Vous êtes sur la page 1sur 19

TUGAS TEKNIK TAMBANG BATUBARA

Judul : Analisis Proximate, Analisis


Miscellaneous Pada Batubara.

Ultimate

dan

Disusun oleh :
NAMA

: TIFFANI A SIMORANGKIR

NIM

: 12 306 096

JURUSAN : TEKNIK PERTAMBANGAN

TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INNSTITUT TEKNOLOGI MEDAN
TA 2013/2014

Analisis

Parameter-parameter dalam analisa batubara

Kegiatan ini meliputi :


Analisis analisi dasar, yaitu analisis proximat (Moisture, Ash, Volatile Matter dan
Fixed Carbon)
Analisis ultimate (karbon, hydrogen, nitrogen, sulfur dan oksigen) dan penentuan
unsur-unsur tertentu dalam batubara.
Penentuan-penentuan khusus (calorific value, hardgrove grindability index, abrasion
index, ash fushion temperature, ash analysis, klor,dsb).

1. Analisis Proksimat Batubara (Coal Proximate Analysis)


Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kadar Moisture (air
dalam batubara) kadar moisture ini mengcakup pula nilai free moisture serta total
moisture, ash (debu), volatile matters (zat terbang), dan fixed carbon (karbon
tertambat). Moisture ialah kandungan air yang terdapat dalam batubara sedangkan abu
(ash) merupakan kandungan residu non-combustible yang umumnya terdiri dari
senyawa-senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan mineralmineral lainnya,Volatile matters adalah kandungan batubara yang terbebaskan pada
temperatur tinggi tanpa keberadaan oksigen (misalnya CxHy, H2, SOx, dan

sebagainya). Fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam batubara
setelah volatile matters dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini berbeda dengan
kadar karbon (C) hasil analisis ultimat karena sebagian karbon berikatan membentuk
senyawa hidrokarbon volatile.
Proximate : Moisture, Ash, Volatile Matter, dan Fixed
Carbon.
Total MoistureTotal Sulfur
Calori Value

Analisa proximate ini berguna untuk menentukan rank batubara, rasio


pembakaran (fuel ratio) dan dapat digunakan untuk mengkonversi basis analisa untuk
parameter uji. Masing- masing parameter dalam proximate memiliki prosedur tersendiri
dalam pengujiannya. Moisture in the analysis sampel mengacu pada Standar ASTM
D3173 Standard Test Method for Moisture in the analysis sampel for coal and coke.
Atau dalam standar ISO 11722 mengenai Solid mineral fuels Hard coal, Determination
of moisture in the general analysis test sample by drying in nitrogen.

a) Kandungan Air (Moisture in Analysis)


Moisture in the analysis merupakan nilai moisture batubara pada saat setelah
batubara tersebut di air drying (diangin-anginkan) pada suhu 30-40 0C. dan sampel
yang digunakan adalah sampel yang lolos ayakan 250 micrometer. Sampel batubara
dipanaskan pada suhu 105 0C dibawah aliran gas nitrogen atau dapat pula dengan air
compressed (udara tekan). Dengan pemanasan ini, air yang ada dalam batubara akan
menguap seluruhnya. Karena kita tahu bahwa titik didih air berada pada 100 0C. Massa
yang hilang akibat pemanasan ini dihitung sebagai persen massa terhadap massa awal
yang digunakan, sehingga diperoleh nilai % moisture in the analysis sampel.

Pada dasarnya semua parameter itu ditentukan pada sample setelah air drying
sehingga basisnya adalah air dried basis (adb) atau as determined basis (adb). Untuk
mengkonversi basis adb ke basis lainnya, maka digunakan nilai Moisture in the analysis
sample dengan rumus table konversi. Table konversi ini dapat mengacu ada standar
ASTM D3180 Standard Practice for Calculating Coal and Coke Analyses from AsDetermined to Different Bases. Atau dalam standar ISO 1170 Coal and coke calculation
of analysis to different bases.
Kadar air dalam batubara akan menurunkan panas per-kg batubara, dalam
batubara kandungannya antara 0,5% -10% dari beratnya. Analisa kadar air dilakukan
dengan menempatkan sampel batubara yang telah dihaluskan sampai ukuran 200
mikron dalam krus terbuka, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 10820C dan di beri
penutup. Didinginkan pada suhu kamar dan ditimbang. Kehilangan berat adalah kadar
airnya.
Moisture in Analysis adalah moisture yang dianggap terdapat dalam ronggarongga kapiler dan pori-pori batubara yang relative kecil, yang mana pada kedalaman
aslinya secara teori bahwa kondisi tersebut adalah kondisi yang tingkat kelembaban
yang 100% serta pada suhu 30oC, karena sulitnya mengemulsi kondisi batubara pada
kedalaman aslinya, maka badan standarisasi menetapkan kondisi batubara pada
kedalaman aslinya, maka badan standarisasi menetapkan kondisi pendekatan untuk
dipergunakan pada metode standar pengujian di laboratorium.
Standar Internasional (ISO), British (BS), Australia (AS) dan Amerika
(ASTM) menetapkan bahwa kondisi pendekatan yang dipergunakan tersebut adalah
kondisi dengan tingkat kelembaban antar 96% sampai 97% dengan suhu 30 0C.
Banyaknya kandungan moisture in Analysis dikenal pula istilah lain dari
moisture in Analysis dalam suatu batubara dapat dipergunakan sebagai tolak ukur tinggi
rendahnya tingkat rank batubara tersebut.

Selain istilah moisture in Analysis dikenal pula istilah lain dari moisture in
Analysis yaitu Bed Moisture yang banyak dipakai, sedangkan Moisture Holding
Capacity (MHC) adalah istilah yang digunakan oleh International Standard
Organization (ISO), British Standard (BS) dan sedangkan American Society For
Testing and Materials (ASTM) mempergunakan istilah Equilibrium Moisture.
MHC dan Equilibrium Moisture adalah istilah yang dipergunakan untuk nama
pengujian.

b) Zat Terbang (Volatile Matter)


Volatile Matter (VM) adalah banyaknya zat yang hilang bila sampel batubara
dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi dengan kadar
moisture). Suhunya adalah 9000C, dan waktunya 7 menit tepat. Moisture berpengaruh
pada hasil penentuan VM sehingga sampel yang dikeringkan dengan oven akan
memberikan hasil yang berbeda dengan sampel yang dikeringkan di udara. Faktorfaktor yang mempengaruhi hasil penentuan VM ialah suhu, waktu, kecepatan,
pemanasan, penyebaran butir (size distibition) dan ukuran partikelnya.
Bahan

yang

mudah

menguap

dari

batubara

adalah

Methana,

Hidrokarbon, Hidrogen, CO2, CO, dan NO. Kadar VM akan berbanding lurus dengan
nyala api dan membantu dalam memudahkan penyalaan batubara. Kadarnya terentang
antara 20-35% dari berat batubara. Sampel batubara ditimbang dan ditempatkan pada
krus tertutup lalu dipanaskan dlam tanur pada suhu 9000C 15. Sampel didinginkan dan
ditimbang. Kehilangan berat adalah kadar VM.

c) Kandungan Mineralnya (Ash Content)


Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar
dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80
persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan
mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan yang dilalui.
Batubara sebenarnya tidak mengandung abu,tetapi mengandung zat organic yang berupa
mineral. Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar, parameter ini berguna untuk
penentuan efesiensin pembakaran. Buka tutup krus yang dipakai dalam analisa kadar

VM, kemudian krus dipanaskan di atas nyala Bunsen, hingga seluruh karbon terbakar
(uap hitamnya habis). Didinginkan lalu ditimbang untuk mendapatkan kadar abu.
Abu merupakan residu anorganik hasil pembakaran batubara , terdiri dari
oksida-oksida logam seperti Fe2O3,MgO, Na2O, K2O, dan sebagainya.Dan juga
mengandung logam oksida-oksida non logam seperti SiO2,P2O5, dan lain-lain.
Pembakaran batubara pada metode British Standar (BS), dan Australian Standar
(AS) dilakukan pada suhu 8150C dan dilakukan selama tiga jam dan dianggap konstan.
Pada metode ISO, pembakaran batubara dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama,
pembakaran dilakukan mulai suhu ruangan sampai pada suhu 500 0C selama 1 jam,
ditahan selama 30 menit (untuk brown coal dan lignite harus ditahan selama 1
jam)kemudian dilanjutkan sampai 8150C 100C.
Pada metode ASTM, umumnya dilakukan pada suhu 7500C selama 4 jam,
namun pada batubara tertentu lama pembakaran bias berkurang maupun bertambah
tergantung dari jenis batubara yang dianalisa.
Nilai kandungan abu suatu batubara selalu lebih kecil dari pada kandungan
mineral-mineralnya. Hal ini terjadi karena selama pembakaran terjadi perubahan
kimiawi pada batubara tersebut, seperti menguapnya air Kristal karbon dioksida dan
oksida sulfur.

d) Fixed Carbon
Fixed Carbon adalah karbon dalam keadaan bebas yang tidak terikat
dengan elemen lain. Kandungan fixed carbon dapat memberikan gambaran kasar atas
nilai kalor batubara. Pada prakteknya penentuan kadar FC adalah dengan rumus :
100 %-(% M+%VM+%A)
Fixed carbon tidak dapat dihitung melalui pengujian secara laboratorium,
melainkan hasilnya didapatkan dari hasil perhitungan jenis analisa proximate lainnya
adalah pengurangan dari kadar abu, kadar air dan kadar zat terbang.
Berikut adalah beberapa istilah dalam perhitungan energy dalam pertambangan:
1. BCURA Formula singkatan dari British Coal Utilization Researh Association
formula yaitu rumus untuk menghitung bahan mineral dalam batubara (MM/Mineral
Matter (%)= 1,1A (Ash) + 0,053S (sulphur) + 0,74 CO2 0,36

2. BOE = Barrel of Oil Equivalen. 1 BOE setara dengan 0,2004 Ton batubara
3. BTU=British Thermal Unit yaitu jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan
suhu 1 pon air sebanyak 10Fahrenheit untuk berat jenis maksimum (= 1) pada suhu
39,10 F. 1 BTU equivalen dengan 1054,35 Joule atau equivalen dengan 0,25199
kcal.
Contoh Perhitungan Proximate Analisis :

Proximate Analysis

unit

(ar)

(ad)

(db)

(daf)

Moisture

(wt. %)

3.3

3.3

2.7

Ash

(wt. %)

22.1

22.2

22.8

Volatile Matter

(wt. %)

27.3

27.5

28.3

36.6

Fixed Carbon

(wt. %)

47.3

47.6

48.9

63.4

Gross Calorific Value

(MJ/kg) 24.73

24.88

25.57

33.13

2. Analisis Ultimat Batubara (Coal Ultimate Analysis)


Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H),
oksigen (O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam batubara. Seiring dengan
perkembangan teknologi, analisis ultimat batubara sekarang sudah dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah. Kandungan Oksigen mungkin merupakan indikator yang
paling signifikan dari sifat kimia batubara, yaitu untuk keperluan penerapannya di
pembakaran, pencairan, dan pengkokasan, serta untuk menentukan peringkat.
Kandungan oksigen secara tradisi dihitung sebagai oxygen by different (O diff) yaitu
porsi sisa batubara setelah dikurangi C, H, N dan S. Kandungan oksigen diperoleh
secara tidak langsung sehingga mengakumulasi semua kesalahan yang terjadi dalam
analisis unsur, dan dalam penentuan basis mineral-matter atau basis bebas mineral
matter.

Struktur Unsur Batubara

Analisa ultimat ini sepenuhnya dilakukan oleh alat yang sudah terhubung
dengan komputer. Prosedur analisis ultimat ini cukup ringkas; cukup dengan
memasukkan sampel batubara ke dalam alat dan hasil analisis akan muncul kemudian
pada layar komputer.
Salah satu metode standar yang digunakan untuk coal ultimate analysis adalah
ASTM D3176-09 Standard Practice for Ultimate Analysis of Coal and Coke. Selain itu
ada juga ASTM D5373 13 Standard Test Methods for Determination of Carbon,

Hydrogen and Nitrogen in Analysis Samples of Coal and Carbon in Analysis Samples of
Coal and Coke. Penggunaan analisis ini sebagai berikut

Nilai karbon dan hidrogen dapat digunakan untuk menentukan jumlah oksigen
(udara) yang diperlukan dalam proses

pembakaran dan untuk perhitungan

efisiensi proses pembakaran.

Penentuan karbon dan hidrogen dapat digunakan dalam perhitungan material


balance, reaktivitas dan hasil produk yang relevan dengan proses konversi batubara
seperti gasifikasi dan pencairan.

Nilai karbon dan nitrogen dapat digunakan dalam perhitungan material balance yang
digunakan untuk tujuan perhitungan emisi.

a) Nilai Sulphur pada Batubara


Di dalam batubara, sulfur bisa berupa bagian dari material carbonaceous atau
bisa berupa bagian mineral seperti sulfat dan sulfida. Gas sulfur dioksida yang terbentuk
selama pembakaran merupakan polutan yang serius. Kebanyakan negara memiliki
peraturan mengenai emisi gas tersebut ke atmosfir. Satu persen adalah limit kandungan
sulfur dalam batubara yang banyak dipakai oleh negara-negara pengguna batubara.
Kandungan yang tinggi dalam coking coal tidak diinginkan karena akan berakumulasi
di dalam cairan logam panas sehingga memerlukan proses desulfurisasi.
Sulfur dalam batubara terdapat dalam tiga bentuk, yaitu pyritic sulphur, sulphate
sulphur dan organic sulphur. Analisis forms of sulphur dilakukan untuk mengetahui
komposisi penyusun sulfur. Organic sulphur terdapat pada seluruh material
carbonaceous dalam batubara dan jumlahnya tidak dapat dikurangi dengan teknik
pencucian
Sulfur dalam bentuk pyritic dan sulphate merupakan bagian dari mineral-matter
yang terdapat dalam batubara yang jumlahnya kemungkinan masih dapat dikurangi
dengan teknik pencucian. Persen pyritic dan sulphate sulphur didapat melalui analisis di
laboratorium, sedangkan organic sulphur didapat dengan cara mengurangi % total
sulphur dengan pyritic dan sulphate sulphur (S(o) = TS-S(p)-S(s)).
Terdapatnya sulphate sulphur dalam suatu batubara sering dipergunakan sebagai
penunjuk bahwa batubara tersebut telah teroksidasi, sedangkan pyritic sulphur dianggap

sebagai salah satu penyebab timbulnya spontaneous combustion. Spontaneous


combusition adalah proses terjadinya kebakaran stockpile batubara secara spontan.
Sebelum dilakukan proses pencucian batubara sebaiknya dilakukan analisis
forms of sulphur terlebih dahulu, untuk mengetahui %organic sulphur-nya. Apabila
organic sulphur-nya > 1.00%, kita harus menyadari bahwa sebaik apapun proses
pencucian batubara tersebut, produknya tetap akan mengandung total sulphur > 1.00%
sehingga kita dapat menentukan apakah proses pencucian batubara efektif untuk
dilakukan atau tidak.

b) Karbon / Carbonate Carbondioxide


Penetapan carbonate carbondioxide dilakukan untuk mendapatkan angka yang
dapat dipergunakan sebagai pengoreksi hasil penetapan karbon, sehingga karbon yang
dilaporkan hanyalah karbon organik (organic carbon). Penetapan carbonate
carbondioxide tidak perlu dilakukan pada contoh batubara derajat rendah (brown coal
dan lignite), karena batubara derajat rendah atau lower rank coal bersifat asam sehingga
carbonate carbon-nya akan kosong.

c) Klorin / Chlorine
Chlorine adalah salah satu elemen batubara yang dapat menimbulkan korosi
(pengkaratan) dan masalah fouling/slagging (pengkerakkan) pada ketel uap. Kadar
chlorine lebih kecil dari 0.2% dianggap rendah, sedangkan kadar chlorine lebih besar
dari 0.5% dianggap tinggi. Adanya elemen chlorine selalu bersama-sama dengan
adanya elemen natrium.

d) Fosfor / Phosporus
Adanya phosphorus (posfor) di dalam coking coal sangat tidak diinginkan
karena dalam peleburan baja, phosphorus akan berakumulasi dan tinggal dalam baja
yang dihasilkan. Baja yang mengandung phosphorus tinggi akan cepat rapuh.
Phosphorus juga dapat menimbulkan masalah pada pembakaran batubara di ketel
karena phosphorus dapat membentuk deposit posfat yang keras di dalam ketel.

10

3. Analysis lainnya Miscellaneous Analysis.


Disamping Kedua jenis analisis pada batubara diatas, masih banyak lagi jenis
analisis lainnya yang dapat dipergunakan terutama berkaitan dengan penggunaan
batubara. Analisis lain-lain ini disebut Miscellaneous Analysis. Dalam melakukan
analisis tersebut harus memahami teknik Parameter Pengujian Batubara.

Parameter Pengujian Batubara.


Didalam analisis lain-lain terdapat beberapa Parameter yang akan dianalisis atau
diuji untuk menentukan kualitas dan determinasi. Antara lain :
1. Nilai Kalor Batubara (Calorific Value)
2. Ketergerusan / Kemampuan Gerus (Hardgrove Grindability Index)
3. Titik Leleh Abu ( Ash Fusion Temperature )
4. Crucible Swelling Number and Roga Index
5. Analisis Abu ( Ash Analysis )
6. Abrasion Index
7. Trace Element
8. Gray King Coke
9. Audibert Arnu Dilatometry
10. Caking and Coking Analysis Properties.
Berikut adalah Penjabaran untuk Parameter-parameter pengujian Batubara Tersebut:

1. Nilai kalor (Calorific Value)


Nilai kalor kotor (gross CV) ditentukan dengan membakar sejumlah batubara
pada kondisi terkontrol (biasanya dalam kalorimeter) dimana air yang terbentuk berada
dalam bentuk likuid pada akhir proses.
Nilai kalor bersih (net CV) adalah nilai kalor kotor yang dikoreksi dengan panas
laten penguapan air yaitu dengan mengurangkan 572 kal/g (1030 btu/lb) air untuk setiap
satuan berat batubara dari nilai kalor kotor. Net CV penting untuk pasar komersial
karena memberikan estimasi yang lebih akurat dari CV batubara pada kondisi actual.
Harga ini dapat dihitung dari gross CV atau sebaliknya bila diketahui kandungan air
serta hydrogen dalam batubara. Calorivic value adalah jumlah panas yang dihasilkan
oleh pembakaran contoh batubara di laboratorium. Pembakaran dilakukan pada kondisi

11

standar, yaitu pada volume tetap dan dalam ruangan yang berisi gas oksigen dengan
tekanan 25 atm.
Selama proses pembakaran yang sebenarnya pada ketel, nilai calorivic value ini
tidak pernah tercapai karena beberapa komponen batubara, terutama air, menguap dan
menghilang bersama-sama dengan panas penguapannya. Maksimum kalori yang dapat
dicapai selama proses ini adalah nilai net calorivic value. Calorivic value dikenal juga
dengan specific energy dan satuannya adalah kcal/kg atau cal/g, MJ/kg,Btu/lb.

Perhitungan nilai kalor batubara :

DULONG

Btu/lb = 14.544 C + 62.028 (H O/8) +405 S

C, H, O dan S : fraksi berat karbon, hydrogen, oksigen dan sulfur dalam batubara

2. Hardgrove Grindability Index


Hardgrove grindbility index (HGI) adalah indeks yang menggambarkan tingkat
kemudahgerusan batubara oleh alat penggerus (pulverizer) di lapangan, yang proses
pembakaran batubaranya menggunakan partikel batubara halus (75 micron) yang biasa
disebut dengan pulverized fuel (pf).
Harga HGI diperoleh dengan menggunakan rumus :

HGI = 13.6 + 6.93 W

12

W adalah berat dalam gram dari batubara lembut berukuran 200 mesh. Semakin
tinggi nilai HGI suatu batubara semakin mudah batubara tersebut digerus. Semakin
tinggi rank batubara, semakin tinggi juga nilai HGI-nya, kecuali anthracite. HGI tidak
bersifat aditif, artinya apabila kita mempunyai dua jenis batubara yang nilai HGI-nya
berbeda, kemudian dicampurkan dengan komposisi tertentu, nilai batubara tidak bisa
dihitung berdasarkan komposisi pencampuran tersebut. Nilai HGI campuran cenderung
ke arah nilai yang lebih kecil.

3. Ash Fusion Temperature


Ash fusion temperature (AFT) adalah analisis yang dapat menggambarkan sifat
pelelehan abu batubara yang diukur dengan mengamati perubahan bentuk contoh abu
yang telah dicetak berupa kerucut, selama pemanasan bertahap. Analisis biasanya
dilakukan dengan dua kondisi pemanasan, yaitu kondisi oksidasi dan kondisi agak
reduksi. Pada kondisi reduksi, pemanasan dilakukan dalam tabung pembakaran yang
dialiri oleh campuran 50% gas hidrogen dan 50% gas karbondioksida, sedangkan pada
kondisi oksidasi pemanasan dilakukan dalam tabung pembakaran yang dialiri oleh
100% gas karbondioksida.
Pengamatan sifat pelelehan ini umumnya dilakukan pada suhu 900 oC sampai
dengan 1600oC. Pengamatan dicatat dan dilaporkan pada saat contoh abu meleleh dan
berubah menyerupai profil standar yang telah tersedia. Analisis yang dilakukan pada
kondisi oksidasi umumnya mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripada yang
dilakukan pada kondisi reduksi. Hal ini tergantung dari kandungan komponen tertentu
dalam abu tersebut, sebagai contoh, komponen besi oksida yang mempunyai efek
pelelehan yang berbeda pada kondisi oksidasi dengan pada kondisi reduksi.
Apakah itu AFT oksida atau reduksi yang dapat dipakai untuk memprediksi
permasalahan yang mungkin timbul pada suatu instalasi, tergantung dari bentuk operasi
itu sendiri. Sebagai contoh, dalam kasus pabrik penghasil gas, dimana kondisi reduksi
terjadi di ruang pembakaran maka AFT reduksilah yang cocok untuk dilakukan,
sebaliknya pada dasar fixed furnace, dimana udara pembakaran mengalir dari bawah ke
atas, kondisinya ialah oksidasi, sehingga AFT oksidasilah yang cocok. Dalam kasus
pembakaran pulverized fuel, keadaannya berbeda dan tidak menentu. Pada nyala

13

pembakaran, sebagian besar kondisinya reduksi, sedangkan di luar nyala pembakaran


kondisinya agak oksidasi tergantung dari banyaknya kelebihan udara yang dialirkan.
AFT sangat dipengaruhi oleh komposisi abu (ash analysis) :
a) Apabila komposisi abu semakin mendekati Al2O3.2SiO2 (rasio Al2O3/SiO2 = 1 :
1.18) semakin sulitlah untuk meleleh. Artinya flow temperature-nya tinggi dan
rentang suhu lelehnya tinggi.
b) CaO, MgO, dan Fe2O3 bersifat agak melelehkan sehingga akan menurunkan AFT
terutama apabila mengandung kelebihan SiO2.
c) FeO, Na2O, dan K2O mempunyai kemampuan menurunkan AFT yang sangat kuat.
d) Kandungan sulfur yang tinggi menurunkan suhu initial deformation dan
memperlebar rentang suhu lelehnya (flow-initial deformation).
Batubara yang abunya memiliki AFT yang tinggi (initial deformation > 1350oC),
sangat cocok dipergunakan pada operasi dengan sistem penanganan/pembuangan abu
berupa padatan kering, sedangkan batubara yang abunya memiliki AFT rendah
(flow<1350oC)

sangat

cocok

dipergunakan

pada

operasi

dengan

sistem

penanganan/pembuangan abu berupa lelehan.

4. Crucible Swelling Number and Roga Index


Crucible swelling number (CSN) adalah salah satu tes untuk mengamati caking
properties batubara, yang paling sederhana dan mudah dilakukan. Caking adalah sifat
yang menggambarkan kemampuan batubara membentuk gumpalan yang mengembang
selama proses pemanasan. Roga index adalah indeks yang didapat dari salah satu tes
caking yang disebut roga test. Tes ini untuk mengukur caking power. Indeks ini
dipergunakan dalam klasifikasi batubara internasional sebagai alternatif dari crusible
swelling number. Indeks ini dapat diperbandingkan dengan perkiraan di bawah ini.
Perbandingan Index Crucible Swelling Number dan Roga Index
Crucible swelling number

Roga index

05

12

5 20

2 -4

20 45

>4

> 45

14

5. Ash Analysis
Salah satu faktor penting pada pemakaian batubara dan kokas dalam industri
adalah sifat mineralnya pada proses pembakaran. Dengan mengetahui sifat-sifat
tersebut, proses pemakaian batubara dapat dirancang sedemikian rupa sehingga masalah
yang mungkin timbul dapat diantisipasi dengan baik, misalnya masalah penanganan dan
pembuangan ash (abu), fly ash (partikel abu halus yang ikut terbang bersama-sama asap
dan sisa pembakaran lainnya), clinker, dan slag (cairan kerak). Selain itu faktor ini
sering juga sering dipergunakan sebagai arahan dalam memilih bahan bakar batubara
yang cocok untuk suatu industri.
Penggambaran sifat ini, secara kuantitatif dilakukan dengan cara menghitung
rasio kelompok unsur tertentu yang terkandung dalam batubara, yang mana kemudian
dikenal dengan istilah slagging dan fouling factor. Slagging adalah masalah yang timbul
pada proses pembakaran batubara dimana abunya meleleh dan membentuk kerak yang
menempel pada dinding dalam ruang pembakaran dan pada pipa-pipa superheater yang
berjarak renggang, yang sulit untuk dibersihkan sehingga mengakibatkan berkurangnya
penyaluran panas.
Fouling adalah masalah yang timbul pada proses pembakaran dimana abu halus
yang mengandung sodium menguap bersama-sama sulphur dan berakibat sama seperti
slagging. Slagging/fouling factor adalah sebuah indeks yang dihitung baik dari data ash
analysis maupun dari data ash fusion temperature yang dapat memberikan indikasi
seberapa jauh kecenderungan batubara tersebut menimbulkan masalah slagging/fouling
selama proses pembakaran.
Ash sebagian besar terdiri dari oksida silikon, aluminium, besi, kalsium,
magnesium, titan, mangan, dan logam alkali. Sebagian di antaranya terikat sebagai
silikat, sulfat, dan posfat. Komposisi ash batubara tidak sama dengan komposisi
mineralnya tetapi dapat menggambarkan komposisi mineralnya. Total hasil analisis ini
harus 100+2%. Hasil analisis seharusnya dilaporkan dalam basis Ignited at 800oC,
tetapi banyak orang yang melaporkan hasil analisis ini tanpa mencantumkan basisnya.
Di pabrik semen, yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar, data
komposisi abu batubara sangat berguna untuk menghitung kontribusi unsur-unsur yang
terdapat dalam abu batubara tersebut terhadap produk semen yang dihasilkan. Data

15

komposisi abu batubara juga berguna sebagai penunjuk kemungkinan dipergunakannya


abu tersebut sebagai bahan baku produk sampingan, misalnya batako.
Komposisi ash suatu batubara erat hubungannya dengan ash fusion temperaturenya. Ash yang mengandung oksida besi, kalsium, magnesium, natrium, dan kalium
yang tinggi umumnya mempunyai ash fusion temperature yang rendah, sedangkan ash
yang mengandung silika, aluminium, dan titan yang tinggi umumnya mempunyai ash
fusion temperature yang tinggi. Namun apabila kandungan silika tinggi sekali, ash
fusion temperature-nya justru rendah.
Contoh abu batubara yang diperlukan untuk ash analysis dengan metode Atomic
Absorption sebanyak 0.400+0.0010 gram (duplo). Untuk mengantisipasi kemungkinan
adanya pengulangan analisis, penyediaan 1.0 gram abu sangatlah bijaksana. Contoh abu
dibuat di laboratorium dengan hati-hati agar abu yang terbentuk benar-benar telah
terabukan dengan baik. Untuk analisis dengan metode X-Ray Spectometry diperlukan
contoh yang lebih banyak.

6. Abrasion Index
Abrasion index adalah indeks yang menunjukkan daya abrasi (kikis) batubara
terhadap bagian dari alat yang dipergunakan untuk menggerus batubara tersebut
(pulverizer) sebelum dipergunakan sebagai bahan bakar. Semakin tinggi nilai abrasive
index suatu batubara semakin tinggi pula biaya pemeliharaan alat penggerus batubara
tersebut. Suatu batubara disebut abrasive apabila abrasive index-nya 400-600, dan
disebut tidak abrasive apabila abrasive index-nya <10. Coke mempunyai abrasive index
2500 sedangkan sandstone mempunyai abrasive index 1200.
Batubara yang diinginkan pembeli harus mempunyai abrasive index <200. Apabila
abrasive index-nya > 200, harga batubara tersebut bisa lebih murah atau bahkan sama
sekali ditolak.

7. Trace Element
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komposisi unsur dalam batubara yang
dianggap berbahaya terhadap lingkungan. Jumlahnya kecil, misalnya merkuri, arsen,
selenium, fluorine, cadmium dsb.

16

8. Gray King Coke


Gray-King coke type adalah analisis untuk mengamati coking coal. Coking
adalah sifat yang berhubungan dengan perilaku batubara selama proses carbonisation
(proses pembuatan coke secara komersial) serta sifat coke yang dihasilkannya. Tes ini
dilakukan pada tingkat pemanasan yang lambat yang lebih mirip dengan tingkat
pemanasan pada coke oven.

9. Audibert Arnu Dilatometry


Pada proses karbonisasi, batubara pada awalnya umumnya mengkerut, kemudian
mengembang ketika volatile matter mulai menguap, dan akhirnya terbentuklah
gumpalan kokas. Perubahan volume yang terjadi pada proses ini sangat penting untuk
diketahui, agar penentuan jumlah batubara konsumsi coke oven dapat dilakukan dengan
tepat sehingga prosesnya menjadi aman. Informasi ini pun penting diketahui dalam
proses pencampuran beberapa batubara untuk operasi pembuatan kokas komersial.
Audibert-Arnu dilatometry adalah alat untuk mengukur perubahan volume yang terjadi
pada proses karbonisasi tersebut.

10. Caking and Coking Analysis Properties


Caking dan coking properties adalah sifat atau perilaku batubara pada saat
dipanaskan serta sifat coke yang terbentuk dari pemanasan tersebut. Caking adalah sifat
yang menggambarkan kemampuan batubara membentuk gumpalan yang mengembang
selama proses pemanasan. Tes ini dilakukan pada tingkat pemanasan yang cepat. Tes
untuk mengukur sifat caking ini adalah crucible swelling number (disebut juga dengan
free swelling index (ASTM), dan coke button index) dan caking power yang diukur
dengan roga test.
Coking adalah sifat yang berhubungan dengan perilaku batubara selama proses
carbonisation (proses pembuatan coke secara komersial) serta sifat coke yang
dihasilkannya. Tes ini dilakukan pada tingkat pemanasan yang lambat yang lebih mirip
dengan tingkat pemanasan pada coke oven. Tes untuk mengukur sifat coking ini adalah
Gray-king coke type, dilatometry (Audibert-Arnu), plastometry (Gieseler). Selain untuk
memperkirakan potensi batubara dalam pembuatan coke, kedua sifat ini juga penting
dalam pengklasifikasian batubara.

17

Basis Analisis
Hampir semua analisis batubara dilakukan dengan sample yang telah
dikeringkan di udara, dan hasilnya dilaporkan sebagai basis tersebut (Air Dried Basis,
ADB).
Contoh beberapa basis analisis yang digunakan untuk keperluan klasifikasi batubara
adalah :
a) Dry Basis (db) data disajikan dalam bentuk persentase setelah batubara
dikeringkan
b) Dry, ash-free (daf) basis batubara diasumsikan telah bebas air dan bebas abu
c) Dry, mineral matter-free (dmmf) basis batubara diasumsikan telah bebas air
(kering), bebas mineral. Oleh sebab itu, diangap pengujian hanya terhadap senyawa
organik batubara.
d) Moist, ash-free (maf) basis Asumsi bahwa batubara telah bebas abu dan masih
mengandung moisture
e) Moist, mineral matter-free (mmmf) basis batubara dianggap telah bebas mineral
tetapi masih mengandung air.

18

DAFTAR PUSTAKA
http://majarimagazine.com/2008/06/understanding-coal-sample-analysis/
www.astm.org
http://environmentalchemistry.wordpress.com/tag/proximate-analysis/
http://adinegoromining.blogspot.com/2011/05/kualitas-batubara.html
http://www.coe.its.ac.id/index.php/servicelist/44-analisis-batubara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35008/4/Chapter%20II.pdf
http://idhamds.wordpress.com/2008/09/12/parameter-parameter-dalam-analisabatubara/
http://tinton-norsujianto.blogspot.com/2012/11/analisa-proximate-dan-analisaultimate.html
http://setiawan015.blogspot.com/2012/04/analisis-batubara.html
http://ilmubatubara.wordpress.com/2006/09/23/kualitas-batubara/
http://rismayantianalisabatubara.blogspot.com/
http://jackyminer.blogspot.com/2012/07/deskripsi-batubara.html
http://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/08/31/standar-astm-untuk-analisisbatubara/
http://www.BAHAN%20BAKAR%20BATUBARA%20_%20Dwika-Update.html

19

Vous aimerez peut-être aussi