Vous êtes sur la page 1sur 27

TEXTBOOK READING

NEUROONKOLOGI : TUMOR MEDULLA SPINALIS

Diajukan kepada Yth.:


dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

Disusun Oleh :
Rahmah Fitri Utami

G1A212042

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU EKSEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
2013

LEMBAR PENGESAHAN

Textbook Reading
Neuroonkologi : Tumor Medulla Spinalis

Disusun oleh :
Rahmah Fitri Utami

G1A212042

Diajukan untuk memenuhi syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal:

Purwokerto,

November 2013

November 2013

Pembimbing,

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada hadirat Tuhan
YangMaha Esa berkat karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan Textbook Reading (TBR) yang berjudul Neuroonkologi : Tumor
Medulla Spinalis yang menjadi salah satu syarat dalam keikutsertaan ujian
kepanitraan klinik senior Ilmu Penyakit Syaraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Dalam menyelesaikan penulisan TBR ini, penulis ingin menyatakan
terima kasih kepada:
1. dr. Muttaqien Pramudigdo Sp.S selaku sebagai dokter pembimbing dalam
pembuatan TBR ini.
2. Teman- teman Co-Ass yang ikut dalam kepaniteraan senior Ilmu Penyakit
Syaraf ini.
Penulis selaku manusia juga menyadari adanya kekurangan dalam
penyusunan dan penulisan TBR ini sehingga penulis mengaharapkan kritik dan
saran untuk perbaikan demi kemajuan dan pembaruan TBR ini.
Penulis berharap semoga TBR yang berjudul Neuroonkologi : Tumor
Medulla Spinalis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam
pengembangan kemajuan ilmu kedokteran.

Purwokerto,

November 2013

Rahmah Fitri Utami

BAB 1
PENDAHULUAN
Jumlah tumor medula spinalis mencakup kira-kira 15 % dari seluruh
neoplasma susunan saraf. Sebagian besar tumor-tumor intradural tumbuh dari
konstituen seluler medula spinalis dan filum terminale, akar saraf atau meningens.
Metastasis ke dalam kompartemen intradural kanalis spinalis jarang terjadi
(paraganglioma, neoplasma melanositik).
Insiden 10 per 100.000 penduduk per tahun . Usia muda dan pertengahan
dewasa mendominasi. Tumor Intrameduler lebih sering pada anak-anak. Tumor
Extrameduler lebih sering pada dewasa. Pada laki-laki dan wanita sama-sama
sering terjadi.
Sebagian besar tumor primer medula spinalis tumbuh pada intradural.
Lokasi tumor medula spinalis : Thorak (50%), lumbal (30%), servikal (20%).
Tumor medula spinalis yang paling sering pada intrameduler adalah
glioma. Tipe lainnya yang sering adalah astrositoma, ependimoma, dan
ganglioglioma, lebih jarang hemangioblastoma dan tumor neuroektodermal
primitif.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Dan Fisiologi Medulla Spinalis
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan
garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari
sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis
sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar
saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh
lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan (Dickman &
Fehlings, 2006).
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8
pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal
(L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co) (Dickman &
Fehlings, 2006).
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf
spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian
besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar
dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri
hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi
sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk
dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal
akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih
bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina (Dickman & Fehlings, 2006).
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan
melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya.
Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di
bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di

otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel
saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba
tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson
dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu
dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis.
Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan
masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang
disampaikannya (Dickman & Fehlings, 2006).
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal
dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis
dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Secara umum,
medulla spinalis terdiri dari:
a. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga
mengalami organisasi.
b. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah
substansia grisea.
c. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis
(posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis
mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron
aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen
yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi
otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badanbadan sel yang terletak di kornu lateralis.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis
melalui akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal
datang masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen
membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badanbadan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok
bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron
eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui
akar ventral (Dickman & Fehlings, 2006).

Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah


saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis
mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh
tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson
neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh
suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf
tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari
banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki
pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti
banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel, namun tiap-tiap
sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau
mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama (Dickman &
Fehlings, 2006).
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu
traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi
yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus
asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang
dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam
dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh,
seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal
dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi (Dickman & Fehlings, 2006).
Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
a. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan
gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian
distal anggota gerak.
b. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas
neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena
itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau
aktivitas refleks.
c. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural
sebagai respon terhadap stimulus verbal.

d. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan


gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot
ekstensor atau otot-otot antigravitasi.
e. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor,
menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas
postural yang berhubungan dengan keseimbangan.
f. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.
Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
a. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif,
dan berperan dalam diskriminasi lokasi.
b. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan
tekanan ringan.
c. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
d. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan
perpindahan,

traktus

spinoserebellaris

dorsalis

berperan

dalam

menentukan posisi dan perpindahan.


e. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan
lama.

Gambar 1. Medulla spinalis

Gambar 2. Gambaran melintang medulla spinalis


B. Definisi Tumor Medulla Spinalis

Tumor medulla spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat


terjadi pada daerah cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan
atas tumor primer dan tumor sekunder (Dickman & Fehlings, 2006).
C. Klasifikasi
Tumor pada medulla spinalis dapat dibagi berdasarkan asal tumornya
yaitu menjadi tumor primer dan tumor sekunder.
1. Tumor primer:
a) Jinak, yang berasal dari :
1) tulang; osteoma dan kondroma,
2) serabut saraf disebut neurinoma (Schwannoma),
3) selaput otak disebut Meningioma;
4) jaringan otak; Glioma, Ependinoma
b) Ganas, yang berasal dari :
1) jaringan saraf seperti; Astrocytoma, Neuroblastoma,
2) sel muda seperti Kordoma.
2. Tumor sekunder: merupakan metastase dari tumor ganas di daerah rongga
dada, perut, pelvis dan tumor payudara. Kelompok ini merupakan
kelompok yang dominan dari tumor medula.
Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi tiga kelompok,
berdasarkan letak anatomi dari massa tumor. Pertama, kelompok ini dibagi
dari hubungannya dengan selaput meningen spinal, diklasifikasikan menjadi
tumor intradural dan tumor ekstradural. Selanjutnya, tumor intradural sendiri
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumor yang tumbuh pada substansi
dari medula spinalis itu sendiri (intramedullary tumor), serta tumor yang
tumbuh pada ruang subarachnoid (extramedullary tumor) (Chamberlain &
Tredway, 2011).

Ekstra dural

Intradural

Intradural

Chondroblastoma

ekstramedular
intramedular
Ependymoma,
tipe Astrocytoma

Chondroma

myxopapillary

Ependymoma

Hemangioma

Epidermoid

Ganglioglioma

Lipoma

Lipoma

Hemangioblastoma

Lymphoma

Meningioma

Hemangioma

Meningioma

Neurofibroma

Lipoma

Metastasis

Paraganglioma

Medulloblastoma

Neuroblastoma

Schwanoma

Neuroblastoma

Neurofibroma

Neurofibroma

Osteoblastoma

Oligodendroglioma

Osteochondroma

Teratoma

Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral
hemangioma
Tabel 1. Distribusi anatomi dari tumor medulla spinalis berdasarkan gambaran
histologisnya

Gambar 3. Letak tumor medulla spinalis, ed = ekstradural; ie = intradural


ekstramedular; ii = intradural intramedular*
D. Etiologi
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi
kebanyakan muncul dari pertumbuhan sel normal pada tempat tersebut.
Riwayat genetik terlihat sangat berperan dalam peningkatan insiden pada
keluarga tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis). Astrositoma dan
neuroependymoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan

neurofibromatosis tipe 2, yang merupakan kelainan pada kromosom 22. Spinal


hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan von hippel-lindou
syndrome sebelumnya,yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.
E. Epidemiologi
Tumor medulla spinalis primer menempati jumlah rata-rata 2-4% dari
keseluruhan tumor sistem saraf pusat. Tumor vascular, chordoma, epidermoid
dan neurilemmoma merupakan lesi ekstramedullar tersering dari 70-80%
tumor medulla spinalis. Sedangkan lesi intramedullar tersering antara lain
astrocytoma dan ependymoma. Secara umum, angka prevalensi tumor medulla
spinalis primer adalah 0,74 dari 100000 orang. Hampir sebesar 50% pasien
dengan tumor medulla spinalis primer berasal dari kanalis spinalis thorakal
(Muir, 2011).
Sebesar 95% tumor medulla spinalis sekunder diklasifikasikan
sebagai lesi ekstradural dan berasal dari metastasis tumor primernya. Insidensi
metastasis tumor spinal berasal dari paru (31%), payudara (24%), saluran
cerna (9%), prostat (8%), limfoma (6%), melanoma (4%) dan ginjal (1%).
Sebanyak 75% pasien yang telah terdiagnosa dengan kanker primer tersebut
akan berkembang menjadi metastasis tulang. Hanya sekitar 10% pasien
dengan metastasis spinal yang menunjukkan gejala, dan sebagian besar kasus
diketahui selama proses otopsi. Sama seperti lesi tumor spinalis primer, area
thorakal menjadi lokasi yang paling sering diserang (70%), dan diikuti oleh
daerah lumal (20%) dan servikal (10%). Bagaimanapun, pada sebagian besar
kasus tumor spinal metastasis biasanya tumor terjadi pada berbagai lokasi,
berbeda dengan tumor spinalis primer yang biasanya berlokasi pada satu
tempat saja. Angka harapan hidup pada pasien dengan lesi tumor spinalis
sekunder pada umumnya buruk, dengan angka harapan hidup rata-rata sekitar
10 bulan dan semakin memburuk apabila terjadi kompresi medulla spinalis
(Muir, 2011).
Histologi
Tumor sel glia

Insiden
23 %

Ependymoma

13%-15%

Astrositoma

7%-11%

Schwanoma

22%-30%

Meningioma

25%-46%

Lesi vascular

6%

Chondroma/chondrosarkoma

4%

Jenis tumor yang lain


3%-4%
Tabel 2. Distribusi insiden tumor primer medulla spinalis berdasarkan
histology
Jenis tumor
Schwanoma

Total
53,7 %

Umur
40-60

Jenis kelamin
> Laki-laki

Lokasi
>lumbal

Meningioma

31,3%

tahun

>perempuan

>thorakal

Ependymoma 14,9%

40-60

Laki-

>lumbal

tahun
laki=perempuan
Tabel 3. Distribusi tumor intradural ekstramedular berdasarkan umur, jenis
kelamin dan lokasi tersering.
Lokasi

Insiden

Thorakal

50%-55%

Lumbal

25%-30%

Servikal + Foramen magnum 15%-25%


Tabel 4. Insiden tumor primer medulla spinalis berdasarkan lokasi
Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma,
astrositoma dan hemangioblastoma (Chamberlain & Tredway, 2011).
Ependymoma merupakan tumor intramedular yang paling sering pada orang
dewasa. Tumor ini lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia
pertengahan(30-39 tahun) dan lebih jarang terjadi pada usia anak-anak.
insidensi ependidoma kira-kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari
ependydoma muncul pada daerah lumbosakral (Campello et al., 2009).
Diperkirakan sekitar 40% dari tumor medulla spinalis intramedullar
adalah astrositoma. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang

tersering pada tiga dekade pertama. Astrositoma juga merupakan tumor


spinal intramedular yang tersering pada usia anak-anak, tercatat sekitar 90%
dari tumor intramedular pada anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan sekitar
60% pada remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi di
segmen servikal dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada
segmen torakal, lumbosakral atau pada conus medialis (Raco et al., 2005).
Hemangioblastoma

merupakan

tumor

medulla

spinalis

intramedullar terbanyak ketiga dengan prevalensi 3% sampai 13% dari


semua tumor intramedular medula spinalis. Tumor tersebut berasal dari
vaskular dengan pertumbuhan yang berjalan lambat dan umumnya berawal
dari bagian dorsal medulla spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36 tahun,
namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau syndrome (VHLS) biasanya
muncul pada dekade awal dan mempunyai tumor yang multipel. Rasio lakilaki dengan perempuan 1,8 : 1 (Lonser et al., 2003).
Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma,
neurofibroma

dan

meningioma.

Berdasarkan

table

3,

schwanoma

merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi laki-laki lebih


sering dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada
daerah lumbal (Abul-Kasim et al., 2008).
Neurofibroma merupakan tumor jinak yang merasal dari saraf
sensorik perifer. Tumor jenis ini menempati 25% kasus ekstramedullar
medulla spinalis (Chamberlain & Tredway, 2011).
Meningioma merupakan tumor duramater yang berasal dari sel-sel
arachnoid dan dapat ditemukan pada berbagai lokasi yang memiliki
duramater. Meningima menempati sekitar 25%

dari total kasus tumor

medulla spinalis primer. Lebih dari 80% pasien meningioma medulla


spinalis adalah perempuan, dengan lokasi tumor 80% di region thorakal.
Pada laki-laki, meningioma biasanya terdistribusi di antara regio sevikal dan
thorakal. Secara umum, 15% kasus meningioma medulla spinalis terjadi di
regio vertebra servikal, 81% di regio thorakal dan 4% di regio lumbal (Peker
et al., 2005).

F. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari tumor pada aksis spinal tergantung dari fungsi
pada daerah anatomis yang terkena. Tumor medulla spinalis dapat
menyebabkan gejala lokal dan distal dari segmen spinal yang terkena ( melalui
keterlibatan traktus sensorik dan motorik pada medula spinalis) akibat
organisasi anatomik dalam medula spinalis, maka kompresi lesi-lesi diluar
medula spinalis biasanya menimbulkan gejala dibawah tingkat lesi. Tingkat
gangguan

sensorik

naik

secara

berangsur-angsur

bersama

dengan

meningkatnya kompresi, dan melibatkan daerah yang lebih dalam. Lesi yang
terletak jauh didalam medula spinalis mungkin tidak menyerang serabutserabut yang terletak superfisial, dan hanya menimbulkan disosiasi sensorik,
yaitu sensasi nyeri dan suhu yang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh.
Kompresi medula spinalis akan mengakibatkan ataksia karena mengganggu
sensasi posisi (Aryan, 2010).
Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan oleh
lokasi serta posisi pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis.
1. Gejala klinik berdasarkan lokasi tumor
a. Tumor foramen magnum
Gejala awal dan tersering adalah nyeri servikalis posterior yang
disertai dengan hiperestesi dermatom daerah vertebra servikalis 2 (C2).
Setiap aktivitas yang meningkatkan tekanan intrakranial (misal, batuk,
mengedan, mengangkat barang atau bersin) dapat memperburuk nyeri.
Gejala tambahan adalah gangguan sensorik dan motorik pada tangan
dengan pasien yang melaporkan kesulitan menulis atau memasang
kancing. Perluasan tumor menyebabkan kuadraplegia spastik dan
hilangnya sensasi secara bermakna. Gejala lainnya adalah pusing,
disatria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah,
serta atrofi otot sternokleidomastiodeus dan trapezius. Temuan
neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia,
rigiditas nuchal, gaya berjalan spastic, palsy N.IX sampai XI, dan
kelemahan ekstrimitas (Dickman & Fehlings, 2006).
b. Tumor daerah servikal

Lesi daerah servikal menimbulkan gejala sensorik dan motorik


mirip lesi radikular yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin
juga melibatkan tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian
atas diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior
melaui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan
artrofi gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah
( C5, C6, C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon
ekstremitas atas (biseps,brakhioradialis, triseps). Defisit sensorik
membentang sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada
kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi C7; dan
lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah
(Dickman & Fehlings, 2006).
c. Tumor daerah thorakal
Penderita lesi daerah thorakal seringkali datang dengan
kelemahan spastik yang timbul perlahan pada ekstremitas bagian
bawah dan kemudian mengalami parastesia. Pasien dapat mengeluh
nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan abdomen, yang
mungkin

dikacaukan

dengan

nyeri

akibat

intrathorakal

dan

intraabdominal. Pada lesi thorakal bagian bawah, refleks perut bagian


bawah dan tanda beevor dapat menghilang (Dickman & Fehlings,
2006).
d. Tumor daerah lumbosakral
Kompresi segmen lumbal bagian atas tidak mempengaruhi
refleks perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin
menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah.
Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan
tanda babynski bilateral. Nyeri umunya dialihkan ke selangkangan.
Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral
bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum,
betis dan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang
disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda

khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah (Dickman &
Fehlings, 2006).
e. Tumor kauda ekuina
Lesi dapat menyebabkan nyeri radikular yang dalam.,
kelemahan dan atrofi dari otot-otot termasuk gluteus, otot perut,
gastrocnemius, dan otot anterior tibialis. Refleks APR mungkin
menghilang, muncul gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tandatanda khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum dan perineum
yang kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi
sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris
(Dickman & Fehlings, 2006).
2. Perjalanan klinis tumor berdasarkan letak tumor dalam kanalis
spinalis
a. Lesi Ekstradural
Perjalanan klinis yang lazim dari tumor ekstradural adalah
kompresi cepat akibat invasi tumor pada medula spinalis, kolaps
kolumna vertebralis, atau perdarahan dari dalam metastasis. Begitu
timbul gejala kompresi medula spinalis, maka dengan cepat fungsi
medula spinalis akan hilang sama sekali. Kelemahan spastik dan
hilangnya sensasi getar dan posisi sendi dibawah tingkat lesi
merupakan tanda awal kompresi medula spinalis (Dickman &
Fehlings, 2006).
b. Lesi Intradural
Lesi medula spinalis ekstramedular menyebabkan kompresi
medula spinalis dan radiks saraf pada segmen yang terkena. Sindrom
Brown-Sequard mungkin disebabkan oleh kompresi lateral medula
spinalis. Sindrom akibat kerusakan separuh medula spenalis ini
ditandai dengan tanda-tanda disfungsi traktus kortikospinalis dan
kolumna posterior ipsilateral di bawah tingkat lesi. Pasien mengeluh
nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di sepanjang radiks
spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh
gerakan, batuk, bersin atau mengedan, dan paling berat terjadi pada
malam hari. Nyeri yang menghebat pada malam hari disebabkan oleh

traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu sewaktu tulang belakang
memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi. Defisit
sensorik mula-mula tidak jelas dan terjadi di bawah tingkat lesi (karena
tumpah tindih dermatom). Defisit ini berangsur-angsur naik hingga di
bawah tingkat segmen medula spinalis. Tumor pada sisi posterior dapat
bermanifestasi sebagai parestesia dan selanjutnya defisit sensorik
proprioseptif, yang menambahkan ataksia pada kelemahan. Tumor
yang terletak anterior dapat menyebabkan defisit sensorik ringan tetapi
dapat menyebabkan gangguan motorik yang hebat (Kasim &
Sundgren, 2012).
Tumor-tumor intramedular tumbuh ke bagian tengah dari
medula spinalis dan merusak serabut-serabut yang menyilang serta
neuron-neuron substansia grisea. Kerusakan serabut-serabut yang
menyilang ini mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu
bilateral yang meluas ke seluruh segmen yang terkena, yang pada
gilirannya akan menyebabkan kerusakan pada kulit perifer. Sensasi
raba, gerak, posisi dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar.
Defisit sensasi nyeri dan suhu dengan utuhnya modalitas sensasi yang
lain dikenal sebagai defisit sensorik yang terdisosiasi. Perubahan
fungsi refleks renggangan otot terjadi kerusakan pada sel-sel kornu
anterior. Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi disebabkan oleh
keterlibatan neuron-neuron motorik bagian bawah. Gejala dan tanda
lainnya adalah nyeri tumpul sesuai dengan tinggi lesi, impotensi pada
pria dan gangguan sfingter (Kasim & Sundgren, 2012).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Modalitas utama

dalam

pemeriksaan

radiologis

untuk

mendiagnosis semua tipe tumor medula spinalis adalah MRI. Alat ini
dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur medula
spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang
lain (National Collaborating Centre for Cancer, 2008).

Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran


foramen intervertebralis. Lesi intra medular yang memanjang dapat
menyebabkan erosi atau tampak berlekuk-lekuk (scalloping) pada bagian
posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendikular (Koeller,
Rosenblum, & Morrison, 2000).
Mielografi selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. tumor
intradural-ekstramedular memberikan gambaran filling defect yang
berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram. Lesi intramedular
menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.

Gambar 4. Gambaran MRI tumor medula spinalis (intradural


intramedular)

Gambar 5. Gambaran MRI tumor intradural ekstramedular

2. Cairan Serebrospinal (CSS)


Pada pasien dengan tumor spinal, pemeriksaan CSS dapat
bermanfaat untuk differensial diagnosis ataupun untuk memonitor respon
terapi. Apabila terjadi obstruksi dari aliran CSS sebagai akibat dari
ekspansi tumor, pasien dapat menderita hidrosefalus. Punksi lumbal harus
dipertimbangkan secara hati- hati pada pasien tumor medula spinalis
dengan sakit kepala (terjadi peninggian tekasan intrakranial).
Pemeriksaan CSS meliputi pemeriksaan sel-sel malignan (sitologi),
protein dan glukosa. Konsentrasi protein yang tinggi serta kadar glukosa
dan sitologi yang normal didapatkan pada tumor-tumor medula spinalis,
walaupun apabila telah menyebar ke selaput otak, kadar glukosa
didapatkan rendah dan sitologi yang menunjukkan malignansi. Adanya
xanthocromic CSS dengan tidak terdapatnya eritrosit merupakan
karakteristik dari tumor medula spinalis yang menyumbat ruang
subarachnoid dan menyebabkan CSS yang statis pada daerah kaudal tekal
sac.
H. Diagnosis
Diagnosis tumor medula spinalis diambil berdasarkan hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisis serta penunjang.
Tumor ekstradural mempunyai perjalanan klinis berupa fungsi medula
spinalis akan hilang sama sekali disertai Kelemahan spastik dan hilangnya
sensasi getar dan posisi sendi dibawah tingkat lesi yang berlangsung cepat.
Pada pemeriksaan radiogram tulang belakang, sebagian besar penderita tumor
akan memperlihatkan gejala osteoporosis atau kerusakan nyata pada pedikulus
dan korpus vertebra. Myelogram dapat memastikan letak tumor.
Pada tumor ekstramedular, gejala yang mendominasi adalah kompresi
serabut saraf spinalis, sehingga yang paling awal tampak adalah nyeri, mulamula di punggung dan kemudian di sepanjang radiks spinal. Seperti pada
tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh gerakan, batuk, bersin atau
mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang menghebat
pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu
sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari

gravitasi. Defisit sensorik berangsur-angsur naik hingga di bawah tingkat


segmen medulla spinalis. Pada tomor ekstramedular, kadar proteid CSS
hampir selalu meningkat. Radiografi spinal dapat memperlihatkan pembesaran
foramen dan penipisan pedikulus yang berdekatan. Seperti pada tumor
ekstradural, myelogram, CT scan, dan MRI sangat penting untuk menentukan
letak yang tepat.
Pada tumor intramedular, Kerusakan serabut-serabut yang menyilang
pada substansia grisea mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu
bilateral yang meluas ke seluruh segmen yang terkena, yang pada gilirannya
akan menyebabkan kerusakan pada kulit perifer. Sensasi raba, gerak, posisi
dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar. Defisit sensasi nyeri dan suhu
dengan utuhnya modalitas senssi yang lain dikenal sebagai defisit sensorik
yang terdisosiasi. Radiogram akan memperlihatkan pelebaran kanalis
vertebralis dan erosi pedikulus. Pada myelogram, CT scan, dan MRI, tampak
pembesaran medulla spinalis.
I. Diagnosis Banding
Tumor medula spinalis harus dibedakan dari kelainan-kelainan lainnya
pada medula spinalis. Beberapa diferensial diagnosis meliputi : transverse
myelitis, multiple sklerosis, syringomielia, syphilis,amyotropik lateral
sklerosis (ALS), anomali pada vertebra servikal dan dasar tengkorak,
spondilosis, adhesive arachnoiditis, radiculitis cauda ekuina, arthritis
hipertopik, rupture diskus intervertebralis, dan anomaly vascular.
Multiple sklerosis dapat dibedakan dari tumor medula spinalis dari
sifatnya yang mempunyai masa remisi dan relaps. Gejala klinis yang
disebabkan oleh lesi yang multiple serta adanya oligoklonal CSS merujuk
pada multiple sklerosis. Transverse myelitis akut dapat menyebabkan
pembesaran korda spinalis yang mungkin hampir sama dengan tumor
intramedular.
Diferensial diagnosis antara syringomielia dan tumor intramedular
sangat rumit, karena kista intramedular pada umumnya berhubungan dengan
tumor tersebut. Kombinasi antara atrofi otot-otot lengan dan kelemahan
spastic pada kaki pada ALS mungkin dapat membingungkan kita dengan

tumor servikal. Tumor dapat disingkirkan apabila didapatkan fungsi sensorik


yang normal, adanya fasikulasi, dan atrofi pada otot-otot kaki. Spondilosis
servikal, dengan atau tanpa rupture diskus intervertebralis dapat menyebabkan
gejala iritasi serabut saraf dan kompresi medulla spinalis. Osteoarthritis dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan radiologi.
Anomali pada daerah servikal atau pada dasar tengkorak, seperti
platybasia atau klippel-feil syndrome dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
radiologi. Kadang kadang arakhnoiditis dapat memasuki sirkulasi dalam
medulla spinalis yang dapat menunjukkan gejala seperti lesi langsung pada
medulla spinalis. Pada arakhnoiditis, terdapat peningkatan protein CSS yang
sangat berarti.
Tumor jinak pada medulla spinalis mempunyai ciri khas berupa
pertumbuhan yang lambat namun progresif selama bertahun-tahun. Apabila
sebuah neurofibroma tumbuh pada radiks dorsalis, akan terasa nyeri yang
menjalar selama bertahun-tahun sebelum tumor ini menunjukkan gejala-gejala
lainnya yang dikenali dan didiagnosis sebagai tumor. Sebaliknya, onset yang
tiba-tiba dengan defisit neurologis yang berat, dengan atau tanpa nyeri, hampir
selalu mengindikasikan suatu tumor ekstradural malignan, seperti karsinoma
metastasis atau limfoma.
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular
maupun ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis
secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular dapat direseksi
secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada
post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat
dan agresif secara histologist dan tidak secara total di hilangkan melalui
operasi dapat diterapi dengan terapi radiasi post operasi.
Beberapa jenis terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla
spinalis adalah :
1. Pembedahan

Pembedahan sejak dulu merupakan terapi utama pada tumor medulla


spinalis. Pembedahan ditujukan untuk mengurangi volume tumor
(terutama bila sudah menimbulkan kompresi), mengurangi nyeri yang
tidak respon terhadap terapi farmakologi, stabilisasi vertebra yang
mengalami fraktur patologis, serta untuk tumor metastasis yang
radioresisten. Pengangkatan yang lengkap dan defisit minimal post
operasi, dapat mencapai 90% pada ependymoma, 40% pada astrositoma
dan 100% pada hemangioblastoma. Pembedahan juga merupakan
penatalaksanaan terpilih untuk tumor ekstramedular. Pada pengamatan
kurang lebih 8.5 bulan, mayoritas pasien terbebas secara keseluruhan dari
gejala dan dapat beraktifitas kembali. Apabila pasien tidak menginginkan
dilakukannya pembedahan terbuka, maka vertebroplasti dapat menjadi
salah satu alternatif utama dalam upaya mengurangi nyeri serta
mempertahankan stabilitas vertebra. Vertebroplasti dilakukan dengan cara
mennyuntikkan semen tulang (cairan methylmethacrylate) ke dalam
korpus vertebra (Cole & Patchell, 2008; Muir, 2011).
2. Terapi radiasi
Tujuan dari terapi radiasi pada penatalaksanaan tumor medulla
spinalis

adalah

untuk

memperbaiki

kontrol

lokal,

serta

dapat

menyelamatkan dan memperbaiki fungsi neurologik. Tarapi radiasi juga


digunakan pada reseksi tumor yang inkomplit yang dilakukan pada daerah
yang terkena.
Tipe radiasi yang biasa digunakan untuk tumor spinal adalah
external beam radiation therapy (ERBT) dan stereotactic radiosurgery
(SRS). Penggunaan radioterapi secara tunggal atau bersamaan dengan
pembedahan terbukti memberikan efek perbaikan rasa nyeri setidaknya
dalam waktu 24 jam dan mencapai puncaknya pada minggu kedua atau
ketiga. Akan tetapi pada beberapa pasien, rasa nyeri justru dapat
meningkat pada awal pemberian radioterapi akibat reaksi inflamasi tumor
dan

jaringan

sekitar.

Sebelum

melaksanakan

radioterapi,

harus

diperhatikan pula radiosensitifitas dari tumor. Limfoma dan tumor sel


germinal umumnya memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap radioterapi,

tumor sel epithelial memiliki sensitifitas sedang dan melanoma merupakan


tumor yang radioresistan (Cole & Patchell, 2008; Muir, 2011)..
3. Kemoterapi
Kemoterapi pada tumor spinal ditujukan sebagai terapi neoadjuvan
untuk mengurangi volume tumor sebelum pembedahan atau sebagai terapi
adjuvant untuk sel-sel tumor yang tersisa setelah pembedahan. Regimen
kemoterapi hanya meunjukkan angka keberhasilan yang kecil pada terapi
tumor medulla spinalis. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sawar
darah otak yang membatasi masuknya agen kemotaksis pada CSS (West of
Scotland Cancer Network, 2009).
4. Steroid
Steroid diberikan untuk mencegah perburukan defisit neurologis
dan memberikan efek analgesik. Efek tersebut diduga tercapai dengan cara
mengurangi edema medulla spinalis melalui kerjanya sebagai inhibitor
prostaglandin dan leukotrien, serta efek onkolitik pada beberapa tumor
seperti limfoma dan kanker payudara (Aryan, 2010).
Dosis dexamethason yang dapat digunakan sebagai adjuvant opioid
berkisar antara 4-20 mg per hari dalam dosis terbagi. Toksisitas
dexamethasone dapat terjadi sebagai konsekuensi besarnya dosis dan
durasi perngobatan. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan cara
memperhatikan dosis yang diberikan serta durasi pemberian yang
sependek

mungkin.

Bagaimanapun,

tidak

semua

pasien

dapat

menghentikan konsumsi steroid dan membutuhkan dosis pemeliharaan


untuk menjaga fungsi neurologis. Pemberiaan steroid 16 mg per hari harus
diteruskan hingga radioterapi kedua dilaksanakan, dan dosis 12 mg per
hari harus tetap diteruskan hingga radioterapi terakhir (West of Scotland
Cancer Network, 2009).

K. Prognosis
Tumor dengan gambaran histopatologi dan klinik yang agresif
mempunyai prognosis yang buruk terhadap terapi. Pembedahan radikal
mungkin dilakukan pada kasus-kasus ini. Pengangkatan total dapat

menyembuhkan atau setidaknya pasien dapat terkontrol dalam waktu yang


lama. Fungsi neurologis setelah pembedahan sangat bergantung pada status
pre operatif pasien. Prognosis semakin buruk seiring meningkatnya umur (>60
tahun) (Aryan, 2010; Muir, 2011).

BAB 3
KESIMPULAN
Tumor medulla spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi
pada daerah cervical pertama hingga sacral. Tumor pada medulla spinalis dapat
dibagi berdasarkan asal tumornya yaitu menjadi tumor primer dan tumor
sekunder. Selain itu, tumor medula spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan
hubungannya dengan menings spinal, yaitu tumor intradural intramedullar, tumor
intradular ekstramedullar dan tumor ekstradural. Gambaran klinik pada tumor
medulla spinalis sangat ditentukan oleh lokasi serta posisi pertumbuhan tumor
dalam kanalis spinalis.

Cairan spinal, Computed Tomographic (CT) myelography, dan MRI


spinalis merupakan tes yang paling sering digunakan dalam mengevaluasi pasien
dengan lesi pada medula spinalis. MRI merupakan modalitas pencitraan primer
untuk penyebaran ke medula, reduksi ruang CSF disekitar tumor. Cairan spinal
(CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan Santokhrom, dan kadangkadang ditemukan sel keganasan. Dalam mengambil dan memperoleh cairan
spinal dari pasien dengan tumor medula spinalis harus berhati-hati karena blok
sebagian dapat berubah menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan
paralisis yang komplit.
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun
ekstramedular

adalah

dengan

pembedahan.

Tujuannya

adalah

untuk

menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis


secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Abul-Kasim K, T. M. (2008). Intradural spinal tumors: Current classification and
mri features. Neuroradiology , 50, 30114.
Aryan, H. E. (2010). Spinal Tumors : A Treatment Guide for Patients and Family.
London: Jones and Bartlett Publisher.
Campello C, L. F. (2009). Neuroepithelial intramedullary spinal cord tumors in
adults: Study of 70 cases. American Academy of Neurology Annual
Meeting .
Chamberlain, M. C., & Tredway, T. L. (2011). Adult Primary Intradural Spinal
Cord Tumors: A Review. Curr Neurol Neurosci Rep , 11, 320328.
Cole, J. S., & Patchell, R. A. (2008). Metastatic epidural spinal cord compression.
Lancet , 7, 459-466.

Dickman, C. A., & Fehlings, M. G. (2006). Spinal Cord and Spinal Column
Tumors: Principles and Practice. New York: Thieme Medical Publisher
Inc.
Kasim, A.-K., & Sundgren, P. C. (2012). Intradural Spinal Tumors : Classification,
Symptoms, and Radiological Features. In M. A. Hayat, Tumors of the
Central Nervous System Volume 6 : Spinal Tumors (pp. 19-28). New
York: Springer.
Koeller, K. K., Rosenblum, R. S., & Morrison, A. R. (2000). Neoplasms of the
Spinal Cord and Filum Terminale: Radiologic-Pathologic Correlation.
RadioGraphics , 20, 17211749.
Lonser RR, W. R. (2003). Surgical management of spinal cord
hemangioblastomas in patients with von hippel-lindau disease. J
Neurosurg , 98, 10616.
Muir, C. J. (2011). Management of Spinal Tumors. Journal of The Spinal
Research Foundation , 6 (2), 25-29.
National Collaborating Centre for Cancer. (2008). Diagnosis and management of
patients at risk of or with metastatic spinal cord compression. Cardiff:
National Collaborating Centre for Cancer.
Peker S, C. A. (2005). Spinal meningiomas: evaluation of 41 patients. J
Neurosurg Sci , 49, 711.
Raco A, E. V. (2005). Long-term follow-up of intramedullary spinal cord tumors:
A series of 202 cases. Neurosurgery , 56, 97281.
West of Scotland Cancer Network. (2009). Guidelines for Malignant Spinal Cord
Compression. Scotland: West of Scotland Cancer Network.

Vous aimerez peut-être aussi