Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Ibadah adalah ketundukan hamba yang tak terhingga kepada Allah dengan
cara melakukan tindakan apapun disertai mengharap ridlo Allah, ibadah adalah
tugas pokok manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
"Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka
mengabdi (ibadah) kepada-Ku."(QS. Adz-Dzariyat: 56).
66
perintah menjauhi thaghut (QS. An-Nahl: 36). Secara umum, perintah untuk
beribadah kepada Allah adalah bermuara pada sikap ikhlas (QS. Az-Zumar: 2),
karena hanya amal yang ikhlas saja yang diterima di sisi-Nya. Perhatikan ayat
berikut:
Pembagian Ibadah
Secara umum ibadah dibagi 2 yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghair
mahdlah. Ibadah mahdlah adalah ibadah tertentu bentuk dan caranya seperti
sholat, zakat, puasa, haji. Sedangkan ibadah ghair mahdlah adalah semua bentuk
aktivitas sebaiknya yang tidak ditentukan cara dan bentuknya seperti menolong
orang lain, mendo’akan baik kepada orang lain dan sebagainya. Dalam
kesempatan ini dan karena alasan khusus maka disini hanya akan dijelaskan jenis
ibadah mahdlah. Namun demikian harus tetap diperhatikan bahwa apapun bentuk
ritual harus memakai sendi-sendi yang ada dalam tuntunan syari'at.
1. Sholat
Ibadah sholat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam bangunan
Islam. Sholat merupakan tiang penyangga terhadap kewajiban ibadah lainnya.
Sholat lebih nampak sebagai hubungan komunikasi antara hamba dengan
Allah. Apabila diamati, tata cara ibadah shalat merupakan sikap yang paling
sempurna dalam berhubungan dengan Allah Swt, dimana seorang hamba
tanpa membedakan status sosial menundukkan diri di hadapan-Nya dan
memohon perlindungan serta limpahan karunia-Nya. Dalam hal ini sholat
menunjukkan hubungan yang sangat istimewa dengan yang ghaib karena
setiap individu mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan maksud
hatinya dalam menunjukkan rasa dekat dan khusu’ di hadirat-Nya.
Keutamaan ibadah sholat yang dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan, mencurahkan segenap jiwa, menghayati do’a yang dibaca yang
67
isinya selalu merendahkan diri dan memuliakan Allah, akan membawa kepada
keuntungan.
68
"Sungguh kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, sedang pakaian takwa
itulah yang paling baik."(QS. Al-A’raf: 26) Lihat pula ayat 31
Sholat tidak ada gunanya jika tidak membawa dampak positif bagi
lingkungan sosialnya, misalnya suka berbakti kepada sesama manusia.
2. Zakat
Perintah untuk melakukan zakat seringkali disebutkan dalam rangkaian
perintah untuk mendirikan sholat (QS. Maryam: 31, 55; QS. Al-Anbiya’: 73;
QS an-Nuur: 37; QS. Al-Baqarah 43, 83, 110; QS. An-Nisa’: 76; QS. Al-Hajj:
78 dan lain-lain dalam berbagai kesempatan). Bahkan Al-Qur’an menjadikan
zakat dan sholat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran Islam.
69
segelintir manusia merupakan suatu keburukan yang tidak dibenarkan oleh Al-
Qur’an. Allah berfirman:
Zakat adalah latihan rohani yang sangat baik agar manusia menunaikan
derajatnya dari dunia materi ke dalam kejernihan rohani dalam rangka
mensucikan jiwa kebendaan-materialisme mereka (QS. At-Taubah: 103).
Dengan demikian Islam meletakkan dasar keadilan sosial dalam bentuknya
yang tinggi dan menjadikan kekayaan mereka untuk manusia yang
membutuhkan, dikeluarkan dari kelompok yang kaya kepada mereka yang
nyata-nyata memerlukan (QS. At-Taubah: 60)
3. Puasa
Puasa yang diwajibkan dalam Islam adalah puasa Ramadan. Hal ini
dapat dilihat dalam surat al-baqarah ayat 183:
Dalam konsepsi Islam, Puasa adalah jihad kedalam dan keluar yang
disyareatkan Allah tidak hanya bagi umat Islam tapi bagi semua agama-
agama. Umat Islam adalah sebagian kecil umat yang diseru untuk
melakukannya. Jihad ke dalam karena puasa membawa umat Islam untuk
70
merefleksi seluruh perbuatan yang telah dilakukan terutama keburukan karena
dorongan nafsu kebinatangan. Puasa diharapkan mampu mendidik manusia
menjadi disiplin dengan melakukan ibadah yang hanya dirinya yang tahu
hakikat dan kualitasnya. Berbeda dengan ibadah lain yang secara fisik-
lahiriyah bisa dilihat orang lain, maka puasa adalah amal yang sangat rahasia.
Dalam hadis Qudsi, dinyatakan oleh Allah bahwa "puasa adalah untuk-Ku
(Allah) dan aku sendiri yang akan membalasnya." (Ayoub, 1989: 124-125)
Jihad ke dalam ini sesungguhnya adalah bentuk jihad yang lebih besar dan
berat. Ketika Umat Islam berjuang di Badar sambil berpuasa melawan kaum
kafir kemudian memperoleh kemenangan, maka Nabi mengatakan bahwa
jihad yang berwujud perang fisik adalah kecil, yang sesungguhnya berat dan
besar adalah perang melawan nafsu syetani dan intersest pribadi yang akan
menutup tirai kehadiran Tuhan. Melalui lapar dan dahaga, seorang Muslim
akan mampu secara empati merasakan penderitaan orang lain. Dengan begitu
akan mendorong dirinya mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya
serta orang lain. Puasa yang benar bukanlah puasa formalitas yang hanya
secara lahiriyah menahan lapar dan dahaga, tetapi harus mencerminkan
kepedulian sosial bagi kebaikan manusia lain. Maka tidak mengherankan
bahwa Nabi mengajarkan, bila seorang Muslim yang berpuasa diajak
bertindak yang tidak baik, ia harus mampu menolak dengan mengatakan
bahwa ia berpuasa. Dari sini ajaran tentang sikap memaafkan orang lain juga
menemukan relevansinya. Jihad keluar, karena ia harus mampu secara aktual
memberikan kebaikan dan kelebihan yang dimiliki untuk orang lain. Makna
puasa bagi maslahat sosial merupakan wahana untuk mendidik manusia
bersikap altruis dan tidak mengekploitasi harta untuk kepentingan pribadi. Ini
adalah bagian dari makna takwa sebagai tujuan puasa yang disyareatkan ini,
bagi manusia.
4. Haji
Haji merupakan perjalanan lahir dan batin ke bait Allah, dapat
disaksikan setiap tahun jutaan manusia, laki-laki dan perempuan bepergian
71
jauh karena terdorong untuk mendapatkan berbagai manfaat. Tentang hal ini,
Allah berfirman:
Wallahu a’lam.
72
BAB X
ILMU PENGETAHUAN MENURUT AL-QUR'AN
Dalam wahyu awal ini, perintah Iqra’ (bacalah) demikian menjadi tema
utama, sehingga ia diulang sekali lagi. Kandungan ayat ini adalah perintah untuk
membaca apa saja, kapan saja, dimana saja tapi dengan syarat bismi robbik
(dengan nama Tuhan), berarti yang bermanfaat untuk manusia. Iqra dengan
demikian dapat berarti bacalah, telitilah, dalamilah, identifikasikan, kenalilah apa
saja mengenai alam, tulisan, zaman, sejarah, yang tak tertulis: sesuatu yang
terjangkau oleh pikiran.
Dalam wahyu ini dapat diketahui dua cara perolehan ilmu, yaitu Allah
mengajar dengan pena yang diketahui manusia sebelumnya, dan mengajar
manusia apa yang belum diketahui. Yang pertama dengan alat atau atas dasar
usaha, yang kedua tanpa alat atau tanpa usaha manusia. Dengan demikian
eksperimentasi, wahyu, ilham, firasat, filsafat merupakan bentuk-bentuk
pengajaran yang dapat dikategorikan dengan penjelasan di atas.
Ilmu
Kata ilmu dalam berbagai bentuknya di dalam Al-Qur’an disebut
sebanyak 854 kali. Kata ini diartikan sebagai sebuah proses pencarian
pengetahuan dan obyek pengetahuan. Karena adanya usaha mencari dan
mengkolaborasi pengetahuan, Al-Qur’an memandang ilmu merupakan
73
keistimewaan manusia atas makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi
kekhalifahan (perhatikan QS. Al-Baqarah: 31, 32).
Kedua ayat di atas menggambarkan kemungkinan dan potensi manusia
memperoleh dan menguasai ilmu pengetahuan serta mengembangkannya.
Ditemukan banyak ayat memerintahkan manusia untuk mewujudkan pengembang
ilmu dan berisikan petunjuk betapa tinggi kedudukan orang yang berilmu
pengetahuan, baik ilmu kasbi maupun ilmu laduni.
Ilmu kasbi, sebagai hasil usaha manusia terasa lebih banyak karena ia
tergantung kepada upaya manusia dan keseriusan mereka dalam menggali dan
mengembangkannya. Sedangkan ilmu laduni lebih banyak merupakan tanda kasih
Tuhan kepada sebagian hamba-Nya untuk menunjukkan kebaikan dan kebenaran
sesuai tuntutan keadaan saat itu (perhatikan QS. Al-Kahfi: 65).
Di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang sarana meraih ilmu
pengetahuan, yaitu pendengaran, mata (observasi), akal (renungan), hati. Al-
Qur’an juga menyinggung tentang perintah untuk memikirkan alam raya,
melakukan perjalanan dalam upaya mengetahui hukum kausalitas, probabiltas
yang dapat menjadi landasan pengetahuan lebih lanjut.
74
Perlu dikemukakan bahwa Al-Qur’an memandang perlu upaya pensucian
jiwa untuk bisa memperoleh ilmu yang hakiki. Allah akan memalingkan
pengetahuan hakiki dari manusia yang sombong, pongah, aniaya, lalim dan
sebagainya (lihat QS. Al-A’raf: 146). Memang, terkadang nampak orang yang
durhaka memperoleh secercah ilmu dengan usaha, tetapi yang mereka peroleh
hanya terbatas pada fenomena lahiriyah alam, bukan hakikat pengetahuan sendiri
(QS. Ar-Ruum: 6-7).
Manfaat Ilmu
Diantara titik tekan manfaat ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan
nama Tuhan adalah rasa takut dan kagum (khasyyah) dari pemilik ilmu dan ini
menjadi ciri yang paling menonjol dari manfaat ilmu (QS. Al-Rathir: 28). Terkait
hal itu, perintah untuk membaca dengan nama Allah berarti mengarahkan manusia
untuk mengarahkan ilmu untuk kemaslahatan manusia, bukan bebas nilai “Ilmu
untuk ilmu” tampaknya tidak disetujui dalam Islam. Ilmu yang apapun
garapannya, harus selalu disertai oleh nilai robbani, yaitu maslahah manusiawi.
Dalam beberapa penutup ayat, khususnya yang terkait dengan perintah
memperhatikan alam raya, terdapat petunjuk bahwa ada beberapa ragam manfaat
yang seharusnya dapat diperoleh mereka yang mempelajari fenomena alam:
Yatafakkarun (yang berfikir, lihat QS. Yunus: 24); Yatazakkarun (yang
mengambil pelajaran, QS. An-Nahl: 13); Ya’lamun (yang mengetahui, QS.
Yunus: 5); Ya’qilun (yang memahami, QS. An-Nahl: 12); Yasma’un (yang
mendengarkan, QS. Ar-Ruum: 23); Yuqinun (yang meyakini, QS. Al-Jatsiyah: 4);
al-‘alamin (yang mengetahui, QS. Ar-Ruum: 22); al-mu’minun (orang-orang yang
beriman, QS. al-Jatsiyah: 3) dan lain-lain.
Proses pengambilan manfaat itu menuntut manusia mengenali berbagai
bidang ilmu yang akan digeluti. Apakah bidang itu bermanfaat sehingga ia perlu
bersungguh-sungguh dalam bidang itu, ataukah tidak bermanfaat sehingga ia rugi,
karena hanya menghabiskan energi dan ia menghindarinya.
Manfaat lain dari ilmu adalah sebagai tanda dan gambaran perbedaan dari
orang yang tak berilmu (bodoh). Al-Qur’an secara jelas menyatakan:
75
“……Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang-orang
berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9)
76
Seandainya manusia mampu menggapai tingkat ilmu pengetahuan yang
tinggi secara rasional mereka tetap harus menyadari keterbatasan ilmu yang
mereka kuasai (QS. Yusuf: 76; QS. Al-An’am: 80; QS. Al-A’raf: 88; QS. Thaha:
98; QS. At-Thalaq: 12; dan lain-lain). Seseorang yang memegang kekuasaan
harus berhias dengan ilmu (QS. Al-Baqarah: 247).
Dengan demikian jelas bahwa Al-Qur’an memberi kesempatan kepada
manusia, khususnya umat Islam untuk memperoleh pengetahuan. Ia mendorong
mereka mendalaminya, dan meraih kemajuan, menerima perkembangan baru
pengetahuan. Bagaimanapun nasib pribadi, masyarakat di dunia-di akhirat,
diyakini atau tidak, adalah ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang mampu mereka
manfaatkan. Wallahu a’lam.
77
BAB XI
MAKNA ISLAM DALAM AL-QUR'AN
Secara etimologi, Islam berasal dari kata S-L-M yang artinya: aman,
keseluruhan, menyeluruh, perdamaian, keselamatan. “Islam” sendiri disebut 8 kali
dalam Al-Qur’an. Tetapi kata jadian dari “Islam” sangat banyak ditemukan dalam
berbagai bentuknya. Islam berarti menyerahkan diri, tunduk dan patuh. Maka
kemudian kata Islam di dalam Al-Qur’an yang disertai dengan obyek yang harus
di tunduki semua merujuk kepada sikap tunduk, pasrah hanya kepada Allah (QS.
Al-Baqarah: 112, 131; QS. Ali-Imran: 20, 83; QS. An-Naml: 44; dan lain-lain).
Yang penting untuk dibahas adalah pertanyaan apakah yang ditunjuk oleh
kata “Islam” di dalam Al-Qur’an? Islam sendiri artinya adalah kepasrahan kepada
Allah sebagai sebuah sikap keagamaan yang tumbuh dari dalam, bukan paksaan
dari luar. Sikap keagamaan yang datang dari luar hanya akan menghilangkan
kemurnian dan keikhlasan. Inilah makna larangan mengikuti sesuatu yang tidak
dipahami (QS. Al-Isra’: 36)
Sikap pasrah kepada Allah atau Tuhan merupakan tuntutan alami manusia,
dengan demikian agama (ad-din) secara harfiah berarti “kepatuhan”,
“ketundukan”, dan “ketaatan”. Sikap tunduk dan taat itu hanya sah dan tidak lain
adalah sikap pasrah kepada Allah (Islam). Maka tidak ada agama atau tidak ada
agama yang sah kecuali sikap pasrah kepada Allah itu (Islam). QS. Ali-Imran: 19,
85 di bawah ini:
Oleh karena itu, maka semua agama yang benar hakikatnya adalah “islam”
yaitu semua mengajarkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Dalam Al-
78
Qur’an dapat ditemukan beruangkali penegasan bahwa agama para nabi terdahulu
sebelum Muhammad Saw adalah Islam. Dan atas dasar itu pula, maka agama yang
dibawa oleh Muhammad disebut dengan agama “Islam”, karena ia mengajarkan
secara sengaja dan sadar akan kepatuhan kepada Tuhan. Namun ia bukan satu-
satunya, dalam arti tidak unik dengan sendirinya, melainkan sebagai rangkaian
dari agama-agama “al-Islam” lain yang tampil terdahulu. Dengan perspektif
seperti itu, Al-Qur’an seharusnya dibaca, khususnya kata-kata “Islam”, “muslim”
dan semua derivasinya. Bagaimanapun dapat dipahami bahwa Al-Qur’an
mendukung ide bahwa semua agama (yang benar, yang datang dari Allah)
merupakan “al-Islam”
Adalah tidak mengherankan bila peringatan kepada manusia untuk pasrah
kepada Allah seringkali dikaitkan dengan peringatan bahwa seluruh alam ini
tunduk dan pasrah kepada Allah (bandingkan dengan QS. Ali-Imran: 83).
Nampaknya ini yang dimaksud dengan adanya perjanjian primordial antara Allah
dan anak cucu adam, meski sekarang mereka mungkin tidak menyadarinya.
Perjanjian itu adalah pernyataan Allah: “Bukankah Aku (Tuhan) adalah
Tuhanmu? Mereka menjawab: benar. Kami bersaksi” (QS. Al-A’raf: 172)
Dalam Al-Qur’an, secara literal dituturkan bahwa yang pertama kali
menyadari al-Islam sebagai inti agama langit adalah Nuh as. Dikatakan bahwa
Nuh as mendapat perintah Allah untuk menjadi salah seorang yang Muslim, yakni
berperilaku islam, pasrah kepada Allah dalam menghadapi kaumnya yang
membangkang (QS. Yunus: 71-72)
Pada masa selanjutnya, Ibrahim as juga secara tegas dan kuat mendapatkan
mandat untuk ber-Islam kepada Allah Kemudian agama yang berintikan pasrah
kepada Allah itu diwasiatkan kepada keturunan Ibrahim, yaitu antara lain Nabi
Ya’qub atau Israil (yang berarti hamba Allah) dari jurusan Nabi Ishaq. Wasiat itu
kemudian menjadi dasar agama-agama Israil, yaitu agama Yahudi dan Nasrani:
79
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan keislaman itu kepada anak-anaknyam
dan demikian pula Ya'kub. Ibrahim berkata:"Hai anak-anakku,
sesungguhnya Allah telah memilih agama (Islam) untuk kamu, maka
janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim." (QS. Al-
baqarah: 132)
Dengan tidaklah benar bahwa Ibrahim adalah orang Yahudi atau Nasrani,
melainkan seorang yang pasrah (muslim) kepada Allah swt. Hal ini dikarenakan
Ibrahim jauh sebelumnya telah lahir. Inilah yang dimaksud oleh Allah dalam QS.
Ali-Imran: 65-67, dimana pengakuan kaum Yahudi dan Nasrani bahwa Ibrahim
adalah seorang dari mereka. Bukan, Ibrahim adalah seorang hanif (pencari
kebenaran) dan muslim. Ia bukan orang musyrik.
"Dan tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi, dan tidak pula orang Nasrani,
tetapi ia seorang yang lurus (hanif) dan muslim." (QS. Ali Imran: 67)
Sebagaimana ajaran Islam pada Ibrahim, Musa as juga mengakui hal itu.
ini dapat dipahami dari pernyataan Fir’aun dalam keadaan terjepit menjelang
kematiannya bahwa ia percaya kepada tuhannya Bani Israil dan ia mengaku
termasuk orang yang muslim (pasrah) kepada Allah (QS. Yunus: 90).
Hal yang sama berlaku pada Nabi Isa (Yesus), putra Maryam, dimana
beliau datang membawa ajaran pasrah kepada Allah:
"Maka, tatkala Isa merasa (mengetahui) diantara mereka ada yang ingkar,
dia berkata: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku ke jalan
allah? Hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab,"kamilah penolong-
penolong (agama) Allah. Kami telah beriman kepada Aalah dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah muslim." (QS. Ali Imran:
52).
80
Bagaimana dengan nabi Muhammad saw? QS. Ali-Imran: 20 dapat
dipahami sedemikian rupa:
" Jika mereka mendebat kamu (hai Muhammad) maka katakanlah: “Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-
Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu juga pasrah
(kepada Allah)?” kalau mereka pasrah, maka mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka tugasmu hanyalah
menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”.
Sedangkan manifestasi lahiriah dari sikap Islam itu dapat beraneka ragam,
tergantung zaman dan tempat. Namun dalam keanekaragaman itu semua orang
harus berbakti kepada Allah dengan sikap yang tulus dan dengan rendah hati (QS.
Al-Hajj: 34)
Implikasi yang tampak dari prinsip ini adalah keyakinan akan kesatuan
kenabian sebagai sesuatu yang bersumber dari satu wujud. Hal ini mendorong
untuk selalu mempercayai semua nabi, tanpa membeda-bedakan mereka satu
sama lain (perhatikan dengan seksama QS. Al-Baqarah: 136; QS. Ali Imran: 84).
Berikutnya yang harus ditegaskan adalah bahwa diantara nabi-nabi, utusan Allah
itu ada yang diceritakan dan ada yang tidak diceritakan. Apabila ada indikasi
ajaran yang kokoh dan meyakinkan, maka kepada mereka harus diberikan “rasa”
iman, seperti kepada nabi lainnya. (QS. An-Nisa’: 164; QS. Ghafir: 78)
Dengan demikian sikap pasrah kepada Allah, kesatuan keNabi-an menjadi
dasar apa yang disebut Islam sebagai agama universal. Karena Islam, secara
historis dan sosiologis serta teologis menjadi nama ajaran al-islam yang dibawa
oleh Muhammad saw. Ini disebabkan Islam (“I” besar) mengajarkan sikap al-
islam (pasrah) kepada Allah. Pemahaman yang demikian setidak-tidaknya dapat
dirujukkan pada keterangan Al-Qur’an ketika menjelaskan risalah Muhammad
saw., sebagaimana berikut:
81
"Dan berjuanglah kamu pada agama Allah dengan sebenar-benar nya. Dia
telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan atas kamu kesukaran di
dalam agama, yaitu agama bapak kamu Ibrahim. Dia menamakan kamu
muslimin dari dahulu dan dalam (al-Quran) ini, supaya rasul-rasul itu
menjadi saksi atas kamu dan kamupun menjadi saksi atas manusia." (QS.
Al-Hajj: 78)
Dari uraian di atas, umat Islam setidaknya mempersepsi kata 'islam' guna
menunjuk kepada lima macam pengertian:
Pertama, islam berarti kepasrahan dan ketundukan kepada perintah dan hukum
Allah. Makna ketundukan alam raya masuk dalam makna ini.
Kedua, islam bisa diberikan untuk para rasul terdahulu dan mengikuti ajaran
mereka secara benar. Ini misalnya dirujuk dalam QS al-Baqarah: 136 dan
an-Nahl: 36. Ajaran para rasul itu adalah bertauhid dan patuh, tunduk pada
Allah SWT.
Ketiga, Islam sebagai nama agama. Tidak bisa dipungkiri dalam perkembangan
sejarah, memang Islam telah menjadi nama sebuah agama, agama rasul
terakhir. Tetapi ia bukan sekedar nama, tetapi memiliki inti ajaran berserah
diri kepada Allah. Dengan begitu, pengikut Muhammad saw adalah
seorang muslim secara “eksklusif” yang memahami benar apa inti dari
ajaran agamanya yaitu Islam (pasrah). Dan karena kesadaran hakiki itu
umat Islam mempunyai petanda universalisme, yang pada gilirannya
dituntut dan diharuskan mampu memancarkan cahaya kosmopolitan di
tengah umat lain. 'Islam' dalam makna ini sebagiannya mengandung
koreksi atas berbagai penyelewengan praktek keberagamaan dari umat
terdahulu dan biasa dianggap penyempurna agama sebelumnya.
82
Keempat, Islam sebagai merujuk kepada pendapat atau pandangan ulama atau
sarjana muslim ketika berbicara dengan mengatasnamakan Islam,
meskipun boleh jadi yang dominan adalah pendapat pribadi orang tersebut.
Kelima, sering sekali secara biasa islam diberikan bagi setiap orang yang telah
mengikrarkan syahadat meskipun mereka belum melaksanakan ajaran
Islam (Hidayat, 1998, 74-75).
Dengan demikian spektrum makna Islam pada hakikatnya demikian luas
dan karena perlu bersikap kritis dan hati-hati dalam membawa dan
mengatasnamakan Islam. Dalam konteks inilah pilihan-pilihan menjadi mungkin
dan pluralitas kebenaran menemukan momentumnya.Wallahu a’lam.
83
BAB XII
KONSEP JENDER DALAM AL-QUR'AN
Pengertian Jender
Kata jender berasal dari bahasa Inggris “Gender” berarti “jenis kelamin”
(M. Echols dan Hasan Shadily, 1983, 265). Dalam Webster’s New World
Dictionary, Jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Ada yang memakai istilah
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Jadi, artinya
bernuansa non biologis. Kalau bernuansa biologis biasanya dipakai istilah sex.
Terkait dengan upaya penafsiran Al-Qur’an yang ingin digalakkan dalam
situasi Indonesia ini, perlu dikemukakan salah satu misi ajaran Al-Qur’an adalah
pembebasan wanita dari penindasan. Apalagi di waktu Muhammad saw
berdakwah di awal kerasulannya. Keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di
dunia masih memposisikan wanita sebagai subordinat kekuasaan laki-laki ini
terkait dengan tuntutan hidup masa itu yang membutuhkan kekuatan untuk
berperang, mencari nafkah dan mempertahankan hidup dari keadaan geografis
arah yang gersang. Islam datang kemudian dengan tawaran pembebasan wanita,
kemerdekaan mereka dari sikap tunduk yang ekstrim kepada struktur yang ada di
atasnya dan tunduk kepada kaum laki-laki di dalam struktur masyarakatnya.
Kelahiran seorang anak perempuan tidak lagi aib bagi keluarganya (baca QS. An-
Nahj: 58)
Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui bentuk dan
simbol jender yang digunakan di dalamnya. Simbol itu antara lain adalah istilah-
istilah untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Ada kata ar-rijal, dan an-
nisa, adz-dzakar dan al-untsa, al-mar’ dan al-mar’ah atau identitas status yang
berhubungan dengan jenis kelamin seperti az-zauj dan az-zaujah, al-ab dan al-
umm, al-ibn dan al-bint, al-walid dan al-walidah (sekalipun kata-kata al walid
tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an) atau kata ganti (dlamir) dan rujukannya.
Tentang kata sifat yang disandarkan pada mudzakkar dan muannats, jumhur
84
ulama memandang bahwa khitab seperti itu berarti mencakup laki-laki dan
perempuan, kecuali ada alasan dan dasar lain yang mengecualikan.
Al-Qur’an mengungkapkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
tetapi masih perlu diteliti apakah ungkapan itu mengacu kepada unsur biologis,
unsur budaya, kedua-duanya atau acuan lain. Ada sejumlah ayat yang
menerangkan aktifitas khas perempuan, seperti siklus menstruasi (QS. Al-
Baqarah: 222); menopause (QS. Ali-Imran: 40); hamil (QS. At-Thalaq: 4);
melahirkan (QS. Ali-Imran: 45); menyusui dan memelihara anak-anak (QS. Al-
Baqarah: 223). Sayangnya kekhususan itu sering disalah artikan untuk
memojokkan peran domestik wanita. Padahal tidak ditemukan ayat yang
menyatakan bahwa fungsi reproduksi menjadi sebab mengapa perempuan menjadi
subordinasi laki-laki. Ini hanya untuk menegaskan bahwa tidak mungkin laki-laki
atau perempuan itu sama dalam segala hal. Ada pembagian tugas yang bersifat
biologis.
Perspektif Al-Qur’an tentang jender tidak sekedar mengatur tentang
keserasian hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari
itu Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia)
makrokosmos (alam) dan Tuhan. Konsep berpasang-pasang tampak diterapkan
Al-Qur’an untuk seluruh jenis makhluk hidup.
" Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri berpasang-pasangan, dan dari binatang ternak pasang-pasangan
pula. Dia mengembangkan kamu padanya." (QS. Asy-Syuro: 11). Lihat
pula QS. Thaha: 53.
85
Konsepsi Al-Qur’an tentang relasi jender juga dimaksudkan untuk
mewujudkan maslahah yang merupakan maqashid syari’ah seperti mewujudkan
keadilan dan kebajikan (QS. An-Nahl: 90) keamanan dan ketentraman (QS. An-
Nisa’: 158) dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
86
"Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah
yang lebih takwa diantara kamu."
87
menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dari segi ibadah. Yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang menggambarkan bahwa
kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, disebabkan oleh
pengingkaran mereka terhadap suami ( ) serta
karena kekurangan akal dan agama ( ) (lihat
misalnya Bukhari dalam Kitab al-Haidl, hadits No. 293, Muslim dalam
kitab al iman, hadits No. 114).
Kata kekurangan akal dan agama dalam hadits ini tidak berarti
perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui
prestasi kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadits ini menggambarkan
keadaan praktis sehari-hari laki-laki dan perempuan di masa Nabi, laki-
laki memperoleh otoritas persaksian, satu berbanding dua dengan
perempuan, karena ketika itu fungsi dan peran publik berada di pundak
laki-laki. Kekurangan agama terjadi pada diri perempuan karena memang
hanya perempuanlah yang menjalani menstruasi. Laki-laki tidak
menjalani siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan
ibadah-ibadah wajib tanpa alasan lain yang dapat dibenarkan. Peniadaan
sejumlah ibadah dalam masa menstruasi, seperti salat dan puasa, adalah
dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan
akibat apapun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi.
Kekurangan akal ( ) masih perlu dilacak lebih
lanjut apa sesungguhnya yang dimaksud kata ( )pada masa nabi.
Kalau kekurangan akal dihubungkan dengan kualitas persaksian,
sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka bisa
saja dipahami yang dimaksud “kekurangan akal” dalam hadits ini adalah
keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan karena adanya
pembatasan-pembatasan budaya di dalam masyarakat. Jadi sifatnya bukan
permanen atau alamiah. Demikian pula “kekurangan agama”(
) yang dihubungkan halangan perempuan untuk melakukan
sejumlah ibadah karena alasan “tidak bersih” (haid), memerlukan
keterangan lebih lanjut, karena halangan itu bukan kehendak perempuan
88
tetapi sesuatu yang bersifat alamiah yang mendapatkan dispensasi Tuhan.
Jadi banyaknya perempuan di dalam neraka menurut penglihatan nabi
mungkin saja karena populasi perempuan lebih besar daripada laki-laki,
sehingga proporsional kalau perempuan lebih banyak di dalam neraka
dari pada laki-laki.
89
sebagai mana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba
Allah.
90
sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan
semacam sanksi (kitab kejadian 3: 16).
Berbeda dengan Al-Qur’an yang mempunyai pandangan lebih
positif terhadap manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah
memuliakan seluruh anak cucu adam (QS. Al-Isara: 70). Kata
dalam ayat tersebut menunjukkan kepada seluruh anak cucu Adam,
tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan warna kulit. Dalam
Al-Qur’an tidak pernah ditemukan satu ayatpun yang menunjukkan
keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan
suku bangsa tertentu. kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi
Islam sejak awal terlihat begitu kuat. Perjanjian, bai’at, sumpah dan nazar
yang dilakukan oleh perempuan mengikat dengan sendirinya
sebagaimana halnya laki-laki. Dalam tradisi Yahudi-Kristen seorang
perempuan hidup di dalam pangkuan ayah, maka perjanjian, sumpah dan
nazarnya dapat digugurkan oleh ayah yang bersangkutan (Kitab Bilangan
30: 5). Sebaliknya jika perempuan hidup di dalam pangkuan suaminya,
maka perjanjian, sumpah dan nazarnya dapat digugurkan oleh suami
(Kitab Bilangan 30: 8).
Di dalam tradisi Islam perempuan mukallaf dapat melakukan
berbagai perjanjian, sumpah dan nazar, baik kepada sesama manusia
maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat
menggugurkan janji, sumpah dan nazar mereka. (QS. Al-Maidah: 89).
Pernyataan dalam ayat tersebut jelas-jelas sekali berbeda dengan
pernyataan Alkitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan dari
laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinasi dari ayahnya dan
isteri subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi Islam, ayah dan suami
juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan
komitmen pribadi seseorang perempuan dengan Tuhan-nya. Bahkan
dalam urusan-urusan keduaniaanpun perempuan memperoleh hak-hak
sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki. Dalam suatu ketika nabi
Muhammad didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan
91
dukungan politik (bai’at), maka peristiwa langka ini menyebabkan
turunnya QS. Al-Mumtahanah: 12.
92
"Dan barangsiapa yang mengerjakan amal salih dari laki-laki atau
perempuan sedang dia seorang mukmin, maka mereka akan masuk
surga dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun." (QS. An-Nisa:
124)
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa pria menjadi qawwam wanita karena
memiliki keunggulan dan karena memberi nafkah. Bila secara ekonomis, isteri
93
bisa menghidupi diri dan atau keluarganya atau seorang istri memiliki
kecakapan lebih dari pada suami, maka keunggulan suami menjadi qawwam
itu akan menjadi tereduksi yang melibatkan 2 orang atau lebih dianjurkan
diselesaikan dengan cara musyawarah bukan berdasarkan kesewenang-
wenangan. Dengan demikian yang ada adalah hubungan suami istri yang
saling melindungi dan mendukung bukan menguasai atau mendominasi.
94
DAFTAR PUSTAKA
‘Aqqad, Abbas Mahmud al-, Filsafat Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.
Ayoub, Mahmoud M. Islam Faith and Practice. Canada: The Open Press Limited,
1989.
Baljon, J.M.S., Tafsir Al-Qur’an Muslim Modern, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Bukhariy, Abu Abd. Allah Muhammad bin Ismail, al-, Shahih al-Bukhari, Beirut:
Dar al Fikr, 1981.
Fairuzzabadiy, Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir
Ibn Abbas, Jeddah: Al Haramain, t.t.
Ibn Katsir, Ismail, Tafsir Al-Qur’an al Azhim, Singapura, Sulaiman Muriy, t.t.
95
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah Fungsi Dan Peran Agama Dalam
Kehidupan Manusia. Jakarta: Khazanah Baru, 2000.
Muslim bin Al-Hajjaj, Abu al-Hasan, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Newfeldt, Victoria (ed.), Webster's New World Dictionary. New York: webster's
New World Clevenlamd, 1984.
Shobuniy, Moh. Ali ash-, Shofwah at-Tafasir, Kairo: Dar Ash-Shobuniy, t.t.
-------, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Pentj. M. Abd Mujieb AS, Indonesia:
Darul Ihya’ t.t.
Syathi', Aisyah Abdur Rahman Bint asy-, Maqal fi al-Insan Dirasat Qur'aniyyat,
Mesir: Dar al-Ma'arif, 1969.
96
97