Vous êtes sur la page 1sur 10

Ajaran Buddha Dharma Tentang Etika

PENDAHULUAN
Dalam alur sejarah agama-agama, khususnya di India, zaman agama Buddha dimulai semenjak
tahun 500 SM hingga tahun 300 M.. Secara historis agama tersebut mempunai kaitan erat dengan
agama yang mendahuluinya, namun mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang
didahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Buddha
tidak bertitik-tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya,
termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya

tentang

tata

susila

yang

harus

dijalani

manusia

agar

terbebas

dari

lingkaran dukkha yang selalu mengiringi hidupnya.


Kata Etika berasal dari bahasa Latin Ethicus; bahasa Yunani Ethikos berarti prinsip-prinsip
moril; kesopanan; kebiasaan; tata susila atau kesusilaan. Kalau ditilik dari kata susila, maka
susila terdiri dari suku su dan sila. Suku su tersimpul pengertian baik; bagus, sedangkan kata
sila mengandung makna: hukum; kaidah; moril; peri-kelakuan; keadaan batin dan sebagainya.
Jadi istilah Susila bermakna norma moril yang baik atau peri-kelakuan batin yang sesuai
dengan norma hukum agama.
Perlunya etika timbul dari kenyataan bahwa manusia tidak sempurna, ia harus melatih dirinya
untuk lebih baik. Etika umat budha tidak belandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada
hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika umat Budha pada hakikatnya adalah bagian
dari alam dan hukum tetap sebab akibat moral (kamma).

AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG ETIKA


Dalam sistem agama Buddha, Hasta Arya Marga, yang membicarakan masalah perbuatan baik
dan buruk, benar dan salah, menempati kedudukan yang sangat penting karena merupakan inti
dari

seluruh

ajaran

agama

Buddha

mencapai nirwana. Kesunyatan

tentang

untuk
Hasta

membebaskan
Arya

manusia

Marga

ini

daridukkha dan
juga

dikenal

dengan majjhimapattipada; atau jalan tengah, karena ajarannya menghindari dua hal yang

ekstrim, yaitu mencari kebahagiaan dengan menuruti hawa nafsu yang rendah dan mencari
kebahagiaan dengan jalan menyiksa diri dalam berbagai cara yang dapat ia tempuh
(Abdurrahman 1988: 127). Michael D. Coogan mengatakan bahwa, meskipun praktek etika
agama Buddha berhasrat untuk mencapai nirwana, namun praktek-praktek etika tersebut tidak
sampai mengabdikan perhatiannya untuk mengembangkan kepribadian secara keseluruhan
(2005: 163).
Etika Budha diungkapkan dalam sejarah hidup seseorang manusia yang bernamaMalunkyaputta,
yang diceritakan Budha bahwa dia tidak akan mendengarkan ajaranya sampai dia (Budha)
menjawab pertanyaan-pertayaanya, seperti bagaimana duni diciptakan? Dan akankah Budha ada
setelah kematian? Budha menjawab pertanyaan dengan membandingkan Malunkyaputta dengan
seorang manusia yang telah tetembak oleh anak panah yang beracun tapi panah tersebut tidak
mau dicabutnya sampai dokter menceritakan apakah anak panah tersebut dibuat dari apa, siapa
yang menembakan anak panah tersebut dan seterusnya. Untuk semua pengikut Budha, semua
spekulasi adalah subjek untuk seseorang mempraktikan prinsip: prinsip itu akan berharga jika
prinsip itu langsung membantu seseorang menghilangkan kesakitan akibat anak panah dan
menemukan jalan unuk sampai ke nirwana. Peranyaan dari Malunkyaputta itu adalah bentuk dari
spekulasi yang datang secara tiba-tiba.
Selama hidupnya Budha rela melepas kemewahan yang menjadi hak miliknya di lingkungan
kerjaan, namun ia tinggalkan semua itu demi menyelamatkan banyak orang.Salah satu cara yang
ia tempuh adalah hidup dalam penderitaan. Hidup dalam penderitaan sebagaimana dilakkan
Budha adalah perbuatan yag baik, yan dipusatkan pada pembebasan penderitaan diri sendiri dan
orang lain. Ini mencakup membantu orang lan mencapai nirwana, meskipun ia sendiri menunda
masuk nirwana untuk kepentingan orang lain. Kebijaksanaan memfokuskan pada melihat sesuatu
melalui hayalan yang merupakan pengalaman yang lua biasa dalam hidup manusia, dengan
demikian mnjadi bebas dari penderitaan diri sendiri.[1]
Etika sosial Buddhis dalam agama Budha hukum-hukum moral bukanlah dibuat atau ditentukan
oleh suatu pribadi tertentu, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum-hukum
universal maupun alam yang dapat dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam
taraf rendah, untuk mencapai kehidupan-kehidupan yang bahagia dalam roda kelahiran ini, dan
taraf tertinggi untuk mencapai pembebasan/penerangan sempurna. Disamping menjadi petunjuk
jalan menuju pembebasan, sang Budha juga menaruh perhatian mendalam terhadap

kesejahteraan manusia, dan telah mengajarkan pedoman-pedoman untuk mencapai kebahagiaan


dalam kehidupan masyarakat sebagai seorang Bhisakka (dokter), beliau adalah dokter spiritual
yan besar, yang meningkatkan keseatan jiwa manusia dan masyarakatnya.
Sifat-sifat ajaran beliau disebutkan sebagai: realistik, rasional, pragmatis dan humanistik. Maka
oleh karena itu kita melihat bahwa sang Budha sendiri tidak berminat untuk memperbincangkan
masalah-masalah metafisika, melainkan beliau mengutamakan usaha utuk meningkatkan etika
masyarakat.
Agama Budha pada awalnya menitikberatkan pada segi etika, pemikiran-pemikiran metafisika
bukan saja tak bermanaat, tetapi juga menghambat usaha untuk mencapai tujuan yang tertinggi.
[2]
Kedelapan jalan mulia secara garis besar dapat dibagi menjadi sila, samadhi dan panna.Berikut
rinciannya:
Ucapan benar
Perbuatan benar
Penghidupan benar
Kemoralan (sila)
Usaha/ Daya upaya benar
Perhatian benar
Konsentrasi benar
Konsentrasi (samadhi)
Pengertian benar
Pikiran benar
Kebijaksanaan (panna)
Sila adalah ajaran kesusilaan yang didasarkan atas cinta kasih dan belas kasih kepada sesama
makhluk. Ajaran kasih kepada sesama makhluk ini tampaknya sangat diperhatikan oleh umat
Buddha dewasa ini.[3] Termasuk kelompok ini adalah:

Ucapan Benar (Samma vaca)


Pada dasarnya adalah ucapan yang bukan dusta / bohong, fitnah, kasar, dan kosong. Seseorang
yang berpantang atau menghindari ucapan seperti ini berarti telah berlatih berkata benar. Ucapan
benar adalah sammavaca virati, salah satu dari 52 jenis faktor batin (cetasika), yang termasuk
dalam kelompok pantangan. Seseorang yang berpantang dari ucapan salah, akan melatih atau
melaksanakan ucapan yang berisi kebenaran, ucapan yang dapat dipertanggungjawabkan, ucapan
yang lemah lembut, dan ucapan yang berguna.

Perbuatan Benar (Samma kammanta)


Adalah perbuatan yang:

Bukan pembunuhan terhadap manusia maupun binatang

Bukan pencurian atas barang yang berharga / tak berharga yang tak diberikan

Bukan perzinahan dengan paksa atau atas dasar suka sama suka
Perbuatan dursila semacam ini dapat terjadi karena kurangnya sifat mulia seperti cinta kasih,
belas kasihan dan kepuasan.
Seseorang yang berpantang atau menghindari perbuatan buruk di atas berarti telah melakukan
perbuatan benar (sammakammanta virati).

Penghidupan Benar (Samma ajiva)


Sekurang-kurangnya adalah penghidupan yang bukan salah satu, sebagian atau semua, dari lima
macam perdagangan yang harus dihindari, yaitu: perdagangan senjata pembunuh, perdagangan
budak, perdagangan mahluk yang disembelih (daging atau anggota badan lain), perdagangan
minuman keras / obat perangsang / obat bius / narkotika, dan perdagangan racun.
Penipuan yang tidak didasari alasan ekonomi, termasuk ucapan salah. Tetapi jika penipuan itu
berkaitan dengan perniagaan sebagai mata pencaharian, tentunya tergolong sebagai penghidupan
salah.
Begitu juga, penyimpangan hubungan kelamin dengan orang yang terlarang karena alasan
tradisi, pemerintahan, agama, jika bukan sebagai mata pencaharian, termasuk perbuatan salah,
namun praktik prostitusi tentunya terjajar dalam deretan mata pencaharian yang tergolong
sebagai penghidupan salah.

Sementara itu, perdagangan yang melanggar hukum juga dapat dianggap sebagai penghidupan
salah.
Bagi para Bhikkhu, penghidupan benar adalah penghidupan yang bersih dari praktik seperti
menjadi tukang ramal, dukun, tukang teluh, pesuruh, dan yang bukan merupakan hasil
perniagaan dalam bentuk apa pun.
Seperti halnya ucapan benar dan perbuatan benar, penghidupan benar juga dilatih dan
dilaksanakan melalui penghindaran atau pantangan (viraati cetasika). Seseorang yang telah
menghindari atau berpantang melakukan penghidupan salah berarti telah melaksanakan
penghidupan benar.
Samadhi sangat diperlukan dalam membentuk etika dalam agama Buddha. Samadhi dapat
melatih mendisiplinkan seseorang dan mental seseorang.[4] Disiplin mental tetdiri dari:

Usaha Benar (Samma vayama)


Terdiri dari:
1.

Samvarappadhana, usaha benar dalam mencegah timbulnya hal jahat dan tidak baik yang

belum muncul ketika menerima suatu bentuk melalui mata, suara melalui telinga, bau melalui
hidung, rasa melalui lidah, sentuhan melalui tubuh, atau kesan melalui pikiran.
2.

Pahanappadhana, usaha benar dalam mengatasi hal jahat dan tidak baik yang sudah

muncul seperti: nafsu indera, itikad jahat, dan lainnya.


3.

Bhavanappadhana, usaha benar dalam mengembangkan hal baik yang belum muncul,

yaitu unsur-unsur pencerahan agung (bojjhanga) yang terdiri dari: perhatian (sati), penyelidikan
Dhamma (dhammavicaya), semangat (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), konsentrasi
(samadhi), dan keseimbangan batin (upekkha).
4.

Anurakkhappadhana, usaha benar dalam mempertahankan hal baik yang telah muncul

antara lain, yaitu pemusatan batin pada suatu objek meditasi.

Perhatian Benar (Samma sati)


Secara garis besar, berisikan empat landasan pengembangan perhatian murni (satipatthana),
yang harus dibangun dengan merenungkan:
1.

Jasmani (kayanupassana)

2.

Perasaan (vedananupassana)

3.

Kesadaran (cittanupassana)

4.

Gejala dan Objek batin (dhammanupassana)

Pelaksanakan empat macam perenungan ini dapat menghapus tuntas:


1.

Kekhayalan atas kesenangan (sukhavipallasa)

2.

Kekhayalan atas kelanggengan (niccavipallasa)

3.

Kekhayalan atas adanya diri/kepemilikan (attavipallasa)

Konsentrasi Benar (Samma samadhi)


Konsentrasi yang merupakan penunggalan pikiran pada satu objek (cittekkaggata) ini
mempunyai dua jenis tingkat pengembangan, yaitu:
1.

Upacara samadhi, konsentrasi mendekati - jhana

2.

Appana samadhi, konsentrasi penuh di dalam objek - pencapaian jhana

Dalam pencapaian kedua tingkatan di atas, lima rintangan batin (nafsu indera, itikad jahat,
kemalasan dan kelambanan batin, kegelisahan dan kekhawatiran batin, serta keraguan skeptis)
dapat diendapkan, namun belum dikikis / dihancurkan.
Sedangkan Panna, atau kebijaksanaan luhur dalam Hasta Arya Marga, terdiri dari;

Pengertian Benar (Samma ditthi)


Pada hakekatnya adalah pengertian benar tentang Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya
Saccani), yaitu:
1.

Kebenaran mulia tentang penderitaan

2.

Kebenaran mulia tentang sebab penderitaan

3.

Kebenaran mulia tentang terhentinya penderitaan

4.

Kebenaran mulia tentang jalan menuju terhentinya penderitaan

Dalam pengembangannya, pengertian benar ini masing-masing terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.

Sacca nana, pengetahuan bahwa hal ini adalah kebenaran sejati

2.

Kicca nana, pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari kebenaran ini harus dijalankan

3.

Kata nana, pengetahuan bahwa fungsi-fungsi tertentu dari kebenaran ini telah dijalankan

Dengan cara lain, dalam Kitab Uparipannasa, pengertian benar dirinci menjadi lima tingkat,
yaitu:
1.

Kammassakata sammaditthi

Berarti pengertian benar tentang keselarasan perbuatan (kamma niyama) yang pada pokoknya
menerangkan bahwa setiap perbuatan akan memberikan akibat yang setimpal; dan setiap mahluk
memiliki, mewarisi, terlahir, berhubungan dan terlindung oleh kammanya sendiri.
1.

Vipassana sammaditthi

Pengertian benar yang timbul setelah penyadaran jeli terhadap jasmani dan batin (rupadan nama
dhamma) Pengertian benar ini tidak dapat diperoleh hanya melalui penghafalan kitab-kitab suci
atau pun melalui kecerdasan otak, tetapi timbul dari pengamatan langsung terhadap aktivitas
jasmani dan batin sehingga dapat menyadari sifatnya yang anicca, dukkha dan anatta.
1.

Magga sammaditthi

Pengertian benar berupa pengetahuan dalam perenungan terhadap objek indera dan batin
sebagaimana adanya sehingga merealisasi magga nana.
1.

Phala sammaditthi

Pengertian benar berupa pengetahuan dalam perenungan terhadap objek indera dan batin
sebagaimana

adanya

sehingga

merealisasi

phala

nana.

Begitu

penembusan magga

nanaterealisasi, maka langsung diikuti dengan phala nana.


1.

Paccavekkhana samaditthi

Pengertian benar berupa perenungan setelah phala nana atas perealisasian yang telah dicapai.

Pikiran Benar (Samma sankappa)


Tidak lain adalah pikiran yang melepaskan kesenangan dunia, dan yang bebas dari kemelekatan
serta sifat mementingkan diri sendiri (nekkhamasankappa). Pikiran yang penuh kemauan baik,
cinta kasih, kelemahlembutan, dan yang bebas dari itikad jahat, kebencian, dan kemarahan
(avyapadasankappa). Dan pikiran yang penuh belas kasihan, dan yang bebas dari kekejaman dan
kebengisan (avihimsasankappa).
Kedelapan jalan utama di atas meskipun terdiri delapan unsur, namun secara keseluruhan
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan harus dikembangkan bersama-sama secara
harmonis. Sila adalah landasan bagi samadhi, samadhi adalah landasan bagi panna. Bila panna
berkembang, sila dan samadhi akakn menjadi lebih mantap, dan bila panna sudah sempurna,
maka sila bukan lagi merupakan latihan (sikkha), melainkan akan terwujud dengan sendirinya
atau sewajarnya.[5]

Dalam kehidupan umat Buddha sehari-hari, kedelapan jalan tersebut menjadi dasar dan pedoman
hidup umat Buddha yang dijabarkan dalam konsep Panca Sila, Hasta Sila, Majjhima
Sila dan Patimokha Sila.
Panca Sila terdiri dari lima sila yang dilaksanakan oleh umat Buddha biasa dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu;
1.

Tidak akan menganiaya atau membunuh;

2.

Tidak akan mengambil dan memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan

untuknya;
3.

Akan hidup bersusila;

4.

Tidak berlaku serong dan zina, tidak berdusta, menipu atau menfitnah; dan

5.

Menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna atau harus berkata benar.

Hasta Sila, atau delapan janji, adalah janji para umat awam untuk menjauhi delapan perbuatan
yang terlarang, yaitu:
1.

Tidak akan menganiaya atau membunuh;

2.

Tidak akan mengambil atau memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan

haknya;
3.

Tidak akan zina;

4.

Tidak berdusta, menipu maupun menfitnah dan menjauhi percakapan-percakapan yang

tidak berguna;
5.

Menjauhi segala macam minuman keras maupun makanan yang dapat merusak kesadaran

dan memabokkan;
6.

Tidak akan makan setelah jam 12;

7.

Tidak menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan, tidak memakai wangi-

wangian, perhiasan, dan sebagainya;


8.

Tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah.

Dasa Sila, atau sepuluh sila atau janji bagi para bikhu dan samanera, adalah janji untuk tidak
melaksanakan perbuatan yang terdapat dalam atthanga sila sampai nomor enam, sedang nomor
tujuh dipecah menjadi dua sehingga urutannya adalah: (7) tidak akan menari, menyanyi, bermain
musik dan melihat pertunjukan hanya untuk memuaskan indra saja, (8) tidak akan memakai

wangi-wangian, bunga-bungaan, minyak rambut dan perhiasan bersolek lainnya; (9) tidak akan
memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah; dan (10) tidak akan menerima
emas dan perak untuk dimiliki.
Pattimokha Sila adalah sila utama dan merupakan sila paling tinggi yang dilakukan oleh para
bikkhu atau bikkhuni yang telah menerima panahbisan (upasampada), berupa 227 peraturan
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan melaksanakan dan menjalankan Hasta Arya Marga, seperti telah diuraikan di atas, umat
Buddha akan dapat mencapai nirwana. Dari urutan jumlah peraturan yang harus ditaati dan
larangan yang harus ditinggalkan, tampak bahwa jalan untuk mencapai nirwana haruslah dengan
cara hidup sebagai atau seperti bikkhu yang menjalani 227 peraturan dalam hidupnya.[6]

[1] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),
h. 67-72.
[2] Cornelis Wowor, Pandangan Sosial Agama Budha, (Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana,
2004), h. 12-14.
[3] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 67.
[4] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 69.
[5] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 128.
[6] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 128-129.

BAB III
KESIMPULAN
Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada juga mengajarkan
mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan sila
(kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).

Agama Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gautama sebagai Buddha sejarah yang
hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan
muncul Buddha-Buddha lainnya.
Kedelapan Jalan Tengah itu, secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, dan harus dikembangkan bersama-sama secara harmonis. Sila adalah landasan bagi
samadhi, samadhi adalah landasan bagi panna. Bila panna berkembang, sila dan samadhi akakn
menjadi lebih mantap, dan bila panna sudah sempurna, maka sila bukan lagi merupakan latihan
(sikkha), melainkan akan terwujud dengan sendirinya atau sewajarnya.
Dengan melaksanakan dan menjalankan Hasta Arya Marga, umat Buddha akan dapat mencapai
nirwana. Dengan syarat menjalankan sejumlah peraturan yang harus ditaati dan meninggalkan
larangan yang harus ditinggalkan, tampak bahwa jalan untuk mencapai nirwana haruslah dengan
cara hidup sebagai atau seperti bikkhu yang menjalani 227 peraturan dalam hidupnya.

Vous aimerez peut-être aussi