Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Chapter 2
Ya, riak. Seperti riak air yang timbul kalau kita melempar batu
ke kolam yang tenang. Bintang-bintang sore yang redup berkedip
sejenak. Sinar matahari pun membias. Dan sepintas lalu aku seperti
melihat...sesuatu.
Hmm, entahlah.
Mungkin juga aku salah lihat.
Udara serasa bergolak, sehingga menimbulkan lubang di langit.
Aku berusaha mengejar lubang itu, tapi kecepatannya terlalu tinggi.
Aku berusaha menentukan ke arah mana benda itu pergi. Dan dari
mana asalnya. Sepertinya benda itu bergerak menjauh dari
pegunungan dan melesat semakin cepat.
Dalam waktu singkat aku telah kehilangan jejak.
Aku terbang ke rumah Rachel. Aku melihatnya turun dari bus,
jauh di bawahku. Teman-temanku yang lainJake, Marco, dan
Cassiesudah menunggu kami di kamar Rachel. Seperti sudah
kuduga.
<Hei, Rachel,> aku memanggil sambil melayang di atasnya.
Ia hanya bisa melambaikan tangan. Sebagai manusia kita bisa
mendengar pikiran, tapi tidak bisa menjawab dengan cara yang sama.
<Kalimat pertama yang diucapkan Marco nanti pasti, "Apa
kalian sudah gila?"> ujarku pada Rachel.
Rachel mengedipkan mata.
Ia masuk lewat pintu depan. Aku terbang melalui jendela
terbuka. Dan kami kembali berkumpul: kelima anggota Animorphs.
Rupanya teman-temanku yang lain sempat melihat Rachel dan
aku di TV, dan tampang mereka sama sekali tidak senang.
Marco yang pertama angkat bicara.
"Apa kalian sudah GILA?!!" teriaknya.
Chapter 3
<Aku tidak apa-apa, kok,> sahutku. Dalam hati aku bertanyatanya, apakah aku perlu menceritakan lubang di langit yang kulihat
tadi. Tapi masalahnya aku sendiri tidak tahu pasti apa yang kulihat.
Jangan-jangan itu malah bikin Rachel semakin cemas. Sekarang
saja ia sudah mencemaskan diriku.
<Selamat malam,> kataku.
"Yeah. Hati-hati, Tobias."
Aku terbang keluar jendela. Aku sadar Rachel menatapku
dengan sedih. Terus terang, aku tidak suka dikasihani. Mereka cuma
tahu bahwa aku tidak sama seperti dulu. Mereka cuma tahu bahwa aku
tidak memiliki rumah.
Tapi sebenarnya mereka tidak mengerti. Aku tak pernah punya
rumah, dalam arti sebenarnya, sejak orang tuaku meninggal. Aku
sudah biasa hidup sebatang kara.
Dan sekarang langitlah yang kumiliki.
Chapter 4
Chapter 5
Sebesar apa pun pesawat itu, pasti ada seribu tempat untuk
menyembunyikannya."
"Kalau begitu kita langsung saja mencarinya," sahut Rachel
penuh semangat.
Cassie angkat bahu. "Entahlah, rasanya kita sudah berbuat
cukup banyak. Coba ingat. Kita sempat menyerang kolam Yeerk. Kita
hampir celaka di sana. Lalu kita menyusup ke rumah Chapman dan
Rachel tertangkap. Lagi-lagi kita hampir celaka. Sampai kapan kita
harus mengambil risiko seperti itu? Berapa kali lagi kita hampir
celaka?"
Bahkan Marco pun terkejut mendengar ucapan Cassie.
Kedengarannya seakan-akan Cassie mendadak berada di pihak Marco.
"Persis! Persis! Sejak awal aku sudah bilang begitu. Kenapa kita mesti
membunuh diri sendiri?"
Tapi ucapan Cassie selanjutnya membuat Marco menahan
kecewa.
"Kalau aku sih tidak bisa diam saja sementara ada orang yang
dijadikan budak oleh kaum Yeerk," ujar Cassie. "Mungkin aku
memang..." Ia angkat bahu. "Dengan kemampuan yang kumiliki..." Ia
kembali angkat bahu. "Pokoknya, aku tidak bisa diam saja."
"Begini, yang kita bicarakan di sini bukan orang-orang yang
kita kenal," Marco berdalih. "Mereka bukan temanku. Apalagi
saudara." Sekilas ia melirik ke arah Jake, seolah merasa bersalah.
"Dan kita juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menolong Tom.
Jadi kenapa aku harus mati untuk orang yang tidak kukenal? Kita
takkan selamanya beruntung. Cepat atau lambat kita akan mengalami
nasib sial. Cepat atau lambat kita akan berkumpul sambil menangis
karena Jake atau Rachel atau Cassie atau Tobias jadi korban."
"Hei!" Rachel mendadak marah. "Asal tahu saja, aku sudah
bosan membujukmu, Marco. Kau mau mundur? Oke,
MUNDURLAH!"
Chapter 6
"Hei, waktu aku jadi gorila, aku bisa mengendalikan diri. Ya,
kan?" Marco masih terus memaksa.
"Memang, Marco," sahut Rachel sambil mengedipkan mata.
"Tapi itu lain. Pada dasarnya kau memang sudah mirip gorila."
Cassie tertawa pelan.
"Haha, lucu sekali," gerutu Marco .
"Kita sudah lempar koin ujar Jake. "Dan aku menang. Jadi adil,
kan?"
"Coba kuperiksa koin itu," kata Marco curiga.
Jake cuma tersenyum. "Oke, kita mulai saja. Cassie, kau mau
duluan? Supaya kau bisa membimbing kami nanti."
Berdasarkan pengalaman, kami telah belajar bahwa proses
metamorfosis kadang-kadang sangat membingungkan. Jake pernah
menjelma sebagai kadal dan nyaris tak sanggup mengatasi naluri
kadal yang selalu ketakutan. Hal yang sama dialami Rachel ketika ia
berubah jadi cecumt. Sampai sekarang pun pengalaman itu masih suka
mengejarnya dalam mimpi. Keinginan menggebu-gebu untuk melahap
belatung dan daging busuk memang bukan sesuatu yang mudah
dilupakan.
Di pihak lain, Jake sempat menjelma sebagai kutu tanpa
mengalami gangguan apa pun. Otak kutu terlalu sederhana untuk
menimbulkan masalah.
"Oke. Nanti kalian kuberitahu bagaimana rasanya." Cassie
memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tapi sejurus kemud ian ia
membuka mata lagi. "Tunggu. Aku mau ganti baju dulu. Bisa-bisa aku
malah terjerat bajuku sendiri nanti." Ia menanggalkan seluruh
pakaiannya kecuali baju senam ketat, melepaskan sepatu, lalu berdiri
dengan kaki telanjang di tanah yang tertutup daun cemara.
Yang pertama berubah adalah rambutnya. Dalam beberapa detik
saja rambut hitamnya yang amat pendek telah digantikan oleh bulu
Chapter 7
<O ya?>
<Ya. Serigala yang berkuasa memang harus bersikap begitu. Itu
normal. Paling tidak, itu kata buku tentang serigala yang kubaca di
rumah. Hanya saja kita semua jadi risi.>
Hambatan kedua timbul ketika semua berhenti dan mulai
melolong. Jake yang memulai. Kami terkejut. Termasuk Jake sendiri.
"OWWW-ooooooooo-yow-yow-OOOOOO."
<Apa lagi...,> Marco sempat berkata, tapi tahu-tahu ia juga
sudah ikut melolong. "Yow-yow-oooWWOOOO!"
Cassie dan Rachel pun tidak mau ketinggalan. "OOOOyowwww-OWW-ooooo!"
Begitu mendengar mereka melolong-lolong, aku langsung
mengitari pohon dan terbang menghampiri mereka. <Ada apa, sih?>
tanyaku. <Kita lagi cepat-cepat, nih. Waktu kalian kan cuma dua jam.
Kenapa kalian malah buang-buang waktu?>
<Entahlah, aku sendiri juga tidak mengerti,> Jake mengakui
malu-malu. <Tiba-tiba saja aku merasa aku harus melolong.>
<Dan begitu dia mulai, aku... aku merasa aku harus ikut,>
Rachel menambahkan.
<Mungkin ini suatu cara supaya serigala-serigala lain tahu kita
di sini,> Cassie menduga-duga. <Supaya kita tidak bertemu kawanan
lain dan berkelahi dengan mereka.>
Masuk akal, pikirku. Untung saja masih ada yang waras di
antara mereka. Mudah-mudahan ia bisa mengajak yang lain untuk
menggunakan akal sehat. Tapi kemudian aku melihat "Cassie"
mendongakkan kepala dan melolong sejadi-jadinya.
Aku mengepakkan sayap dan kembali terbang tinggi. Kawasan
permukiman sudah tertinggal jauh di belakang. Kami telah menempuh
jarak cukup jauh dalam satu jam. Hari menjelang senja. Waktunya
kira-kira sama seperti ketika aku untuk kedua kalinya bertemu
semakin redup. Namun aku tetap bisa melihat apa yang keluar dari
kedua helikopter itu.
Satu melompat turun, menyusul satu lagi.
Tinggi mereka lebih dari dua meter. Dan penampilan mereka
benar-benar menakutkan. Tanduk-tanduk tajam sepanjang tiga puluh
senti menyembul dari kepala yang menyerupai kepala ular. Tanduktanduk serupa juga tampak di siku, pergelangan tangan, dan lutut.
Kaki mereka seperti kaki Tyrannosaurus rex.
Pasukan penggempur kaum Yeerk.
Prajurit Hork-Bajir.
Chapter 8
<HORK-BAJIR!>
Aku pertama kali melihat mereka di tempat pembangunan yang
terbengkalai. Saat itu aku masih berwujud manusia. Visser Three
sedang mencemooh si Andalite yang sudah tak berdaya. Sementara itu
kami berlima meringkuk di balik tembok rendah. Dan tak sampai dua
meter dari tempat persembunyian kami, para Hork-Bajir berjaga-jaga.
Si Andalite sempat memberitahu kami bahwa bangsa HorkBajir sesungguhnya bangsa yang cinta damai. Walaupun
berpenampilan mengerikan, mereka sebenarnya bangsa yang lemah
lembut.
Tapi kini semua Hork-Bajir telah menjadi Pengendali. Semua
membawa makhluk Yeerk dalam kepala masing-masing. Dan kini
mereka tak lagi lemah lembut.
Aku langsung berbalik arah, teman-temanku harus segera
diberitahu. Aku melintas rendah di atas sekelompok Polisi Hutan,
cukup rendah untuk membaca arloji salah satu petugas. Temantemanku sudah lebih dari satu jam berubah wujud.
Gawat. Batas waktu sudah dekat, sementara ada Hork-Bajir
berkeliaran di hutan.
Tak lama kemudian aku sudah menemukan kawanan serigala
yang kucari. Mereka masih bergegas menembus hutan, tanpa kenal
lelah. Hanya sesekali mereka berhenti agar Jake dapat menandakan
wilayah kekuasaannya.
Aku terbang menukik. Aku baru merentangkan sayap ketika
berada tepat di atas kepala mereka.
Chapter 9
depan rumah. Kedua pesawat tempur itu mirip kecoak dari logam,
dengan sepasang tonjolan mirip tombak berduri di kiri-kanan.
<Aku melihat Bug Fighter,> aku melapor pada teman-temanku.
<Memangnya kenapa?> tanya Marco. <Pesawat itu tidak ada
apa-apa dibandingkan... paus itu!>
<Kedua pesawat tempur itu mengelilingi danau. Kurasa mereka
mau cari gara-gara.>
<Kalau begitu, jangan bikin gara-gara,> Jake menyarankan.
Aku mencoba bersikap seperti elang biasa yang tidak
berbahaya. Aku terbang kian kemari. Tapi pesawat utama itu benarbenar mencengangkan. Benda sebesar itu tidak seharusnya melayanglayang di udara.
Tiba-tiba salah satu Bug Fighter menyusulku. Pesawat itu
terbang rendah dengan perlahan. Aku sempat melihat awaknya: satu
Hork-Bajir dan satu Taxxon.
Bangsa Taxxondari segi jumlahadalah Pengendali nomor
dua. Mau tahu seperti apa wujud makhluk Taxxon? Hmm,
bayangkanlah kelabang, atau kaki seribu, yang sangat besar.
Panjangnya kira-kira dua kali lebih panjang dari orang dewasa.
Badannya pun besar. Saking besarnya, tangan kita takkan bertemu
kalau kita memeluknya.
Tapi siapa yang mau memeluknya? Makhluk Taxxon benarbenar menjijikkan. Dan tidak seperti bangsa Hork-Bajir yang
diperbudak dengan paksa, bangsa Taxxon secara sukarela menjadi
induk semang bagi kaum Yeerk. Mereka sekutu kaum Yeerk. Apa
sebabnya? Aku tidak tahu, dan aku juga tidak ingin tahu.
Pesawat Bug itu berlalu tanpa menggubrisku.
Pesawat utama yang besar turun pelan-pelan ke permukaan
danau. <Kalian lihat, tidak? Rupanya mereka mau mendarat di
danau.>
Aku manusia. Aku anak laki-laki bernama Tobias. Anak lakilaki dengan rambut pirang yang selalu acak-acakan. Anak laki-laki
yang punya teman-teman manusia. Dan hobi-hobi manusia.
Tapi sebagian dari diriku terus berkata, "Jangan bohongi diri
sendiri. Kau elang. Tobias sudah tiada."
Aku meluncur menuju permukaan tanah. Aku melipat sayapku
ke belakang dan menikmati angin yang menerpaku. Aku melaju
semakin kencang! Dan lebih kencang lagi!
Kemudian, dengan sepasang mata tajam yang tak pernah
kumiliki sewaktu masih jadi Tobias, aku melihat kawanan serigala di
bawah. Dan aku juga melihat bahaya yang menghadang mereka.
Chapter 10
Aku terbang lebih tinggi. Salah satu truk Polisi Hutan tampak di
tepi danau. Pengemudi dan para penumpangnya tidak kelihatan. Aku
mendekat dan menatap jam yang ada di dasbor.
Ya ampun! aku memekik ketika membaca angka yang
ditunjukkan jam itu.
Tidak mungkin! Aku pasti salah lihat!
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
bisa mencegah kita! Kita akan menceritakan semua hal yang kita
ketahui!"
Kedua mata Rachel berbinar-binar. "Kita bisa membongkar
kedok The Sharing. Dan kita bisa melaporkan Chapman!"
"Memangnya kalian pikir Visser Three dan anak buahnya cuma
duduk-duduk bengong saja?" tanya Marco. "Kita tidak tahu berapa
banyak pesawat mereka. Dan seberapa besar kekuatan mereka."
Jake tampak agak kecewa.
<Kekuatan mereka tidak memadai untuk menyerang Bumi
secara terang-terangan,> ujarku.
"Hah, dari mana kautahu?" tanya Marco. Nadanya menantang.
<Karena kaum Yeerk berusaha keras untuk merahasiakan
semua kegiatan mereka. Kalau mereka sanggup perang secara terangterangan, untuk apa pakai sembunyi-sembunyi segala?>
Aku menyangka Marco bakal melontarkan komentar pedas.
Seperti biasanya. Tapi ternyata ia cuma mengangguk. "Yeah, kau
benar."
"Ini mungkin kesempatan emas bagi kita," kata Rachel. "Kita
harus membuka tabir yang menyelubungi pesawat itu, biar seluruh
dunia bisa melihatnya."
"Bagaimana caranya?" tanya Marco.
Jake yang menjawab. "Kita harus menyusup ke pesawat itu." Ia
mengedipkan mata kepada Marco. "Mau kuberitahu bagaimana
caranya?"
Marco menggeleng. "Tidak. Mestinya aku tidak usah bertanya
tadi."
"Melalui pipa pengisap air. Dengan berubah jadi ikan."
Marco menghela napas. "Jake, kan sudah kubilang, aku tidak
mau tahu."
Chapter 14
Chapter 15
AKU terbang.
Aku terbang sekencang-kencangnya. Aku telah membunuh dan
melahap seekor tikus. Betapa menjijikkan. Dan sekarang aku berusaha
terbang sekencang mungkin untuk meninggalkan mimpi buruk itu
jauh di belakangku.
Tapi aku bahkan tidak bisa terbang sekencang itu. Aku
manusia! Aku manusia! Aku Tobias!
Aku tidak tahu kenapa justru Rachel yang hendak kudatangi
saat itu. Mungkin karena ia satu-satunya yang bisa kusebut teman
sejati. Atau mungkin juga karena ia yang paling tahu segala sesuatu
tentang diriku.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa membangkitkan
keyakinanku.
Gedung mall yang besar tampak di bawah. Aku melihat pintu
utamanya yang terbuat dari kaca. Orang-orang keluar-masuk tanpa
henti. Rachel. Ia ada di situ.
"Tseeeeer!"
Aku menukik sambil memekik karena marah dan frustrasi dan
ngeri. Aku melesat kencang ke arah pintu, persis seperti tadi, sewaktu
hendak menyambar tikus.
Tapi kali ini aku takkan berhenti. Aku takkan merentangkan
sayap untuk mengurangi kecepatan. Aku ingin semuanya berakhir
sekarang juga. Akan kuterjang pintu kaca itu dengan kecepatan penuh.
Siapa tahu aku akan terbangun dari mimpi buruk yang terus
menghantuiku.
senam yang anggun. Para pengunjung di lantai-lantai atas berdesakdesakan di tepi pagar agar bisa ikut menonton.
Rachel sedang meniti balok keseimbangan. Ia berdiri sambil
mengangkat sebelah kaki.
Aku melewatinya bagaikan roket berwarna cokelat, emas, dan
merah.
"Tobias!" ia berseru.
Tepat di depanku berdiri dinding tembok untuk mendirikan toko
baru. Aku masih meluncur kencang. Aku masih bisa menabrak
tembok itu dan bangun dari mimpi burukku.
"Jangan!" Rachel memekik.
Aku merentangkan sayap dan melesat tegak lurus ke atas.
Perutku menyerempet permukaan dinding. Langit-langit mall terbuat
dari kaca. Dan sejengkal lagi aku sudah sampai di sana! Aku
membelok pada detik terakhir, nyaris terlambat. Pundakku membentur
kaca. Aku terpental dan meluncur jatuh. Orang-orang di bawah
menatapku dengan mata terbelalak karena ngeri bercampur kagum dan
iba.
Aku melihat wajah Rachel di tengah keramaian. Matanya
tampak memohon-mohon. Jangan, ia berkata tanpa suara. Jangan.
Aku meluncur ke bawah, antara sadar dan tidak. Rachel masih
berdiri di atas balok keseimbangan. Ia menangkapku sebelum aku
terempas ke lantai. Tapi akibatnya ia pun jatuh, dan kami berdua
bergulingan di matras. "Kau harus keluar dari sini!" ia bergumam
dengan nada mendesak.
<Aku telah membunuh,> seruku. <Kau tidak mengerti, Rachel.
Aku celaka. Aku telah membunuh!>
"Tidak, Tobias, kau takkan celaka selama masih ada aku dan
yang lainnya."
Orang-orang bergegas maju. Semua berusaha menyelamatkan
Rachel dari amukan burung elang. Ia mendorongku sedikit supaya aku
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Salah satu pesawat Bug Fighter terbang rendah di atas pohonpohon. Sebentar-sebentar pesawat itu menembakkan sinar Dracon
yang menyilaukan.
Jantungku berdegup kencang. Mereka membunuh setiap burung
yang terlihat oleh mereka!
Si elang betina! Aku berada di daerah perburuannya.
Tiba-tiba saja sudah ada helikopter yang membuntutiku. Thwak
thwak thwak thwak! Ssshhheeeewww!
Sinar Dracon. Aku nyaris tertembak. Aku berusaha meloloskan
diri, tapi sia-sia. Jumlah lawanku terlalu banyak, dan gerakan mereka
terlalu cepat.
Tapi ada satu tempat di mana mereka takkan berani
menembakkan sinar Dracon. Apalagi setelah mereka melihat apa yang
dilakukan Visser Three terhadap si Hork-Bajir yang sembrono.
Aku menekuk sayap dan terbang menukik. Aku meluncur turun
dengan cepat. Menuju pesawat perbekalan sebesar lapangan bola yang
membentang di bawahku.
Dalam sekejap aku sudah terkepung. Tapi musuh-musuhku
salah mengambil posisi. Aku terlalu dekat ke pesawat perbekalan.
Mereka tidak bisa menembak!
Aku hinggap di pesawat raksasa itu. Aku menapakkan cakarku
pada permukaan logam yang dingin dan keras. Permukaan logam itu
membentang ke segala arah, lalu melengkung ke bawah sehingga
tepinya tidak kelihatan. Aku serasa berada di bulan yang terbuat dari
baja. Dua helikopter dan empat pesawat Bug Fighter melayang-layang
di atasku. Semua Pengendali yang tampak di dalam pesawat-pesawat
itubaik manusia, Hork-Bajir, maupun Taxxonmenatapku dengan
tajam.
Sorot mata mereka terasa akrab bagiku. Sorot mata pemangsa.
Dan akulah mangsa mereka.
Chapter 24
berkata dalam hati. Jangan ucapkan satu kata pun. Kalau aku nekat
menjawab, bisa jadi ia akan tahu bahwa aku manusia. Dan itu tidak
boleh terjadi. Ia takkan bisa memaksaku bicara.
Aku mengosongkan pikiran. Tapi aku tidak mampu menghalau
suara yang mengerikan itu.
<Menyerahlah, Andalite. Aku berjanji kau akan mati dengan
cepat, tanpa menderita. Asal kau memberitahuku di mana kawankawanmu yang lain.>
Aku telah melihat apa yang dilakukan Visser Three terhadap
Hork-Bajir bodoh yang membuatnya marah. Gambaran itu masih
segar dalam ingatanku.
<Terserah kau, Andalite. Aku bisa bersabar. Aku bisa
menunggu di sini sampai kapan pun. Dan akhirnya kau tetap akan
mati. Kau bisa mati dengan cepat karena tembakan sinar Dracon.
Atau, kalau kami bisa menangkapmu, kau bisa mati perlahan-lahan di
dalam pesawatku. >
Sekonyong-konyong ada suara lain yang menembus ke dalam
kepalaku. Suara yang sangat berbeda. Kedengarannya sayup-sayup.
Seakan-akan berasal dari tempat yang jauh sekali.
<Tobias? Tobias, kau bisa mendengarku?>
Rachel!
<Ya, aku mendengarmu!>
<Tobias! Kami terperangkap! Tangki airnya sudah penuh, tapi
kisi-kisinya tidak bisa dibuka. Cassie dan Jake sudah menjelma lagi
jadi manusia, tapi mereka tidak bisa membukanya. Kami terperangkap
di sini!>
<Rachel! Aku... apa yang bisa kulakukan?>
<Kami tidak bisa keluar,> seru Rachel. <Kami terperangkap.
Tidak ada jalan keluar. Sebentar lagi pesawat ini akan pergi. Dan
cepat atau lambat mereka pasti menemukan kami begitu airnya
Chapter 25
Chapter 26
MEREKA jatuh.
Tapi sementara itu mereka mulai berubah.
Cassie yang pertama. Bulu-bulu bermunculan di sekujur
tubuhnya. Ia memang bisa menjelma sebagai burung osprey, yang
masih bersaudara jauh dengan elang ekor merah.
Ia terus meluncur menuju permukaan tanah, tapi secara
bersamaan ia berubah menjadi burung.
Marco dan Rachel sama-sama pernah menjelma sebagai elang
kepala botak. Elang jenis ini berukuran besar, jauh lebih besar
daripada elang ekor merah.
Di depan mataku, lengan mereka berubah jadi sepasang sayap
panjang.
Jake menjelma sebagai peregrine falcon yang mampu melesat
cepat sekali. Dibandingkan mereka, elang ekor merah seakan-akan
berhenti di udara.
Aku melihat paruh peregrine menggantikan mulut Jake.
Tapi... waktunya tidak cukup! Waktunya tidak cukup! Mereka
akan terempas di tanah sebelum...
Wusss!
Cassie merentangkan sayap dan meluncur di atas pohon-pohon.
Tapi nasib Marco lebih buruk. Ia jatuh ke hutan dan menghilang dari
pandangan. Aku kuatir ia tidak bisa menyelamatkan diri.
Tapi kemudian aku melihat seekor burung muncul dari balik
pepohonan, seekor burung dengan rentang sayap hampir dua meter
dan kepala seluruhnya berwarna putih.
<YES! Hebat!> seruku.
Pesawat perbekalan kaum Yeerk kini tak bisa naik lagi. Pesawat
raksasa itu berguling pelan-pelan, lalu menukik ke Bumi.
<Uih, hampir saja!> aku mendengar seruan Marco. <Kita nyaris
celaka. Aku mau berhenti saja jadi anggota Animorphs. Aku mau
pensiun. Aku sudah muak dengan semua ini!>
<Hei, kau belum aman!> aku memberitahunya. <Lihat, tuh!>
Setelah tak lagi terhalang pesawat perbekalan, pesawat Blade
dan pesawat-pesawat tempur Bug langsung mengejar kami.
<Cepat! Masuk ke hutan! Di sana kalian biar sembunyi!> aku
memekik.
Bagaikan skuadron pesawat tempur yang terlatih baik, kami
menyelinap di antara pohon-pohon. Kami melintas di bawah atap
dedaunan, sehingga kaum Yeerk tak bisa melihat kami.
BOOOOM!
Sebuah ledakan mengguncangkan hutan. Pesawat perbekalan
itu telah menghunjam permukaan tanah.
Getarannya menghantam kami bagaikan gelombang pasang
laut.
Aku terpental ke sebuah pohon, untung saja tidak sampai
cedera. <Semuanya baik-baik saja?> aku berseru.
Satu persatu mereka menjawab ya.
Tapi ledakan itu telah mengusik binatang-binatang di hutan.
Semua burung segera kabur atau bersembunyi ketika pertempuran
berlangsung. Dan burung-burung yang masih tersisa kini langsung
terbang.
Aku melihat si elang betina melesat ke udara. Ia ketakutan dan
hendak menyelamatkan diri ke langit.
Tapi kali ini langit bukan tempat yang aman.
Aku tidak tahu pesawat mana yang melepaskan tembakan sinar
Dracon. Mungkin salah satu pesawat Bug Fighter, atau mungkin
pesawat Blade.
Chapter 27
kurasa cuma manusia yang bisa merasa sedih karena kematian seekor
burung.>
"Kalau kau membantu mencari, barangkali kita masih bisa
menemukannya."
<Tidak perlu. Tubuhnya akan dimakan. Oleh raccoon, atau
serigala, atau burung lain. Mungkin bahkan oleh seekor elang.
Memang begitu hukum alam.>
"Hukum itu berlaku untuk binatang liar, Tobias. Bukan untuk
manusia."
<Yeah. Aku tahu. Tapi kau keliru, Rachel. Aku memang
manusia. Tapi, di samping itu, aku juga seekor elang. Aku pemburu
yang harus membunuh supaya bisa makan. Dan aku juga manusia
yang... yang sedih karena kematian.>
Ia tampak sedih sekali. Rachel memang mudah terharu.
Aku terbang keluar melalui jendela. Cuaca sedang bagus.
Matahari bersinar cerah. Awan-awan cumulus menandakan kehadiran
angin termal yang akan mendorongku terbang ke langit luas.
Aku terbang.
Aku Tobias. Anak laki-laki. Tapi sekaligus elang. Suatu
kombinasi yang aneh.
Sekarang kau sudah tahu kenapa aku tidak bisa menyebutkan
nama lengkapku. Atau tempat aku tinggal. Tapi suatu hari kau
mungkin akan memandang ke langit dan melihat siluet seekor burung
pemangsa. Burung besar dengan paruh melengkung dan cakar yang
tajam. Burung bersayap lebar yang melayang-layang dengan bantuan
angin termal.
Bergembiralah untukku, dan untuk semua yang terbang bebas di
angkasa. END
Ebukulawas.blogspot.com