dengan PK Komersial

Rp 3.096.787.239 -

Koreksi Fiskal

Rp 1.784.146.726

Penyusutan Fiskal

Rp 4.880.934.020

Penyusutan Tanpa PK Komersial

Rp 3.156.812.750 -

Beda Waktu

Rp 1.724.121.270 -

Beda Tetap

Rp

60.025.457

Setelah didapatkan masing-masing nilai beda tetap dan beda waktu, maka masingmasing angka tersebut dimasukkan ke laporan laba/rugi pada kolom koreksi fiskal.
Beda tetap dan beda waktu antara akuntansi dan fiskal inilah yang mempengaruhi aset
tetap sehingga aset tetap memiliki nilai penyusutan yang berbeda antara akuntansi dan
fiskal sebagai dampak dari penggunaan IFRS khususnya IAS No. 16.
B. Pembahasan Kasus

Greenwood Sejahtera Kaji Revaluasi Aset


Jum'at, 30/10/2015 16:02 WIB

Bisnis.com, JAKARTA Pengembang properti PT Greenwood Sejahtera Tbk membidik


pendapatan penjualan sebesar Rp200 miliar sampai akhir 2015. Jumlah yang sama juga
menjadi target pemasukan tahun depan.
Direktur Keuangan PT Greenwood Sejahtera Tbk Bambang Dwi Yanto menuturkan, kondisi
perekonomian Indonesia masih sangat terpengaruh terhadap sentimen global, sehingga
pertumbuhan pasar akan berjalan perlahan. Di satu sisi pemerintah sudah mengeluarkan
berbagai kebijakan yang bersifat relaksasi bagi dunia usaha.
Kemungkinan besar properti kembali positif tahun depan, tuturnya saat dihubungi
Bisnis.com.
Walaupun begitu, perusahaan dengan kode emiten GWSA ini bersikap realistis dengan
menargetkan pendapatan tahun depan sama dengan periode 2015, yaitu sebesar Rp200 miliar.
Menurut Bambang, Greenwood juga tidak akan meluncurkan produk baru pada 2016 dan
hanya melanjutkan pengembangan yang sudah ada seperti superblok Capital Square di
Surabaya Barat.
Menara Apartemen
Proyek yang mengintegrasikan menara apartemen, Small Office Home Office (SOHO),
perkantoran, dan ritel itu ditaksir menelan investasi Rp1,4 triliun. Per Oktober 2015
perusahaan sudah mengantongi pemasukan sekitar Rp130 miliar atau berkontribusi 65% dari
total target pendapatan perseroan.

Emiten properti PT Greenwood Sejahtera tengah mengkaji untuk melakukan revaluasi asetasetnya menyusul langkah pemerintah menurunkan pajak atas revaluasi aset. Direktur
Keuangan Greenwood Bambang Dwi Yanti mengatakan perseroan tengah menghitung asetaset yang akan direvaluasi. Adapun, revaluasi aset dimaksudkan untuk menyesuaikan nilai
aset dengan harga pasar.
"Kami sedang hitung, secara teori mestinya bisa 20%, tapi kami akan hitung lagi," ujarnya
kepada Bisnis.com, Jumat (30/10/2015).
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2015, total aset Greenwood mencapai Rp2,44 triliun.
Aset ini terdiri dari aset lancar Rp1,08 dan aset tidak lancar Rp1,36 triliun.
Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PK) Nomor
191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi
Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan 2016.
Dalam beleid tersebut, pungutan pajak akan diturunkan menjadi 3% dari sebelumnya 10%
jika permohonan revaluasi diajukan hingga 31 Desember 2016. Adapun, jika permohonan
diajukan hingga 31 Desember 2016, perusahaan yang menjadi wajib pajak akan dikenai pajak
4%-6%.
Reporter: Rivki Maulana
Sumber: Media Online PropertiBisnis.com
(http://properti.bisnis.com/read/20151030/107/487416/greenwood-sejahtera-kaji-revaluasiaset) diakses tanggal 30 Oktober 2015.

Dari berita di atas dapat disimpulkan bahwa dengan diberlakukannya Peraturan


Menteri Keuangan (PK) Nomor 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap
untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan 2016,
Perusahaan akan mendapat diskon tarif PPh menjadi lebih kecil yaitu: 3% sampai akhir tahun
2015, 4% di semester I tahun 2016 dan 6% di semester II tahun 2016 sehingga beban pajak
menjadi lebih kecil dan nilai aset akan meningkat sehingga memudahkan perusahaan untuk
mendapatkan tambahan modal dari kreditor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Suandy, Erly. 2003. Perencanaan Pajak. Salemba Empat Jakarta.
Waluyo, 2011. Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 1. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Jurnal Publikasi
C. Katuuk, Yolanda. 2013. Analisis Perencanaan Pajak Melalui Revaluasi Aktiva Tetap Pada
PT. Angkasa Pura I (Persero) Bandara Sam Ratulangi. Jurnal Riset Ekonomi,
Manajemen, Bisnis dan Akuntansi. Vol.1 No.3 September 2013, Hal. 540-550. ISSN
2303-1174
Kusuma, A.A. Ngr. Yudi Surya dan I Kadek Sumadi. 2013. Dampak International
Accounting Standard (IAS) No. 16 Terhadap Laba Kena Pajak Pada PT. X. E-Jurnal
Akuntansi Universitas Udayana 5.1 (2013): 53-67. ISSN: 2302-8556.
Ramadhan, Hudan Akbar. 2013. Analisis Revaluasi Aset Tetap Terhadap Penghematan Beban
Pajak Penghasilan Pada PT. INKA Madiun. E-jurnal Universitas Negeri Surabaya.
Diakses dari Media Online http://www.e-jurnal.com/2013/12/analisis-revaluasi-asettetap-terhadap.html tanggal 30 Oktober 2015.

Vous aimerez peut-être aussi