Vous êtes sur la page 1sur 33

BAB IX

KONSEP IBADAH MENURUT AL-QUR’AN

Pengertian Ibadah Menurut Al-Qur’an


Islam sebagai agama mengandung sistem kepercayaan dan peribadatan.
Islam tidak saja memiliki pokok-pokok kepercayaan tetapi juga memiliki sistem
ibadah. Al-Qur’an sebagai sumber dan dasar utama Islam mengandung ajaran
tentang berbagai hal yang terkait dengan peribadatan yang tujuan pokoknya
adalah kemulyaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan
melakukan hubungan dengan Allah dan manusia.

"Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali


jika mereka berpegang dengan tali Allah dan tali hubungan dengan
manusia." (Q.S. Ali-Imran: 112).

Ibadah adalah ketundukan hamba yang tak terhingga kepada Allah dengan
cara melakukan tindakan apapun disertai mengharap ridlo Allah, ibadah adalah
tugas pokok manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.

"Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka
mengabdi (ibadah) kepada-Ku."(QS. Adz-Dzariyat: 56).

Sedangkan ibadah kepada Allah adalah Shirath al-Mustaqim .

"Dan sembahlah Aku, inilah jalan yang lurus."(QS. Yasin: 61).

Peribadatan menurut Al-Qur’an hanya ada 2 jenis. Pertama, peribadatan


kepada Allah. Kedua, peribadatan kepada selain Allah. Peribadatan kepada Allah
adalah bentuk penghambaan yang diajarkan bahkan diharuskan oleh Al-Qur’an.
Sedangkan peribadatan kepada selain Allah adalah hal yang sangat dicela-Nya.
Berbagai gambaran Al-Qur’an mendeskripsikan hal itu dalam berbagai tempat
dalam kaitannya dengan “ibadah” yang dilakukan manusia.
Diantara perintah tegas dan yang tak bisa ditawar manusia yang didiktekan
oleh Al-Qur’an kepada manusia adalah perintah untuk mengabdi kepada Allah
(QS. Yunus: 104; QS. Az-Zumar: 14 dan 64; QS. Ar-Ra’d: 38; QS. Al-Kahf: 16
dan masih sangat banyak ayat yang senada). Sedangkan lawan beribadah kepada
Allah adalah beribadah kepada selain-Nya. Dalam hal ini Al-Qur’an memberikan
beberapa gambaran tentang perilaku manusia menyembah selain kepada Allah.
Diantaranya adalah penyembahan manusia kepada thoghut (QS. Al-Maaidah: 63).
Al-Qur’an terkadang menyebut peribadatan kepada syaitan (QS. Maryam: 44),
kepada jin (QS. Saba’: 41), patung (QS. Ibrahim: 35; QS. Asy-Syu’ara: 22),
pahatan dan ukiran buatan mereka sendiri (QS. Ash-Shaffat: 95). Disamping itu
Al-Qur’an juga sering memakai ungkapan penyembahan kepada selain-Nya (QS.
An-Nahl: 73; QS. Yunus: 18; QS. Al-Hajj: 71; QS. Fathir: 55 dan lain-lain).
Al-Qur’an juga sering kali menyalahkan penyembahan kepada sesuatu
yang tak bisa mendengar dan melihat (QS. Maryam: 42), penyembahan kepada
sesuatu yang biasa disembah oleh nenek moyang, tanpa pengetahuan yang pasti
(QS. Hud: 62, 86 dan 110; QS. Ibrahim: 10; QS. Saba’: 43 dan lain-lain). Ada
juga celaan kepada manusia yang menyembah Allah tetapi hanya pada “ujung”
(harf) saja, tidak dengan penuh keyakinan (QS. Al-Hajj: 11), bahkan “perintah”
untuk menyembah kepada selain-Nya menurut kesukaan manusia (QS. Az-Zumar:
15).
Diantara redaksi Al-Qur’an juga terdapat rangkaian ibadah kepada Allah
diiringi larangan menyekutukan kepada-Nya (QS. Ali-Imran: 64; QS. An-Nur: 55;
QS. An-Nisa’: 38 dan lain-lain) dan diiringi oleh perintah untuk sabar, teguh
dalam menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah semata (QS. Maryam: 65),
diiringi syukur kepada Allah (QS. Al-Ankabut: 17), dan terkadang diiringi
perintah tawakal kepada-Nya (QS. Hud: 123), dan ada pula yang disertai perintah
bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-Ankabut: 16), diiringi perintah bersujud kepada-
Nya (QS. Al-Hajj: 77; QS. An-Najm: 62), dan diiringi larangan menyembah dan

66
perintah menjauhi thaghut (QS. An-Nahl: 36). Secara umum, perintah untuk
beribadah kepada Allah adalah bermuara pada sikap ikhlas (QS. Az-Zumar: 2),
karena hanya amal yang ikhlas saja yang diterima di sisi-Nya. Perhatikan ayat
berikut:

"Sesungguhnya kami menurunkan al-Qur'an kepadamu dengan


sebenarnya, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-
Nya." (QS.az-Zumar: 2)

Pembagian Ibadah
Secara umum ibadah dibagi 2 yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghair
mahdlah. Ibadah mahdlah adalah ibadah tertentu bentuk dan caranya seperti
sholat, zakat, puasa, haji. Sedangkan ibadah ghair mahdlah adalah semua bentuk
aktivitas sebaiknya yang tidak ditentukan cara dan bentuknya seperti menolong
orang lain, mendo’akan baik kepada orang lain dan sebagainya. Dalam
kesempatan ini dan karena alasan khusus maka disini hanya akan dijelaskan jenis
ibadah mahdlah. Namun demikian harus tetap diperhatikan bahwa apapun bentuk
ritual harus memakai sendi-sendi yang ada dalam tuntunan syari'at.
1. Sholat
Ibadah sholat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam bangunan
Islam. Sholat merupakan tiang penyangga terhadap kewajiban ibadah lainnya.
Sholat lebih nampak sebagai hubungan komunikasi antara hamba dengan
Allah. Apabila diamati, tata cara ibadah shalat merupakan sikap yang paling
sempurna dalam berhubungan dengan Allah Swt, dimana seorang hamba
tanpa membedakan status sosial menundukkan diri di hadapan-Nya dan
memohon perlindungan serta limpahan karunia-Nya. Dalam hal ini sholat
menunjukkan hubungan yang sangat istimewa dengan yang ghaib karena
setiap individu mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan maksud
hatinya dalam menunjukkan rasa dekat dan khusu’ di hadirat-Nya.
Keutamaan ibadah sholat yang dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan, mencurahkan segenap jiwa, menghayati do’a yang dibaca yang

67
isinya selalu merendahkan diri dan memuliakan Allah, akan membawa kepada
keuntungan.

"Sungguh berbahagia orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang


khusyu' di dalam shalat mereka." (QS. Al-Mu’minun: 1-2).

Dalam kesibukan sehari-hari, kapan dan dimana saja, umat Islam


diperintahkan untuk melakukan sholat lima kali, tepat pada waktunya (QS.
An-Nisa: 102), dimana seorang hamba untuk beberapa saat membebaskan diri
dari segala ikatan duniawi untuk mengingat Allah, memohon ketenangan hati,
memohon petunjuk terhadap masalah yang dihadapi, karena Allah mengetahui
segala apa yang dikerjakan manusia (QS. Al-Baqarah: 2, 3, 4 dan 271; QS.
Ali-Imran: 180; QS. At-Taubah: 17; QS. An-Nur: 57; QS. Al-Hasry: 18 dan
puluhan ayat-ayat lain yang semisal).
Dengan demikian, sholat dapat mencegah manusia dari perbuatan keji
dan munkar.

"Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah dari yang keji


dan yang mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45)

Selanjutnya, shalat hendaknya dilakukan dengan tanpa merugikan dan


memberatkan, baik dari sendiri maupun terhadap orang lain (QS. Al-Ahzab:
41-43; QS. Al-A’raf: 205; QS. Al-Isra’: 79; Qs. Thaha: 130; QS. Ar-Rum: 17-
18 dll), karena diatur berdasar waktu yang memudahkan.
Karena fungsinya untuk mensucikan jiwa, maka hubungan dengan
Yang Maha Tinggi juga disimbolkan dengan kesucian lahir (badan, pakaian,
tempat).

68
"Sungguh kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, sedang pakaian takwa
itulah yang paling baik."(QS. Al-A’raf: 26) Lihat pula ayat 31

Sholat tidak ada gunanya jika tidak membawa dampak positif bagi
lingkungan sosialnya, misalnya suka berbakti kepada sesama manusia.

" Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang


yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya' dan mereka enggan
memberi pertolongan." QS. Al-Maa’uun: 4-7)

Layak untuk dikemukakan pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan


bahwa apabila ada orang yang tampak tekun melakukan sholat, tetapi ia masih
saja bergelimang dalam perbuatan keji dan munkar, maka ketahuilah bahwa
sholat yang dilakukan oleh orang itu hanyalah merupakan gerakan-gerakan
tanpa tujuan dan ucapan-ucapan kosong yang tidak bermakna sama sekali.

2. Zakat
Perintah untuk melakukan zakat seringkali disebutkan dalam rangkaian
perintah untuk mendirikan sholat (QS. Maryam: 31, 55; QS. Al-Anbiya’: 73;
QS an-Nuur: 37; QS. Al-Baqarah 43, 83, 110; QS. An-Nisa’: 76; QS. Al-Hajj:
78 dan lain-lain dalam berbagai kesempatan). Bahkan Al-Qur’an menjadikan
zakat dan sholat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran Islam.

“Apabila mereka, kaum musyrik bertobat, mendirikan sholat,


menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara
seagama”(QS. At-Taubah: 11)

Zakat merupakan salah satu ketentuan Allah menyangkut harta,


termasuk juga shodaqoh dan infaq lainnya. Karena Allah menjadikan harta
benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka ia
harus diarahkan untuk kepentingan bersama. Membatasi kekayaan di tangan

69
segelintir manusia merupakan suatu keburukan yang tidak dibenarkan oleh Al-
Qur’an. Allah berfirman:

“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada rasul-Nya


(yang berasal ) dari penduduk negeri, maka itu adalah bagi Allah,
rasul-Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya
beredar diantara orang yang kaya saja dari kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Zakat adalah latihan rohani yang sangat baik agar manusia menunaikan
derajatnya dari dunia materi ke dalam kejernihan rohani dalam rangka
mensucikan jiwa kebendaan-materialisme mereka (QS. At-Taubah: 103).
Dengan demikian Islam meletakkan dasar keadilan sosial dalam bentuknya
yang tinggi dan menjadikan kekayaan mereka untuk manusia yang
membutuhkan, dikeluarkan dari kelompok yang kaya kepada mereka yang
nyata-nyata memerlukan (QS. At-Taubah: 60)
3. Puasa
Puasa yang diwajibkan dalam Islam adalah puasa Ramadan. Hal ini
dapat dilihat dalam surat al-baqarah ayat 183:

"Wahai orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar
kamu menjadi bertakwa."

Dalam konsepsi Islam, Puasa adalah jihad kedalam dan keluar yang
disyareatkan Allah tidak hanya bagi umat Islam tapi bagi semua agama-
agama. Umat Islam adalah sebagian kecil umat yang diseru untuk
melakukannya. Jihad ke dalam karena puasa membawa umat Islam untuk

70
merefleksi seluruh perbuatan yang telah dilakukan terutama keburukan karena
dorongan nafsu kebinatangan. Puasa diharapkan mampu mendidik manusia
menjadi disiplin dengan melakukan ibadah yang hanya dirinya yang tahu
hakikat dan kualitasnya. Berbeda dengan ibadah lain yang secara fisik-
lahiriyah bisa dilihat orang lain, maka puasa adalah amal yang sangat rahasia.
Dalam hadis Qudsi, dinyatakan oleh Allah bahwa "puasa adalah untuk-Ku
(Allah) dan aku sendiri yang akan membalasnya." (Ayoub, 1989: 124-125)
Jihad ke dalam ini sesungguhnya adalah bentuk jihad yang lebih besar dan
berat. Ketika Umat Islam berjuang di Badar sambil berpuasa melawan kaum
kafir kemudian memperoleh kemenangan, maka Nabi mengatakan bahwa
jihad yang berwujud perang fisik adalah kecil, yang sesungguhnya berat dan
besar adalah perang melawan nafsu syetani dan intersest pribadi yang akan
menutup tirai kehadiran Tuhan. Melalui lapar dan dahaga, seorang Muslim
akan mampu secara empati merasakan penderitaan orang lain. Dengan begitu
akan mendorong dirinya mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya
serta orang lain. Puasa yang benar bukanlah puasa formalitas yang hanya
secara lahiriyah menahan lapar dan dahaga, tetapi harus mencerminkan
kepedulian sosial bagi kebaikan manusia lain. Maka tidak mengherankan
bahwa Nabi mengajarkan, bila seorang Muslim yang berpuasa diajak
bertindak yang tidak baik, ia harus mampu menolak dengan mengatakan
bahwa ia berpuasa. Dari sini ajaran tentang sikap memaafkan orang lain juga
menemukan relevansinya. Jihad keluar, karena ia harus mampu secara aktual
memberikan kebaikan dan kelebihan yang dimiliki untuk orang lain. Makna
puasa bagi maslahat sosial merupakan wahana untuk mendidik manusia
bersikap altruis dan tidak mengekploitasi harta untuk kepentingan pribadi. Ini
adalah bagian dari makna takwa sebagai tujuan puasa yang disyareatkan ini,
bagi manusia.

4. Haji
Haji merupakan perjalanan lahir dan batin ke bait Allah, dapat
disaksikan setiap tahun jutaan manusia, laki-laki dan perempuan bepergian

71
jauh karena terdorong untuk mendapatkan berbagai manfaat. Tentang hal ini,
Allah berfirman:

“Dan serulah kepada manusia supaya melakukan haji, mereka pasti


akan berdatangan kepadamu dari segenap penjuru yang jauh, dengan
berjalan kaki dan berkendaraan unta (kurus, kepayahan akibat jauhnya
perjalanan). Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
sendiri (QS. Al-Hajj: 27-28).

Kata “berbagai manfaat” mengandung makna umum, mencakup


pengertian memperoleh manfaat berupa saling kenal mengenal antara sesama
umat Islam di pelosok dunia, saling bekerja sama di berbagai bidang: politik,
ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Di dalam haji orang tidak dibedakan oleh
warna kulit, suku bangsa, tanah air. Yang tertanan dalam ingatan adalah
bahwa mereka merupakan jama’ah yang satu, ber-Tuhan satu, mengikuti
risalah yang satu, yang mengumpulkan mereka sebagai umat yang satu dengan
tujuan yang satu pula. Manusia dapat memanfaatkan moment ini sebagai
upaya untuk mensucikan diri, menghidnari rasa superioritas suatu bangsa atas
bangsa yang lain. Semua pelajaran itu membuat mereka berlomba-lomba
dalam kebaikan dan bukan berlomba-lomba mencari kemenangan dan
kekuatan fisik semata. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya dalam bulan itu


menjalankan ibadah haji, maka tidak boleh bersetubuh, tidak berlaku
jahat, tidak pula berbantahan (bertengkar) dalam masa mengerjakan
ibadah haji (QS. Al-Baqarah: 197).

Wallahu a’lam.

72
BAB X
ILMU PENGETAHUAN MENURUT AL-QUR'AN

Pandangan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dapat diawali dengan


pelacakan terhadap ayat-ayat pertama turun yaitu, QS. Al-‘Alaq: 1-5:

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah, Yang mengajari manusia dengan perantara Qalam."

Dalam wahyu awal ini, perintah Iqra’ (bacalah) demikian menjadi tema
utama, sehingga ia diulang sekali lagi. Kandungan ayat ini adalah perintah untuk
membaca apa saja, kapan saja, dimana saja tapi dengan syarat bismi robbik
(dengan nama Tuhan), berarti yang bermanfaat untuk manusia. Iqra dengan
demikian dapat berarti bacalah, telitilah, dalamilah, identifikasikan, kenalilah apa
saja mengenai alam, tulisan, zaman, sejarah, yang tak tertulis: sesuatu yang
terjangkau oleh pikiran.
Dalam wahyu ini dapat diketahui dua cara perolehan ilmu, yaitu Allah
mengajar dengan pena yang diketahui manusia sebelumnya, dan mengajar
manusia apa yang belum diketahui. Yang pertama dengan alat atau atas dasar
usaha, yang kedua tanpa alat atau tanpa usaha manusia. Dengan demikian
eksperimentasi, wahyu, ilham, firasat, filsafat merupakan bentuk-bentuk
pengajaran yang dapat dikategorikan dengan penjelasan di atas.

Ilmu
Kata ilmu dalam berbagai bentuknya di dalam Al-Qur’an disebut
sebanyak 854 kali. Kata ini diartikan sebagai sebuah proses pencarian
pengetahuan dan obyek pengetahuan. Karena adanya usaha mencari dan
mengkolaborasi pengetahuan, Al-Qur’an memandang ilmu merupakan

73
keistimewaan manusia atas makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi
kekhalifahan (perhatikan QS. Al-Baqarah: 31, 32).
Kedua ayat di atas menggambarkan kemungkinan dan potensi manusia
memperoleh dan menguasai ilmu pengetahuan serta mengembangkannya.
Ditemukan banyak ayat memerintahkan manusia untuk mewujudkan pengembang
ilmu dan berisikan petunjuk betapa tinggi kedudukan orang yang berilmu
pengetahuan, baik ilmu kasbi maupun ilmu laduni.
Ilmu kasbi, sebagai hasil usaha manusia terasa lebih banyak karena ia
tergantung kepada upaya manusia dan keseriusan mereka dalam menggali dan
mengembangkannya. Sedangkan ilmu laduni lebih banyak merupakan tanda kasih
Tuhan kepada sebagian hamba-Nya untuk menunjukkan kebaikan dan kebenaran
sesuai tuntutan keadaan saat itu (perhatikan QS. Al-Kahfi: 65).
Di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang sarana meraih ilmu
pengetahuan, yaitu pendengaran, mata (observasi), akal (renungan), hati. Al-
Qur’an juga menyinggung tentang perintah untuk memikirkan alam raya,
melakukan perjalanan dalam upaya mengetahui hukum kausalitas, probabiltas
yang dapat menjadi landasan pengetahuan lebih lanjut.

"Katakanlah, "Perhatikanlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi."(QS.


Yunus: 101)

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia


diciptakan?, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung bagaimana
ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dibentangkan?"(QS. Al-Ghasyiyah:
17-20)

"Apakah mereka tidak berjalan di atas bumi, lalu melihat bagaimana


kesudahan orang-orang sebelum mereka?"( QS. Yusuf: 109)

74
Perlu dikemukakan bahwa Al-Qur’an memandang perlu upaya pensucian
jiwa untuk bisa memperoleh ilmu yang hakiki. Allah akan memalingkan
pengetahuan hakiki dari manusia yang sombong, pongah, aniaya, lalim dan
sebagainya (lihat QS. Al-A’raf: 146). Memang, terkadang nampak orang yang
durhaka memperoleh secercah ilmu dengan usaha, tetapi yang mereka peroleh
hanya terbatas pada fenomena lahiriyah alam, bukan hakikat pengetahuan sendiri
(QS. Ar-Ruum: 6-7).

Manfaat Ilmu
Diantara titik tekan manfaat ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan
nama Tuhan adalah rasa takut dan kagum (khasyyah) dari pemilik ilmu dan ini
menjadi ciri yang paling menonjol dari manfaat ilmu (QS. Al-Rathir: 28). Terkait
hal itu, perintah untuk membaca dengan nama Allah berarti mengarahkan manusia
untuk mengarahkan ilmu untuk kemaslahatan manusia, bukan bebas nilai “Ilmu
untuk ilmu” tampaknya tidak disetujui dalam Islam. Ilmu yang apapun
garapannya, harus selalu disertai oleh nilai robbani, yaitu maslahah manusiawi.
Dalam beberapa penutup ayat, khususnya yang terkait dengan perintah
memperhatikan alam raya, terdapat petunjuk bahwa ada beberapa ragam manfaat
yang seharusnya dapat diperoleh mereka yang mempelajari fenomena alam:
Yatafakkarun (yang berfikir, lihat QS. Yunus: 24); Yatazakkarun (yang
mengambil pelajaran, QS. An-Nahl: 13); Ya’lamun (yang mengetahui, QS.
Yunus: 5); Ya’qilun (yang memahami, QS. An-Nahl: 12); Yasma’un (yang
mendengarkan, QS. Ar-Ruum: 23); Yuqinun (yang meyakini, QS. Al-Jatsiyah: 4);
al-‘alamin (yang mengetahui, QS. Ar-Ruum: 22); al-mu’minun (orang-orang yang
beriman, QS. al-Jatsiyah: 3) dan lain-lain.
Proses pengambilan manfaat itu menuntut manusia mengenali berbagai
bidang ilmu yang akan digeluti. Apakah bidang itu bermanfaat sehingga ia perlu
bersungguh-sungguh dalam bidang itu, ataukah tidak bermanfaat sehingga ia rugi,
karena hanya menghabiskan energi dan ia menghindarinya.
Manfaat lain dari ilmu adalah sebagai tanda dan gambaran perbedaan dari
orang yang tak berilmu (bodoh). Al-Qur’an secara jelas menyatakan:

75
“……Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang-orang
berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9)

Baik di dunia maupun di akhirat, orang yang memiliki ilmu akan


mendapatkan kehormatan di sisi Allah. Allah berfirman:

“Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang


yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa tingkat…….” (QS. Al-Mujadalah:
11)

Al-Qur’an memberikan jaminan untuk berfikir sehat tentang makhluk apa


saja yang diciptakan Allah. Berfikir itu diharapkan mampu mengarahkan manusia
untuk berdzikir yang akan membawa kesadaran ke-Maha kuasaan-Nya dan sebuah
penciptaan terhadap alam semesta yang tak sia-sia (QS. Ali-Imran: 190-191).
Bahkan Al-Qur’an menyuruh optimalisasi pikiran terhadap alam kejiwaan
sebagaimana ia memikirkan alam wujud (nature) (QS. Ar-Ruum: 8).
Tidaklah mengherankan bahwa seorang muslim tidak memohon dari
tuhannya sesuatu karunia yang lebih mantap daripada ilmu pengetahuan. Tentang
hal ini Allah telah mengajarkan:

“……Dan katakanlah: ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan


kepadaku”.(QS. Thaha: 114)

Di samping itu Al-Qur’an sangat mencerca suatu tindakan yang tanpa


didasari oleh ilmu pengetahuan baik yang terkait dengan tindakan duniawi,
apalagi yang terkait dengan kemanfaatan ukhrawi (lihat QS. Ali-Imran: 66; QS.
Hud: 46; QS. Al-Isra’: 36; QS. Al-Hajj: 71; QS. An-Nisa’: 156; QS. Al-An’am:
100, 108, 119, 140, 144, 148 dan lain-lain.

76
Seandainya manusia mampu menggapai tingkat ilmu pengetahuan yang
tinggi secara rasional mereka tetap harus menyadari keterbatasan ilmu yang
mereka kuasai (QS. Yusuf: 76; QS. Al-An’am: 80; QS. Al-A’raf: 88; QS. Thaha:
98; QS. At-Thalaq: 12; dan lain-lain). Seseorang yang memegang kekuasaan
harus berhias dengan ilmu (QS. Al-Baqarah: 247).
Dengan demikian jelas bahwa Al-Qur’an memberi kesempatan kepada
manusia, khususnya umat Islam untuk memperoleh pengetahuan. Ia mendorong
mereka mendalaminya, dan meraih kemajuan, menerima perkembangan baru
pengetahuan. Bagaimanapun nasib pribadi, masyarakat di dunia-di akhirat,
diyakini atau tidak, adalah ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang mampu mereka
manfaatkan. Wallahu a’lam.

77
BAB XI
MAKNA ISLAM DALAM AL-QUR'AN

Secara etimologi, Islam berasal dari kata S-L-M yang artinya: aman,
keseluruhan, menyeluruh, perdamaian, keselamatan. “Islam” sendiri disebut 8 kali
dalam Al-Qur’an. Tetapi kata jadian dari “Islam” sangat banyak ditemukan dalam
berbagai bentuknya. Islam berarti menyerahkan diri, tunduk dan patuh. Maka
kemudian kata Islam di dalam Al-Qur’an yang disertai dengan obyek yang harus
di tunduki semua merujuk kepada sikap tunduk, pasrah hanya kepada Allah (QS.
Al-Baqarah: 112, 131; QS. Ali-Imran: 20, 83; QS. An-Naml: 44; dan lain-lain).
Yang penting untuk dibahas adalah pertanyaan apakah yang ditunjuk oleh
kata “Islam” di dalam Al-Qur’an? Islam sendiri artinya adalah kepasrahan kepada
Allah sebagai sebuah sikap keagamaan yang tumbuh dari dalam, bukan paksaan
dari luar. Sikap keagamaan yang datang dari luar hanya akan menghilangkan
kemurnian dan keikhlasan. Inilah makna larangan mengikuti sesuatu yang tidak
dipahami (QS. Al-Isra’: 36)
Sikap pasrah kepada Allah atau Tuhan merupakan tuntutan alami manusia,
dengan demikian agama (ad-din) secara harfiah berarti “kepatuhan”,
“ketundukan”, dan “ketaatan”. Sikap tunduk dan taat itu hanya sah dan tidak lain
adalah sikap pasrah kepada Allah (Islam). Maka tidak ada agama atau tidak ada
agama yang sah kecuali sikap pasrah kepada Allah itu (Islam). QS. Ali-Imran: 19,
85 di bawah ini:

"Sesungguhnya agama di sisi Allah (hanyalah) Islam.."(QS ali Imran: 19)

"Barangsiapa mencari agama selain (agama) islam, maka sekali-kali


tidaklah akan diterima (agama itu), dan diakhirat dia termasuk orang-orang
yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)

Oleh karena itu, maka semua agama yang benar hakikatnya adalah “islam”
yaitu semua mengajarkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Dalam Al-

78
Qur’an dapat ditemukan beruangkali penegasan bahwa agama para nabi terdahulu
sebelum Muhammad Saw adalah Islam. Dan atas dasar itu pula, maka agama yang
dibawa oleh Muhammad disebut dengan agama “Islam”, karena ia mengajarkan
secara sengaja dan sadar akan kepatuhan kepada Tuhan. Namun ia bukan satu-
satunya, dalam arti tidak unik dengan sendirinya, melainkan sebagai rangkaian
dari agama-agama “al-Islam” lain yang tampil terdahulu. Dengan perspektif
seperti itu, Al-Qur’an seharusnya dibaca, khususnya kata-kata “Islam”, “muslim”
dan semua derivasinya. Bagaimanapun dapat dipahami bahwa Al-Qur’an
mendukung ide bahwa semua agama (yang benar, yang datang dari Allah)
merupakan “al-Islam”
Adalah tidak mengherankan bila peringatan kepada manusia untuk pasrah
kepada Allah seringkali dikaitkan dengan peringatan bahwa seluruh alam ini
tunduk dan pasrah kepada Allah (bandingkan dengan QS. Ali-Imran: 83).
Nampaknya ini yang dimaksud dengan adanya perjanjian primordial antara Allah
dan anak cucu adam, meski sekarang mereka mungkin tidak menyadarinya.
Perjanjian itu adalah pernyataan Allah: “Bukankah Aku (Tuhan) adalah
Tuhanmu? Mereka menjawab: benar. Kami bersaksi” (QS. Al-A’raf: 172)
Dalam Al-Qur’an, secara literal dituturkan bahwa yang pertama kali
menyadari al-Islam sebagai inti agama langit adalah Nuh as. Dikatakan bahwa
Nuh as mendapat perintah Allah untuk menjadi salah seorang yang Muslim, yakni
berperilaku islam, pasrah kepada Allah dalam menghadapi kaumnya yang
membangkang (QS. Yunus: 71-72)
Pada masa selanjutnya, Ibrahim as juga secara tegas dan kuat mendapatkan
mandat untuk ber-Islam kepada Allah Kemudian agama yang berintikan pasrah
kepada Allah itu diwasiatkan kepada keturunan Ibrahim, yaitu antara lain Nabi
Ya’qub atau Israil (yang berarti hamba Allah) dari jurusan Nabi Ishaq. Wasiat itu
kemudian menjadi dasar agama-agama Israil, yaitu agama Yahudi dan Nasrani:

79
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan keislaman itu kepada anak-anaknyam
dan demikian pula Ya'kub. Ibrahim berkata:"Hai anak-anakku,
sesungguhnya Allah telah memilih agama (Islam) untuk kamu, maka
janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim." (QS. Al-
baqarah: 132)

Dengan tidaklah benar bahwa Ibrahim adalah orang Yahudi atau Nasrani,
melainkan seorang yang pasrah (muslim) kepada Allah swt. Hal ini dikarenakan
Ibrahim jauh sebelumnya telah lahir. Inilah yang dimaksud oleh Allah dalam QS.
Ali-Imran: 65-67, dimana pengakuan kaum Yahudi dan Nasrani bahwa Ibrahim
adalah seorang dari mereka. Bukan, Ibrahim adalah seorang hanif (pencari
kebenaran) dan muslim. Ia bukan orang musyrik.

"Dan tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi, dan tidak pula orang Nasrani,
tetapi ia seorang yang lurus (hanif) dan muslim." (QS. Ali Imran: 67)

Sebagaimana ajaran Islam pada Ibrahim, Musa as juga mengakui hal itu.
ini dapat dipahami dari pernyataan Fir’aun dalam keadaan terjepit menjelang
kematiannya bahwa ia percaya kepada tuhannya Bani Israil dan ia mengaku
termasuk orang yang muslim (pasrah) kepada Allah (QS. Yunus: 90).
Hal yang sama berlaku pada Nabi Isa (Yesus), putra Maryam, dimana
beliau datang membawa ajaran pasrah kepada Allah:

"Maka, tatkala Isa merasa (mengetahui) diantara mereka ada yang ingkar,
dia berkata: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku ke jalan
allah? Hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab,"kamilah penolong-
penolong (agama) Allah. Kami telah beriman kepada Aalah dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah muslim." (QS. Ali Imran:
52).

Hal yang senada dapat dilacak dalam QS. Al-Madinah: 111

80
Bagaimana dengan nabi Muhammad saw? QS. Ali-Imran: 20 dapat
dipahami sedemikian rupa:

" Jika mereka mendebat kamu (hai Muhammad) maka katakanlah: “Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-
Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu juga pasrah
(kepada Allah)?” kalau mereka pasrah, maka mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka tugasmu hanyalah
menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”.

Sedangkan manifestasi lahiriah dari sikap Islam itu dapat beraneka ragam,
tergantung zaman dan tempat. Namun dalam keanekaragaman itu semua orang
harus berbakti kepada Allah dengan sikap yang tulus dan dengan rendah hati (QS.
Al-Hajj: 34)
Implikasi yang tampak dari prinsip ini adalah keyakinan akan kesatuan
kenabian sebagai sesuatu yang bersumber dari satu wujud. Hal ini mendorong
untuk selalu mempercayai semua nabi, tanpa membeda-bedakan mereka satu
sama lain (perhatikan dengan seksama QS. Al-Baqarah: 136; QS. Ali Imran: 84).
Berikutnya yang harus ditegaskan adalah bahwa diantara nabi-nabi, utusan Allah
itu ada yang diceritakan dan ada yang tidak diceritakan. Apabila ada indikasi
ajaran yang kokoh dan meyakinkan, maka kepada mereka harus diberikan “rasa”
iman, seperti kepada nabi lainnya. (QS. An-Nisa’: 164; QS. Ghafir: 78)
Dengan demikian sikap pasrah kepada Allah, kesatuan keNabi-an menjadi
dasar apa yang disebut Islam sebagai agama universal. Karena Islam, secara
historis dan sosiologis serta teologis menjadi nama ajaran al-islam yang dibawa
oleh Muhammad saw. Ini disebabkan Islam (“I” besar) mengajarkan sikap al-
islam (pasrah) kepada Allah. Pemahaman yang demikian setidak-tidaknya dapat
dirujukkan pada keterangan Al-Qur’an ketika menjelaskan risalah Muhammad
saw., sebagaimana berikut:

81
"Dan berjuanglah kamu pada agama Allah dengan sebenar-benar nya. Dia
telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan atas kamu kesukaran di
dalam agama, yaitu agama bapak kamu Ibrahim. Dia menamakan kamu
muslimin dari dahulu dan dalam (al-Quran) ini, supaya rasul-rasul itu
menjadi saksi atas kamu dan kamupun menjadi saksi atas manusia." (QS.
Al-Hajj: 78)

Dari uraian di atas, umat Islam setidaknya mempersepsi kata 'islam' guna
menunjuk kepada lima macam pengertian:
Pertama, islam berarti kepasrahan dan ketundukan kepada perintah dan hukum
Allah. Makna ketundukan alam raya masuk dalam makna ini.
Kedua, islam bisa diberikan untuk para rasul terdahulu dan mengikuti ajaran
mereka secara benar. Ini misalnya dirujuk dalam QS al-Baqarah: 136 dan
an-Nahl: 36. Ajaran para rasul itu adalah bertauhid dan patuh, tunduk pada
Allah SWT.
Ketiga, Islam sebagai nama agama. Tidak bisa dipungkiri dalam perkembangan
sejarah, memang Islam telah menjadi nama sebuah agama, agama rasul
terakhir. Tetapi ia bukan sekedar nama, tetapi memiliki inti ajaran berserah
diri kepada Allah. Dengan begitu, pengikut Muhammad saw adalah
seorang muslim secara “eksklusif” yang memahami benar apa inti dari
ajaran agamanya yaitu Islam (pasrah). Dan karena kesadaran hakiki itu
umat Islam mempunyai petanda universalisme, yang pada gilirannya
dituntut dan diharuskan mampu memancarkan cahaya kosmopolitan di
tengah umat lain. 'Islam' dalam makna ini sebagiannya mengandung
koreksi atas berbagai penyelewengan praktek keberagamaan dari umat
terdahulu dan biasa dianggap penyempurna agama sebelumnya.

82
Keempat, Islam sebagai merujuk kepada pendapat atau pandangan ulama atau
sarjana muslim ketika berbicara dengan mengatasnamakan Islam,
meskipun boleh jadi yang dominan adalah pendapat pribadi orang tersebut.
Kelima, sering sekali secara biasa islam diberikan bagi setiap orang yang telah
mengikrarkan syahadat meskipun mereka belum melaksanakan ajaran
Islam (Hidayat, 1998, 74-75).
Dengan demikian spektrum makna Islam pada hakikatnya demikian luas
dan karena perlu bersikap kritis dan hati-hati dalam membawa dan
mengatasnamakan Islam. Dalam konteks inilah pilihan-pilihan menjadi mungkin
dan pluralitas kebenaran menemukan momentumnya.Wallahu a’lam.

83
BAB XII
KONSEP JENDER DALAM AL-QUR'AN

Pengertian Jender

Kata jender berasal dari bahasa Inggris “Gender” berarti “jenis kelamin”
(M. Echols dan Hasan Shadily, 1983, 265). Dalam Webster’s New World
Dictionary, Jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Ada yang memakai istilah
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Jadi, artinya
bernuansa non biologis. Kalau bernuansa biologis biasanya dipakai istilah sex.
Terkait dengan upaya penafsiran Al-Qur’an yang ingin digalakkan dalam
situasi Indonesia ini, perlu dikemukakan salah satu misi ajaran Al-Qur’an adalah
pembebasan wanita dari penindasan. Apalagi di waktu Muhammad saw
berdakwah di awal kerasulannya. Keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di
dunia masih memposisikan wanita sebagai subordinat kekuasaan laki-laki ini
terkait dengan tuntutan hidup masa itu yang membutuhkan kekuatan untuk
berperang, mencari nafkah dan mempertahankan hidup dari keadaan geografis
arah yang gersang. Islam datang kemudian dengan tawaran pembebasan wanita,
kemerdekaan mereka dari sikap tunduk yang ekstrim kepada struktur yang ada di
atasnya dan tunduk kepada kaum laki-laki di dalam struktur masyarakatnya.
Kelahiran seorang anak perempuan tidak lagi aib bagi keluarganya (baca QS. An-
Nahj: 58)
Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui bentuk dan
simbol jender yang digunakan di dalamnya. Simbol itu antara lain adalah istilah-
istilah untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Ada kata ar-rijal, dan an-
nisa, adz-dzakar dan al-untsa, al-mar’ dan al-mar’ah atau identitas status yang
berhubungan dengan jenis kelamin seperti az-zauj dan az-zaujah, al-ab dan al-
umm, al-ibn dan al-bint, al-walid dan al-walidah (sekalipun kata-kata al walid
tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an) atau kata ganti (dlamir) dan rujukannya.
Tentang kata sifat yang disandarkan pada mudzakkar dan muannats, jumhur

84
ulama memandang bahwa khitab seperti itu berarti mencakup laki-laki dan
perempuan, kecuali ada alasan dan dasar lain yang mengecualikan.
Al-Qur’an mengungkapkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
tetapi masih perlu diteliti apakah ungkapan itu mengacu kepada unsur biologis,
unsur budaya, kedua-duanya atau acuan lain. Ada sejumlah ayat yang
menerangkan aktifitas khas perempuan, seperti siklus menstruasi (QS. Al-
Baqarah: 222); menopause (QS. Ali-Imran: 40); hamil (QS. At-Thalaq: 4);
melahirkan (QS. Ali-Imran: 45); menyusui dan memelihara anak-anak (QS. Al-
Baqarah: 223). Sayangnya kekhususan itu sering disalah artikan untuk
memojokkan peran domestik wanita. Padahal tidak ditemukan ayat yang
menyatakan bahwa fungsi reproduksi menjadi sebab mengapa perempuan menjadi
subordinasi laki-laki. Ini hanya untuk menegaskan bahwa tidak mungkin laki-laki
atau perempuan itu sama dalam segala hal. Ada pembagian tugas yang bersifat
biologis.
Perspektif Al-Qur’an tentang jender tidak sekedar mengatur tentang
keserasian hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari
itu Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia)
makrokosmos (alam) dan Tuhan. Konsep berpasang-pasang tampak diterapkan
Al-Qur’an untuk seluruh jenis makhluk hidup.

" Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri berpasang-pasangan, dan dari binatang ternak pasang-pasangan
pula. Dia mengembangkan kamu padanya." (QS. Asy-Syuro: 11). Lihat
pula QS. Thaha: 53.

Secara umum tampaknya Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan


(distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah
pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan
pihak yang lain. Perbedaan tersebut diharapkan menopang obsesi Al-Qur’an;
harmonitas dengan dasar “sakinah mawadah wa rahmah” dilingkungan keluarga
(QS. ar-Rum: 21).

85
Konsepsi Al-Qur’an tentang relasi jender juga dimaksudkan untuk
mewujudkan maslahah yang merupakan maqashid syari’ah seperti mewujudkan
keadilan dan kebajikan (QS. An-Nahl: 90) keamanan dan ketentraman (QS. An-
Nisa’: 158) dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

"Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, kamu


menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (QS.
Ali-Imran: 110)

Variabel Kesetaraan Jender


Ada beberapa variabel yang digunakan untuk menganalisis prinsip-prinsip
jender dalam Al-Qur’an
Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:

1 Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba


Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah
kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat: (51): 56:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka menyembah-Ku”

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan


antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam
Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa
(muttaqun), dan untuk mencapai derajat (muttaqun) ini tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu. mengenai hamba yang paling ideal (muttaqun) ini dengan tegas
digambarkan dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13.

86
"Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah
yang lebih takwa diantara kamu."

Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki,


seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS. Al-
Baqarah: 228); laki-laki pelindung bagi perempuan (QS. An-Nisa’: 34);
menjadi saksi yang efektif (QS. Al-Baqarah: 282); memperoleh bagian
warisan lebih banyak (QS. An-Nisa’: 11) dan diperkenankan berpoligami
bagi mereka yang memenuhi syarat (QS. An-Nisa’: 3) tetapi ini semua
tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba-hamba utama. Kelebihan-
kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai
anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika
ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan
perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan
sesuai dengan kadar pengabdiannya.

"Barangsiapa yang berbuat kebaikan dari laki-laki atau perempuan


dan dia mikmin, niscaya Kami menghidupkannya dengan
kehidupan yang baik; dan Kami memberi balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan."(QS. An-Nahl: 97).

Memang ada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,


Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad bin Hanbal yang seolah-olah

87
menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dari segi ibadah. Yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang menggambarkan bahwa
kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, disebabkan oleh
pengingkaran mereka terhadap suami ( ) serta
karena kekurangan akal dan agama ( ) (lihat
misalnya Bukhari dalam Kitab al-Haidl, hadits No. 293, Muslim dalam
kitab al iman, hadits No. 114).
Kata kekurangan akal dan agama dalam hadits ini tidak berarti
perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui
prestasi kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadits ini menggambarkan
keadaan praktis sehari-hari laki-laki dan perempuan di masa Nabi, laki-
laki memperoleh otoritas persaksian, satu berbanding dua dengan
perempuan, karena ketika itu fungsi dan peran publik berada di pundak
laki-laki. Kekurangan agama terjadi pada diri perempuan karena memang
hanya perempuanlah yang menjalani menstruasi. Laki-laki tidak
menjalani siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan
ibadah-ibadah wajib tanpa alasan lain yang dapat dibenarkan. Peniadaan
sejumlah ibadah dalam masa menstruasi, seperti salat dan puasa, adalah
dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan
akibat apapun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi.
Kekurangan akal ( ) masih perlu dilacak lebih
lanjut apa sesungguhnya yang dimaksud kata ( )pada masa nabi.
Kalau kekurangan akal dihubungkan dengan kualitas persaksian,
sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka bisa
saja dipahami yang dimaksud “kekurangan akal” dalam hadits ini adalah
keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan karena adanya
pembatasan-pembatasan budaya di dalam masyarakat. Jadi sifatnya bukan
permanen atau alamiah. Demikian pula “kekurangan agama”(
) yang dihubungkan halangan perempuan untuk melakukan
sejumlah ibadah karena alasan “tidak bersih” (haid), memerlukan
keterangan lebih lanjut, karena halangan itu bukan kehendak perempuan

88
tetapi sesuatu yang bersifat alamiah yang mendapatkan dispensasi Tuhan.
Jadi banyaknya perempuan di dalam neraka menurut penglihatan nabi
mungkin saja karena populasi perempuan lebih besar daripada laki-laki,
sehingga proporsional kalau perempuan lebih banyak di dalam neraka
dari pada laki-laki.

2. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi


Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah,
disamping untuk menjadi hamba ('Abid) yang tunduk dan patuh serta
mengabdi kepada Allah swt juga untuk menjadi khalifah di bumi
(khalifah fi al-ardl). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi,
misalnya ditegaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 30

“Ingatlah Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi”.

Juga dalam QS. Al-An’am: 165:

“Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi


dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian (yang
lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat
cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.

Kata “khalifah” dalam kedua ayat di atas tidak menunjukkan


kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. laki-laki
dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang
akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi,

89
sebagai mana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba
Allah.

3. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial.


Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan
menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui,
menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih
dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya.

"dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam


dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian atas
diri mereka,"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab,
"Betul, kami menjadi saksi." (QS. Al-A’raf: 172)

Menurut Fakhr al Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir di


muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar
mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang
mengatakan “tidak”. Dalam Islam, tanggung jawab individual dan
kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan.
Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminsi
jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar
ketuhanannya yang sama.
Rasa percaya diri seorang perempuan dalam Islam mestinya
terbentuk sejak lahir, karena sejak awal tidak pernah diberikan beban
khusus berupa “dosa warisan” seperti yang dikesankan di dalam Yahudi
dan Nashrani. Kedua ajaran ini memberikan citra negatif begitu seseorang
lahir sebagai perempuan, karena jenis kelamin perempuan selalu
dihubungkan dengan drama kosmis, yang mana hawa dianggap terlibat
dalam kasus keluarnya adam dari surga (Kitab Kejadian 3: 12) sebagai

90
sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan
semacam sanksi (kitab kejadian 3: 16).
Berbeda dengan Al-Qur’an yang mempunyai pandangan lebih
positif terhadap manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah
memuliakan seluruh anak cucu adam (QS. Al-Isara: 70). Kata
dalam ayat tersebut menunjukkan kepada seluruh anak cucu Adam,
tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan warna kulit. Dalam
Al-Qur’an tidak pernah ditemukan satu ayatpun yang menunjukkan
keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan
suku bangsa tertentu. kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi
Islam sejak awal terlihat begitu kuat. Perjanjian, bai’at, sumpah dan nazar
yang dilakukan oleh perempuan mengikat dengan sendirinya
sebagaimana halnya laki-laki. Dalam tradisi Yahudi-Kristen seorang
perempuan hidup di dalam pangkuan ayah, maka perjanjian, sumpah dan
nazarnya dapat digugurkan oleh ayah yang bersangkutan (Kitab Bilangan
30: 5). Sebaliknya jika perempuan hidup di dalam pangkuan suaminya,
maka perjanjian, sumpah dan nazarnya dapat digugurkan oleh suami
(Kitab Bilangan 30: 8).
Di dalam tradisi Islam perempuan mukallaf dapat melakukan
berbagai perjanjian, sumpah dan nazar, baik kepada sesama manusia
maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat
menggugurkan janji, sumpah dan nazar mereka. (QS. Al-Maidah: 89).
Pernyataan dalam ayat tersebut jelas-jelas sekali berbeda dengan
pernyataan Alkitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan dari
laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinasi dari ayahnya dan
isteri subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi Islam, ayah dan suami
juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan
komitmen pribadi seseorang perempuan dengan Tuhan-nya. Bahkan
dalam urusan-urusan keduaniaanpun perempuan memperoleh hak-hak
sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki. Dalam suatu ketika nabi
Muhammad didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan

91
dukungan politik (bai’at), maka peristiwa langka ini menyebabkan
turunnya QS. Al-Mumtahanah: 12.

4. Adam dan Hawa, terlibat secara aktif dalam drama kosmis


Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita
tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi,
selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan
kata ganti untuk dua orang (huma/ ), yakni kata ganti untuk Adam
dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini:
a. Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-
Baqarah: 35)
b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (QS. Al-
A’raf: 20)
c. Sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke
bumi (QS. Al-A’raf: 22)
d. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (QS. Al-
A’raf: 23)
e. Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling
melengkapi dan saling membutuhkan (QS. Al-Baqarah: 187)
Pernyataan-pernyataan Al-Qur’an di atas, agak berbeda dengan
pernyataan-pernyataan dalam Alkitab yang membebankan kesalahan
lebih berat kepada Hawa. Dalam ayat-ayat tersebut diatas, Adam dan
Hawa disebutkan bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab
terhadap drama kosmis tersebut.

5. Laki-laki dan perempuan meraih prestasi


Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan
antara laki-laki dan perempuan, hal ini ditegaskan secara khusus di dalam
QS. Ali-Imran: 195, an-Nisa’: 124, an-Nahl: 97, Ghafir: 40. Misalnya:

92
"Dan barangsiapa yang mengerjakan amal salih dari laki-laki atau
perempuan sedang dia seorang mukmin, maka mereka akan masuk
surga dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun." (QS. An-Nisa:
124)

Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan jender


yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik
dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional tidak mesti
dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan
memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun
dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan
sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala
budaya yang sulit diselesaikan.
Salah satu obsesi Al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Karena itu Al-Qur’an tidak mentolelir segala bentuk penindasan, baik
berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan
maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil
pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-
nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut
terbuka untuk diperdebatkan.

Bagaimana halnya dengan QS an-Nisa’: 34?

"Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan karena Allah telah


melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan
dengan sebab sesuatu yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-
hartanya."

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa pria menjadi qawwam wanita karena
memiliki keunggulan dan karena memberi nafkah. Bila secara ekonomis, isteri

93
bisa menghidupi diri dan atau keluarganya atau seorang istri memiliki
kecakapan lebih dari pada suami, maka keunggulan suami menjadi qawwam
itu akan menjadi tereduksi yang melibatkan 2 orang atau lebih dianjurkan
diselesaikan dengan cara musyawarah bukan berdasarkan kesewenang-
wenangan. Dengan demikian yang ada adalah hubungan suami istri yang
saling melindungi dan mendukung bukan menguasai atau mendominasi.

94
DAFTAR PUSTAKA

‘Aqqad, Abbas Mahmud al-, Filsafat Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.

Abdul Baqiy, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfadz Al-Qur’an,


Beirut: Dar al Fikr, 1981.

Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta:


LESFI, 1992.

Ayoub, Mahmoud M. Islam Faith and Practice. Canada: The Open Press Limited,
1989.

Baljon, J.M.S., Tafsir Al-Qur’an Muslim Modern, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Bukhariy, Abu Abd. Allah Muhammad bin Ismail, al-, Shahih al-Bukhari, Beirut:
Dar al Fikr, 1981.

Dawam Rahadrjo, M, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-


konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara


Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971.

Fairuzzabadiy, Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir
Ibn Abbas, Jeddah: Al Haramain, t.t.

Farmawiy, Abdul Hayy, al-Bidayat fi al-Tafsir al-Maudlu’iy, Kairo: Al-Hadharah


al-“Arabiyah, 1977.

HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.

Ibn Katsir, Ismail, Tafsir Al-Qur’an al Azhim, Singapura, Sulaiman Muriy, t.t.

Isfahani, AR-Raghib al-, Mufradat Ghorib Al-Qur’an, Mesir: Al-Halabiy, 1961.

Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis


Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998.

Maraghi, Ahmad Mustafa al-, Tafsir al Maraghiy, Mesir: Al-Halabiy, 1946.

Muqaddasiy, Zadah Faidl-Allah, Fath ar Rahman, Beirut, 1323 H

95
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah Fungsi Dan Peran Agama Dalam
Kehidupan Manusia. Jakarta: Khazanah Baru, 2000.

Muslim bin Al-Hajjaj, Abu al-Hasan, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.

Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:


Paramadina, 1999.

Newfeldt, Victoria (ed.), Webster's New World Dictionary. New York: webster's
New World Clevenlamd, 1984.

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

Quraisy Shihab, M, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

--------, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur'an. Minneapolis & Chicago:


Bibliotheca Islamica, 1980.

--------. Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Annas Mahyuddin, Bandung: Pustaka,


1983.

Ridia, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur’an al Hakim, yang terkenal dengan


Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Fikr, t.t

Shobuniy, Moh. Ali ash-, Shofwah at-Tafasir, Kairo: Dar Ash-Shobuniy, t.t.

Suyuti, Jalal ad-Din as-, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Mesir, 1318 H

-------, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Pentj. M. Abd Mujieb AS, Indonesia:
Darul Ihya’ t.t.

Syalabiy, Ahmad, Islam Dalam Timbangan, Bandung: Al-Ma’arif, 1982.

Syalthut, Mahmud, Tafsir Al-Qur’an al Karim, Pentj. H.A.A Dahlan, Bandung:


Diponegoro, 1989.

Syathi', Aisyah Abdur Rahman Bint asy-, Maqal fi al-Insan Dirasat Qur'aniyyat,
Mesir: Dar al-Ma'arif, 1969.

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus


Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

96
97

Vous aimerez peut-être aussi