Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
WAWANCARA PSIKIATRI
Penyusun
Jeni Yuliana
NIM : 03010141
Penguji
dr. Sutantri, Sp.KJ
Segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
dan kasihnya, penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul Wawancara Psikiatri
ini tepat pada waktunya.
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa RSJ Soerojo Magelang. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan
terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Sutantri, Sp.KJ, selaku dokter penguji
dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Jiwa ini dan rekan rekan koass yang ikut
membantu memberikan dorongan semangat.
Penyusun menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu
Kedokteran Jiwa khususnya dan bidang kedokteran pada umumnya.
Penyusun
BAB I
1
PENDAHULUAN
wawancara
mempunyai
tiga
komponen
utama,
dimana
semuanya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jika terdapat beberapa kursi, maka dokter psikiatrik menentukan kursinya sendiri dan
selanjutnya membiarkan pasien memilih kursi di mana ia akan merasa paling nyaman.3
Jika pasien yang sedang diwawancara adalah seorang yang kira-kira berbahaya,
maka pintu ruang wawancara harus dibiarkan terbuka, dokter psikiatrik harus duduk di
tempat yang paling dekat dengan pintu, tanpa ada sesuatu yang menghalangi gerak dokter
menuju pintu, dan jika diperlukan orang ketiga harus diminta untuk berdiri di luar atau
bahkan di dalam ruangan, untuk berjaga-jaga jika terdapat masalah.3,4
Banyak faktor yang mempengaruhi baik isi dan proses wawancara antara lain adalah :
1. Kepribadian pasien dan gaya karakternya sangat mempengaruhi reaksi dan konteks
emosional dimana wawancara dikembangkan.
2. Berbagai situasi klinis termasuk apakah pasien ditemui dalam bangsal rumah sakit, di
bangsal psikiatri, diruang gawat darurat atau sebagai pasien rawat jalan bentuk jenis
pertanyaan yang dikatakan dan anjuran-anjuran yang ditawarkan.
3. Faktor teknik seperti interupsi telepon, menggunakan penterjemah, membuat catatan,
dan ruang fisik dan kenyamanan ruangan adalah mempengaruhi wawancara.
4. Pemilihan waktu melakukan wawancara dalam penyakit pasien, apakah dalam keadaan
yang paling akut selama remisi, pengaruh isi dan proses wawancara.
5. Gaya, orientasi dan pengalaman pewawancara pengaruh yang penting pada
wawancara. Tiap wawancara mempunyai dua tujuan teknik yang utama yaitu
perkenalan penentu (determinan) psikologis dari perilaku dan klasifikasi gejala. 3
Nancy Anderson dan Donald Black telah menuliskan 11 teknik yang sering pada sebagian
besar situasi wawancara psikiatrik.3
1. Dapatkan rapport seawal mungkin pada wawancara
2. Tentukan keluhan utama pasien
3. Gunakan keluhan utama untuk mengembangkan diagnosis banding sementara
4. Singkirkan atau masukkan berbagai kemungkinan
menggunakan pertanyaan yang terpusat dan terperinci
diagnostik
dengan
5. Ikuti jawaban yang samar-samar atau tak jelas dengan cukup gigih untuk
menentukan dengan akurat jawaban atas pertanyaan
6. Biarkan pasien berbicara dengan cukup bebas untuk mengamati bagaimana
kuatnya pikiran berkaitan
7. Gunakan campuran pertanyaan terbuka dan tertutup
8. Jangan takut untuk menanyakan tentang topic yang anda atau pasien rasakan sulit
atau memalukan
9. Tanyakan tentang pikiran atau ide bunuh diri
10. Berikan pasien kesempatan untuk menanyakan pertanyaan pada akhir wawancara
11. Simpulkan wawancara awal dengan mendapatkan rasa kepercayaan, dan jika
mungkin harapan.
Dengan persiapan-persiapan di atas maka seorang dokter psikiatri dapat membuat
sebuah wawancara yang baik, memperoleh kepercayaan dari pasien, yang dapat digunakan
untuk membuat suatu diagnosis yang tepat.
6
kepada pendengar yang empati. Dokter harus mengucapkan terimakasih dan memperjelas
apa penyakit pasien. 3
dengan
kejadian-kejadian
dalam hidupnya,
adanya
stresor,
11
yang buruk, fobia, ngompol, tindakan yang menimbulkan bahaya kebakaran, dan
riwayat masturbasi yang harus digali.2
e.iv Masa Anak-Anak Akhir (pubertas sampai masa remaja)
Selama masa ini, anak-anak cenderung untuk mengembangkan kemandirian
dari orang tua mereka (pemisahan diri) yang ditunjukkan dalam hubungan dengan
teman sebaya, dan di dalam aktivitas kelompok bermain. Pada fase ini anak-anak
biasanya mempunyai sosok figur yang diidolainya dan hal ini perlu untuk diketahui
oleh dokter. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada masa ini adalah onset dari
pubertas, prestasi akademik, bagaimana aktivitas diluar sekolah (olah raga dan
klub), jenis kegiatan yang diminatinya, keterlibatan hal-hal seksual, ketertarikannya
pada lawan jenis dan pengalaman seksual (masturbasi, berhubungan seks dan
mimpi basah), pengalaman bekerja, riwayat penggunaan alkohol dan penggunaan
zat psikoaktif serta ada / tidaknya gejala-gejala pada saat puber (mood,
ketidakteraturan dalam makan dan tidur, bagaimana dia bertengkar dan
berargumentasi).1,2
e.v Masa Dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Pada bagian ini seorang psikiatri mendeskripsikan pilihan pekerjaan
pasien, keperluan pelatihan dan persiapannya, konflik yang berhubungan
dengan kerja, dan ambisi serta tujuan jangka panjang. Psikiatri juga harus
menggali perasaan pasien terhadap pekerjaan yang dilakukannya sekarang
apakah ia merasa senang, terpaksa, jenuh ataupun tidak puas atas pilihan
pekrjaannya tersebut. Disamping itu perlu juga ditanyakan riwayat
pekerjaannya, lama ia bekerja, apakah pernah pindah kerja, bila ya tanyakan
juga alasannya, frekuensinya serta hubungannya dengan teman sekerjanya.
b. Riwayat perkawinan dan persahabatan.
Di dalam bagian ini dokter menggambarkan setiap status pernikahan,
sah /sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Hubungan yang bermakna
yang terjalin antara dokter dengan pasiennya juga haruslah ditanyakan.
Riwayat perkawinan atau hubungan jangka panjang yang dideskripsikan
haruslah memberikan gambaran tentang perkembangan hubungan, dimulai
saat pasien baru menikah sampai keadaan pasien saat ini.
c. Riwayat agama
Seorang psikiater juga perlu untuk menggali lebih dalam mengenai
latar belakang agama kedua orang tua pasien, pasien sendiri serta
bagaimana pelaksanaannya di dalam keluarga. Sikap pasien dan
12
13
membantu kita sebagai seorang psikiater untuk memahami seorang pasien sebagai seorang
manusia secara utuh baik jasmani maupun fisik.
Hal lain yang dapat membantu mengenai pemahaman kita akan keadaan sakit
pasien adalah dengan melakukan pemeriksaan mental yang kemudian dicatat dalam status
pemeriksaan mental. Status pemeriksaan mental adalah bagian dari pemeriksaan klinis
yang menggambarkan jumlah total observasi pemeriksa dan kesan atau impresi tentang
pasien psikiatri saat wawancara. Pada status mental ini kita melakukan pemeriksaan
terhadap koordinat psikiatri / fungsi mental / fungsi kepribadian yaitu kesadaran, alam
pikiran, alam perasaan dan perilaku pasien. Untuk melakukannya dan mendapatkan hasil
yang optimal diperlukan observasi secara cermat dan menyeluruh mengenai pasien juga
tidak dilupakan adalah teknik wawancara yang digunakan untuk menemukan kelainankelainan dalam fungsi mental pasien.5
14
Afek mendatar ditandai dengan tidak adanya ekspresi afektif, intonasi bicara mooton, dan
ekspresi wajah datar. Tumpul, datar, dan terbatas digunakan untuk menggambarkan
kedalaman emosi, sedangkan depresi, bangga, marah, ketakutan, cemas, rasa bersalah,
euforia, dan ekspansif digunakan untuk menunjukkan suatu gambaran afek tertentu.2
Keserasian afek
Pemeriksaan mempertimbangkan keserasian respons pasien terhadap topik yang
sedang didiskusikan dalam wawncara. Pasien mengekspresikan kemarahan atau ketakutan
ketika menceritakan waham kejar, hal ini menggambarkan afek yang serasi. Afek yang
tidak serasi dapat terlihat contohnya pada seorang pasien skizofrenia yang menceritakan
tentang keinginan untuk membunuh dengan ekspresi afek yang datar.2
PEMBICARAAN
Deskripsikan pembicaraan pasien apakah ia berbicara spontan atau tidak
menggambarkan kuantitas, kecepatan produksi dan kualitas bicara. Amati cara pasien
berbicara seperti banyak bicara, mengomel, fasih, pendiam, tidak spontan, atau berespons
normal terhadap isyarat yang disampaikan pemeriksa. Pembicaraan dapat cepat atau
lambat, tertekan ragu-ragu, emosional, dramatik, monoton, keras, berbisik, cadel, terpatahpatah, atau bergumam. Adanya impermen berbicara seperti stuttering dan juga irama bicara
yang tidak lazim atau disprosodi juga dilaporkan saat mengobservasi pembicaraan pasien.2
PERSEPSI
Gangguan persepsi seperti halusinasi dan ilusi dapat dihayati pasien terhadap diri
dan lingkungannya. Gangguan persepsi melibatkan sistem sensorik seperti auditorik,
visual, olfaktorik, atau taktil, isi halusinasi atau ilusi perlu digambarkan. Dapat dijumpai
halusinasi hipnogagik yang muncul saat mulai tidur, atau halusinasi hipnopompik yang
muncul pada saat bangun tidur. Halusinasi dapat timbul pada saat stres. Perasaan
derealisasi dan depersonalisasi merupakan contoh gangguan persepsi.2
Pertanyaan yang dapat diajukan untuk menentukan adanya halusinasi adalah
Apakah Anda pernah mendengar suara atau bunyi yang tidak dapat didengar orang lain
atau ketika tidak ada orang lain di sekitar Anda? Apakah Anda mengalami sensasi yang
aneh di tubuh Anda, dan orang lain tidak mengalami hal tersebut?, Apakah Anda pernah
melihat sesuatu yang pada saat itu orang lain tidak bisa melihatnya?
16
PIKIRAN
Pikiran dapat dibagi menjadi proses dan isi pikir. Proses pikir merupakan cara saat
seseorang meyatukan semua ide-ide dan asosiasi-asosiasi yang memberntuk pemikiran
seseorang. Proses atau bentuk pikir dapat bersifat logik dan koheren atau tidak logik dan
tidak komprehensif. Isi pikir merujuk kepada apa yang dipikirkan oleh seseorang berupa
ide, keyakinan, preokupasi, dan obsesi. 2
Proses pikir
Pasien dapat mempunyai ide pikiran yang berlebihan atau miskin. Dapat pula
ditemukan arus pikir yang cepat, yang secara ekstrim disebut flight of idea. Pasien dapat
memperlihatkan arus pikir yang lambat ataupun ragu. Pikiran dapat palsu atau kosong.
Perhatikan apakah sungguh-sungguh menjawab pertanyaan yang disampaikan pemeriksa,
apakah pasien mempunyai kemampuan untuk menjawab pertanyaan, berpikir yang
bertujuan, apakah respons yang disampaikan pasien relevan atau tidak, apakah penjelasan
pasien jelas dipahami dan mempunyai asosiasi yang baik, apakah pasien menunjukan
pelonggaran asosiasi pada saat berbicara. Gangguan terhadap kontinuitas pikir dapat
berupa tangesial, sirkumstansial, melantur, mengelak, dan perseveratif.2
Blocking merupakan interupsi dari suatu rangkaian proses pikir, sebelum ide pikir
terbentuk secara utuh. Pasien tampak tidak mampu mengingat kembali ide yang telah atau
yang akan disampaikan. Sirkumstansial adalah kehilangan kapasitas untuk berpikir
berorientasi tujuan, dalam proses penyampaian ide, pasien mengemukakan banyak ide-ide
yang tidak relevan dan komentar tambahan, dan akhirnya tetap kembali ke ide semula.
Gangguan proses pikir dapat terlihat dalam bentuk hubungan pikiran-pikiran yang
inkoheren dan tidak komprehensif (word salad), clang association (asosiasi bunyi),
punning (asosiasi dengan makna ganda), dan neologisma (kata baru yang diciptakan pasien
dengan mengkombinasikan dan memadatkan kata-kata, misalnya taci berasar dari kereta
dan kelinci).2
Isi pikir
Gangguan isi pikir termasuk delusi, preokupasi (melibatkan penyakit pasien),
obsesi (apakah kamu memiliki ide yang intrusif dan berulang?), kompulsi (apakah
harus kamu melakukan sesuatu tindakan berulang-ulang? apakah ada tindakan yang
17
harus dilakukan sesuai urutan?, bila kamu tidak melakukannya sesuai urutan apakah kamu
hatus mengulanginya?), fobia, rencana, kehendak, ide rekuren tentang bunuh diri dan
pembunuhan, gejala hipokondrial, dorongan antisosial.2
Apakah pasien memiliki pemikiran untuk melakukan sesuatu yang buruk terhadap
dirinya? Gangguan isi pikir yang utama adalah delusi. Delusi merupakan keyakinan yang
salah dan menetap yang tidak terkait latar belakang budaya dapat bersifat kongruen
terhadap mood (sesuai dengan mood yang terdepresi dan mood yang elasi), dapat pula
tidak kongruen terhadap mood. Isi dari sistematika delusi harus diungkapkan dan psikiater
harus berusaha mengevaluasi dan memvalidasi keyakinan pasien. Perilaku pasien dapat
terpengaruh karena adaya delusi, hal ini dapat terlihat dari riwayat gangguan sekarang.
Delusi dapat bersifat bizarre dan dapat melibatkan keyakinan tentang adanya kontrol
eksternal. Delusi dapat mempunyai tema persekutorik atau paranoid, grandiose
(kebesaran), iri hati, somatik, perasaan bersalah, nihilistik, dan erotik. Ide-ide rujukan dan
ide-ide dipengaruhi juga harus dideskripsikan. Contoh dari ide rujukan adalah seseorang
yakin bahwa radio atau televisi berbicara untuk atau tentang dirinya. Contoh ide rujukan
adalah keyakinan tentang orang lain atau kekuatan mengontrol perilaku seseorang.2
yang berhubungan dengan kosa kata dan pengetahuan umum yang dimilikinya seperti
nama presiden saat ini dan informasi-informasi terkini.2
PENGENDALIAN IMPULS
Seorang dokter harus menilai kemampuan pasien untuk mengontrol impuls seksual,
agresi, dan impuls lainnya. Penilaian terhadap impuls dilakukan untuk menilai apakah
pasien berpotensi membahayakan diri dan orang lain.2
bersamaan.
tilikan derajat 3 menyalahkan orang lain/faktor eksternal sebagai penyebab sakitnya
tilikan derajat 4 sadar bahwa sakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui
dalam dirinya
tilikan derajat 5 sadar bahwa dirinya sakit tetapi tidak bisa menerapkan dalam
19
terjadi secara akurat. Pemeriksa dapat menilai kejujuran dan keadaan yang sebenarnya dari
yang dikatakan pasien.2
Setelah pemeriksa melakukan wawancara psikiatrik komprehensif, pemeriksaan
status mental, informasi yang didapat dirangkum dalam bentuk laporan psikiatrik, dengan
susunan sesuai standar riwayat psikiatrik dan status mental. Setelah itu pemeriksa
menyarankan pemeriksaan lebih lanjut bila diperlukan dan membuat resume tentang
penemuan yang bermakna dan tidak, membuat diagnosa multiaksial sementara, membuat
prognosis, bila perlu membuat formulasi psikodinamik dan terakhir membuat rencana
penatalaksanaan.2
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan dilakukannya pemeriksaan psikiatrik dengan baik termasuk wawancara
psikiatrik adalah untuk mendapatkan kepercayaan dari pasien dan keluarganya, sehingga
dokter dapat mengetahui pasien secara keseluruhan, dan dapat menentukan diagnosis serta
pengobatan yang paling tepat kepada pasien.
Komponen utama dalam melakukan pemeriksaan psikiatri dengan baik adalah
dengan melakukan wawancara, observasi, dan pemeriksaan status mental secara benar. Hal
ini perlu didukung oleh kemampuan dokter sebagai ahli psikiatri. Menangani pasien secara
holistik dapat memudahkan dokter untuk mendapat gambaran pasien secara keseluruhan,
sehingga dokter dapat mengetahui berbagai riwayat kehidupan pasien, dapat menggali
20
faktor pencetus untuk penyakitnya, dan faktor-faktor lain yang berkaitan seperti
lingkungan. Dengan adanya data yang lengkap, akan sangat membantu dokter dalam
menentukan langkah diagnosis dan terapi yang tepat. Pengobatan yang lengkap meliputi
pengobatan fisik, psikologis dan sosiobudaya yang tidak hanya tertuju pada obat-obatan
saja, namun juga terapi yang memang dibutuhkan pasien, yang sesuai dengan penyebab
timbulnya penyakit pada pasien, sehingga kemungkinan untuk berulangnya penyakit akan
semakin kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Saddock BJ. Clinical Examination of the Psychiatric Patient, Synopsis of
Psychiatry, Tenth ed. 2005.p. 240-55.
2. Redayani P. Wawancara dan pemeriksaan psikiatrik. Dalam: Elvira SD, Gitayanti H,
Eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI; 2014.p.47-61
3. Grebb, Jack A. Kaplan, Harold I, Sadock, Benjamin J. 2000. Behavioural Sciences
Clinical psychiatry, seven edition. Maryland, USA: William & Wilkins.
4. American Psychiatric Association. 2008. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder, fourth edition. Washington DC: American Psychiatric Association.
5. W.F Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Penerbit Airlangga
University Press.
6. Rusdi E. 2006. Buku Panduan Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta : Rumah
Sakit Jiwa Islam Kiender.
21
7. Bachtiar Lubis & Sylvia D. 2005. Penuntun wawancara psikodinamik dan psikoterapi.
Jakarta: FKUI.
22