Vous êtes sur la page 1sur 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses


infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini
berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas
napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia <
2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1
tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5
tahun (Depkes RI, 2002b).
Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim
paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan
awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer
atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut
Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru,
dari broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
UNICEF/WHO (2006) menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari
infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik
mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai

11

salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru
(jaringan alveoli).

2.2

Etiologi Pneumonia
Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena

dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum


memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen fungsi paru
merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab
pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya
dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian
(Depkes RI, 2002b).
Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di
Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi
WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae
dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian
tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua
pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari
spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak

umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab
terjadinya pneumonia.
2.2.1

Bakteri

1. Streptococcus pneumonia
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang
sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai
polisakarida yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik.
Organisme ini adalah penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia
dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia,
meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan
kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari setengah kasus
bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23
merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit
melalui kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan
toksin yang bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang
mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum
yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan melindungi
terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan polisakarida tipe spesifik, serum
tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau manusia yang diimunisasi
dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun terhadap tipe
pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe
polisakarida tersebut.

Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus


virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang
kuat terhadap pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya
cairan edema fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit,
yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus
ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase
getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi. Selanjutnya, selsel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun
diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.
Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian
yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari
semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah
pembawa bakteri yang tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat
memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia (Brooks, G.F, dkk,
1996).
2.

Hemophylus influenza
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian

atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada
anak-anak dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak
dan orang dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes
pembengkakan simpai menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus
influenzae pada flora normal saluran napas bagian atas tidak bersimpai.

Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi


saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang
yang lemah. Orang dewasa dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat
influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin. Organisme yang
tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai
bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus
influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan
supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil,
meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun
mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae, dan infeksi
klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran
pernapasan. Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal
yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan
pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada otitis media
bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke
selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis
septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab tersering meningitis
bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.
Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang
diperoleh dari ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi,
tetapi kemudian antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi
Hemophylus influenzae yang biasanya asimtomatik tetapi dapat dalam bentuk

penyakit pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling


sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun).
Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae yang tidak diobati dapat
mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat
Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat
diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari
dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard. Anakanak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat
Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat
imunogenik pada anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya
pembawa untuk Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae
tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus
influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik
Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member risiko
nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia
di bawah 4 tahun yang berkontak erat (Brooks, G.F, dkk, 1996).
2.2.2

Virus
Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang

sering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun


virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita,
gangguan ini bias memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar
pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi

terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan kadang
menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
2.2.3

Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit

pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri,
meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya
berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi
paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah,
bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
2.2.4

Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia

pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia


(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur.
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan,
tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika
ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru
(Misnadiarly, 2008).

2.3

Patogenesis dan Penularan Pneumonia


Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau

aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama
dengan di saluran nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian

ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme


pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai
saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia
memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol
yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan
inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia,

sementara

penyebaran

secara

hematogen

lebih

jarang

terjadi

(Perhimpunan Ahli Paru, 2003).


Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara.
Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat
menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara
lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah,
terutama selama dan segera setelah lahir.

2.4

Faktor Risiko
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan

bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang
meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian
ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada
akhir tahun 2000 diperkirakan sekitar 4,9/1000 balita (Surkesnas, 2001).

Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua


umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada
balita berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada
bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara
proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%),
diare (19,2%), infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian
balita kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar
10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan
bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat
utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada balita di
Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi,
kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian balita akibat
pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang (Riskesdes 2007).
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada
balita. Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor
lingkungan dan sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens
pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak
mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak
memadai, membedong anak (menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A.

Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain


umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat
pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan
tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI,
2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3
faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.
2.4.1 Faktor Anak
a.

Umur

Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak
berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok
anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun
mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan
lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire (1991), risiko
untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun
dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2
tahun belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b.

Jenis kelamin

Dalam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2


ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan
pneumonia (Depkes RI, 2004). Menurut Sunyataningkamto (2004), hal ini
disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan

tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang
dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak
menyerang balita berjenis kelamin laki-laki (52,9%) dibandingkan perempuan
(Sutrisna, 1993).
c.

Status Imunisasi Campak

Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada
balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit.
Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi
untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan
untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan
pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% - 76,6% kematian akibat ISPA yang berkembang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis, dan Campak. Bila anak
sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat diharapkan
perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian
ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi
campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari
hasil pengamatan selama 58 tahun periode penelitian di Amerika Serikat terhadap
kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun 1939 sampai 1996
menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat
pneumonia (Sjenileila, 2002).

d.

Imunisasi DPT

Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua


cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang
langsung menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib).
Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia
sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang
memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia adalah vaksin
campak, Hib, dan vaksin pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu
imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian akibat
ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita yang tidak mendapatkan
imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali
disbanding balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan
ada hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan
kejadian pneumonia (p value = 0,049: = 0,05).
e.

Status Pemberian Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU


vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian kapsul
vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak
berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 611 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.
Pemberian vitamin A berperan sebagai protektif melawan infeksi dengan memelihara

integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan


fungsi paru (Klemm, 2008).
Menurut Sutrisna (1993), dikatakan bahwa ada hubungan antara pemberian
vitamin A dengan risiko terjadinya ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA,
terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.
f.

Status Gizi Balita

Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia.
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi
adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Sutrisna, 1993).
Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan
untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan
fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto,
2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan bahwa status gizi mempunyai hubungan
yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI: 1,5856,433).
g.

Pemberian ASI Eksklusif

Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga
memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang masuk
ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan
bayi dapat mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi. Sehingga pemberian

ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan
virus. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan 24
bulan yang tidak mendapat ASI Eksklusif menunjukkan hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia 4,76 kali
disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang diberi ASI eksklusif ditunjukkan
dengan nilai statistic OR=4,76 (95% CI: 2,98-7,59).
h.

Berat Badan Lahir

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian
yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama
terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti
kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi
terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian
Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan balita yang mempunyai riwayat
berat badan lahir rendah memilki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia
dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek
tersebut secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR= 1,9
(95% CI: 0,7-4,9) p=0,175.
i.

Riwayat Asma

Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami


peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi
dan anak-anak kurang dari lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami pneumonia

sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6 bulan-2
tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita pneumonia.
2.4.2 Faktor Lingkungan
a.

Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan


yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.
Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat
keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin
mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat
pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan
anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita
dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya
menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi (95%CI: 0,95-4,21).
b.

Pekerjaan Ibu

Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap


harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu terhadap
balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi atau
pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.
c.

Sosial Ekonomi

Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih


besar untuk mencukupi makanan untuk bayi dan balitanya sehingga anak akan

mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia.


Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang
lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat sehingga lebih
memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan
Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan
kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005 dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak
balita yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali
terkena pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.
2.4.3 Faktor Perilaku
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang
orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA
dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007).
Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi
silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan
menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan
merokok juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki
pengaruh penting terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.
2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita. Dikatakan bahwa balita

yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.

2.5

Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia

2.5.1

Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi


Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan

menjadi 3 kategori yaitu:


1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu
pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home
care (Schmidt, 2007).
2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu
pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di
rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak
sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di
rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan
sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)
3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di
ICU (Torres, S. Ewig, 2011).

2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia


Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi:
1. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua
usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka,
misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan staphylococcus pada
penderita pasca infeksi influenza.
2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma,
legionella dan Chlamydia
3. Pneumonia virus
4. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder,
terutama

pada

penderita

dengan

daya

tahan

tubuh

lemah

(immunocompromised)
Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita
dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.
2.5.3

Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000)


Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Pemeriksaan
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
3. Penentuan klasifikasi penyakit
4. Pengobatan

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)


Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur <
2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:
1.

Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:


a.

Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi


pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest
indrawing)

b.

Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau nafas cepat

2.

Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi


3 yaitu:
a.

Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak
diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta)

b.

Pneumonia: bila disertai nafas cepat

c.

Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk


yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)
dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke dalam.

WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan


pada balita usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas,
dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut (Rizanda, 2006):

Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5
Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan
Klasifikasi Klinis Penderita
Kriteria Pneumonia
Bukan Pneumonia
Pneumonia

Pneumonia Berat

Pneumonia sangat Berat

Gejala Klinis dan Pengobatannya


Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan dinding
dada. Tidak diberikan antibiotik.
Nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada.
Pengobatan di rumah dengan pemberian
antibiotic kotrimoxal atau amoksisilin.
Nafas cepat, tarikan dinding dada, tidak ada
sianosis, masih mampu makan/minum. Dirujuk
ke rumah sakit
Nafas cepat, tarikan dinding dada, ada sianosis,
tidak mampu makan/minum, kejang, sukar
dibangunkan, stidor sewaktu tenang, gizi buruk.
Dirujuk ke rumah sakit

2.5.5 Diagnosis Pneumonia


Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA,
diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).
Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat
dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):
Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan
Menurut Umur Anak
Umur Anak
Kurang dari 2 bulan
2 bulan sampai 12 bulan
12 bulan sampai 5 tahun

Nafas Cepat Bila Frekuensi Nafas Lebih Dari


60 kali per menit
50 kali permenit
40 kali permenit

Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara


lain: batuk nonproduktif, ingus (nasal discharge), suara nafas lemah, pemanfaatan

otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan


infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil,
berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah.
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk
dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian
penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit
kepala.
2.6

Penanggulangan Pneumonia

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat


Penyuluhan kesehatan masyarakat dianggap sebagai upaya yang paling
penting dalam pengendalian pneumonia dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
penatalaksanaan kasus dan perbaikan kesehatan lingkungan. Sasaran dari penyuluhan
kesehatan adalah ibu dan pengasuh balita sebagai sasaran primer sedangkan sasaran
sekunder adalah petugas kesehatan, kader posyandu, pengambil keputusan,
perencana, pengelola program serta sektor lain yang terkait. Tujuan dari promosi
kesehatan adalah mengupayakan agar masyarakat mengambil perilaku sehingga
sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.

2.6.2

Upaya Pencegahan Pneumonia


Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat

rencana aksi global Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk
pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat
kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan
mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan yang meliputi 1) melindungi anak
dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif dan mencuci
tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan
pemberian vaksinasi, 3) mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap
anak sakit memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan
berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan
mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.
Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian
akibat pneumonia antara lain dengan:
1.

Status imunisasi campak


Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh
komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa
imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.

2.

Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu faktor
risiko terjadinya pneumonia

3.

Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui upaya
perbaikan kesehatan ibu dan anak

4.

Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam ruangan.

2.7

Landasan Teori

2.7.1

Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi


Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit

disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan
lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor
lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu
maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga
dengan kejadian penyakit pneumonia yang berhubungan dengan penjamu, lingkungan
dan agent. Pneumonia balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran
pernafasan akut, yaitu terjadi peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru,
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza,
dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi
pneumonia di negara berkembang.

Pada prinsipnya kejadian penyakit yang

digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga


komponen penyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.3
AGENT

dibawah ini:

HOST

ENVIRONMENT

Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi


Sumber: Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009)

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis


dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan
mengubah komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian
penyakit.
Komponen untuk terjadinya penyakit Pneumonia adalah:
1. Host
Penjamu adalah manusia atau organisme yang rentan terhadap pengaruh
agent. Dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor penjamu adalah faktor balita
(umur, jenis kelamin, status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian
vitamin A, riwayat menderita campak, status gizi balita, pemberian ASI Eksklusif,
berat badan lahir, riwayat asma).
2. Agent
Agent penyebab Pneumonia disebabkan infeksi Streptococcus pneumoniae
dan Hemophylus influenza, dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang
3. Environment
Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian agent
maupun penjamu, tetapi mampu menginteraksikan agent penjamu. Dalam penelitian
ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi faktor lingkungan (pendidikan
ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi)

2.7.2 Konsep Model Hendrik L.Blum


Menurut teori Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2007), status kesehatan
dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu
sama lain.
Keempat faktor tersebut adalah lingkungan, perilaku, keturunan dan
pelayanan kesehatan.
KETURUNAN

PELAYANAN KESEHATAN

STATUS KESEHATAN

LINGKUNGAN

PERILAKU

Gambar. 2.2 Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan


Sumber: Hitchock, Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)
Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita
adalah:
1.

Keturunan
Faktor yang sulit untuk diintervensi karena bersifat bawaan dari orang tua.

Penyakit yang dapat diturunkan orang tua dan dapat menjadi faktor risiko infeksi
pneumonia adalah penyakit asma.
2.

Pelayanan Kesehatan
Dari hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan

tinggi akan lebih sadar membawa anaknya berobat ke fasilitas kesehatan, tetapi ibu

dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya untuk berobat ke dukun dan
mengobati sendiri.
3.

Perilaku
Menurut Depkes RI (2001), semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh

anggota keluarga semakin besar risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya jika
merokok dilakukan oleh ibu bayi.
4.

Lingkungan
Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi faktor

lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi)

2.8

Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3. berikut
ini :
Variabel Independen

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Variabel Dependen

Faktor Balita:
Status imunisasi campak
Status Imunisasi DPT
Status pemberian vitamin A
Status gizi balita
Pemberian ASI Eksklusif
Berat badan lahir
Riwayat Asma

Faktor Lingkungan:
a. Pendidikan Ibu
b. Pekerjaan Ibu
c. Sosial ekonomi

Pneumonia Balita

Faktor Perilaku:
Kebiasaan Merokok
Faktor Pelayanan Kesehatan:
Pemanfaatan pelayanan kesehatan

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian


Sumber: Modifikasi Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009), Hitchock,
Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)
Dari gambar 2.3 di atas, dapat diketahui bahwa penyakit pneumonia dapat
disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu faktor manusia dan perilakunya, faktor
lingkungan dan faktor agen. Pada penelitian ini variabel dependen adalah kejadian

pneumonia balita sedangkan variabel independennya adalah berdasarkan faktor balita,


faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan

Vous aimerez peut-être aussi