Vous êtes sur la page 1sur 121

Chapter 1

NAMAKU Tobias. Aku adalah keajaiban alam. Tak ada


makhluk lain seperti aku.
Aku takkan menyebutkan nama belakangku. Soalnya aku tidak
bisa. Begitu juga nama kota tempat aku tinggal. Aku terpaksa
merahasiakannya.
Sebenarnya aku ingin terus terang, menceritakan semuanya.
Sayangnya aku tidak bisa mengungkapkan identitasku, atau identitas
teman-temanku. Tapi semua yang akan kuceritakan adalah benar. Aku
tahu kau akan terheran-heran, tapi percaya deh, aku tidak mengadaada.
Aku Tobias. Aku anak yang biasa-biasa saja. Maksudku,
dulunya aku begitu. Prestasiku di sekolah dulu termasuk lumayan.
Memang tidak bisa dibilang oke banget, tapi juga tidak buruk-buruk
amat. Ya, lumayan deh pokoknya.
Cuma dari segi pergaulan aku memang agak payah. Aku sering
jadi bahan ejekan. Aku sering dicemooh dan dijaili. Rambutku dulu
pirang dan selalu acak-acakan. Mataku berwarna... hmm, apa ya
warna mataku? Wah, baru beberapa minggu saja aku sudah lupa
seperti apa tampangku sewaktu masih jadi manusia.
Tapi sudahlah. Sekarang mataku berwarna emas dan cokelat.
Sorot mataku selalu galak, seperti lagi marah. Padahal aku tidak selalu
galak atau marah, namun tampangku tetap begitu.
Sore itu aku sedang melayang-layang di udara. Aku terbang
dengan bantuan angin termal, yaitu arus udara panas yang naik dari
permukaan Bumi. Aku melayang tinggi di angkasa, persis di bawah
lapisan awan gelap yang siap menumpahkan hujan.

Aku memandang ke bawah dan memfokuskan mataku yang


setajam sinar laser. Mataku yang galak. Aku masih bisa membaca
aku belum lupa caranya. Aku melihat papan iklan besar berwarna
merah-putih dengan tulisan: TOKO MOBIL BEKAS DEALIN' DAN
HAWKE.
Kulipat sayapku ke belakang, lebih rapat ke tubuhku. Dan
seketika aku mulai meluncur ke bawah.
Turun, turun, turun! Kencang, semakin kencang!
Aku menerobos udara petang yang hangat, dan jatuh bagaikan
sebongkah batu. Bagaikan peluru artileri yang menuju sasarannya.
Tak ada suara apa pun selain deru udara yang menerpa sayapku.
Permukaan tanah semakin dekat dan siap menyambutku.
Aku melihat sebuah kandang. Panjang sisinya sekitar satu
meter. Di dalam kandang itu bertengger seekor elang. Seekor elang
berekor merah.
Seperti aku.
Seorang pria berdiri di dekat kandang. Aku mengenalinya
karena aku sering melihat iklan TV-nya dulu. Ia adalah Dealin' Dan
Hawke. Pemilik showroom mobil bekas.
Ia menyekap elang betina tersebut untuk dijadikan maskot
usahanya.
Dalam iklan-iklannya di TV ia memperkenalkan elang itu
sebagai si Polly Banting Harga. Huh, memuakkan sekali. Bagaimana
aku tidak marah? Aku kan juga burung elang.
Aku melihat kamera yang dikelilingi tiga laki-laki. Tampaknya
mereka sedang bersiap-siap membuat film iklan yang baru lagi. Tapi
aku tidak peduli.
Dealin' Dan menghampiri kandang untuk memberi makan si
elang. Kandangnya dikunci dengan rantai sepeda dan gembok
kombinasi empat angka. Aku melihat Dealin' Dan mengotak-atik
gembok. Kombinasinya 8-1-2-5.

Aku berada di ketinggian dua ratus meter, dan menukik nyaris


tegak lurus dengan kecepatan lebih dari seratus kilometer per jam.
Tapi aku bisa melihat angka-angka yang diputarnya. Dan bagian
manusia dalam diriku, Tobias, bisa mengingat angka-angka tersebut.
Ia membuka kandang dan melemparkan makanan. Lalu segera ditutup
dan digemboknya pintu itu.
Lampu-lampu yang terang benderang mulai menyala. Dealin'
Dan siap memulai syuting. Iklannya akan disiarkan secara langsung ke
seluruh wilayah kota dan daerah sekitarnya.
Rencanaku memang gila. Dan Marco pasti sependapat. "Gila"
adalah salah satu kata favoritnya. Kapan saja, di mana saja, ia sering
mengucapkan kata itu.
Tapi aku tidak peduli.
Seekor elang disekap dalam kandang sempit dan dijadikan
pajangan. Betul-betul keterlaluan. Itu tidak bisa kubiarkan. Aku tidak
bisa diam saja.
"Tseeeeeeeeerr, aku memekik.
Baru pada saat terakhir aku merentangkan sayap, sekitar lima
meter sebelum membentur permukaan tanah. Tekanan udara pada
sayapku nyaris tak tertahankan. Aku berusaha meringankan tubuh.
Aku melintasi deretan mobil yang diparkir dan meluncur mendekati
kandang.
Aku mendarat di atas kandang dan mencengkeram jeruji
besinya dengan cakarku.
Aku memutar angka pertama pada gembok dengan ujung
paruhku yang runcing.
"Hei! Apa-apaan ini?" seseorang berseru.
Lampu sorot yang terang benderang diarahkan pada diriku.
"Wah, para pemirsa yang budiman," ujar Dealin' Dan dengan
tampang kaget, "ada elang yang berusaha masuk ke kandang Polly
Banting Harga. Cepat usir burung itu."

Yeah, coba saja, pikirku.


Aku memutar angka kedua. Beberapa orang mulai mendekat.
Aku melihat seorang montir mengayun-ayunkan kunci inggris. Tapi
aku takkan pergi sebelum berhasil membebaskan burung yang malang
ini.
Tempat elang bukan di dalam kandang. Elang seharusnya bebas
mengarungi angkasa.
Aku dikepung.
"Hajar dia, Earl! Hajar saja!"
"Hati-hati paruhnya!"
"Jangan-jangan dia punya penyakit rabies!"
WUSSS!
Si montir mengayunkan kunci Inggris! Kepalaku nyaris kena.
Riwayatku bakal tamat di sini kalau aku tidak segera mendapat
bantuan.
<Rachel?> aku berseru dengan pikiranku. <Rachel? Kurasa
sudah waktunya!>
<Sori! Aku ketinggalan bus tadi. Aku baru saja sampai!> suara
Rachel terdengar di dalam kepalaku. Begitulah cara kami
berkomunikasi kalau sedang berubah wujudmelalui pikiran.
Aku menarik napas lega. Bala bantuan telah tiba.
"HhhuuuuurrHHHHHEEEEEAAAAAH!"
"Ada apa lagi ini?" seru si montir.
Aku tahu bunyi apa itu. Itu suara Rachel. Rachel yang cantik
berambut pirang. Tapi saat ini ia tidak bisa dibilang cantik.
Mengesankan memang, namun bukan cantik.
GUBRAK! Kr-a-a-ak!
"Oh. Ya Tuhan!" seru Dealin' Dan. "Biarkan saja burung itu.
Mobilku diinjak-injak gajah!"
Kalau saja aku punya mulut, aku pasti nyengir. Aku memutar
angka terakhir, lalu membuka pintu kandang.

Si elang tampak waswas. Ia elang sejati yang mengandalkan


pikiran dan naluri seekor elang. Tapi ia takkan menyia-nyiakan
kesempatan untuk kembali ke langit luas.
Ia langsung keluar dari kandang. Saking cepatnya, aku cuma
melihat bayangan berbulu kelabu, cokelat, dan putih. Ia tidak tahu
bahwa aku yang membebaskannya. Pikirannya tidak bisa menjangkau
sejauh itu. Dan ia juga tidak mengenal rasa terima kasih.
Tapi ia segera mengepakkan sayap dan melesat ke udara.
Ia bebas.
Tiba-tiba aku dilanda perasaan yang aneh sekali. Hati kecilku
berseru agar aku ikut dengan elang itu. Aku seperti mendengar bisikan
bahwa tempatku adalah di sampingnya.
<Kita sudah bisa pergi sekarang?> tanya Rachel.
Suaranya membahana. Ia mengayun-ayunkan belalai dan
menginjak-injak semua mobil di dekatnya. Tampaknya ia cukup
senanguntuk ukuran gajah, maksudnya. Tapi memang sudah
waktunya kami pergi. Rachel harus kembali ke wujudnya sebagai
manusia.
Aku kembali memandang ke langit. Aku melihat sinar matahari
menerobos ekor elang tadi. Ia terbang tinggi, seakan hendak mengejar
matahari yang sedang terbenam.

Chapter 2

<ADA bunyi sirene,> ujarku dengan nada mendesak.


<Aku juga dengar,> balas Rachel. <Kaupikir telingaku yang
sebesar karpet ini cuma pajangan? Aku sudah berubah secepat
mungkin.>
<Moga-moga polisi sungguhan. Bukan Pengendali.>
Kami sudah sampai di hutan di belakang showroom Dan.
Sebenarnya bukan hutan sungguhan, soalnya cuma ada beberapa
pohon gersang di antara tempat penjualan mobil bekas itu dan toko
serbaada. Aku bertengger di dahan rendah, menyaksikan Rachel
menjelma kembali sebagai manusia. Proses metamorfosis itu ajaib
sekali. Pokoknya susah dipercaya deh kalau kau belum melihatnya
dengan mata kepala sendiri.
Ketika perubahan dimulai, Rachel masih berbentuk gajah
Afrika dewasa. Tingginya sekitar tiga meter. Panjang badannya, dari
kepala sampai ekor, lebih dari lima meter. Beratnya paling tidak tiga
ton. Aku bilang "paling tidak", sebab angka itu cuma dugaan saja.
Kami belum pernah mengukur beratnya. Maklum saja, modal kami
cuma timbangan di kamar mandi masing-masing.
Ia memiliki sepasang gading melengkung sepanjang badan anak
kecil. Belalainya selalu terseret di tanah kalau ia berjalan. Dengan
belalainya itu ia mampu mengangkat prajurit Hork-Bajir yang sedang
mengamuk dan melemparnya sejauh lima meter.
Kalau yang ini bukan dugaan. Aku pernah melihatnya.
<Tobias, seharusnya kautunggu sampai mereka selesai
membuat iklan. Pasti ada ribuan orang yang melihat kita di TV!
Ribuan!>

<Tenang saja. Sebagian besar penonton pasti menyangka itu


atraksi yang memang sudah disiapkan,> jawabku.
<Itu kalau penonton biasa. Bagaimana dengan para Pengendali?
Setiap Pengendali yang kebetulan nonton siaran tadi pasti langsung
tahu kita bukan binatang sungguhan.>
Pengendali. Kata ini perlu diingat baik-baik. Pengendali adalah
sebutan bagi siapa pun yang membawa Yeerk dalam kepalanya. Yeerk
adalah makhluk parasit dari luar angkasa, yang bentuknya mirip keong
tanpa rumah. Mereka hidup dalam tubuh makhluk lain yang dijadikan
budak. Seluruh bangsa Hork-Bajir telah menjadi Pengendali. Begitu
pula bangsa Taxxon.
Dan semakin Iama semakin banyak manusia Bumi menjadi
Pengendali. Mereka disebut Pengendali-manusia.
Tubuh Rachel mulai mengerut. Ekornya lenyap seperti spageti
masuk ke dalam mulut. Belalainya semakin kecil.
Rambut pirang tumbuh di keningnya yang lebar berwarna
kelabu. Matanya bergeser dari sisi kepala ke bagian tengah wajah.
Telinganya pun kembali ke ukuran dan warna normal.
<Teman-teman kita bakal marah besar,> ujarku.
<Oh, itu sih sudah pasti.>
<Aku yang punya ide, jadi aku yang harus bertanggung jawab.>
<Sudahlah, Tobias. Jangan sok jadi pahlawan. Aku juga senang
kok. Kapan lagi aku bisa menginjak-injak mobil sampai remuk?>
Tubuh Rachel semakin kecil sehingga ia bisa berdiri dengan
kedua kaki belakangnya. Kaki depannya langsung berubah menjadi
sepasang lengan. Kaki belakangnya pun tak lagi sebesar batang
kelapa, melainkan kelihatan panjang dan langsing.
Baju senam hitam ketat yang selalu dipakainya pada waktu
berubah wujud mulai muncul.

Kedua gadingnya seperti terisap, lalu membelah menjadi


sederet gigi putih berkilau. Rachel kembali tampak cantik, hanya saja
hidungnya masih berwarna kelabu dengan panjang setengah meter.
Tapi akhirnya sisa belalai itu pun seakan-akan tergulung dan berubah
menjadi hidung biasa.
Rachel menjelma menjadi anak cewek. Ia telanjang kaki, sebab
kami belum tahu bagaimana caranya meniru sepatu. Mulutnya sudah
kembali normal. Ia bicara dengan suaranya yang biasa, tak lagi
melalui pikiran. Cara itu hanya bisa dipakai kalau kita sedang berubah
wujud.
"Oke, aku siap. Ayo kita kabur!"
Bunyi sirene semakin dekat. <Ke arah toserba saja. Aku akan
terbang dan memantau keadaan.>
"Mudah-mudahan lagi ada diskon sepatu," gerutu Rachel.
"Masalah sepatu ini mulai terlalu menyebalkan."
Gajah tadi telah hilang. Sebagai gantinya berdiri seorang cewek
kece.
Nah, apa kubilang? Kau pasti bingung, kan?
Kisah ajaib ini bermula di sebuah tempat pembangunan yang
terbengkalai, ketika kami menemukan pesawat pangeran Andalite
yang jatuh di Bumi. Ia Andalite terakhir di jagat raya ini. Ia dan rekanrekan Andalite-nya telah bertempur mati-matian untuk mengusir
pesawat induk kaum Yeerk.
Mereka bertempur dengan gagah berani, namun berhasil
dikalahkan.
Sebelum tewas di tangan pemimpin Yeerk, makhluk
mengerikan bernama Visser Three, si Andalite sempat memberi kami
sesuatu yang istimewasesuatu yang merupakan anugerah sekaligus
kutukan.
Pemberiannya adalah metamorfosis atau kemampuan berubah
wujud. Kami diberi kemampuan untuk menyadap DNA binatang apa

saja dan menjelma menjadi binatang tersebut. Kemampuan khas kaum


Andalite itu belum pernah diberikan pada bangsa lain.
Sejak itu hidup kami jadi penuh rahasia. Dan dibayang-bayangi
bahaya.
Kaum Yeerk menyangka kami sekelompok Andalite yang
berhasil lolos. Mereka tahu bahwa yang menyerang kolam Yeerk
bukan binatang sungguhan. Mereka tahu lawan mereka telah berhasil
menyusup ke rumah salah satu Pengendali paling pentingMr.
Chapman, wakil kepala sekolah kami.
Tapi mereka tidak tahu bahwa kami cuma lima anak biasa yang
pada suatu malam hendak pulang dari mall.
Visser Three ingin kami segera ditangkap. Hidup atau mati tak
jadi soal. Dan keinginan Visser Three biasanya terpenuhi.
Tapi aku malah senang karena bisa berjuang melawan kaum
Yeerk. Mungkin karena aku tidak memikul beban seberat temantemanku. Atau mungkin juga karena kematian sang pangeran Andalite
telah menyentuh hati nuraniku, sehingga aku merasa terpanggil untuk
membuat perhitungan dengan musuh-musuhnya.
Tapi tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Kemampuan
berubah wujud ada batasnya. Kita tidak boleh berubah lebih dari dua
jam. Kalau batas waktu itu dilanggar, kita akan terperangkap dalam
wujud tersebut.
Untuk selama-lamanya. Dan itulah kutukan yang terkandung
dalam pemberian si Andalite.
Itu pula sebabnya aku tidak ikut berubah ketika Rachel kembali
menjelma menjadi manusia.
Rachel butuh waktu agak lama untuk sampai di rumah karena ia
naik bus. Aku lebih cepat. Karena itu aku tidak perlu terburu-buru.
Matahari sedang terbenam. Aku teringat elang yang berhasil
kami bebaskan tadi.

Mudah-mudahan ia menemukan tempat yang nyaman di hutan


untuk bermalam. Itulah yang disukai elang buntut merah: dahan pohon
yang nyaman dengan pandangan bebas ke padang rumput yang penuh
tikus dan cecurut dan tupai. Begitulah cara berburu kami... maksudku,
mereka.
Aku menuju ke arah gedung-gedung tinggi di pusat kota. Aku
memanfaatkan angin termal yang berembus dari dinding beberapa
pencakar langit. Angin termal adalah arus udara panas yang mengalir
ke atas. Arus itu seakan-akan mengganjal sayap kita, dan membuat
kita membubung tinggi tanpa perlu mengeluarkan tenaga.
Aku meluncur ke atas bagaikan naik lift.
Karena sekarang hari Sabtu, banyak ruangan kantor dalam
keadaan kosong. Tapi, kira-kira di lantai enam puluh, seorang pria
setengah baya sedang berdiri seraya memandang ke luar jendela.
Penampilannya menunjukkan ia pengusaha besar dan penting.
Namun ketika melihatku, ia mengembangkan senyum. Ia
mengamati aku terbang semakin tinggi. Aku tahu ia iri padaku karena
aku bisa terbang bebas.
Setelah mencapai ketinggian sekitar delapan ratus meter, aku
membelok dan menuju ke rumah Rachel.
Matahari sudah hampir terbenam. Bulan mulai mengintip dari
balik cakrawala.
Tiba-tiba aku merasa... entahlah, aku tidak bisa
menjelaskannya. Aku cuma tahu bahwa ada sesuatu di atasku. Sesuatu
yang besar. Sangat besar! Lebih besar dari pesawat terbang mana pun.
Aku memandang ke atas. Tapi tidak ada apa-apa di situ.
Meski begitu, aku bisa merasakan kehadirannya. Aku tahu ada
sesuatu di atas sana. "Benda" itu melaju mendekat, kira kira dua
kilometer lebih tinggi daripada aku.
Aku memfokuskan mata elangku ke langit.
Ada riak!

Ya, riak. Seperti riak air yang timbul kalau kita melempar batu
ke kolam yang tenang. Bintang-bintang sore yang redup berkedip
sejenak. Sinar matahari pun membias. Dan sepintas lalu aku seperti
melihat...sesuatu.
Hmm, entahlah.
Mungkin juga aku salah lihat.
Udara serasa bergolak, sehingga menimbulkan lubang di langit.
Aku berusaha mengejar lubang itu, tapi kecepatannya terlalu tinggi.
Aku berusaha menentukan ke arah mana benda itu pergi. Dan dari
mana asalnya. Sepertinya benda itu bergerak menjauh dari
pegunungan dan melesat semakin cepat.
Dalam waktu singkat aku telah kehilangan jejak.
Aku terbang ke rumah Rachel. Aku melihatnya turun dari bus,
jauh di bawahku. Teman-temanku yang lainJake, Marco, dan
Cassiesudah menunggu kami di kamar Rachel. Seperti sudah
kuduga.
<Hei, Rachel,> aku memanggil sambil melayang di atasnya.
Ia hanya bisa melambaikan tangan. Sebagai manusia kita bisa
mendengar pikiran, tapi tidak bisa menjawab dengan cara yang sama.
<Kalimat pertama yang diucapkan Marco nanti pasti, "Apa
kalian sudah gila?"> ujarku pada Rachel.
Rachel mengedipkan mata.
Ia masuk lewat pintu depan. Aku terbang melalui jendela
terbuka. Dan kami kembali berkumpul: kelima anggota Animorphs.
Rupanya teman-temanku yang lain sempat melihat Rachel dan
aku di TV, dan tampang mereka sama sekali tidak senang.
Marco yang pertama angkat bicara.
"Apa kalian sudah GILA?!!" teriaknya.

Chapter 3

MARCO marah-marah. Jake memaksa kami berjanji


untuk tidak pernah lagi bertindak sebodoh itu. Dan mendamaikan
kami semua, seperti biasa.
"Memangnya kita petugas penyelamat binatang," kata Marco.
"Kita seharusnya menyelamatkan seluruh umat manusia dari
perbudakan kaum Yeerk."
<Kusangka kau tidak berminat menyelamatkan dunia, Marco,>
sahutku.
Ia menatapku dengan mata melotot. Tapi percuma saja. Berkat
mata elangku, siapa pun pasti kalah kalau nekat adu melotot
denganku.
"Memang," ujar Marco akhirnya. "Tapi karena kalian semua
punya cita-cita jadi pahlawan penyelamat dunia, dan karena kalian
temanku, berarti harus ada satu orang yang tetap waras, yang
mencegah kalian bertingkah terlalu konyol."
Di antara kami berlima, Marco yang paling enggan jadi anggota
Animorphs. Padahal justru Marco yang menciptakan nama kelompok
kami. Dan ia sudah ikut sejak awal peristiwa ini. Hanya saja
menurutnya kami perlu mengutamakan keselamatan diri sendiri dan
keluarga masing-masing.
Rasanya Marco dan aku takkan pernah bisa akur. Ia sok tahu
banget. Ia selalu yakin dirinya paling benar. Dan ia selalu siap
melontarkan komentar, baik komentar lucu maupun pedas. Anaknya
tidak bisa dibilang jangkung. Dengan kata lain, ia pendek. Tapi ia
disukai anak-anak cewek karena rambutnya yang panjang dan cokelat
serta matanya yang gelap. Mereka pikir Marco keren. Huh!

Jake menatap Marco sambil nyengir. "Jadi kau yang harus


mencegah kami bertingkah konyol?"
Wah, kalau Marco yang paling waras, matilah kita semua,"
Rachel menimpali.
Kami semua tertawa.
Jake meninju pundak Marco, tapi cuma main-main. "Tapi aku
senang kau mau menyelamatkan kami. Aku jadi terharu nih."
Marco meringis. Ia menimpuk Jake dengan bantal yang
diambilnya dari tempat tidur Rachel.
Marco dan Jake benar-benar bertolak belakang. Tingkah mereka
beda banget, walaupun mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jake
punya badan besar. Memang sih tidak sebesar pemain rugbi, tapi tetap
cukup kekar. Jake bisa dibilang anak yang dilahirkan untuk jadi
pemimpin. Seandainya kita terperangkap di dalam gedung yang
sedang terbakar, kita pasti berpaling pada Jake dan bertanya, "Apa
yang harus kita lakukan sekarang?" Dan ia akan menemukan jalan
keluar.
Jake dan Rachel saudara sepupu. Sifat mereka hampir sama.
Keduanya pantang mundur kalau sudah punya mau.
"Aku harus pulang nih," ujar Cassie. "Aku masih harus
memberi makan kuda dan membersihkan kandang burung.
Jangan sebut-sebut 'kandang burung' kalau ada Tobias," kata
Marco. "Bisa-bisa dia melakukan serangan elang-gerilya-berani-malu
ke klinik kalian. Belum lagi kalau dia membujuk Rachel untuk
menginjak-injak rumah kalian sampai rata dengan tanah."
Semua tertawa, sebab kami tahu kenapa banyak kandang
burung di rumah Cassie. Ayah dan ibunya dokter hewan. Ibunya
bekerja di The Gardens, tempat rekreasi berupa gabungan taman
hiburan dan kebun binatang.

Ayahnya mengelola Klinik Perawatan Satwa Liar di gudang


jerami di rumah pertanian mereka. Pusat Perawatan Satwa Liar itu
merawat binatang-binatang yang sakit atau cedera.
Kandang-kandang yang harus dibersihkan Cassie berisi burungburung gereja yang patah sayap, elang-elang yang kena tembak, dan
burung-burung camar yang terjerat sampah plastik.
Cassie ahli satwa kami. Kami sering pergi ke rumahnya untuk
mendatangi hewan yang hendak kami tiru. Sifat Cassie lemah lembut.
Dan di antara kami semua, Cassie-lah yang paling menguasai proses
metamorfosis.
Kami berdiri dan bersiap-siap pulang.
"Kau mau ikut?" Jake bertanya padaku.
<Nanti saja. Aku mau putar-putar dulu. Mumpung udaranya
lagi enak.>
"Oke," katanya. "Nanti kutaruh makanan di gudang bawah atap.
Siapa tahu kau pulang malam. Makanannya akan kusimpan dalam
wadah tertutup supaya jangan dicuri. Kau bisa membuka wadah
Rubbermaid, kan?"
Aku melihat teman-temanku yang lain mengalihkan pandang
ketika Jake menyinggung soal gudang bawah atap. Mereka merasa
kasihan padaku.
<Bisa,> jawabku. <Tapi hati-hati. SoalnyaTom.>
Tom kakak laki-laki Jake. Ia salah satu dari merekapara
Pengendali.
Semua mengucapkan selamat malam. Aku melihat tangan Jake
dan tangan Cassie bersentuhan sejenak, seakan-akan cuma kebetulan.
Kemudian semua pulang. Kecuali Rachel dan aku.
"Aku tidak tega membayangkan kau tinggal di gudang bawah
atap yang dingin," kata Rachel.

<Aku tidak apa-apa, kok,> sahutku. Dalam hati aku bertanyatanya, apakah aku perlu menceritakan lubang di langit yang kulihat
tadi. Tapi masalahnya aku sendiri tidak tahu pasti apa yang kulihat.
Jangan-jangan itu malah bikin Rachel semakin cemas. Sekarang
saja ia sudah mencemaskan diriku.
<Selamat malam,> kataku.
"Yeah. Hati-hati, Tobias."
Aku terbang keluar jendela. Aku sadar Rachel menatapku
dengan sedih. Terus terang, aku tidak suka dikasihani. Mereka cuma
tahu bahwa aku tidak sama seperti dulu. Mereka cuma tahu bahwa aku
tidak memiliki rumah.
Tapi sebenarnya mereka tidak mengerti. Aku tak pernah punya
rumah, dalam arti sebenarnya, sejak orang tuaku meninggal. Aku
sudah biasa hidup sebatang kara.
Dan sekarang langitlah yang kumiliki.

Chapter 4

KEESOKAN harinya aku memutuskan kembali ke tempat aku


melihat benda besar yang melintas di langit.
Aku tidak tahu apa yang kulihat, tapi aku punya firasat buruk.
Aku terbang melintasi daerah yang sama dengan memanfaatkan
angin termal semaksimal mungkin. Maklum, daripada capek
mengepakkan sayap, kan lebih enak melayang-layang. Santai.
Dalam hal memanfaatkan angin termal, elang masih kalah jago
dibanding rajawali atau beberapa jenis elang buzzard. (coba
perhatikan bagaimana elang turkey buzzard memanfaatkan angin
termal. Benar-benar hebat!) Sebenarnya, sebagai elang ekor merah,
aku lebih suka bertengger di dahan pohon sambil menanti mangsa
yang lezat lewat.
Tapi aku tidak mencari makan seperti elang. Aku melahap
makanan yang disediakan Jake. Aku tidak berburu. Walaupun ada
kalanya naluri berburu muncul dalam diriku. Kalau sudah begitu,
rasanya tidak tahan deh.
Marco pasti komentar macam-macam kalau aku sampai makan
tikus. Atau bangkai binatang yang mati terlindas di jalan raya.
Kalau kita sedang berubah jadi binatang, kita harus berjuang
keras melawan naluri binatang tersebut. Jake sudah merasakannya
ketika ia menjelma jadi kadal. Ia sempat memangsa labah-labah
hidup-hidup. Idiiih!
Aku sih belum sejauh itu. Paling tidak, sampai saat ini. Aku
takut tidak bisa berhenti kalau sudah mulai makan yang heboh heboh.
Aku terbang tinggi di atas kota, melintasi daerah yang kulewati
kemarin. Tapi tidak ada apa-apa. Tak ada yang melesat di atasku.

Tiba-tiba aku sadar: benda apa pun yang kulihat kemarin,


mungkin hanya muncul pada jam tertentu. kemarin matahari sudah
hampir terbenam ketika aku merasakan kehadiran benda tersebut.
Aku memutuskan kembali menjelang malam. Berarti aku punya
waktu luang sehari penuh. Tapi, bukannya senang, aku malah waswas.
Masalahnya, elang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan
berburu.
Sebagai Tobias dulu, aku mengisi waktu luangku dengan
nonton TV, jalan-jalan di mall, buat PR, membaca.pokoknya segala
macam hal yang kini sulit kulakukan.
Aku rindu sekolah. Meskipun aku selalu dijaili anak-anak yang
sok jago. Tapi aku tidak merasa kehilangan rumahku. Setelah
orangtuaku meninggal, tak ada yang sungguh-sungguh mau
mengasuhku. Akhirnya aku bolak-balik antara rumah pamanku di kota
ini dan rumah bibiku di kota lain yang jauh.
Baik paman maupun bibiku tidak peduli padaku.
Aku telah minta tolong pada Jake untuk mengirimkan surat
pada pamanku. Dalam surat itu kami memberitahukan bahwa aku
memutuskan tinggal bersama bibiku. Surat serupa juga kami kirimkan
kepada bibiku, memberitahukan bahwa aku memutuskan tinggal
bersama pamanku. Dengan begitu masing-masing menyangka aku
tinggal bersama yang lain.
Aku tidak tahu berapa lama aku bisa mengelabui keduanya.
Tapi apa pengaruhnya? Paling-paling mereka akan mcnelepon
polisi dan melaporkan bahwa aku lari dari rumah. Atau jangan-jangan
itu pun tidak mau mereka lakukan.
Hmm. Jadi apa yang harus kuperbuat untuk mengisi waktu
luang? Sudah beberapa jam aku melayang-layang tepat di bawah
gumpalan awan. Sudah waktunya pulang. Lain kali saja kucoba lagi.
Aku mengatur posisi sayap dan ekor, lalu menuju ke rumah
Rachel. Barangkali ia sedang berkeliaran di luar rumah.

Tiba-tiba aku merasakannya. Udara serasa bergolak. Kira-kira


dua kilometer di atasku timbul riak di udara. Sepertinya ada lubang
menganga.
Aku langsung mengambil keputusan. Aku harus mendekat.
Kukepakkan sayap sampai dada dan pundakku terasa pegal.
Tapi "benda" itu meluncur terlalu cepat, dan terlalu jauh di atasku.
Benda itu semakin jauh. Tapi kali ini arahnya berbeda. Kali ini
arahnya justru menuju pegunungan.
Lalu..muncul sekawanan bebek yang sedang membentuk
formasi huruf V.
Ada sekitar selusin bebek besar yang terbang cepat, seperti
biasanya. Bebek selalu terburu-buru. Seolah mereka mau bilang,
"Minggir, kami bebek dan kami mau lewat."
Kawanan bebek itu terbang tepat menuju udara bergolak yang
kurasakan tadi.
Sekonyong-konyong bebek yang paling depan terpental,
seakan-akan baru ditabrak truk. Sayapnya menekuk. Tapi bebek itu
tidak jatuh.
Si bebek terus meluncur maju, jumpalitan dan berguling,
seolah-olah tergelincir di atap kereta api, melaju kencang.
Sebagian besar bebek lainnya mengalami nasib sama. Hanya
satu atau dua yang masih sempat menghindar, tapi bebek memang
kurang cekatan.
Kawanan bebek itu seperti tergulung gelombang yang tidak
terlihat. Semuanya tergelincir di permukaan keras yang tidak tampak.
Dan setiap kali ada bebek yang menabrak permukaan tersebut,
sekilas aku melihat kilauan logam berwarna kelabu.
Gelombang itu berlalu. Bebek-bebek tadi berjatuhan dari langit.
Mati atau cacat.

"Benda" itu tetap terbang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.


Lagi pula, kenapa kaum Yeerk harus peduli pada sekawanan bebek?
Aku yakin makhluk-makhluk jahat itulah yang bertanggung
jawab atas peristiwa yang menimpa bebek-bebek itu.
Dan aku yakin "benda" yang baru saja kulihatlebih tepatnya
yang kurasakanpastilah sebuah pesawat Yeerk.

Chapter 5

"MASUK akal," kata Marco sambil termenung-menung. "Kaum


Yeerk pasti punya kemampuan untuk menyelubungi pesawat mereka.
Ini seperti teknologi stealth, cuma jauh lebih hebat."
Kami berkumpul di gudang jerami Cassie. Ayahnya sedang
pergi dan baru kembali nanti malam. Gudang jerami ini termasuk
salah satu dari sedikit tempat kami bisa berkumpul tanpa takut
ketahuan.
Dari luar, gudang jerami itu sama saja seperti gudang jerami
lainnya. Tapi di dalam, berderet kandang bersih dan lampu-Iampu
neon. Di sana-sini berdiri dinding pembatas untuk memisahkan
kandang kuda dari kandang burung, kandang raccoon, opossum, dan
anjing liar yang sesekali menjadi pasien di sini. Kuda memang
gampang tegang. Biasanya ada selang air, ember, dan jerami yang
berserakan di lantai gudang. Pada masing-masing kandang terdapat
kartu catatan yang menunjukkan kondisi serta jenis pengobatan yang
dijalani penghuninya.
Suasananya ramai sekali. Habis, bayangkan saja: ada burungburung berkicau atau berceloteh, kuda mendengus-dengus, dan
raccoon yang sewot memperebutkan makanan.
Aku memperhatikan sepasang serigala jantan dan betina yang
tampak gelisah. Salah seekor terluka akibat tembakan. Seekor lagi
telah memakan umpan beracun yang dipasang petani. Serigala hewan
pendatang baru di kawasan ini. Para ahli satwa liar telah membawa
beberapa ekor kembali ke hutan terdekat.
Serigala membuat elang agak gugup.

"Selama ini kita bisa melihat pesawat-pesawat Yeerk," ujar


Rachel. "Kita sempat melihat pesawat tempur Bug Fighter dan
pesawat Blade." Ia bersandar pada kandang seekor merpati yang
cedera. Burung itu mengawasiku dengan curiga.
"Memang, tapi semua pesawat Yeerk yang pernah kita lihat
pasti sudah berada di tanah atau hampir mendarat," Jake menanggapi.
"Mungkin saja teknologi itu tidak berfungsi saat pesawat hendak
mendarat. Tapi kalau dipikir-pikir, Marco benar. Mereka pasti
memiliki kemampuan mengecoh radar. Mereka pasti sanggup
membuat pesawat mereka tidak tampak."
<Yang kulihat adalah pesawat Yeerk,> aku menegaskan.
"Kau yakin?" tanya Cassie sambil terus bekerja. Ia sedang
membersihkan kandang kosong dengan sikat dan seember air sabun.
<Pokoknya aku yakin,> aku berkeras. <Aku... aku bisa
merasakannya. Selain itu, ukurannya besar sekali. Jauh lebih besar
daripada pesawat jet mana pun. Benar-benar besar. Lebih mirip kapal
laut.>
"Masalahnya, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya
Jake. Tapi aku langsung tahu bahwa ia bertekad melakukan sesuatu.
Hanya saja Jake tidak suka mengambil keputusan sendiri, meskipun
kami semua menganggapnya sebagai pemimpin kelompok
Animorphs. Ia biasa membiarkan semua anak mengutarakan
pendapatnya dulu.
<Aku ingin tahu kenapa pesawat itu ada di sini,> jawabku.
<Pertama kali, aku mendapat kesan pesawat itu menjauhi pegunungan.
Tapi selanjutnya, arahnya justru berlawanan. Ketinggiannya tidak
cukup untuk terbang melintasi gunung-gunung. Jadi, kesimpulanku,
pasti ada sesuatu di daerah pegunungan.>
Rachel mengangguk. "Masuk akal."
Marco geleng-geleng kepala. "Daerah pegunungan? Anak kota
seperti kalian tahu apa soal pegunungan? Daerah itu luas sekali lho.

Sebesar apa pun pesawat itu, pasti ada seribu tempat untuk
menyembunyikannya."
"Kalau begitu kita langsung saja mencarinya," sahut Rachel
penuh semangat.
Cassie angkat bahu. "Entahlah, rasanya kita sudah berbuat
cukup banyak. Coba ingat. Kita sempat menyerang kolam Yeerk. Kita
hampir celaka di sana. Lalu kita menyusup ke rumah Chapman dan
Rachel tertangkap. Lagi-lagi kita hampir celaka. Sampai kapan kita
harus mengambil risiko seperti itu? Berapa kali lagi kita hampir
celaka?"
Bahkan Marco pun terkejut mendengar ucapan Cassie.
Kedengarannya seakan-akan Cassie mendadak berada di pihak Marco.
"Persis! Persis! Sejak awal aku sudah bilang begitu. Kenapa kita mesti
membunuh diri sendiri?"
Tapi ucapan Cassie selanjutnya membuat Marco menahan
kecewa.
"Kalau aku sih tidak bisa diam saja sementara ada orang yang
dijadikan budak oleh kaum Yeerk," ujar Cassie. "Mungkin aku
memang..." Ia angkat bahu. "Dengan kemampuan yang kumiliki..." Ia
kembali angkat bahu. "Pokoknya, aku tidak bisa diam saja."
"Begini, yang kita bicarakan di sini bukan orang-orang yang
kita kenal," Marco berdalih. "Mereka bukan temanku. Apalagi
saudara." Sekilas ia melirik ke arah Jake, seolah merasa bersalah.
"Dan kita juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menolong Tom.
Jadi kenapa aku harus mati untuk orang yang tidak kukenal? Kita
takkan selamanya beruntung. Cepat atau lambat kita akan mengalami
nasib sial. Cepat atau lambat kita akan berkumpul sambil menangis
karena Jake atau Rachel atau Cassie atau Tobias jadi korban."
"Hei!" Rachel mendadak marah. "Asal tahu saja, aku sudah
bosan membujukmu, Marco. Kau mau mundur? Oke,
MUNDURLAH!"

"Eh, Rachel, kau melakukan semua ini bukan cuma untuk


menyelamatkan umat manusia," balas Marco tak kalah sengit. "Tapi
kau memang senang menantang bahaya. Kau menyukainya. Karena
itulah kau ikut dengan Tobias untuk membebaskan burung tadi. Kau
ikut bukan untuk menyelamatkan dunia, tapi cuma untuk senangsenang. Cuma untuk menyelamatkan seekor burung konyol."
Sekonyong-konyong Marco sadar ucapannya keterlaluan. Ia
langsung terdiam. Yang lain melirik ke arahku. Aku tahu mereka tidak
enak hati. Rachel menatap Marco dengan mata melotot.
<Sampai hari ini,> ujarku, <baru ada satu korban dari pihak
kita. Yaitu aku. Tapi aku takkan menyerah. Besok pagi aku mau ke
gunung. Terserah kalian mau ikut atau tidak.>
"Aku ikut," Rachel langsung memutuskan.
Cassie mengangguk.
Jake tersenyum masam. "Aku juga."
Marco menggelengkan kepala. "Jangan," katanya.
"Ya, sudah. Terserah kau," balas Rachel.
"Bukan begitu," sahut Marco gusar. "Maksudku, jangan besok
pagi. Besok kan hari sekolah. Chapman pasti curiga kalau kita bolos
ramai-ramai dan tahu-tahu kaum Yeerk mengalami masalah."
Jake mengangkat alis. "Marco benar. Pulang sekolah saja." Ia
menatap yang lain sambil mengangguk.
Aku agak sebal karena mereka mau menuruti saran Marco.
Namun sarannya masuk akal. Tingkah Marco memang sering bikin
sebal, tapi sebenarnya ia anak pintar.
Aku jadi bimbang. Jangan-jangan komentarnya yang lain juga
benar.
Berapa kali kami bisa menantang bahaya tanpa celaka? Berapa
lama sampai anggota kelompok kami tinggal empat? Atau dua?
Atau malah habis sama sekali?

Chapter 6

JAKE menjelma sebagai peregrine falcon, jenis burung


pemangsa yang sudah pernah ditirunya. Marco dan Cassie sama-sama
berubah menjadi burung osprey. Rachel memilih elang berkepala
botak. Karena kami semua berwujud burung, seharusnya kami bisa
terbang sama-sama ke pegunungan.
Hanya saja di negeri ini ada jutaan orang yang gemar
mengamati burung di alam bebas. Mereka orang baik-baik yang
takkan pernah menyakiti burung. Mereka bukan pemburu. Mereka
cuma ingin mengamati burung yang sedang terbang atau bersarang.
Mereka pasti terbingung-bingung kalau melihat elang ekor
merah, elang berkepala botak, falcon, dan dua osprey terbang
berombongan seakan-akan ada rapat besar bangsa burung.
Dan siapa tahu di antara para penggemar burung yang baik hati
itu ada beberapa Pengendali yang berhati busuk.
"Dasar tukang nonton burung!" Marco mendengus ketika kami
masuk ke tengah hutan. Kami berjalan melewati lapisan daun cemara
yang menutupi tanah bagaikan karpet. "Mestinya kita bisa terbang, eh
gara-gara mereka, kita terpaksa jalan kaki. Padahal jaraknya pasti
jauh. Jangan-jangan tiga puluh kilometer!"
Pertanian Cassie dikelilingi hamparan rumput, berbatasan
dengan hutan lindung. Hutan itu luas sekali, membentang sampai ke
pegunungan. Alamnya sangat indah, belum terjamah tangan manusia.
"Aduh, Marco, jangan menggerutu terus, dong," ujar Cassie
riang. "Ini kan kesempatan untuk mencoba metamorfosis baru."

"Yeah," Jake menimpali. "Daripada duduk di rumah sambil


membuat PR, kan lebih enak berubah jadi serigala. Atau kau lebih
suka mengerjakan soal-soal persamaan kuadrat?"
"Hmm, coba kupikir dulu," sahut Marco. "Matematika? Atau
jadi serigala untuk mencari gerombolan makhluk asing? Wah, aku
mesti tanya guru pembimbing di sekolah dulu. Ini kan masalah umum.
Dia pasti punya saran bagus."
Karena kami tidak bisa terbang ramai-ramai, yang lain harus
menjelma jadi binatang yang mampu bergerak cepat di hutan. Dan
kebetulan ada sepasang serigala di gudang jerami Cassie....
Jake berhenti. Ia memandang berkeliling, lalu berkata, "Oke, di
sini saja." Kami berada beberapa ratus meter dari tepi hutan. Aku
mendarat di dahan rendah sebatang pohon ek yang besar sekali. Naluri
elang dalam diriku menyuruhku menoleh ke atas. Ternyata ada seekor
tupai. Begitu melihatku, tupai itu langsung berceloteh: Bahaya!
Bahaya!
Hawk! Hawk!
Aku menatapnya tanpa berkedip. Biji yang sedang dipegangnya
langsung diselipkan ke pipi, kemudian ia segera kabur.
"Aku mau tanya, nih," Marco berkata dengan nada sebal.
"Kenapa aku harus berubah jad i serigala betina?"
"Di klinik cuma ada sepasang serigala, satu jantan dan satu
betina," Cassie menjelaskan untuk kesepuluh kalinya. "Kalau dua dari
kita meniru si jantan, berarti ada dua serigala jantan. Dan dua serigala
jantan mungkin akan berkelahi untuk menentukan siapa yang
berkuasa."
"Aku bisa mengendalikan diri kok," sahut Marco.
"Marco, sekarang saja kau dan Jake sudah saingan terus,"
Rachel berkomentar.
"Benar," Cassie menambahkan. "Bisa-bisa perjalanan kita
terhambat gara-gara perilaku jantan kalian yang primitif."

"Hei, waktu aku jadi gorila, aku bisa mengendalikan diri. Ya,
kan?" Marco masih terus memaksa.
"Memang, Marco," sahut Rachel sambil mengedipkan mata.
"Tapi itu lain. Pada dasarnya kau memang sudah mirip gorila."
Cassie tertawa pelan.
"Haha, lucu sekali," gerutu Marco .
"Kita sudah lempar koin ujar Jake. "Dan aku menang. Jadi adil,
kan?"
"Coba kuperiksa koin itu," kata Marco curiga.
Jake cuma tersenyum. "Oke, kita mulai saja. Cassie, kau mau
duluan? Supaya kau bisa membimbing kami nanti."
Berdasarkan pengalaman, kami telah belajar bahwa proses
metamorfosis kadang-kadang sangat membingungkan. Jake pernah
menjelma sebagai kadal dan nyaris tak sanggup mengatasi naluri
kadal yang selalu ketakutan. Hal yang sama dialami Rachel ketika ia
berubah jadi cecumt. Sampai sekarang pun pengalaman itu masih suka
mengejarnya dalam mimpi. Keinginan menggebu-gebu untuk melahap
belatung dan daging busuk memang bukan sesuatu yang mudah
dilupakan.
Di pihak lain, Jake sempat menjelma sebagai kutu tanpa
mengalami gangguan apa pun. Otak kutu terlalu sederhana untuk
menimbulkan masalah.
"Oke. Nanti kalian kuberitahu bagaimana rasanya." Cassie
memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tapi sejurus kemud ian ia
membuka mata lagi. "Tunggu. Aku mau ganti baju dulu. Bisa-bisa aku
malah terjerat bajuku sendiri nanti." Ia menanggalkan seluruh
pakaiannya kecuali baju senam ketat, melepaskan sepatu, lalu berdiri
dengan kaki telanjang di tanah yang tertutup daun cemara.
Yang pertama berubah adalah rambutnya. Dalam beberapa detik
saja rambut hitamnya yang amat pendek telah digantikan oleh bulu

kasar berwarna keperakan. Bulu-bulu itu menjalar dari kepala,


melewati tengkuk dan pundak, lalu mengelilingi leher.
Kemudian hidungnya mulai menyembul ke depan.
Aku merinding. Meski sudah berkali-kali melihat, tetap saja kita
ngeri melihat orang berubah wujud. Rasanya seperti menonton mimpi
buruk. Padahal Cassie punya bakat alam. Ia bisa mengendalikan
proses metamorfosis agar tidak tampak terlalu mengerikan. Mungkin
karena hidupnya sehari-hari dekat dengan banyak binatang.
Tapi tetap saja, hidungnya yang mulai menjorok ke depan,
bukan pemandangan indah.
Telinganya menjadi runcing dan ditumbuhi bulu, lalu bergeser
ke atas sampai ujung-ujungnya hampir bersentuhan.
Matanya berubah dari cokelat tua menjadi cokelat keemasan.
Bulu bermunculan di sekujur tubuhnya, menggantikan baju
senam pink dan hijau yang dipakainya. Dan tiba-tiba saja ia telah
berekor. Tulangnya berderak-derak ketika berpindah posisi. Bagian
atas lengannya bertambah pendek. Bagian bawahnya bertambah
panjang. Jari-jemarinya mengerut dan akhirnya lenyap sama sekali,
sehingga yang tersisa cuma kuku-kuku hitam pendek.
Sekali lagi terdengar bunyi berderak ketika lututnya berubah
arah. Kakinya mengecil dan berangsur-angsur tertutup bulu.
Cassie jatuh ke depan karena tak bisa lagi berdiri tegak.
Proses itu hanya berlangsung sekitar dua menit. Dalam waktu
sesingkat itu Cassie telah menjelma jadi serigala.
"Bagaimana rasanya?" tanya Jake.
Cassie tersentak dan berpaling ke arah Jake. Ia memperlihatkan
gigi dan menggeram keras-keras. Makhluk Taxxon pun pasti gentar
kalau mendengar suaranya.
Giginya besar-besar.
"Jangan ada yang bergerak," ujar Jake.

"Ide bagus," kata Marco. "Kita harus tetap diam. Soalnya


taring-taring itu benar-benar besar."
Kami semua berdiri seperti patung. Kami sudah pernah
menghadapi situasi seperti ini. Kami tahu apa yang sedang terjadi.
Cassie sedang berjuang untuk menguasai naluri si serigala.
<Sori,> ia akhirnya berkata melalui pikirannya. <Tapi sekarang
sudah aman, kok.>
"Benar, nih?" tanya Rachel dengan nada waswas.
<Benar. Aku sudah pegang kendali sekarang. Rasanya... wah,
asyik banget! Pendengaranku tajam sekali. Dan hidungku. Baru kali
ini aku punya penciuman begitu hebat.>
"Untung saja aku tidak lupa pakai deodoran tadi," Marco
berkelakar.
<Siapa yang makan daging waktu sarapan tadi?> Cassie
menoleh ke kiri-kanan. <Rachel? Kau makan daging? Kusangka kau
mau jadi vegetarian!>
Marco tertawa melihat Rachel langsung pasang tampang
bersalah.
"Oooh, ketahuan kau. Gara-gara hidung ajaib Cassie."
"Ayo, kita mulai saja," kata Jake. "Waktu kita cuma dua jam."
Satu per satu mereka melirik ke arahku. Diam-diam tentu saja.
Aku adalah bukti nyata dari apa yang terjadi kalau batas waktu itu
dilanggar.

Chapter 7

AKU iri pada mereka.


Oke, kalau kita memang harus terperangkap dalam wujud
binatang, rasanya elang adalah pilihan nomor satu.
Tapi tetap saja aku iri. Teman-temanku kelihatan senang sekali
setelah menjelma sebagai serigala. Ini pasti pengalaman
mengasyikkan bagi mereka.
Aku terbang melintasi hutan, tepat di atas pucuk-pucuk
pepohonan, sementara mereka lari di bawah. Saking gesitnya, aku
tidak bisa bersantai-santai. Sebenarnya kecepatan mereka tidak
seberapa. Tapi mereka tidak pernah berhenti. Tidak pernah istirahat.
Mereka terus bergerak maju dengan kecepatan sekitar tiga puluh
kilometer per jam. Melompati batang-batang tumbang. Menyusup di
antara pohon-pohon. Menerobos semak-semak. Tak ada yang bisa
memperlambat teman-temanku.
Ehm, sebenarnya sih itu tidak sepenuhnya benar. Ada dua hal
yang sedikit menghambat perjalanan mereka.
Yang pertama adalah Jake. Ia serigala jantan yang berkuasa.
Pada kawanan serigala, posisi itu disebut "alpha." Dan sebagai jantan
alpha ia punya tugas khusus.
<Aduh, Jake, kenapa sih sebentar-sebentar kau berhenti dan
buang air?> Rachel bertanya setelah Jake berhenti untuk kelima
kalinya.
<A... aku juga tidak tahu,> jawab Jake. <Pokoknya aku merasa
memang harus berbuat begitu.>
<Ini cara serigala untuk menandai wilayah kekuasaan,> Cassie
menjelaskan.

<O ya?>
<Ya. Serigala yang berkuasa memang harus bersikap begitu. Itu
normal. Paling tidak, itu kata buku tentang serigala yang kubaca di
rumah. Hanya saja kita semua jadi risi.>
Hambatan kedua timbul ketika semua berhenti dan mulai
melolong. Jake yang memulai. Kami terkejut. Termasuk Jake sendiri.
"OWWW-ooooooooo-yow-yow-OOOOOO."
<Apa lagi...,> Marco sempat berkata, tapi tahu-tahu ia juga
sudah ikut melolong. "Yow-yow-oooWWOOOO!"
Cassie dan Rachel pun tidak mau ketinggalan. "OOOOyowwww-OWW-ooooo!"
Begitu mendengar mereka melolong-lolong, aku langsung
mengitari pohon dan terbang menghampiri mereka. <Ada apa, sih?>
tanyaku. <Kita lagi cepat-cepat, nih. Waktu kalian kan cuma dua jam.
Kenapa kalian malah buang-buang waktu?>
<Entahlah, aku sendiri juga tidak mengerti,> Jake mengakui
malu-malu. <Tiba-tiba saja aku merasa aku harus melolong.>
<Dan begitu dia mulai, aku... aku merasa aku harus ikut,>
Rachel menambahkan.
<Mungkin ini suatu cara supaya serigala-serigala lain tahu kita
di sini,> Cassie menduga-duga. <Supaya kita tidak bertemu kawanan
lain dan berkelahi dengan mereka.>
Masuk akal, pikirku. Untung saja masih ada yang waras di
antara mereka. Mudah-mudahan ia bisa mengajak yang lain untuk
menggunakan akal sehat. Tapi kemudian aku melihat "Cassie"
mendongakkan kepala dan melolong sejadi-jadinya.
Aku mengepakkan sayap dan kembali terbang tinggi. Kawasan
permukiman sudah tertinggal jauh di belakang. Kami telah menempuh
jarak cukup jauh dalam satu jam. Hari menjelang senja. Waktunya
kira-kira sama seperti ketika aku untuk kedua kalinya bertemu

pesawat yang tak tampak. Ketika pesawat itu menuju ke arah


pegunungan.
Aku turun lagi ke pepohonan. <Kalian jalan saja terus. Aku
mau naik untuk memantau keadaan.>
<Hati-hati,> kata Rachel.
Aku membelok ke kiri, meluncur mengelilingi sebatang pohon,
lalu mengepakkan sayap untuk menambah ketinggian. Aku menanjak
dengan pesat. Aku harus bekerja keras. Tapi aku malah senang, karena
usaha itu membantu mengalihkan pikiranku. Kalau lagi sibuk, kita
tidak punya waktu bersedih-sedih.
Setelah beberapa saat aku berhasil mendapatkan angin termal
yang mendorongku ke atas. Aku masih bisa melihat kawanan serigala
di bawah yang sedang bergerak cepat menembus hutan.
Aku berusaha membayangkan bagaimana rasanya menjelma
jadi serigala. Penciumannya pasti luar biasa. Pendengarannya juga
tajam sekali. Belum lagi keberaniannya, giginya yang tajam, dan
kecerdikannya.
Mungkin aku akan menanyakannya pada Jake atau Rachel
nanti.
Sekalian saja tanyakan bagaimana rasanya jadi manusia.
Barangkali mereka juga bisa bercerita tentang itu, pikirku dengan
getir.
Berhenti, Tobias, aku menegur diriku sendiri. Stop! Aku kuatir
aku tidak bisa berhenti kalau aku sudah mulai menyesali nasib.
Mata elangku yang tajam terus mengamati langit di atasku. Tapi
memang belum waktunya pesawat itu muncul. Itu pun kalau pesawat
itu datang. Belum tentu mereka setiap hari kemari.
Kemudian, jauh di bawah, aku melihat sesuatu yang menarik
perhatian. Ada iring-iringan truk dan Jeep yang sedang menyusuri
jalan tanah yang berliku-liku. Jumlahnya sekitar lima kendaraan.
Semua berlambang Polisi Hutan dan tampaknya mereka terburu-buru.

Mereka menuju ke danau yang tampak di depan. Ketika tiba di


tepi danau, iring-iringan itu membelok keluar dari jalan dan
menerobos di antara pepohonan. Tiba-tiba puluhan laki-laki
berseragam melompat turun dari mobil-mobil itu. Mereka segera
menyebar di hutan.
Semua membawa senjata. Bukan senapan atau pistol, melainkan
senapan mesin.
Hei, apa itu? Ada sesuatu yang melintas di langit!
Aku menoleh dan melihat dua helikopter. Keduanya terbang
rendah di atas pepohonan, lalu mulai mengitari danau. Keduanya juga
berlambang Polisi Hutan.
Ada yang tidak beres, aku berkata dalam hati. Gerak-gerik
mereka bukan seperti Polisi Hutan, melainkan seperti prajurit.
Aku melihat setengah lusin laki-laki bersenjata mengepung
sesuatu berwarna kuning cerah. Sebuah tenda.
Dua pemudasepertinya mahasiswasedang memasak di
depan tenda itu.
Mereka tampak kaget bercampur ngeri ketika menyadari enam
orang bersenjata mengepung mereka.
Kedua pemuda itu digiring ke truk terdekat yang kemudian
melesat dengan kecepatan tinggi.
Aku tidak tahu apa yang dikatakan para polisi itu kepada
mereka. Bisa jadi para Polisi Hutan memberitahu mereka bahwa ada
buronan berbahaya di daerah itu. Atau mungkin juga ada kebakaran
hutan. Yang jelas, keduanya diangkut tanpa sempat membereskan
barang-barang mereka.
Kedua helikopter tadi mengelilingi danau, lalu mendarat
bersamaan di tanah terbuka di tepi seberang danau.
Jaraknya lebih dari satu setengah kilometer. Cukup jauh,
bahkan untuk mata elang sekalipun. Apalagi dalam cahaya sore yang

semakin redup. Namun aku tetap bisa melihat apa yang keluar dari
kedua helikopter itu.
Satu melompat turun, menyusul satu lagi.
Tinggi mereka lebih dari dua meter. Dan penampilan mereka
benar-benar menakutkan. Tanduk-tanduk tajam sepanjang tiga puluh
senti menyembul dari kepala yang menyerupai kepala ular. Tanduktanduk serupa juga tampak di siku, pergelangan tangan, dan lutut.
Kaki mereka seperti kaki Tyrannosaurus rex.
Pasukan penggempur kaum Yeerk.
Prajurit Hork-Bajir.

Chapter 8

<HORK-BAJIR!>
Aku pertama kali melihat mereka di tempat pembangunan yang
terbengkalai. Saat itu aku masih berwujud manusia. Visser Three
sedang mencemooh si Andalite yang sudah tak berdaya. Sementara itu
kami berlima meringkuk di balik tembok rendah. Dan tak sampai dua
meter dari tempat persembunyian kami, para Hork-Bajir berjaga-jaga.
Si Andalite sempat memberitahu kami bahwa bangsa HorkBajir sesungguhnya bangsa yang cinta damai. Walaupun
berpenampilan mengerikan, mereka sebenarnya bangsa yang lemah
lembut.
Tapi kini semua Hork-Bajir telah menjadi Pengendali. Semua
membawa makhluk Yeerk dalam kepala masing-masing. Dan kini
mereka tak lagi lemah lembut.
Aku langsung berbalik arah, teman-temanku harus segera
diberitahu. Aku melintas rendah di atas sekelompok Polisi Hutan,
cukup rendah untuk membaca arloji salah satu petugas. Temantemanku sudah lebih dari satu jam berubah wujud.
Gawat. Batas waktu sudah dekat, sementara ada Hork-Bajir
berkeliaran di hutan.
Tak lama kemudian aku sudah menemukan kawanan serigala
yang kucari. Mereka masih bergegas menembus hutan, tanpa kenal
lelah. Hanya sesekali mereka berhenti agar Jake dapat menandakan
wilayah kekuasaannya.
Aku terbang menukik. Aku baru merentangkan sayap ketika
berada tepat di atas kepala mereka.

"Yowl! Yip! Rrawr!" Mereka melompat-lompat. Jake


memperlihatkan taringnya.
Aku mendarat di sebatang pohon tumbang.
Seketika, seolah diberi aba-aba, yang lain menyebar dan
mengelilingiku. Kelima-limanya bersikap seperti kawanan serigala
sungguhan, saat mengepung mangsa.
<Hei, tenang saja, ini aku,> ujarku.
Tak ada jawaban. Jake menggeram kepada yang lain. Tunggu
dulu. Lima? Lima serigala?
Jake, yang sebenarnya bukan Jake, berusaha menerkamku.
Hei!
Serigala pada umumnya menghindari manusia, tapi mereka
tidak segan-segan memangsa burung kalau sedang lapar. Dan
percayalah, serigala kelaparan dengan mata menyala-nyala dan bulu
tengkuk berdiri tegak bukan pemandangan yang menyenangkan.
Aku langsung mengepakkan sayap.
Aku berhasil mengelak dari serangan serigala jantan itu. Tapi
serigala lain masih mengelilingiku!
Aku kembali mengepakkan sayap dan berhasil mengudara.
Dengan kalang kabut aku terbang melintasi lapisan daun cemara di
permukaan tanah. Siapa yang tidak panik kalau nyaris menjadi santap
malam sekawanan serigala?
WUSSS! Angin bertiup pelan dari depan, tapi itu sudah cukup.
Aku langsung membubung tinggi. Kelima serigala yang
mengejarku hanya bisa melolong-lolong dan menyambar-nyambar
udara karena kesal.
Sepuluh menit kemudian aku melihat kawanan serigala lain.
Kali ini jumlahnya kuhitung dulu. Empat serigala.
Tapi aku tetap waspada. <Ini kalian, ya?>
<Siapa lagi kalau bukan kami?> sahut Marco.

<Jangan tanya,> ujarku. <Eh, kita ada masalah.> Aku mendarat


di sebuah dahan rendah dan mengistirahatkan sayapku. Terus terang,
aku masih agak gemetaran karena nyaris membuat kesalahan fatal
tadi.
<Di depan ada danau kecil. Dan di daerah sekelilingnya penuh
Polisi Hutan palsu.>
<Yeah, aku memang mencium bau air. Dan bau manusia,> kata
Cassie.
<Dari mana kautahu mereka bukan Polisi Hutan?> tanya Jake.
<Karena Polisi Hutan tidak pernah membawa senapan mesin,>
jawabku. <Selain itu, mereka juga tidak bergaul dengan Hork-Bajir.>
<Hork-Bajir?> tanya Cassie dengan suara gemetaran. <Kau
yakin?>
<Oh yeah,> sahutku, <Sejauh ini aku belum pernah melihat
makhluk lain yang mirip Hork-Bajir. Para Polisi Hutan palsu itu
sedang mengosongkan daerah di sekeliling danau. Dua pemuda yang
sedang berkemah langsung diangkut naik truk, di bawah todongan
senjata.>
<Hork-Bajir,> Marco menggeram. <Aku benar-benar tidak suka
monster-monster itu.>
Rachel bertanya, <Danau yang kaulihat tadi, apakah arahnya
sama dengan arah yang ditempuh pesawat raksasa yang tidak
tampak?>
<Persis sama,> jawabku. <Aku berani jamin tujuannya danau
itu.>
<Dan mengingat ceritamu tentang gerak-gerik para polisi
gadungan dan Hork-Bajir itu, pesawat itu pasti sedang menuju
kemari,> komentar Marco dengan nada serius.
<Yang jelas,> ujarku, <mereka kelihatannya sudah terbiasa.
Tampaknya mereka sudah sering datang ke situ.>

<Waktu kita tinggal sedikit,> kata Jake. <Tapi ini kesempatan


emas untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Rasanya sayang
kalau kesempatan ini kita lewatkan begitu saja.>
<Kalau begitu langsung saja kita ke sana,> sahut Rachel.
<Kenapa sih kau selalu bilang begitu?> tanya Marco. <Coba
kau sekali-sekali bilang, 'Hei, lebih baik jangan.' Aku akan senang
sekali.>
<Waktu kalian tinggal empat puluh menit,> aku memberitahu
mereka. <Danaunya kira-kira lima menit dari sini.>
<Oke, kita ke sana. Tapi kita harus buru-buru,> Jake mewantiwanti. <Begitu tahu apa yang mereka kerjakan di situ, kita langsung
pergi lagi.> Mereka segera berangkat. Jake paling depan. <Dan ingat,
tingkah kita harus seperti serigala.>
<Yeah, jadi kalau ada yang melihat Tiga Babi Kecil, jangan
lupa tiup rumah mereka,> ujar Marco.
Aku kembali terbang, tapi kali ini aku mengikuti temantemanku dari dekat.
<Awas, di depan ada Polisi Hutan,> aku memberitahu mereka.
<Yeah, bau mereka sudah tercium,> balas Rachel. <Aku juga
bisa mendengar suara mereka.>
<Serigala biasanya menghindari manusia,> Cassie
mengingatkan. <Jadi sudah sewajarnya kalau kita menyelinap ke
semak-semak.>
Dengan hati-hati mereka mengelilingi sekelompok polisi
gadungan. Tapi para petugas sempat melihat mereka. Orang-orang itu
bersiaga, namun segera kembali tenang setelah tahu yang lewat cuma
sekawanan serigala.
Aku memutuskan untuk terbang lebih tinggi. Sayangnya tak ada
angin termal, sehingga aku terpaksa menggunakan tenaga sendiri. Aku
naik sampai ketinggian beberapa ribu meter. Danau dan teman-

temanku kelihatan jelas. Tiba-tiba saja aku kembali merasakan


kehadirannya.
Aku menoleh ke atas.
Gelombang yang tak kelihatan. Riak yang melintas di langit.
Ya, riak itu terbang perlahan di atasku. Lebih pelan dari sebelumnya.
Dan sekonyong-sekonyong riak tersebut menampakkan bentuk
sesungguhnya.

Chapter 9

<JANGAN bersikap mencurigakan, dan jangan kelihatan


kaget,> aku berseru pada teman-temanku. <Coba tengok ke atas.>
<Oh ya Tuhan,> Rachel memekik tertahan.
<B-b-besarnya minta ampun!> teriak Cassie.
Pesawat itu memang berukuran raksasa. Tapi kata raksasa pun
masih kurang tepat.
Kau pernah melihat foto kapal tanker? Atau mungkin kapal
induk? Itulah yang kumaksud dengan ukuran raksasa. Dibandingkan
benda ini, pesawat jumbo jet pun tak lebih dari mainan.
Bentuknya seperti ikan pari. Di tengah ada bagian tebal
menggembung, dengan sayap melengkung di kedua sisi. Di atas
masing-masing sayap menyembul semacam pipa. Ujung pipa yang
menghadap ke depan menganga lebar. Bentuknya seperti pengisap
udara pada pesawat jet tempur, hanya saja jauh lebih besar. Mulut
pipa-pipa itu cukup lebar untuk dilewati beberapa bus kota sekaligus.
Satu-satunya jendela di pesawat itu terletak pada suatu tonjolan
kecil di bagian depan. Pasti itu anjungannya, pikirku. Aku
memfokuskan mata, dan melihat bayangan sosok Taxxon di balik
jendela.
Tapi yang paling mencolok adalah ukuran pesawat itu. Saking
besarnya, matahari pun terhalang.
Tiba-tiba muncul sepasang pesawat tempurBug Fighterdari
bagian bawah pesawat. Kami sudah pernah melihat pesawat tempur
itu. Untuk pesawat antariksa, ukurannya termasuk kecil. Memang
tidak bisa diparkir di dalam garas i, tapi bisa didaratkan di halaman

depan rumah. Kedua pesawat tempur itu mirip kecoak dari logam,
dengan sepasang tonjolan mirip tombak berduri di kiri-kanan.
<Aku melihat Bug Fighter,> aku melapor pada teman-temanku.
<Memangnya kenapa?> tanya Marco. <Pesawat itu tidak ada
apa-apa dibandingkan... paus itu!>
<Kedua pesawat tempur itu mengelilingi danau. Kurasa mereka
mau cari gara-gara.>
<Kalau begitu, jangan bikin gara-gara,> Jake menyarankan.
Aku mencoba bersikap seperti elang biasa yang tidak
berbahaya. Aku terbang kian kemari. Tapi pesawat utama itu benarbenar mencengangkan. Benda sebesar itu tidak seharusnya melayanglayang di udara.
Tiba-tiba salah satu Bug Fighter menyusulku. Pesawat itu
terbang rendah dengan perlahan. Aku sempat melihat awaknya: satu
Hork-Bajir dan satu Taxxon.
Bangsa Taxxondari segi jumlahadalah Pengendali nomor
dua. Mau tahu seperti apa wujud makhluk Taxxon? Hmm,
bayangkanlah kelabang, atau kaki seribu, yang sangat besar.
Panjangnya kira-kira dua kali lebih panjang dari orang dewasa.
Badannya pun besar. Saking besarnya, tangan kita takkan bertemu
kalau kita memeluknya.
Tapi siapa yang mau memeluknya? Makhluk Taxxon benarbenar menjijikkan. Dan tidak seperti bangsa Hork-Bajir yang
diperbudak dengan paksa, bangsa Taxxon secara sukarela menjadi
induk semang bagi kaum Yeerk. Mereka sekutu kaum Yeerk. Apa
sebabnya? Aku tidak tahu, dan aku juga tidak ingin tahu.
Pesawat Bug itu berlalu tanpa menggubrisku.
Pesawat utama yang besar turun pelan-pelan ke permukaan
danau. <Kalian lihat, tidak? Rupanya mereka mau mendarat di
danau.>

<Huh, pakai tanya-tanya segala! Memangnya kami buta? Mana


mungkin kami tidak melihat pesawat antariksa sebesar lapangan bola
yang melayang-layang di udara?>
Itu ocehan Marco, tentu saja.
<Gila,> Rachel bergumam. <Ini benar-benar gila.>
<Aku bukannya kalah sebelum bertanding,> ujar Marco, <tapi
kalau lihat pesawat ini, lebih baik kita jangan berharap terlalu banyak.
Empat serigala ditambah seekor burung melawan pesawat sebesar
lapangan golf! Minta ampun deh!>
<Tadi masih sebesar lapangan bola,> Cassie bergumam,
<sekarang lapangan golf.>
<Kenapa pesawat itu ada di sini? Itu yang perlu kita selidiki,>
kata Jake.
Mereka telah mencapai tepi danau, lalu berkeliling mencari
mangsa, seperti biasanya sekawanan serigala. Tapi sebentar-sebentar
mereka melirik pesawat raksasa di atas. Aku kuatir salah satu
Pengendali, entah manusia atau Hork-Bajir, curiga melihat tingkah
mereka.
<Hei, hati-hati. Kaum Yeerk pasti memperhatikan setiap
binatang yang bersikap aneh,> kataku. <Mereka kan mencari
gerombolan Andalite yang bisa berubah wujud.>
<Tobias benar,> sahut Marco. <Jake, berarti kau boleh buang
air sembarangan lagi.>
<Lucu sekali. Awas kau!> balas Jake.
Kemudian terjadi sesuatu. <Hei! Lihat, tuh!>
Sebuah pipa keluar dari perut pesawat dan masuk ke dalam air.
Pipa kedua dan ketiga segera menyusul.
<Kelihatannya seperti sedotan,> ujar Cassie. <Astaga, mereka
minum!>
Aku mendengar bunyi isapan. Ribuan, mungkin jutaan liter air
sedang disedot ke dalam pesawat.

<Pantas saja pesawatnya begitu besar,> kata Marco. Ia tertawa.


<Wah, wah, wah. Kita baru saja menemukan titik lemah kaum
Yeerk.>
<Titik lemah?> tanya Rachel. <Apanya yang lemah?>
Tapi aku mengerti maksud Marco. <Ini pertanda mereka
tergantung pada sesuatu,> ujarku.
<Persis,> sahut Marco. <Kalian lihat lubang-lubang besar di sisi
pesawat. Kurasa lubang-lubang itu untuk mengisap udara. Itu
sebabnya mereka terbang begitu jauh menembus atmosfer sebelum
mendarat. Mereka mengisap oksigen. Dan sekarang mereka menyedot
air.>
<Seperti truk!> Cassie memekik. <Kapal raksasa ini sebenarnya
cuma truk pengangkut!>
<Yeah,> aku menimpali. <Pesawat ini membawa udara dan air
ke pesawat induk Yeerk yang ada di orbit. Mereka tergantung pada
Bumi.>
<Berarti mereka masih kalah canggih dari film Star Trek. Awak
Enterprise bisa memenuhi sendiri semua kebutuhan mereka,> Marco
bergumam. <Selama mereka berada di orbit, kaum Yeerk tergantung
pada Bumi untuk mendapatkan udara dan air. Hmm, rasanya ini satusatunya kelemahan mereka yang kita ketahui sampai sekarang.>
<Waktu kita tinggal sedikit,> Cassie mengingatkan. <Kita harus
pergi dari sini.>
<Oke, tapi jangan buru-buru,> Jake menasihati. <Bersikaplah
seakan-akan kita melihat rusa dan mau memburunya.>
Mereka menjauhi tepi danau. Tapi aku tidak ikut. Aku tidak
perlu mencemaskan batas waktu.
Pesawat Yeerk menimbulkan aliran udara hangat ke atas. Aku
merentangkan sayap dan membiarkan diriku terbawa naik. Kedua
pesawat Bug masih berputar-putar di bawah. Para polisi gadungan dan
Hork-Bajir masih terus berpatroli di sekeliling danau.

Kemudian aku melihatnya.


Aku tahu bagi mata manusia semua elang kelihatan sama. Tapi
aku langsung mengenalinyaelang betina yang kubebaskan di
showroom mobil bekas.
Ia juga sedang melayang-layang dengan bantuan angin termal,
kira-kira seribu meter di atasku. Tanpa pikir panjang aku
menyesuaikan sudut sayapku dan terbang menghampirinya.
Aku yakin ia pun melihatku. Elang terbiasa memperhatikan
segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka. Ia tahu aku datang, dan
ia menunggu.
Tapi bukan berarti kami berteman. Elang tidak memahami arti
kata "teman". Dan ia juga tidak merasa berutang budi karena aku telah
membebaskannya. Elang tidak mengenal perasaan seperti itu.
Mungkin ia malah tidak sadar hubungan antara aku dan kebebasannya.
Meski begitu, aku tetap terbang menghampirinya. Aku tidak
tahu kenapa. Persamaan di antara kami sebatas wujud luar saja. Kami
sama-sama bersayap. Sama-sama punya cakar. Sama-sama berbulu.
Tiba-tiba saja aku jadi takut. Takut pada elang itu. Padahal aku
tidak takut melayang-layang di atas pesawat antariksa asing, yang
saking besarnya bisa dijadikan mall.
Tapi seekor elang malah membuatku takut.
Hmm, mungkin bukan elang itu penyebab ketakutanku.
Penyebab sesungguhnya mungkin perasaan senasib yang melandaku
ketika aku terbang menghampirinya.
Aku merasa seperti pulang ke rumah. Seakan-akan tempatku
memang bersamanya.
Perasaan itulah yang membuatku ngeri.
Bukan. BUKAN!
Aku Tobias. Aku manusia. Manusia, bukan burung! Langsung
saja aku membelok tajam dan terbang menjauh.

Aku manusia. Aku anak laki-laki bernama Tobias. Anak lakilaki dengan rambut pirang yang selalu acak-acakan. Anak laki-laki
yang punya teman-teman manusia. Dan hobi-hobi manusia.
Tapi sebagian dari diriku terus berkata, "Jangan bohongi diri
sendiri. Kau elang. Tobias sudah tiada."
Aku meluncur menuju permukaan tanah. Aku melipat sayapku
ke belakang dan menikmati angin yang menerpaku. Aku melaju
semakin kencang! Dan lebih kencang lagi!
Kemudian, dengan sepasang mata tajam yang tak pernah
kumiliki sewaktu masih jadi Tobias, aku melihat kawanan serigala di
bawah. Dan aku juga melihat bahaya yang menghadang mereka.

Chapter 10

KEEMPAT temanku berdiri seperti patung. Tanpa berkedip


mereka menatap lima serigala lain.
Kedua kawanan serigala itu bertemu secara kebetulan. Seekor
kelinci yang sudah mati tergeletak di tengah-tengah. Itu mangsa
kawanan yang satu lagi. Teman-temanku memergoki mereka. Kini
kedua serigala jantan alpha terlibat perebutan kekuasaan yang
mungkin akan berakibat fatal.
Salah satu serigala alpha itu adalah Jake.
Lawannya serigala jantan besar. Serigala sungguhan.
Kelebihan Jake adalah kecerdasannya sebagai manusia. Tapi
dalam hal berkelahi, lawannya lebih pengalaman. Serigala yang lemah
tidak mungkin jadi pimpinan kelompoknya.
Kalau bisa, aku pasti tertawa. Ini betul-betul tidak masuk akal!
Tapi paling tidak ada sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari elang
betina tadi.
Sekonyong-konyong aku sadar: batas waktunya! Mereka sudah
hampir kehabisan waktu ketika meninggalkan tepi danau. Janganjangan....
Cepat-cepat aku terbang melintas. <Sedang apa kalian?>
tanyaku.
<Diam, Tobias,> Jake menyahut dengan tegang. <Lagi gawat
nih.>
<Yeah, aku tahu. Kenapa kau tidak mundur saja?>
<Tidak bisa. Kalau aku mundur, berarti aku kalah.>
<Kalah bagaimana?> seruku. <Dia serigala. Kau bukan.
Biarkan saja dia jadi bos. Waktu kalian tinggal sedikit lho.>

<Masalahnya lebih rumit dari itu,> Cassie menjelaskan. <Kalau


Jake ragu-ragu, lawannya mungkin menyerang. Kami telah membuat
kesalahan besar. Kami masuk ke daerah kekuasaan mereka. Dan
mereka pikir kami mau merampas hasil buruan mereka.>
Tiba-tiba lawan Jake menggeram dan maju selangkah. Jake
langsung memamerkan taringnya. Ia tidak beranjak sedikit pun.
Kedua serigala itu saling menggertak, tanpa menghiraukan
bangkai kelinci yang tergeletak di antara mereka.
<Kelincinya yang jadi rebutan, ya kan?> tanyaku.
Tak ada jawaban. Suasananya betul-betul tegang. Pertempuran
hidup-mati bisa meledak setiap saat.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Masalahnya, tindakan itu
bertentangan dengan naluriku sebagai elang.
Juga bertentangan dengan akal sehatku sebagai Tobias.
Aku mengepakkan sayap untuk menambah ketinggian. Satusatunya andalanku adalah kecepatan. Kutatap bangkai kelinci itu dan
berdoa aku memang segesit yang kubayangkan.
<Oke, ini dia!>
Aku menukik tajam. Cakarku bergerak maju.
"Tseeeer!" aku memekik.
Wusss!
Di kiri-kananku serigala mengepung.
Bangkai kelinci berada tepat di depanku.
Jebret! Cakarku menyambar bangkai itu dan mencengkeram
kulitnya.
Aku mengepakkan sayap, satu kali, dua kali. Bangkai kelinci itu
terangkat dari tanah.
Serigala besar itu melompat. Kurasakan giginya menyambar
ekorku.
Aku mengepakkan sayap sekuat tenaga. Tapi beban yang
kubawa terlalu berat. Kelinci itu setengah terangkat, setengah terseret

di tanah. Sementara itu serigala yang tidak rela kehilangan mangsanya


terus mengejarku.
<Tobias!> seru Rachel.
<Cepat lari!> balasku. <Aku tidak kuat membawa kelinci ini
lebih lama lagi. Terlalu berat!>
Untung saja Jake cepat tanggapkalau ia tidak sedang
menuruti naluri serigalanya. <Ayo, lari! Mumpung ada kesempatan!>
Aku melepaskan kelinci itu tepat ketika si serigala besar
berhasil mengejarku.
HAP!
Taringnya, yang sanggup membunuh seekor rusa, menyambar
hanya sepersekian sentimeter di belakangku.
Angin bertiup pelan. Tapi itu sudah cukup. Aku merentangkan
sayap dan membiarkan diriku terangkat angin.
<Wah, nyaris saja,> aku bergumam.
<Kau tidak apa-apa?>
<Bulu ekorku hilang beberapa helai,> sahutku. Tapi bulu ekor
bisa tumbuh lagi.
Aku menyusul teman-temanku. Mereka lari secepat mungkin.
Batas waktunya sudah dekat. Aku tidak tahu persis berapa banyak sisa
waktu yang mereka miliki. Inilah masalah paling besar yang kami
hadapi. Kalaupun bisa, kami tetap tidak mungkin memakai jam
tangan. Mana ada serigala atau elang pakai jam tangan? Pasti
mencurigakan.
<Tunggu sebentar. Aku mau tahu jam berapa sekarang,> ujarku.
Aku lelah sekali. Aku telah terbang jauh dan dua kali nyaris celaka
karena sekawanan serigala. Naluri elang dalam diriku berbisik agar
aku mencari dahan yang enak untuk beristirahat. Tapi akal sehatku
sebagai manusia mengatakan itu tidak mungkin.

Aku terbang lebih tinggi. Salah satu truk Polisi Hutan tampak di
tepi danau. Pengemudi dan para penumpangnya tidak kelihatan. Aku
mendekat dan menatap jam yang ada di dasbor.
Ya ampun! aku memekik ketika membaca angka yang
ditunjukkan jam itu.
Tidak mungkin! Aku pasti salah lihat!

Chapter 11

KELELAHAN yang tadi kurasakan mendadak lenyap. Secepat


mungkin aku kembali ke teman-temanku. Saking cemasnya, aku
sampai mual. Jantungku seakan-akan mau meledak.
Batas waktunya sudah lewat! Mereka terlalu lama berubah jadi
serigala. Mereka akan terperangkap. Seperti aku. Untuk selamalamanya.
<Batas waktunya!> teriakku sambil melaju kencang. <Kalian
harus berubah! Morph, sekarang juga!>
Komunikasi melalui pikiran tidak berbeda dari komunikasi
dengan suara. Semakin jauh jaraknya, ucapan kita semakin sulit
terdengar.
<Cepat! Kalian harus berubah! Morph!> Moga-moga jam di
truk itu tidak tepat. Moga-moga tidak ada pengaruhnya kalau batas
waktu dilewati beberapa menit saja.
Ah, itu mereka! Di kejauhan tampak empat serigala yang tengah
berlari ke arah kota.
<Cepat! Morph, morph, morph!> teriakku ketika aku melintas
di atas kepala mereka.
<Berapa sisa waktu kami?!> tanya Marco.
<Batas waktunya sudah lewat.>
Mereka langsung berhenti. Aku hinggap di dahan pohon.
Tenagaku terkuras habis.
Cassie yang pertama berubah. Bulunya semakin pendek.
Moncongnya berubah menjadi hidung. Kaki serigalanya yang kurus
mulai mengembang dan memanjang.

Ekornya menghilang perlahan-lahan. Wujudnya sudah lebih


dari setengah manusia ketika yang lain mulai menampakkan
perubahan.
<Ayo, cepat!> aku mendesak.
<Jam berapa sekarang?> tanya Jake.
<Masih ada dua menit.> Aku terpaksa berbohong. Menurut jam
di truk tadi, mereka sudah terlambat tujuh menit.
Terlambat.
Namun Cassie masih terus berubah. Bulunya digantikan kulit
manusia. Kakinya sudah terbungkus baju senam.
Tapi yang lain kurang beruntung.
<Ahhhhh!> Suara Rachel bergema dalam benakku. Agaknya ia
mengalami kesulitan. Aku melihat tangan manusia di ujung kaki
serigalanya. Tapi selebihnya belum ada perubahan apa pun.
Keadaan Marco lebih parah lagi. Kepalanya sudah kembali
normal. Tapi, selain itu, ia tetap berwujud serigala. Ia menatap dirinya
sendiri dan melolong panjang. "Helowl. Yipmeahhh!" Suaranya
setengah suara manusia, setengah suara serigala.
Ini lebih gawat dari yang kubayangkan. Semula aku menduga
mereka akan terperangkap dalam wujud serigala, sama seperti aku
terperangkap sebagai elang.
Tapi ternyata mereka menjelma sebagai makhluk setengah
manusia.
Mereka bagaikan monster.
Cassie berlari mondar-mandir. "Ayo, Jake, pusatkan pikiranmu!
Kau harus konsentrasi! Rachel, jangan menyerah. Bayangkan dirimu
sebagai manusia. Anggaplah kau lagi menatap cermin. Kau harus
lawan rasa takutmu, Marco!"
Pandangan Marco beralih padaku. Ia menatapku tanpa berkedip.
Sorot matanya penuh kebencian. Atau ketakutan. Atau mungkin juga
kedua-duanya.

Aku tidak bergerak. Kalau Marco membutuhkan diriku untuk


memusatkan pikiran, aku sih tidak keberatan.
Tapi secara bersamaan aku dilanda perasaan tidak senang. Dan
tiba-tiba aku melihat diriku sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan.
Sebagai keanehan alam. Sebagai makhluk yang patut dikasihani.
Perlahan-lahan Marco mulai kembali ke wujudnya yang asli.
Perlahan-lahan tubuh serigalanya berubah menjadi sosok manusia.
Begitu pula Rachel dan Jake. Rupanya mereka berhasil
memenangkan pertempuran.
"Terus, Jake, terus," Cassie memberi semangat. Tangan Jake
digenggamnya erat-erat. "Ayo, Jake. Kau pasti bisa. Kau pasti bisa."
Sementara itu aku memperhatikan Rachel. Ekornya memang
sudah bertambah pendek, tapi masih tetap kelihatan. Mulutnya masih
menyembul ke depan. Rambutnya yang pirang masih bercampur bulu
kelabu. Tapi ia akan berhasil. Rupanya jam di truk itu terlalu cepat.
Nasib mereka ternyata ditentukan oleh selisih waktu lima menit saja.
Aku bersyukur mereka selamat. Mereka semua bisa jadi
manusia lagi.
"Aduh, hampir saja," Jake mendesah sambil menarik napas
panjang. Ia tergolek di atas lapisan daun cemara yang menutupi tanah.
"Hampir saja."
"Ya, hampir saja," Rachel menimpali. "Aku benar-benar capek.
Aku serasa terjebak dalam kolam lumpur yang lengket."
"Aku jadi manusia lagi," Marco bergumam sambil mengamati
seluruh tubuhnya. "Kaki. Tangan. Lengan dan pundak. Semuanya
lengkap."
"Ha ha! Berhasil!" seru Cassie. Ia langsung memeluk Jake. Tapi
ia jadi salah tingkah, sebab kemudian ia segera menghampiri Rachel
dan Marco, dan memeluk mereka satu per satu.
Semua tertawa cekikikan karena lega.
"Kita berhasil," kata Jake pelan.

Aku turut gembira. Sungguh. Tapi tiba-tiba aku tidak tahan


berada di situ.
Tiba-tiba saja aku ingin meninggalkan mereka. Aku merasa
seakan-akan ditelan lubang hitam yang menganga. Aku merasa
terjebak.
Terjebak.
Untuk selama-lamanya!
Aku menatap cakarku. Cakar itu takkan pernah lagi berubah
jadi kaki manusia.
Aku menatap sayapku. Sayap yang takkan pernah lagi
menjelma menjadi lengan. Aku takkan pernah lagi memiliki tangan.
Aku takkan pernah lagi bisa menyentuh sesuatu... seseorang... sampai
kapan pun.
Aku melompat dari dahan dan merentangkan sayap. "Tobias!"
Jake memanggil.
Tapi aku tidak tahan tinggal lebih lama. Aku mengepakkan
sayap tanpa menghiraukan kelelahan yang menghinggapiku. Aku
harus pergi. Aku harus terbang sejauh-jauhnya.
"Tobias, jangan! Kembalilah!" seru Rachel.
Aku menemukan angin termal dan segera naik ke angkasa yang
luas, sementara teriakan tanpa suara bergema dalam kepalaku.

Chapter 12

HARI sudah sore ketika aku pulang ke tempat yang kini


menjadi rumahku.
Setelah aku terperangkap dalam tubuh elang, Jake melepaskan
sebilah papan dinding loteng rumahnya. Lubang itulah yang kupakai
untuk keluar-masuk. Lotengnya seperti loteng pada umumnya. Ada
kardus-kardus berdebu berisi baju Jake dan Tom sewaktu masih bayi,
serta peti-peti penuh lampu dan hiasan pohon Natal. Selain itu ada
bufet tua yang hangus bagian atasnya.
Jake telah membuka salah satu laci bufet itu dan mengalasinya
dengan selimut bekas.
Jake memang baik hati. Dulu ia sering melindungiku dari anakanak berandal di sekolah.
Dulu. Waktu aku masih bersekolah. Kapan ya? Beberapa
minggu lalu? Sebulan lalu? Belum, belum selama itu kok.
Jake juga menaruh wadah Rubbermaid di sudut tersembunyi.
Aku lapar. Kuraih wadah itu dengan cakar kiri. Tutupnya kucopot
dengan paruhku yang bengkok.
Daging, kentang, dan buncis. Dagingnya daging hamburger.
Aku tidak tahu bagaimana Jake bisa menyisihkan makanan untukku.
Ibunya mungkin menyangka ia menyisihkan makanan sisa untuk
anjingnya, Homer.
Aku tidak bilang pada Jake bahwa aku tidak makan kentang dan
sayuran. Hanya daging saja yang bisa diolah oleh pencernaanku.
Aku... si elang... adalah hewan pemangsa. Di alam bebas elang makan
tikus, tupai, dan kelinci.

Kucicipi sedikit daging hamburger itu. Dagingnya dingin. Dan


sudah lama. Sebenarnya aku tidak bernafsu makan daging itu, tapi aku
harus mengisi perut.
Aku tidak suka daging yang sudah lama. Yang kuinginkan
adalah daging segar. Aku ingin daging hewan yang hidup, yang
bernapas, yang bisa lari-lari. Aku ingin menyambar hewan mangsaku,
mencengkeramnya dengan cakarku yang tajam, dan mengoyakngoyaknya.
Itulah yang kuinginkan. Tepatnya yang diinginkan si elang. Dan
dalam hal makanan aku sulit melawan naluri elang. Rasa lapar yang
kualami adalah rasa lapar seekor elang.
Aku mengepakkan sayap dan melompat ke dalam laci. Alas
selimutnya terasa empuk dan hangat. Tapi bukan itu yang dibutuhkan
tubuh elangku.
Elang tinggal di sarang yang terbuat dari ranting. Elang
bermalam di atas pohon sambil merasakan tiupan angin, sambil
mendengarkan mangsa berdecit-decit, sambil menonton burung hantu
berburu.
Aku melompat dari laci. Aku tidak bisa bermalam di situ.
Tubuhku terlalu letih untuk istirahat.
Aku terbang keluar. Elang sebenarnya bukan binatang malam.
Kegelapan malam dikuasai pemburu lain. Tapi aku terlalu tegang,
terlalu gelisah untuk tidur.
Mula-mula aku berkeliling tanpa tujuan, tapi dalam hati aku
tahu siapa yang hendak kudatangi.
Lampu kamar Rachel masih menyala. Aku terbang ke bawah
dan hinggap di rumah burung yang sengaja dipasangnya untukku.
Aku menggesekkan sayap ke jendela. <Rachel?>
Sesaat kemudian jendela itu terbuka dan Rachel menyembulkan
kepala. Ia memakai jubah mandi dan selop berbulu.
"Hai," katanya. "Aku sudah kuatir terjadi sesuatu padamu."

<Kenapa?> aku bertanya. Tapi aku sudah tahu jawabannya.


"Kami tidak memikirkan perasaanmu tadi sore," sahut Rachel
pelan-pelan. Ia takut suaranya terdengar oleh ibu atau adik-adiknya.
Bisa-bisa ia disangka sudah tidak waras karena bicara sendiri.
<Sudah sewajarnya kalian gembira,> kataku. <Kalian kan
nyaris celaka.>
"Masuklah. Pintu kamar sudah kukunci."
Aku masuk melalui jendela dan hinggap di atas meja rias.
Tiba-tiba aku sadar ada sesuatu di belakangku. Langsung saja
aku menoleh. Ternyata cermin. Aku menatap bayangan diriku sendiri.
Ekorku tampak kemerahan, dengan bulu-bulu panjang dan
lurus. Punggungku cokelat bertotol-totol. Pundakku kekar dan agak
melengkung. Sosokku mirip pemain rugbi yang siap menjegal lawan.
Bentuk kepalaku cocok untuk membelah udara dengan kecepatan
tinggi. Sedangkan mataku yang cokelat menyorot tajam di atas
paruhku yang mematikan.
Aku berpaling dari bayanganku di cermin. <Aku bingung,
Rachel. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi dalam diriku.>
"Apa maksudmu, Tobias?"
Sayang aku tidak bisa tersenyum. Rachel tampak begitu cemas.
Coba kalau aku bisa tersenyum, sedikit saja, sekadar untuk
menghiburnya.
<Rachel, tampaknya... tampaknya aku mulai kehilangan kendali
atas diriku.>.
"A-apa... apa maksudmu?" ia bertanya sambil menggigit bibir.
Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya, tapi mata elangku
bisa melihat segalanya.
<Elang yang kita bebaskan dari kerangkeng... dia ada di sana
tadi. Di danau. Dia terbang tinggi di langit, dan aku seperti terpanggil
untuk ikut dengannya. Aku merasa tempatku memang bersamanya.>

"Tempatmu di sini, bersama kami," ujar Rachel tegas. "Kau


manusia, Tobias."
<Bagaimana kau bisa begitu yakin?> aku bertanya.
"Karena yang penting adalah pikiranmu, dan isi hatimu," jawab
Rachel. Sikapnya mendadak berapi-api. "Manusia tidak ditentukan
oleh fisiknya. Tidak ditentukan oleh wujud luarnya."
<Rachel... aku sudah lupa bagaimana tampangku dulu.>
Kelihatan jelas ia sudah mau menangis. Tapi Rachel termasuk
cewek tabah. Ia selalu mampu menguasai emosinya. Mungkin itu
sebabnya aku menemui Rachel. Aku membutuhkan tempat bersandar.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa membagikan kekuatannya
padaku.
Ia menghampiri meja kecil di samping tempat tidur dan
membuka lacinya. Sejenak ia memeriksa isi laci itu, seakan mencari
sesuatu. Kemudian ia kembali menghampiriku. Ia memegang foto
berukuran kecil yang lalu ditunjukkannya padaku.
Rupanya itu foto diriku. Aku yang dulu.
<Aku baru tahu kau menyimpan fotoku,> aku berkata.
Ia mengangguk. "Foto ini kurang bagus. Sebenarnya kau lebih
ganteng lho."
<Ya, sebenarnya,> aku mengulangi.
"Tobias, suatu hari kaum Andalite akan kembali ke Bumi.
Kalau tidak, kita semua, seluruh umat manusia, akan celaka. Nah,
mereka pasti punya cara agar kau bisa kembali ke wujudmu yang
dulu."
<Jangan terlalu yakin,> ujarku.
"Aku yakin," katanya. Kedua kata itu diucapkannya dengan
sungguh-sungguh. Ia ingin aku mempercayainya. Tapi matanya yang
berkaca-kaca membuktikan ia bohong.
Seperti kubilang tadi, mata elang tidak bisa dikelabui.

Chapter 13

BICARA dengan Rachel ternyata membantu. Paling tidak,


beban pikiranku jadi sedikit lebih ringan. Aku tidur di laciku di loteng
rumah Jake.
Keesokan harinya aku terbang berkeliling sambil menunggu
teman-temanku pulang sekolah. Aku sadar, sebenarnya ada enaknya
juga jadi elang. Pertama, aku tidak perlu buat PR. Dan selain itu, aku
bisa terbang. Berapa banyak anak yang bisa terbang dengan kecepatan
enam puluh kilometer per jam, dan melaju dua kali lebih kencang lagi
saat menukik?
Aku menuju ke pantai untuk mencari angin termal. Tempat
yang paling baik adalah di tebing-tebing yang berbatasan langsung
dengan samudra biru.
Dari ketinggian aku bisa melihat mangsa di rumput di puncak
tebing. Ada tikus dan cecurut, tapi semuanya tidak kuhiraukan. Aku
Tobias. Aku manusia. Aku tidak makan binatang-binatang itu.
Nanti sore Jake akan mengadakan pertemuan di rumahnya.
Kami tidak perlu kuatir soal Tom, kakak Jake, karena Tom akan
menghadiri rapat The Sharing.
The Sharing adalah "kedok" bagi kaum Yeerk. Kelompok ini
pura-pura tampil sebagai semacam perkumpulan pramuka, tapi
sesungguhnya tujuan mereka adalah merekrut induk semang sukarela
untuk kaum Yeerk.
Sekarang aku jadi kebiasaan membaca arloji orang lain dari
atas. Dan jam besar serta petunjuk suhu yang kadang-kadang dipasang
di gedung-gedung pencakar langit juga membantuku.

Ada beberapa hal yang kurindukan sejak aku kehilangan tubuh


manusia. Sebagian besar justru hal-hal yang dulu kuanggap sepele.
Mandi di pancuran, misalnya. Atau tidur pulas, tanpa menyadari apa
pun yang terjadi di sekeliling kita. Atau mengetahui jam berapa
sekarang.
Sore harinya aku kembali terbang ke gedung sekolah. Aku
melayang-layang di atasnya sampai bel terakhir berdering. Aku
menunggu sampai Jake, Rachel, Cassie, dan Marco keluar. Mereka
muncul sendiri-sendiri. Soalnya Marco takut ada yang curiga kalau
mereka selalu bersama-sama.
Aku mengikuti bus yang ditumpangi Jake dan Rachel. Mereka
tinggal berdekatan. Jarak di antara rumah mereka cuma beberapa blok.
Marco tinggal di apartemen di seberang jalan raya. Ia hidup berdua
saja dengan ayahnya, karena ibunya mati tenggelam beberapa tahun
lalu.
Rumah Cassie paling jauh. Ia tinggal di tanah pertanian di
pinggir kota, kira-kira dua kilometer dari yang lain. Tapi aku hanya
butuh waktu tiga menit untuk terbang ke sana.
Seperti kukatakan tadi, kadang-kadang ada untungnya kita
punya sayap.
Aku melayang-layang terbawa angin termal di atas rumah Jake.
Aku melihatnya turun dari bus dan masuk ke rumahnya. Rachel tidak
tampak karena terhalang pepohonan, tapi aku sepintas sempat melihat
Marco.
Aku memusatkan pikiran untuk mengamati teman-temanku.
Dengan cara itu aku bisa menahan keinginanku mencaplok tupai-tupai
yang berlompatan di pohon-pohon. Atau tikus-tikus yang berkeliaran
di rumput.
Setelah beberapa waktu aku melihat Tom keluar dari rumah
Jake.

Tom mirip sekali dengan adiknya. Hanya saja ia lebih besar,


dan rambutnya lebih pendek. Aku tidak kenal baik dengan Tom. Tapi
justru karena Tom aku jadi seperti sekarang, meskipun bukan
salahnya. Waktu itu kami berusaha menyelamatkan Tom dari kolam
Yeerk. Sayangnya usaha kami gagal total, dan aku malah
terperangkap dalam wujud elang.
Tom menyusuri trotoar. Gerak-geriknya biasa saja. Setelah
berjalan satu blok, sebuah mobil menghampirinya. Pintu mobil
membuka dan Tom segera naik.
Mobil itu langsung menuju ke tempat pertemuan The Sharing.
Tak lama setelah itu aku melihat teman-temanku berangkat ke
rumah Jake. Rachel paling mudah dikenali, soalnya ia latihan senam
sambil jalan. Ia meniti tepi trotoar seakan-akan sedang melangkah di
atas balok keseimbangan.
Aku baru masuk lewat jendela Jake setelah semua kawanku
berkumpul di situ. Aku tidak ingin mereka menyangka aku tidak
punya kerjaan selain menunggu mereka.
"Ke mana saja kau?" tanya Marco. "Kami sudah satu jam
menunggumu di sini."
Padahal ia baru datang dua menit yang lalu. <Sori, aku banyak
urusan,> sahutku. <Saking sibuknya, aku lupa waktu.>
"Kalau bisa pertemuan ini jangan terlalu lama," ujar Cassie.
"Aku harus membuat laporan untuk pelajaran Ms. Lambert.
Laporannya harus dikumpulkan besok lusa. Dan aku juga berjanji
pada Dad untuk membantunya melepaskan seekor burung hantu.
Burung hantu itu luka parah. Dia hinggap di kabel listrik dan
badannya terbakar. Tapi sekarang dia sudah sembuh. Dad dan aku
sudah mencarikan habitat yang cocok untuknya."
"Jangan-jangan temanmu, Tobias?" Marco menggoda.
Yang lain langsung melotot. Tapi sebenarnya aku malah senang
digoda. Ternyata sikap Marco terhadapku belum berubah.

<Elang tidak biasa bergaul dengan burung hantu,> aku


menjelaskan. <Mereka tukang begadang, kami lebih suka keluar
siang.>
"Burung hantu di klinik bagus sekali," ujar Cassie.
<Kadang-kadang aku menonton burung hantu beburu,>
kataku. <Mereka memang hebat. Mereka bisa terbang tanpa suara
sedikit pun. Kepak sayap mereka sama sekali tidak terdengar. Burung
hantu bisa melintas tepat di depan mata kalian, tanpa kalian
mendengarnya.>
"Ehm, oke, kalau Cassie memang ada perlu, sebaiknya kita
langsung mulai saja," Jake menyela.
"Setuju," Marco menimpali, "kalau kalian berdua sudah selesai
membahas burung, maksudku."
"Aku juga tidak bisa lama-lama," ujar Rachel. Tampaknya ia
agak salah tingkah. "Kelompok senamku mengadakan pertunjukan di
mall."
"Oh, kalau begitu aku pasti datang," Marco langsung berkoar.
"Awas saja kalau berani!" balas Rachel ketus. "Yang lain juga!
Kalian kan tahu aku tidak suka ikut pertunjukan konyol seperti itu."
Rachel bukan tipe cewek yang senang tampil di depan orang
banyak.
"Ayo, serius sedikit, dong! Kita sekarang sudah tahu cara kaum
Yeerk mendapatkan udara dan air yang mereka butuhkan," Jake
berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kita tahu di mana mereka
mendapatkannya. Dan juga kira-kira kapan mereka datang untuk
mengambilnya. Informasi ini mestinya bisa kita manfaatkan. Ada
yang punya usul?"
Rachel angkat bahu. "Barangkali kita bisa mencari cara untuk
menghancurkan pesawat itu."

Marco mengacungkan telunjuk. Huh, lagaknya kayak lagi di


ruang kelas saja. "Bagaimana kalau, ehm, kita membahas burung
saja?"
Seperti biasa Rachel tidak menggubrisnya. "Begini. Kalau kita
bisa menghancurkan pesawat itu, barangkali kaum Yeerk akan
kehabisan air dan udara. Barangkali mereka akan terpaksa menyerah
dan pulang ke tempat asal mereka."
"Mungkin saja," Cassie menanggapinya. "Tapi mungkin juga
mereka punya selusin pesawat seperti itu di tempat-tempat lain di
dunia. Kita tidak tahu berapa jumlah pesawat mereka."
"Bisa jadi yang satu ini sudah cukup untuk...," Marco mulai
berkata. Tapi tiba-tiba ia terdiam. Sepertinya ia baru sadar bahwa
usulnya berbahaya. "Maksudnya... eh, tidak jadi, deh."
"Ada apa?" tanya Jake. "Kau mau bilang apa sih?"
Marco terpojok. Ia angkat bahu. "Oke, bagaimana kalau
pesawat itu tidak meledak atau hancur? Bagaimana kalau pesawat itu
sedang terbang di atas kota, dan tiba-tiba alat yang membuatnya tidak
kelihatan itu mati?"
Kami semua merenung sambil membayangkan peristiwa itu.
Tiba-tiba saja satu juta orang memandang ke langit dan melihat
pesawat sebesar gedung pencakar langit melayang-layang.
"Orang-orang pasti kaget," ujar Jake.
"O ya, mereka pasti kaget," Rachel membenarkan. "Dan
pesawat itu juga akan tertangkap radar. Disaksikan satu juta saksi
mata. Kejadian seperti itu takkan bisa ditutup-tutupi oleh para
Pengendali."
<Pasti ada yang membuat rekaman video,> kataku. <Belum lagi
foto-foto. Dan juga rekaman radar.>
Jake nyengir lebar. "Seluruh dunia akan tahu. Seluruh umat
manusia akan sadar apa yang terjadi." Ia semakin bersemangat.
"Setelah itu, baru kita datangi pihak berwajib. Para Pengendali takkan

bisa mencegah kita! Kita akan menceritakan semua hal yang kita
ketahui!"
Kedua mata Rachel berbinar-binar. "Kita bisa membongkar
kedok The Sharing. Dan kita bisa melaporkan Chapman!"
"Memangnya kalian pikir Visser Three dan anak buahnya cuma
duduk-duduk bengong saja?" tanya Marco. "Kita tidak tahu berapa
banyak pesawat mereka. Dan seberapa besar kekuatan mereka."
Jake tampak agak kecewa.
<Kekuatan mereka tidak memadai untuk menyerang Bumi
secara terang-terangan,> ujarku.
"Hah, dari mana kautahu?" tanya Marco. Nadanya menantang.
<Karena kaum Yeerk berusaha keras untuk merahasiakan
semua kegiatan mereka. Kalau mereka sanggup perang secara terangterangan, untuk apa pakai sembunyi-sembunyi segala?>
Aku menyangka Marco bakal melontarkan komentar pedas.
Seperti biasanya. Tapi ternyata ia cuma mengangguk. "Yeah, kau
benar."
"Ini mungkin kesempatan emas bagi kita," kata Rachel. "Kita
harus membuka tabir yang menyelubungi pesawat itu, biar seluruh
dunia bisa melihatnya."
"Bagaimana caranya?" tanya Marco.
Jake yang menjawab. "Kita harus menyusup ke pesawat itu." Ia
mengedipkan mata kepada Marco. "Mau kuberitahu bagaimana
caranya?"
Marco menggeleng. "Tidak. Mestinya aku tidak usah bertanya
tadi."
"Melalui pipa pengisap air. Dengan berubah jadi ikan."
Marco menghela napas. "Jake, kan sudah kubilang, aku tidak
mau tahu."

Chapter 14

RACHEL dan Cassie pergi ke arah berlawanan. "Selamat


beraksi," Cassie berseru pada Rachel. "Yeah," ujar Rachel
menggerutu.
"Nanti aku ke sana," seru Marco kepada Rachel. "Jangan jatuh
sebelum aku datang lho."
Rachel langsung melotot. Tatapannya seolah mengatakan,
"Awas saja kalau kau berani nongol." Kemudian ia berbalik dan pergi,
meninggalkan Marco, Jake, dan aku.
"Dia tergila-gila padaku," ujar Marco sambil mengedipkan mata
pada Jake dan aku.
"Dasar besar kepala," gumam Jake. "Begini, Tobias. Kalau misi
ini jadi kita laksanakan, kita harus tunggu sampai akhir pekan."
<Kenapa?>
"Ini soal waktu. Kita harus berubah wujud untuk pergi ke
danau. Tidak ada bus ke sana, dan sebagai manusia kita tidak bisa
berjalan sejauh itu. Sebagai serigala pun kita perlu waktu agak lama,
lebih dari satu jam. Sebaiknya kita berangkat pagi-pagi, lalu
menunggu di suatu tempat tersembunyi. Jadi kalau kaum Yeerk
muncul pada sore hari, kita punya waktu lebih lama untuk beraksi."
"Dan ada baiknya kita menghindari daerah kekuasaan kawanan
serigala lain," Marco mengingatkan. "Aku tidak berrninat bertemu lagi
dengan mereka."
Rencana Jake masuk akal. <Benar juga. Kalau kalian mau
berangkat pagi-pagi, kita memang harus tunggu sampai hari Sabtu,
saat sekolah libur.>

"Kita butuh informasi sebanyak mungkin tentang daerah itu,"


kata Jake. Ia menatapku dengan serius. "Barangkali..."
<Yeah,> aku menyela. <Aku akan memantau keadaan dan
mencari tempat sembunyi untuk kalian. Aku punya banyak waktu.
Hmm, coba kalau aku bisa menjual kemampuanku. Aku bisa kaya
raya nih.>
Jake dan Marco terkekeh. Marco tampak agak kaget karena aku
ternyata bisa menertawakan nasibku.
Kemudian Jake menatapku dengan tajam. Tampaknya ia agak
kuatir.
<Aku tidak apa-apa,> ujarku sambil mengarahkan pikiranku
padanya. <Aku cuma agak tegang melihat kalian berjuang untuk
keluar dari tubuh serigala.>
Ia mengerutkan kening dan mengangguk. Aku tahu ia sendiri
juga tegang waktu itu. Dan aku tidak heran. Aku yakin sampai
sekarang pun ia masih dihantui mimpi buruk.
"Oke, sekarang apa rencananya?" tanya Marco. "Kita coba
menyelinap ke mall tanpa ketahuan Rachel, atau kita tetap di sini dan
main Doom?"
"Aku ada PR," jawab Jake. "Hati-hati, Marco, kalau kau
kepergok menonton Rachel, dia bakal berubah jadi gajah dan
menginjak-injakmu sampai gepeng."
Marco meringis. "Kau masih ingat zaman dulu? Waktu anak
cewek paling-paling cuma bisa mengata-ngatai kita?"
Aku terbang pergi. Biar saja mereka bermain video game atau
membuat PR atau mengisi waktu dengan cara lain. Aku toh tidak bisa
ikut.
Sebenarnya sih sayang. Dengan mataku yang tajam dan
reaksiku yang cepat, aku seharusnya bisa jadi jagoan bermain Doom.
Tapi joystick dan gamepad tidak dirancang untuk dimainkan
dengan cakar elang.

Aku mengangkasa. Udara sore terasa sejuk.


Aku berputar-putar tanpa tujuan tertentu. Aku melintasi rumah
Chapman. Chapman wakil kepala sekolah kami. Tapi ia juga salah
satu Pengendali yang punya kedudukan paling tinggi.
Kami pertama kali tahu bahwa Chapman salah satu dari mereka
ketika ia memberikan perintah pada prajurit Hork-Bajir untuk
membunuh siapa pun dari kami yang berhasil ditangkap. Katanya
hanya kepala kami saja yang perlu dibawa untuk diidentifikasi.
Keterlaluan, kan?
Tapi ternyata keadaannya lebih rumit dari dugaan kami.
Chapman memang bergabung dengan kaum Yeerk. Tapi ia
melakukannya antara lain demi menyelamatkan putrinya, Melissa.
Melissa akan ikut pertunjukan senam bersama Rachel sore ini.
Di mall.
Aku sedih ketika teringat pada mall. Pusat pertokoan termasuk
tempat-tempat yang takkan pernah lagi bisa kudatangi. Daftarnya
cukup panjang: sekolah, bioskop, taman hiburan...
Tunggu dulu. Siapa bilang aku tidak bisa ke taman hiburan?
Tentu saja aku bisa ke sana. Aku malah tidak perlu membeli karcis.
Aku jadi agak terhibur. Entah kenapa. Padahal aku tetap tidak
bisa naik roller coaster. Pokoknya aku jadi lebih bersemangat.
Aku bisa masuk The Gardens kapan saja aku mau. Dan, hei!
Aku juga bebas menyaksikan pertandingan football dan bisbol, asal
pertandingannya diadakan di luar gedung.
Dan konser!
Wow! Aku bakal bisa menonton semua konser yang digelar di
stadion. Tanpa perlu repot-repot membeli tiket.
Ya, aku harus berpikir positif. Ada sejuta hal yang bisa
kukerjakan sebagai burung. Hal-hal yang mustahil kulakukan sebagai
manusia.

Tapi jangan sekarang. Aku berputar dan menuju pegunungan.


Ada tugas yang harus kulaksanakan. Ini satu keuntungan lagi yang
kumiliki. Aku bisa jadi mata-mata. Mata-mata dari udara. Tak ada
yang bisa menyaingi aku. Bahkan James Bond pun kalah.
Gumpalan awan tampak berderet sampai ke pegunungan.
Cuacanya cocok sekali untukku. Awan bisa membubung tinggi karena
terdorong angin termal.
Aku akhirnya pasrah pada nasib. Hidupku sebenarnya memang
tidak terlalu buruk.
Aku bisa terbang. Dulu, waktu aku masih bersosok manusia,
aku sering memandang ke langit sambil berharap bisa terbang. Dan
sekarang keinginanku telah terkabul. Bisa jadi malah ada anak-anak
yang sedang mengamatiku dari bawah sambil berpikir, "Wah, coba
kalau aku bisa terbang."
Kalau saja aku punya sesuatu untuk dimakan. Aku agak lapar.
Seharusnya aku minta tolong Jake untuk menyiapkan makanan kecil.
Dan tiba-tiba saja aku telah beraksi. Aku bahkan tidak sadar apa
yang kulakukan. Mungkin karena perasaanku sedang begitu nyaman,
begitu santai.
Aku berada di atas hutan, kira-kira satu kilometer setelah tanah
pertanian Cassie. Dan di tengah hutan terhampar lapangan rumput
yang dikelilingi pepohonan. Inilah yan disukai elang ekor merah.
Tanah terbuka yang ditumbuhi rumput.
Mangsa berkeliaran di mana-mana. Tupai-tupai mondar-mandir
di tanah sambil mencari biji-bijian. Sebentar-sebentar mereka duduk
tegak dan mengamati sekeliling dengan gelisah. Tikus-tikus bergegas
lari dari lubang ke lubang. Beberapa kelinci melompat-lompat.
Aku memfokuskan mata pada seekor tikus. Aku mengangkat
bahu sebelah, membelok tajam di udara, lalu menukik ke permukaan
tanah.

Sayapku terlipat. Kepalaku tertunduk. Kakiku terjulur ke


belakang supaya aku bisa mencapai kecepatan maksimum.
Permukaan tanah semakin dekat. Sekonyong-konyong aku
merentangkan sayap. Cakarku bergerak ke depan. Pandanganku tidak
beralih sedikit pun dari tikus itu.
Aku memusatkan perhatian pada mangsaku.
Dan menyambar!
Kukepakkan sayap dengan semangat menggebu-gebu. Aku
gembira luar biasa! Perasaanku sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Cakarku mencengkeram daging hangat. Tikus itu menggeliatgeliut. Tapi ia tak berdaya! Sama sekali tak berdaya!
Aku lupa diri.
Kurentangkan sayap di sekeliling mangsaku. Aku harus
melindunginya dari pemangsa lain yang mungkin mencari kesempatan
untuk mencurinya.
<JANGAN! JANGAN! JANGAN!>
Aku mundur sedikit.
Lalu kutatap cakarku. Semuanya merah berlumuran darah.
Kerat-kerat daging tikus menggantung dari paruhku. Aku panik.
Ya ampun. Gawat. Aku sampai lupa siapa aku sebenarnya. Aku
mencoba lari. Tapi aku tak lagi punya kaki untuk berlari. Yang
kupunya hanyalah cakar mematikan. Cakar yang berlumuran darah.
Aku terjerembap di tanah.
Tidak, aku memekik tanpa suara. Tapi tikus mati itu tetap
terbayang di depan mataku. Bau dagingnya tetap merangsang
seleraku. Dan saat itulah aku sadar bahwa kini sudah terlambat.

Chapter 15

AKU terbang.
Aku terbang sekencang-kencangnya. Aku telah membunuh dan
melahap seekor tikus. Betapa menjijikkan. Dan sekarang aku berusaha
terbang sekencang mungkin untuk meninggalkan mimpi buruk itu
jauh di belakangku.
Tapi aku bahkan tidak bisa terbang sekencang itu. Aku
manusia! Aku manusia! Aku Tobias!
Aku tidak tahu kenapa justru Rachel yang hendak kudatangi
saat itu. Mungkin karena ia satu-satunya yang bisa kusebut teman
sejati. Atau mungkin juga karena ia yang paling tahu segala sesuatu
tentang diriku.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa membangkitkan
keyakinanku.
Gedung mall yang besar tampak di bawah. Aku melihat pintu
utamanya yang terbuat dari kaca. Orang-orang keluar-masuk tanpa
henti. Rachel. Ia ada di situ.
"Tseeeeer!"
Aku menukik sambil memekik karena marah dan frustrasi dan
ngeri. Aku melesat kencang ke arah pintu, persis seperti tadi, sewaktu
hendak menyambar tikus.
Tapi kali ini aku takkan berhenti. Aku takkan merentangkan
sayap untuk mengurangi kecepatan. Aku ingin semuanya berakhir
sekarang juga. Akan kuterjang pintu kaca itu dengan kecepatan penuh.
Siapa tahu aku akan terbangun dari mimpi buruk yang terus
menghantuiku.

Aku terus meluncur. Pintu kaca itu semakin dekat. Seorang


laki-laki pendek berambut gelap menghampiri pintu dan
membukanya.
Wusss!
Kecepatanku pasti lebih dari seratus dua puluh kilometer per
jam ketika aku melesat melewati pintu yang mendadak terbuka.
Di balik pintu pertama ada pintu lagi. Tapi pintu kedua ini pun
terbuka lebar.
Tak ada benturan.
Aku tidak menghantam apa pun.
Aku dikelilingi warna-warni dan cahaya terang benderang. Aku
serasa berada di dalam tabung warna yang berputar-putar.
Aku melihat Esprit. Guess. The Body Shop. Pizza Hut. Mrs.
Fields.
Wusss!
Aku melesat bagaikan peluru. Aku melintas beberapa senti saja
di atas kepala para pengunjung yang lalu-lalang. Beberapa menjerit
ketakutan. Yang lain berseru heran bercampur kagum.
Aku tidak peduli. Pokoknya aku ingin menabrak sesuatu. Aku
ingin bangun. Aku ingin terempas ke lantai karena aku tidak lagi
punya sayap. Karena sayapku telah kembali menjadi kaki dan lengan.
Aku ingin kembali menjadi Tobias yang dulu.
Aku manusia! Aku manusia! Aku Tobias!
Sizzler. Levi's. Benetton. Mc Donalds. Wendy's. Dunia yang
kukenal. Dunia di mana aku seharusnya berada. Tempat-tempat yang
pernah kudatangi. Makanan yang pernah kucicipi. Dunia manusia.
Wusss! Dalam beberapa detik saja aku sudah sampai di atrium
di tengah mall.
Aku melihat kerumunan orang berdiri membentuk lingkaran. Di
tengah-tengah kerumunan sejumlah matras biru terhampar di lantai.
Anak-anak cewek berbaju ketat sedang melakukan berbagai gerakan

senam yang anggun. Para pengunjung di lantai-lantai atas berdesakdesakan di tepi pagar agar bisa ikut menonton.
Rachel sedang meniti balok keseimbangan. Ia berdiri sambil
mengangkat sebelah kaki.
Aku melewatinya bagaikan roket berwarna cokelat, emas, dan
merah.
"Tobias!" ia berseru.
Tepat di depanku berdiri dinding tembok untuk mendirikan toko
baru. Aku masih meluncur kencang. Aku masih bisa menabrak
tembok itu dan bangun dari mimpi burukku.
"Jangan!" Rachel memekik.
Aku merentangkan sayap dan melesat tegak lurus ke atas.
Perutku menyerempet permukaan dinding. Langit-langit mall terbuat
dari kaca. Dan sejengkal lagi aku sudah sampai di sana! Aku
membelok pada detik terakhir, nyaris terlambat. Pundakku membentur
kaca. Aku terpental dan meluncur jatuh. Orang-orang di bawah
menatapku dengan mata terbelalak karena ngeri bercampur kagum dan
iba.
Aku melihat wajah Rachel di tengah keramaian. Matanya
tampak memohon-mohon. Jangan, ia berkata tanpa suara. Jangan.
Aku meluncur ke bawah, antara sadar dan tidak. Rachel masih
berdiri di atas balok keseimbangan. Ia menangkapku sebelum aku
terempas ke lantai. Tapi akibatnya ia pun jatuh, dan kami berdua
bergulingan di matras. "Kau harus keluar dari sini!" ia bergumam
dengan nada mendesak.
<Aku telah membunuh,> seruku. <Kau tidak mengerti, Rachel.
Aku celaka. Aku telah membunuh!>
"Tidak, Tobias, kau takkan celaka selama masih ada aku dan
yang lainnya."
Orang-orang bergegas maju. Semua berusaha menyelamatkan
Rachel dari amukan burung elang. Ia mendorongku sedikit supaya aku

bisa mengudara lagi. Orang yang melihatnya pasti menyangka ia


berusaha mengusirku.
Aku mengepakkan sayap dan terbang menghindari tangantangan yang menggapai-gapai berusaha menangkapku. Seseorang
melemparku dengan kantong belanja. Aku mengelak.
Tapi tak ada jalan keluar.
Aku menatap angkasa biru yang tampak di balik langit-langit
kaca.
Naluri elang dalam kepalaku berteriak-teriak agar aku menuju
tempat yang aman. Dan si elang langsung melesat ke atas.
Menghampiri permukaan kaca. Ia tidak mengerti. Kaca itu tidak bisa
ditembus. Tebalnya tak kalah keras dibandingkan dinding batu.
Aku tak sanggup melawan desakan naluri itu. Si elang sudah
menang. Ia sudah membunuh. Membunuh dan melahap mangsanya.
Dan aku menyukainya.
Sedetik lagi semuanya akan berakhir. Satu kepak sayap lagi
dan...
Dari sudut mata aku melihat wajah yang serasa kukenal di lantai
atas. Dan tiba-tiba sesuatu melewatiku dengan cepat. Sesuatu yang
kecil dan berwarna putih.
PRANG!
Bola bisbol itu menghantam langit-langit kaca hanya beberapa
senti di depan paruhku. Marco telah membidik tepat pada sasaran.
Pecahan-pecahan kaca beterbangan di sekelilingku. Aku melesat
keluar melalui lubang yang menganga.
Langit!
Si elang terbang cepat dan lurus.
Aku membiarkannya. Aku menyerah.
Tobias, anak-anak laki yang wajahnya tak bisa kuingat, kini
telah tiada.

Chapter 16

HARI-HARI berikutnya terasa bagaikan mimpi panjang yang


berjalan lambat. Aku tidak kembali ke rumah Jake. Aku tidak
menemui teman-temanku. Aku menghilang.
Aku mencari rumah baru untukku. Tempatnya cocok sekali
untuk seekor elang ekor merahlapangan rumput tempat aku
menangkap mangsaku yang pertama. Tidak jauh dari lapangan itu
terdapat daerah rawa-rawa yang juga cukup menyenangkan.
Sayangnya tempat itu sudah dikuasai elang lain, sehingga aku hanya
sekali-sekali saja bisa berburu di sana.
Aku menghabiskan hari-hariku dengan berburu. Kadang-kadang
aku melayang dengan bantuan angin termal sambil mengawasi
lapangan rumput di bawah. Kadang-kadang aku bertengger di dahan
pohon dan menunggu sampai ada mangsa yang lengah. Kemudian aku
langsung menyambarnya, dan membunuhnya. Aku melahapnya ketika
darahnya masih hangat.
Siang hari tidak begitu menyusahkan karena aku berburu terus.
Aku benar-benar sibuk, sebab aku sering gagal menangkap mangsa.
Aku harus sering berlatih supaya cepat mahir.
Malam hari lebih sulit. Aku tidak bisa berburu setelah gelap.
Malam hari milik pemangsa lain, terutama burung hantu. Pada malam
hari kesadaran manusiaku bangkit kembali.
Manusia di dalam kepalaku teringat berbagai kenangan lama.
Kenangan selagi aku masih hidup sebagai manusia. Kenangan akan
teman-temanku. Aku merasa sedih. Dan kesepian.

Tapi sebenarnya yang diinginkan Tobias si manusia hanyalah


tidur. Ia ingin menghilang dan memasrahkan diri kepada si elang. Ia
ingin menerima kenyataan bahwa ia bukan manusia lagi.
Namun pada malam hari, ketika aku bertengger di dahan pohon
sambil menyaksikan burung-burung hantu berburu, kenangan akan
kehidupan manusia kembali terbayang-bayang.
Di samping itu juga ada berbagai kenangan lain. Aku teringat si
elang betina. Elang yang kubebaskan dari kerangkeng. Aku tahu
tempat ia biasa berburu, yaitu di dekat danau jernih di pegunungan.
Jadi suatu hari aku terbang ke sana. Ke danau itu.
Aku melihatnya hinggap di dahan pohon. Ia sedang mengintai
seekor raccoonsejenis kucing liaryang masih bayi. Ia pasti lapar
sekali sampai nekat berburu raccoon, biarpun raccoon yang masih
kecil. Raccoon termasuk binatang galak dan berani.
Si elang betina menukik, tanpa menyadari bahwa aku sedang
memperhatikannya.
Tapi raccoon memiliki sepasang mata tajam. Begitu tahu ada
bahaya, bayi raccoon itu langsung mengelak dan berlari ke tepi hutan.
Induknya ada di sana.
Elangselapar apa puntakkan mau menyerang raccoon
dewasa. Itu sama saja dengan bunuh diri.
Si elang betina kembali hinggap di dahan pohon.
Aku melayang-layang di atas sambil menunggu ia melihatku.
Aku tidak tahu bagaimana reaksinya setelah mengetahui kehadiranku.
Tapi yang jelas, aku harus berhati-hati. Ia elang betina, dan elang
betina rata-rata sepertiga lebih besar daripada elang jantan.
Tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan berkelebat di hutan.
Ada sesuatu yang dikejar-kejar!
Menonton perburuan selalu asyik, walaupun pemburunya bukan
elang. Tontonan seperti itu bisa mengasah naluri berburu yang ada
dalam diriku.

Si mangsa berlari pontang-panting dengan kedua kakinya. la


menghindari pohon-pohon. Menerobos semak-semak. Sekonyongkonyong ia tersandung dan terempas keras. Ia bangkit dengan susah
payah, lalu kembali berlari.
Aku mendengar bunyi napasnya yang terengah-engah.
Tenaganya sudah nyaris terkuras habis. Ia memekik-mekik. Suaranya
keras dan melengking.
Si pemburu juga berlari kencang dengan kedua kakinya. Tapi
kakinya sanggup berlari jauh lebih kencang daripada si mangsa. Aku
melihat tanduk-tanduk tajam menyembul dari lengannya. Ia
menggunakannya untuk membabat semak-semak dan alang-alang.
Persis mesin potong rumput.
Mesin potong rumput?
Bukan. Ada istilah lain. Mesin pencincang. Ya, begitulah Marco
menyebut mereka.
Marco? Itu kan nama temanku. Teman manusiaku.
Bayangannya muncul dalam benakku. Tubuhnya pendek. Rambutnya
gelap. Tingkahnya konyol.
Lalu aku seperti tersambar petir. Tiba-tiba aku sadar: si mangsa
ini manusia.
Tapi, memangnya kenapa kalau manusia? Kenapa aku harus
peduli? Ia kan mangsa. Dan memang sudah begitu aturan mainnya:
pemburu membunuh mangsa.
Tapi ini salah! Ia manusia!
"Tolong! Tolong!" Begitulah ia berseru. "Tolong! Tolong aku!"
Si pemburu sudah dekat. Beberapa detik lagi perburuan ini akan
berakhir. Dengan kemenangan si pemburu tentu saja. Pemburu ini
sangat kuat, sangat gesit.
Dan ia adalah Hork-Bajir.
"Tolong, tolong aku!"

Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya.


Seluruh dunia seakan-akan mendadak jungkir balik. Sekarang begini,
tapi tahu-tahu sudah lain sama sekali. Rasanya seperti kita membuka
mata sehabis bermimpi.
Hork-Bajir itu mengejar-ngejar manusia. Manusia itu dijadikan
mangsa. Ini tidak benar. Tidak benar! Ini tidak bisa dibiarkan begitu
saja.
Aku terpaku. Tubuhku jadi tegang.
Beberapa detik lalu aku masih berpikir bahwa elang yang waras
takkan coba-coba mendekati raccoon dewasa. Tapi sekarang aku
malah mengincar makhluk Hork-Bajir. Padahal kalau raccoon
diibaratkan schagai busur dan panah, maka Hork-Bajir ibarat bom
atom.
Matanya yang harus kuserang, pikirku. Itu satu-satunya titik
lemah Hork-Bajir.
"Tseeeer!"
Aku melesat kencang ke arah Hork-Bajir sementara manusia
yang tengah diburunya kembali jatuh.
Cakarku bergerak maju. Si Hork-Bajir memusatkan segenap
perhatian pada mangsanya. Aku menghantamnya sekuat tenaga, lalu
segera terbang menjauh.
"Gurrawwwrr!" Hork-Bajir itu meraung. Ia menutup matanya
dengan kedua tangan.
Si manusia bangkit lagi dan segera mengambil langkah seribu.
"Gurr gafrash! Kemari! Dia kabur! Hilch nahurrn!" teriak si
Hork-Bajir. Mereka selalu menggunakan bahasa gado-gado seperti itu
karlau sedang bekerja sama dengan manusia.
Ia sedang memanggil bala bantuan. Aku memanfaatkan
kesempatan itu untuk melewati puncak pepohonan. Ternyata cukup
banyak Pengendali di sekelilingku. Pada jarak sekitar seribu meter

tampak Hork-Bajir lain. Dua petugas gadungan malah berada lebih


dekat lagi.
Ingatanku mendadak muncul kembali. Para Polisi Hutan
gadungan. Pasukan Hork-Bajir. Danau yang jernih. Rupanya ada
pesawat perbekalan Yeerk sedang menuju kemari.
Kaum Yeerk. Kaum Andalite.
Teman-temanku, para anggota Animorphs.
Ya, teman-temanku. Kini aku ingat lagi. Tapi manusia yang
dikejar-kejar ini bukan salah satu dari mereka. Manusia ini lebih tua.
Aku tidak mengenalnya.
Si elang betina memperhatikanku. Ia seolah-olah menarikku ke
arahnya, bagaikan magnet. Ia sejenis denganku. Ia sama seperti aku.
Sementara manusia tadi jelas tidak sama denganku. Ia tidak bisa
terbang. Ia cuma bisa lari-lari ke sana kemari. Dan sekarang giliran
para Polisi Hutan yang mengejar-ngejar dirinya. Siap memangsanya.
Namun, entah kenapa, aku tidak bisa membiarkan manusia itu
menjadi mangsa.
Aku tidak bisa. Aku, Tobias, tidak bisa hanya berpangku
tangan.

Chapter 17

AKU mendarat di ambang jendela kamar Rachel. Malam sudah


larut. Tapi ia belum tidur. Ia sedang membaca buku di tempat tidur.
Kepalanya diganjal dengan bantal.
Aku mengepakkan sayap ke kaca jendela.
<Rachel?>
Ia tersentak kaget. Buku yang sedang dibacanya terlempar ke
lantai. Serta-merta ia berdiri, berlari menghampiri jendela, dan
membukanya.
"Tobias?"
<Kurang-lebih begitu,> sahutku dengan nada datar.
Ia hendak merangkulku, dan bahkan sudah mengangkat tangan.
Tapi kemudian ia sadar itu tidak mungkin. Sosok burung tidak cocok
untuk dipeluk-peluk.
"Kau tidak apa-apa? Kami semua cemas sekali. Cassie malah
sudah kuatir kau cedera atau bahkan terbunuh. Begitu banyak hal yang
bisa terjadi. Jake merasa sangat tertekan."
<Aku tidak apa-apa,> jawabku sambil terbang ke meja riasnya.
Setelah ia tahu aku baik-baik saja, ia jadi kesal. Dalam hati aku
tersenyum. Memang begitulah sifat Rachel.
"Apa-apaan sih kau, Tobias? Kenapa kau menghilang begitu
saja dan membiarkan kami cemas selama berhari-hari?"
<A-aku sulit menjelaskannya,> ujarku. <Tampak-nya... naluri
elang dalam diriku akhirnya menang. Maksudku, naluri ini..kuat
sekali.> Aku bercerita padanya bagaimana aku membunuh seekor
tikus dan melahapnya. Aku juga bercerita betapa aku membenci diriku
sesudahnya.

Aku sudah menduga bahwa ceritaku akan membuat Rachel


serbasalah. Ia mencoba bersikap penuh pengertian, tapi kelihatan jelas
pengakuanku mengganggu hati nuraninya.
<Aku kehilangan kendali,> kataku berterus terang. <Selama
beberapa hari ini aku hidup seperti elang. Tobias yang dulu rasanya
sudah lenyap. Aku hampir tak ingat lagi semua kehidupanku semasa
masih jadi manusia. Lalu terjadi sesuatu.>
"Apa?" Ia menghampiri pintu untuk memastikan ia sudah
menguncinya. "Apa yang terjadi?"
Aku bercerita bahwa aku terbang ke danau dan melihat seorang
laki-laki sedang dikejar-kejar Hork-Bajir.
<Untung saja aku bisa terbang, jadi aku bisa melihat sekitar
daerah itu dengan lebih jelas ketimbang para Hork-Bajir atau petugas
gadungan. Laki-laki itu berhasil kugiring menjauhi mereka. Aku
menyuruhnya bersembunyi. Dan setelah keadaan aman, aku
menyuruhnya lari.>
"Kau bicara dengannya?"
<Ya, melalui pikiran. Habis, tak ada pilihan lain. Dia telah
melihat makhluk Hork-Bajir. Mereka tidak mungkin membiarkannya
hidup.>
Rachel tampak kaget. "Tapi sekarang dia tahu tentang kau! Dia
juga tahu soal Hork-Bajir."
<Kenapa mesti takut? Memangnya dia bisa apa? Kan tidak
mungkin dia memberitahu semua orang bahwa dia dikejar-kejar
monster asing di hutan, lalu diselamatkan burung yang bisa telepati?>
Rachel tertawa. "Yeah, benar juga. Dia bisa dianggap gila kalau
begitu. Lagi pula, seandainya dia buka mulut, kaum Yeerk pasti akan
mencarinya dan menghabisinya."
<Aku juga sudah bilang begitu padanya. Kurasa dia akan tutup
mulut. Aku yakin dia justru berusaha melupakan pengalaman
buruknya di hutan itu.>

"Kau telah menyelamatkannya," ujar Rachel.


<Tapi aku nyaris membiarkannya jadi korban,> aku mengaku.
<Awalnya aku cuma melihat pemburu yang mengejar mangsanya. Tak
ubahnya burung hantu yang berburu pada malam hari. Tak berbeda
dengan apa yang aku lakukan. Berburu untuk makan.>
Rachel merenung sejenak. "Kaum Yeerk dan budak-budak
mereka membunuh bukan untuk makan," katanya. "Mereka
membunuh untuk menguasai manusia. Kau membunuh karena itu
memang satu-satunya cara supaya kau bisa makan. Kau memang
diciptakan seperti itu oleh alam. Tapi membunuh karena haus
kekuasaan, itu soal lain."
<Barangkali kau benar,> sahutku. <Aku tidak berpikir ke arah
sana.>
"Apa yang kaulakukan... membunuh untuk makan...ehm, itu
memang wajar bagi seekor elang. Kau bertindak sesuai nalurimu. Lain
halnya dengan para Hork-Bajir. Segala perbuatan mereka tidak alami.
Mereka tak lagi punya naluri, apalagi akal sehat. Mereka hanya alat
kaum Yeerk. Dan tujuan kaum Yeerk cuma satu: menguasai dunia
beserta seluruh isinya."
<Aku tahu,> ujarku. Tapi aku belum yakin sepenuhnya.
"Kau manusia, Tobias," lanjut Rachel.
<Yeah. Mungkin. Entahlah. Kadang-kadang aku benar-benar
merasa terperangkap. Aku ingin menggerakkan jari, tapi aku tidak
punya jari. Aku ingin mengucapkan kata-kata, tapi mulutku cuma bisa
mengoyak dan mencabik-cabik mangsa.>
Rachel tampaknya sudah mau menangis. Aku langsung waswas,
sebab Rachel bukan tipe cewek yang mau menangis di depan orang
lain.
<Ehm, sori aku mengacaukan pertunjukanmu di mall waktu
itu.>

Ia tersenyum. "Aku justru berterima kasih. Waktu itu aku baru


saja mulai beraksi, padahal kautahu sendiri aku tidak suka tampil di
depan umum. Berkat dirimu, semuanya selesai dalam sekejap."
Aku tertawa tanpa suara. <Yeah. Mudah-mudahan tidak ada
yang luka terkena pecahan-pecahan kaca yang berjatuhan.>
"Tidak ada yang cedera. Tapi, apa yang akan kau lakukan
seandainya lemparan Marco meleset? Kau pasti akan menabrak langitlangit kaca."
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Rachel mendekat dan menepuk-nepuk kepalaku.
Elang di dalam diriku merasa terganggu. Namun tepukan
tangan Rachel mirip gerakan membersihkan bulu, jadi kubiarkan saja.
"Kau masih ingat kata-kataku waktu itu, Tobias? Bahwa kau
takkan celaka selama masih ada Jake, Cassie, dan aku. Juga Marco.
Dia menolongmu saat kau dalam kesulitan. Kami teman-temanmu.
Kau tidak sendirian."
Rasanya aku ingin menangis. Tapi elang tidak bisa menangis.
"Dan suatu hari, kaum Andalite akan kembali...."
<Ya, suatu hari,> aku mencoba berkata dengan nada yakin.
<Hmm, sebaiknya kutemui Jake dulu. Besok kami punya rencana
khusus.>
"Jangan nekat kalau memang tidak mungkin," ujar Rachel.
<Kita harus berusaha keras,> sahutku. <Aku semakin sadar
sekarang. Sebab di mana-mana ada manusia terperangkap dalam
tubuh yang dikuasai kaum Yeerk. Mereka terperangkap. Mereka tidak
bisa membebaskan diri, Rachel. Aku tahu bagaimana perasaan
mereka. Mungkin aku takkan pernah bisa bebas lagi. Mungkin aku
terperangkap untuk selama-lamanya. Tapi kalau kita bisa
membebaskan beberapa orang saja. Mungkin... entahlah. Mungkin itu
yang kuperlukan agar bisa tetap merasa seperti manusia.>

Chapter 18

KEESOKAN harinya kami menuju ke medan tempur. Aku


terbang sambil memantau keadaan, sementara empat serigala kelabu
berlari di bawahku. Kami sengaja berangkat pagi-pagi. Kami ingin
sampai di tempat tujuan jauh sebelum kaum Yeerk tiba untuk berburu
tamu tak diundang.
<Oke, Tobias, aku mau tanya sekali lagi, biar tidak ada salah
paham,> kata Marco. <Kau mau membawa kami ke gua beruang?
Beruang grizzly? Dan kaubilang ini akan membantu kita?>
<Bukan beruang grizzly,> Cassie menyela. <Mana ada beruang
jenis itu di daerah sini?! Yang ada cuma beruang hitam. Dan tubuh
mereka jauh lebih kecil.>
<Hah. Besar, kek. Kecil, kek. Beruang tetap beruang,> Marco
berkomentar.
<Beruangnya sudah lama pergi,> kataku. <Di sekitar danau
cuma ada beberapa ekor beruang, dan gua yang ini kosong. Percaya,
deh. Aku sudah mengamati gua itu kemarin. Cuma ada raccoon dan
sigung yang keluar-masuk gua itu. Mereka takkan berani mendekat ke
sana kalau ada beruang.>
<Nanti dulu. Jake? Kedengarannya Tobias bilang sigung, ya?
Aku pasti salah dengar, soalnya cuma orang tolol yang mau dekatdekat dengan binatang bau itu.>
<Gua itu bukan tempat tinggal sigung,> ujarku. <Mereka cuma
masuk ke situ untuk sembunyi dari musuhnya.>
Aku tidak perlu memberi penjelasan lebih lanjut. Agaknya
mereka semua sudah bisa menebak dari mana aku tahu bahwa sigung
masuk ke gua itu cuma untuk berlindung.

<Ah, yang penting tempatnya di dekat danau. Dan kurasa kaum


Yeerk tidak tahu soal gua itu,> kataku untuk mengakhiri debat dengan
Marco. <Sebenarnya aku mau pesan kamar hotel untuk kalian, tapi
sayang tidak ada hotel di sekitar hutan itu.>
<Berarti layanan kamar juga tidak ada, ya?> tanya Marco.
<Tapi sudahlah. Asalkan di gua itu ada televisi. Soalnya nanti malam
ada siaran pertandingan final di ESPN.>
Aku membawa tas nilon kecil yang dibuatkan Rachel untukku.
Warnanya cokelat, senada dengan warna buluku, sehingga tidak
ketara. Jadi orang yang kebetulan melihatku takkan bingung setengah
mati melihat elang ekor merah membawa tas.
Di dalamnya terdapat jam mungil yang sangat ringan. Selain itu
ada beberapa mata kail, tali pancing, dan pemantik api kecil. Berat
seluruh benda itu hanya sekitar dua ons. Tapi tetap membuatku tidak
bisa terbang sekencang biasanya.
Kami tiba di gua jauh sebelum batas waktu dua jam berakhir.
<Oh, nyamannya bukan main deh,> Marco berkomentar sambil
mengamati semak berduri yang tumbuh di sekitar mulut gua.
<Aku belum sempat masuk lho,> aku berterus terang.
Aku mendarat di depan mulut gua. Lubangnya kecil. Lebarnya
cuma setengah meter, sedangkan tingginya sekitar satu meter. Sebagai
serigala, Jake dan Rachel bisa masuk dengan mudah. Dan apa pun
yang ada di dalam gua pasti langsung menghambur keluar begitu
melihat mereka. Kecuali kalau benar-benar ada beruang di dalamnya.
<Kosong,> Rachel melaporkan. <Tidak ada apa-apa selain
beberapa labah-labah dan seekor tikus yang ketakutan.>
Aku mencoba berkelakar. <Coba usir dia. Aku belum makan,
nih.>
Hanya Marco yang tertawa. Temanku yang lain bersikap
seakan-akan ucapanku tidak pantas. Dan mungkin memang begitu.

<Sebaiknya kita kembali ke wujud manusia dulu,> usul Marco.


<Aku tidak mau kejadian waktu itu terulang lagi. Cukup satu kali saja
aku nyaris terperangkap sebagai serigala.>
<Aku akan memantau keadaan,> kataku. Kadang-kadang aku
enggan menyaksikan mereka berubah wujud.
Beberapa menit kemudian mereka keluar satu per satu. Seperti
biasa Marco langsung mengomel. "Kita harus cari cara untuk
memecahkan masalah sepatu," ia bergumam. "Duri dan kaki telanjang.
Sungguh bukan kombinasi yang baik."
Mereka berempat memang bertelanjang kaki. Mereka
mengenakan baju untuk proses morph atau metamorfosis. Rachel dan
Cassie mengenakan baju senam, sementara Jake dan Marco memakai
celana balap sepeda dan T-shirt ketat.
"Kita harus cari kayu bakar," kata Jake sambil tolak pinggang.
"Tak ada salahnya gua ini kita bikin hangat dulu sebelum kaum Yeerk
datang."
"Wah, Tuan Besar beraksi lagi," komentar Rachel sambil
tersenyum.
"Aku cuma mau membuat kita lebih nyaman," Jake membela
diri.
"Lebih baik kita mulai memancing saja," ujar Cassie. "Kalau
kita gagal menangkap ikan, berarti kita cuma buang-buang waktu di
sini."
Kami berencana menjelma sebagai ikan, agar bisa memasuki
pesawat Yeerk melalui pipa pengisap air. Tapi sebelum kami bisa
meniru seekor binatang, pola DNA-nya harus kami "sadap" dulu. Dan
untuk itu kami perlu menyentuhnya.
"Mestinya tidak terlalu sulit," kata Jake yakin.
"Oh, memangnya sudah berapa kali kau pergi mancing?" tanya
Cassie dengan nada menantang.
"Termasuk sekarang? Satu kali." Jake tertawa.

Cassie geleng-geleng kepala. "Dasar anak kota," ia bergumam.


"Memancing tidak semudah yang kau bayangkan."
<Kalau begitu kalian langsung mulai saja,> aku menyarankan.
<Biar aku yang berjaga-jaga.>
"Hati-hati, Tobias," Rachel berseru ketika aku mengudara.
Aku melayang-layang sambil menonton mereka memancing.
Berulang kali mereka gagal membujuk ikan untuk menyambar umpan
pada mata kail.
Kedengarannya memang konyol, tapi seluruh rencana kami
tergantung apakah kami berhasil menangkap ikan atau tidak.
Sementara itu waktu kami semakin sempit. Hari semakin sore. Dan
kami belum mendapatkan seekor ikan pun.
Jake tampak gelisah. Rachel bahkan mulai mengomel. Dan
Marco? Jangan tanya. "Apa-apaan sih ini?!" ia mencak-mencak. "Di
sini ada empatmaksudku, limaanak yang lumayan cerdas. Tapi
kita tetap saja tidak bisa mengakali seekor ikan pun yang IQ-nya
paling-paling cuma empat?"
Cassie satu-satunya yang tetap tenang. "Kegiatan memancing
membutuhkan keterampilan dan keberuntungan," katanya.
"Pemancing yang paling jago adalah yang bisa mengendalikan
emosinya."
Jake menatap jam kecil yang kami bawa. "Dari pengalaman
yang sudah-sudah, satu jam lagi kaum Yeerk mestinya sudah mulai
berdatangan untuk mengamankan daerah ini."
Rachel mengangguk. "Kalaupun kita berhasil menangkap ikan,
kita takkan sempat melakukan uji coba."
<Mungkin lebih baik rencana kita ditunda saja,> aku
mengusulkan. <Jangan ambil risiko, deh. Kalian kan tahu sendiri
betapa sulitnya menjelma jadi binatang yang belum pernah kalian
tiru.>

Jake menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku tidak


sependapat, Tobias. Kalau ditunda, kita harus menunggu sampai ada
hari libur lagi. Besok aku tidak bisa, karena aku ada acara dengan
orangtuaku. Marco juga. Berarti kita terpaksa menunggu sampai
minggu depan."
<Ya, kita coba saja akhir pekan depan. Kenapa harus terburuburu?>
"Soalnya kaum Yeerk tidak bisa terus-menerus mendatangi
danau ini. Cepat atau lambat permukaan danau akan turun karena
airnya disedot terus. Mereka pasti berpindah-pindah dari danau yang
satu ke danau yang lain. Dan kita belum tentu bisa segera tahu ke
mana mereka pindah."
Alasan Jake masuk akal. Tapi aku tetap merasa waswas.
<Ini pertama kali kalian mencoba menjelma sebagai binatang
air. Kalian sama sekali tidak punya bayangan seperti apa rasanya.>
"Aku tahu," sahut Jake ketus. "Rencana ini memang tidak
sempurna, Tobias."
"Hah!" Cassie tiba-tiba berseru. Ia menyentak tali pancing yang
dipegangnya sejak tadi. "Rasanya kita dapat ikan."
Ia cuma butuh beberapa detik untuk menarik ikan itu ke tepi.
"Ikan trout," katanya sambil mengamati ikan yang meronta-ronta di
air dangkal. Ujung kail menembus bibir ikan yang panjangnya sekitar
dua puluh lima sentimeter. Tidak terlalu besar.
"Kita harus menjelma jadi itu?" tanya Marco.
"Namanya ikan," balas Cassie. "Memangnya apa yang
kauharapkan?"
Marco angkat bahu. "Entahlah. Aku membayangkan sesuatu
seperti yang ada dalam film Jaws. Sejenis ikan hiu. Ini sih cuma ikan
biasa. Tinggal dibersihkan, tetesi air jeruk nipis, lalu kita lahap.
Mungkin ditambah kentang goreng."
Yang lain segera menoleh dan melotot padanya.

Cassie mencelupkan tangan ke dalam air dan memegang


makhluk kelabu bertubuh licin itu. Ia memusatkan pikiran. Matanya
setengah terpejam. Ia menyerap DNA ikan tersebut ke dalam
tubuhnya sendiri.
Anugerah si Andalite, yaitu kemampuan untuk berubah wujud,
mulai bekerja.

Chapter 19

<AKU tidak suka rencana ini,> ujarku tiba-tiba.


Jake menatapku sambil mengerutkan kening. "Lho, bagaimana
sih, Tobias? Kau kan juga ikut waktu kita bikin rencana."
<Masa sih kalian tidak sadar bahwa ini bisa sangat berbahaya?>
"Aku sadar kok," sahut Marco. "Sadar sekali, malah. Tapi
selama ini kupikir kau pemburu Yeerk yang berani mati. Eh, sekarang
kau mendadak takut setengah mati?"
<Aku tak perlu takut,> kataku. <Aku akan berputar-putar di
udara, di luar. Kalian yang seharusnya berpikir seribu kali. Karena
kalian yang akan menyusup ke pesawat itu.>
Cassie mengangguk. "Memang sulit kalau kita cuma jadi
penonton sementara orang lain mempertaruhkan nyawa," ujarnya.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi sebelum ini kau sudah
beberapa kali mengambil risiko."
"Kita tidak punya waktu untuk berdebat," sela Jake. "Rencana
ini sudah kita setujui bersama. Ayo, kita sudah harus siap sebelum
kaum Yeerk datang." Jake cenderung uring-uringan kalau ada yang
ragu-ragu. Dan biasanya orang itu adalah Marco.
"Takkan terjadi apa-apa," Rachel berkata dengan yakin, lalu
menerima ikan trout yang diserahkan Cassie padanya. Ikan itu
langsung terkulai lemas, seperti biasa bila penyadapan DNA sedang
berlangsung.
Tiba-tiba aku tidak tahan lagi. Aku baru saja ingat betapa
beratnya perjuangan mereka untuk keluar dari tubuh serigala. Apa
jadinya kalau mereka sampai terperangkap dalam wujud ikan?

Rupanya mereka belum sepenuhnya sadar apa artinya


terperangkap. Padahal mereka tahu aku mengalami nasib seperti itu.
Tapi manusia memang anehmeski tahu ada bahaya, mereka yakin
mereka sendiri takkan pernah tertimpa musibah. Aku tahu itu tidak
benar.
Dan terperangkap sebagai ikan? Ih, membayangkannya saja
sudah membuatku mual. Seumur hidup terjebak dalam tubuh ikan?
Wah, dibandingkan itu, terperangkap sebagai elang bisa dibilang
asyik.
<Aku mau ke atas untuk melihat apakah ada yang datang,>
ujarku. Angin cuma berembus pelan, sehingga aku terpaksa
mengepakkan sayap dengan keras agar bisa melewati puncak
pepohonan.
Aku harus bekerja keras sebelum mencapai ketinggian yang
memadai untuk memantau keadaan sekeliling.
Tapi aku senang ada kesempatan untuk melatih otot-ototku.
Paling tidak, latihan itu membantu mengalihkan pikiranku. Aku terlalu
sibuk membayangkan apa yang akan terjadi kalau semua temanku
terperangkap menjadi ikan di sebuah danau pegunungan.
Kalau saja masalahnya tidak begitu serius, aku pasti tak dapat
menahan tawa. Coba pikir, mana ada anak yang kuatir semua
temannya berubah jadi ikan? Hidupku benar-benar berubah sejak kami
melihat si Andalite mendarat di tempat pembangunan terbengkalai.
Aku terus berputar, semakin lama semakin tinggi, sampai aku
bisa melihat seluruh danau serta daerah sekitarnya. Tak ada Polisi
Hutan. Atau belum. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah dugaan
Jake tentang kaum Yeerk benar. Jangan-jangan mereka sudah pindah
ke danau lain.
Tiba-tiba, jauh di bawah, di dahan pohon... tampak si elang.
Elang betina yang kubebaskan beberapa hari lalu.

Ia memperhatikanku. Aku melihat matanya mengikuti


gerakanku ketika aku melintas di langit. Salah satu sebab ia
mengawasiku adalah karena aku berada di wilayah kekuasaannya.
Elang sangat ketat dalam menjaga wilayahnya. Mereka tidak ingin
mangsa mereka direbut elang lain.
Tapi aku mendapat kesan bahwa, kecuali itu, masih ada sebab
lain. Tampaknya elang betina itu ingin agar aku bergabung
dengannya. Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa tahu, tapi
begitulah kenyataannya. Ia ingin agar aku turun dan menghampirinya.
Ada orang yang beranggapan bahwa pasangan elang bertahan
selama satu musim saja. Ada yang berpendapat pasangan itu
berlangsung seumur hidup. Tapi aku tidak tahu mana yang benar.
Namun satu hal sudah jelas: aku belum siap menjadi pasangan
siapa pun. Apalagi dengan seekor elang.
Tapi perasaan yang bangkit dalam diriku sukar dipadamkan.
Aku merasa... seakan-akan tempatku memang bersamanya.
Aku mengalihkan pandangan. Aku akan senang sekali kalau
misi ini segera usai, sehingga aku tak perlu lagi terbang kemari. Elang
betina itu membuatku bingung.
Tiba-tiba aku melihat gerakan.
Agaknya aku terlalu lama melamun.
Truk! Jeep! Iring-iringan mobil itu menyusuri jalan dengan
cepat. Hanya berjarak satu setengah kilometer dari danau.
Aku kalang kabut. Terburu-buru aku mencari teman-temanku.
Ah, itu mereka! Aku menekuk sayap dan meluncur ke arah mereka.
<Mereka datang!> seruku. <Cepat, kembali ke gua!>
Mereka berlari ke gua. Tapi dalam wujud manusia, mereka sulit
menerobos semak-semak dan merangkak masuk. Sedangkan sebagai
serigala tadi, mereka punya bulu tebal untuk melindungi diri dari duriduri tajam.
Thwak thwak thwak thwak thwak thwak!

Dua helikopter terbang rendah di alas pcpohonan.


Teman-temanku masih merangkak-rangkak di depan gua. Salah
satu helikopter tepat menuju ke arah mereka.
<Oh, gawat,> aku bergumam. Aku masih meluncur cepat
setelah menukik tadi. Kini aku mengepakkan sayap keras-keras untuk
mencapai kecepatan maksimum. Aku melesat tepat ke arah helikopter
itu.
Aku melihat pilotnya. Seorang Pengendali-manusia. Di
sampingnya duduk prajurit Hork-Bajir.
Aku melesat ke arah mereka.
Helikopter itu terbang dengan kecepatan seratus lima puluh
kilometer per jam. Aku cuma sedikit lebih pelan. Jarak antara diriku
dan kaca depan helikopter itu semakin dekat.
Dan kelihatannya tabrakan tak dapat dihindari!

Chapter 20

THWAK THWAK THWAK THWAK THWAK THWAK!


Baling-baling helikopter menderu-deru.
Mereka tidak mau membelok! Mereka akan menabrakku.
Tapi kemudian mata si pilot berkedip. Disentakkannya tongkat
kemudi.
Aku membelok ke kanan.
Helikopter itu membelok ke kiri.
Aku seakan-akan dihantam angin tornado, dan berjumpalitan di
udara.
Aku jatuh, dalam posisi terbalik. Aku menekuk sayap,
melebarkan ekor, dan membalikkan tubuhku. Kemudian aku
merentangkan sayap dan meluncur mulus di antara dua batang pohon.
Aku membelok ke kiri dan terbang melewati gua. Rachel yang
terakhir masuk. Tubuhnya masih kelihatan. Pilot helikopter tadi pasti
akan melihatnya.
Aku mengawasi sampai ia berhasil masuk dengan selamat.
<Oke. Kurasa mereka tidak melihat kalian. Sekarang tunggu
sampai aku memberi aba-aba.>
Tentu saja mereka tidak bisa menyahut. Mereka masih
berwujud manusia, berarti mereka bisa mendengar pikiranku, tapi
tidak mampu menjawab dengan cara yang sama.
Kaum Yeerk melanjutkan tugas rutin mereka. Para Polisi Hutan
palsu menyebar di sekeliling danau sambil membawa senapan mesin.
Kedua helikopter terus berputar-putar, sampai mereka yakin situasi
aman.

Lalu keduanya mendarat. Para prajurit Hork-Bajir melompat


turun. Mereka tampak lebih waspada daripada sebelumnya.
Kemungkinan besar mereka dihukum Visser Three karena gagal
menangkap laki-laki yang kutolong kemarin.
Visser Three betul-betul menyeramkan kalau sedang marah.
Tiba-tiba aku merasakannya. Kekosongan yang melintas di
langit. Rasanya seperti ada benda sangat besar yang melayang
perlahan-lahan di atasku.
Berangsur-angsur benda tersebut mulai tampak, seolah-olah
disulap oleh tukang sulap.
Dan lagi-lagi aku dibuat terperangah oleh ukurannya. Serasa
ada pesawat antariksa mengambang di atas kepalaku.
Aku terbang mendekati gua. <Mereka sudah datang,> aku
melaporkan.
Seperti saat itu, kali ini pun pesawat perbekalan tersebut
dikawal pesawat tempur Bug Fighter. Tapi sekarang bukan cuma dua,
melainkan empat. Rupanya kaum Yeerk agak cemas. Dua dari
pesawat-pesawat Bug itu terus berpatroli. Dua lagi mendarat di
lapangan, di samping kedua helikopter.
Ada apa ini? Kenapa pengamanannya diperketat?
Masa cuma gara-gara orang yang kubantu lari kemarin?
Lalu aku merasakan kehadiran sesuatu di atas pesawat
perbekalan. Rupanya ada pesawat lain yang juga terselubung!
Pesawat kedua sepertinya lebih kecil. Tapi aku merasakan
pancaran yang dahsyat, pancaran yang membuat bulu kuduk berdiri.
Selubung pesawat dimatikan, dan perlahan-lahan wujudnya
muncul.
Lebih hitam dari hitam, dengan tombak menjorok ke depan dan
tepi setajam pisau cukuraku pernah melihat pesawat ini. Pesawat
Blade! Aku pertama kali melihatnya di tempat pembangunan yang

terbengkalai, ketika si Andalite dibunuh dengan keji sementara kami


bersembunyi ketakutan.
Pantas saja kaum Yeerk begitu tegang.
Pesawat Blade mendekati daerah pendaratan. Para prajurit
Hork-Bajir dan Polisi Hutan gadungan tampak kalang kabut. Mereka
menyisir hutan seakan-akan nyawa mereka yang menjadi taruhan.
Tsssewww!
Ada yang menembakkan sinar Dracon. Aku menoleh dan
melihat seekor rusa sedang melompat-lompat. Tiba-tiba saja rusa itu
berasap dan lenyap tanpa bekas. Kaum Yeerk menembak apa saja
yang bergerak.
Pintu pesawat Blade membuka. Sekelompok prajurit Hork-Bajir
menghambur keluar. Semuanya membawa senjata sinar Dracon yang
siap ditembakkan. Setelah itu menyusul dua Taxxon yang merangkak
dengan ratusan kaki mereka yang kurus kering.
Dan akhirnya ia muncul: kaki Andalite yang langsing. Ekor
Andalite yang mematikan, seperti ekor kalajengking. Wajah Andalite
yang tak bermulut. Sepasang lengan Andalite dengan jari yang terlalu
banyak. Sepasang mata tambahan pada ujung tanduk yang selalu
waspada memantau sekeliling, sehingga kedua mata utama yang besar
bisa menatap benda lain.
Tubuh Andalite.
Namun tanpa jiwa Andalite. Sebab tubuh Andalite itu dikuasai
makhluk Yeerk. Inilah satu-satunya Pengendali-Andalite, atau
Pengendali bertubuh Andalite. Satu-satunya Yeerk yang berhasil
memperbudak Andalite. Dan dengan demikian juga satu-satunya
Yeerk yang memiliki kemampuan metamorfosis.
Aku hinggap di dahan pohon. Aku menunggu sampai para
Hork-Bajir yang berpatroli melewati gua tempat teman-temanku
berlindung.

Setelah yakin keadaan aman, aku kembali terbang dan masuk ke


tempat persembunyian mereka. Ujung sayapku menyerempet semaksemak di kiri-kanan mulut gua.
"Tobias?" bisik Jake.
<Ya.>
"Kenapa kau kemari? Ini tidak sesuai rencana kita.
<Rencana kita batal. Dia ada di sini.>
Aku tak perlu menjelaskan lebih lanjut. Semua langsung tahu
siapa yang kumaksud.
Dia ada di sini.
Visser Three.
Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 21

"KENAPA dia ada di sini?" tanya Cassie. Suaranya gemetaran


karena ngeri.
<Mungkin untuk mengawasi secara langsung. Dia pasti marah
besar saat mendengar ada manusia yang berhasil meloloskan diri.>
"Dia kemari karena anak buahnya terlalu tolol," ujar Marco
sambil mencibir. "Mereka telah membuat kesalahan, dan sekarang dia
mau memastikan kesalahan itu tidak terulang."
<Tak ada gunanya berdebat kenapa dia datang,> kataku. <Yang
penting, dia ada di sini. Dia membawa pasukan Hork-Bajir tambahan,
dan semua anak buahnya kelihatan tegang sekali. Salah satu HorkBajir baru saja memusnahkan seekor,rusa yang kebetulan lewat.>
"Apa?" seru Cassie. "Keterlaluan. Masa mereka membunuh
rusa yang tak berdosa?!"
<Menurut rencana kalian harus menyelinap ke danau, berubah
jadi ikan, lalu berenang ke pipa penyedot air pesawat itu,> aku
mengingatkan mereka. <Sejak awal rencana itu memang sudah
berbahaya, tapi sekarang kurasa malah tidak mungkin dilaksanakan:
Coba pikir, kalian berempat jalan kaki ke tepi air, lalu berubah wujud?
Mustahil. Penjagaannya terlalu ketat.>
"Apalagi Visser Three juga di sini," Marco menimpali.
"Nanti dulu," ujar Rachel. "Kita tetap harus mencobanya. Kalau
kita berhasil masuk ke pesawat itu dan mematikan selubungnya
sewaktu mereka terbang di atas kota... seluruh perkara ini akan beres."
Jake langsung mendukungnya. "Sejak dulu kita berharap
seluruh dunia tahu apa yang sedang terjadiyakni kaum Yeerk
tengah berusaha menguasai Bumi... nah, inilah kesempatan yang kita

tunggu-tunggu. Para Pengendali takkan bisa menutup-nutupi kejadian


seperti itu. Aku tidak peduli siapa mereka. Bahkan seandainya
walikota, gubernur, dan semua petugas polisi sudah jadi Pengendali,
mereka tak bisa mengelak lagi."
<Jake, dengarkan aku. Percayalah, kalian takkan sampai di tepi
danau. Kalian bakal tewas sebelum sempat berjalan lima langkah!>
Semua terdiam. Akhirnya Cassie bicara. "Mungkin ada satu
cara," katanya. "Kalian tahu, kan, bahwa ikan bisa bertahan di luar air
selama beberapa menit. Dan ikan yang akan kita tiru juga berukuran
kecil." Ia menoleh ke arahku. "Cukup kecil untuk dibawa elang ekor
merah."
Wah, semua langsung tersentak kaget.
"Hah?" Marco memekik. "Maksudmu, kita bukan cuma harus
berubah jadi ikan, tapi berubah di luar air, lalu dibawa ke danau oleh
seekor burung?"
Cassie menggigit bibir. "Aku kan cuma usul."
Jake termenung-menung. "Hmm, mungkin bisa," ia bergumam,
lalu menatap Rachel dengan pandangan yang berarti, "Oke, kita coba
saja!"
<Nanti dulu!> aku berseru. <Kalian sudah gila? Aku bukannya
tidak mau membantu, tapi rencana ini sepuluh kali lebih berbahaya
daripada yang pertama.>
"Aku tahu," Jake mengakui. "Tapi kesempatan emas seperti ini
mungkin takkan terulang lagi." Marco mengomel. Aku berdebat. Tapi
akhirnya kami kalah suara, dua lawan tiga. Lagi pula, Jake memang
benar. Ini kesempatan emas untuk memberikan pukulan telak kepada
kaum Yeerk.
Aku pernah menyaksikan Marco berubah jadi gorila; Rachel
jadi gajah, cecurut, dan kucing; Cassie jadi kuda; dan Jake jadi
harimau dan kutu (wah, yang itu benar-benar ajaib!). Tapi ini pertama
kali kami mencoba meniru binatang yang hidup di air.

Cassie berkeras bahwa ia harus mendapat giliran pertama. "Aku


yang punya ide," katanya. Kenyataan bahwa ia yang paling menguasai
proses metamorfosis sama sekali tak disinggungnya.
"Tapi kau harus segera berhenti kalau merasa seperti tercekik,"
Jake mewanti-wanti sambil meraih tangan Cassie. "Kau dengar, tidak?
Jangan nekat kalau merasa ada yang tidak beres. Jangan sampai kau
pingsan di tengah jalan."
Cassie tersenyum. "Beres. Jangan kuatir."
Aku sudah pernah cerita, kan, bahwa Cassie yang paling pintar
mengendalikan proses metamorfosis? Ia seperti memiliki bakat alam.
Ia selalu bisa mengatur proses perubahan, sehingga enak dilihat dan
tidak menyeramkan.
Tapi kali ini tidak.
Di depan mataku seluruh rambutnya lenyap. Kulitnya mulai
mengeras, seolah-olah dilapisi vernis atau sejenisnya. Tubuhnya
seolah-olah dibungkus lapisan plastik bening.
Matanya bergeser ke sisi kepala. Wajahnya menjorok ke depan.
Mulutnya megap-megap.
Sementara itu, tubuhnya berangsur-angsur mengerut. Setiap
perubahan bentuk kelihatan jelas karena berlangsung lambat. Kakinya
bertambah pendek, sampai akhirnya hilang sama sekali. Lalu ia pun
terjatuh ke tanah.
Kemudian tubuhnya mulai memanjang, dari pinggang ke
bawah.
"Ya ampun!" Rachel memekik.
Aku tercengang melihat potongan ekor muncul pelan-pelan dari
bagian belakang tubuh Cassie. Ekor ikan.
Kini kulitnya yang keras mulai retak dan terbelah menjadi
jutaan sisik.

Telinganya sudah lenyap. Lengannya semakin pendek. Panjang


badannya tinggal sekitar setengah meter. Ia tergeletak tak berdaya di
lantai gua.
<Sejauh ini semua beres,> kata Cassie melalui pikirannya. Tapi
suaranya agak gemetaran. <Aku masih... bernapas... dengan paruparu.>
Tapi tiba-tiba sepasang celah muncul di lehernya. Insang.
<Aaah!> ia memekik.
"Berhenti, Cassie!" Jake berseru tertahan.
<Jangan. Jangan. Sudah hampir selesai. Tobias...>
<Aku sudah siap,> sahutku.
Panjang tubuh Cassie kini kurang dari tiga puluh sentimeter.
Yang tersisa dari tubuh manusianya cuma sepasang tangan mungil.
Dan tangan itu pun kemudian berubah menjadi sirip.
Cassie menggeliat-geliut. Mulutnya megap-megap tanpa suara.
"Cepat!" ujar Jake.
Dengan hati-hati aku mencengkeram tubuh Cassie yang licin
dan menggelepar-gelepar. Lalu aku mengepakkan sayap dan segera
terbang keluar gua.
<Kau tidak apa-apa, Cassie?>
<Otak ikan... panik... air. Air sekarang!>
<Tahan sebentar. Kau sudah pernah mengalaminya. Pertama
kali berubah memang sukar. Naluri ikan itu harus bisa kaukuasai.>
<Air! Air! Aku tidak bisa napas!>
Aku terbang sekitar tiga meter di atas permukaan tanah, dan
melesat ke arah danau. Sekonyong-konyong aku melihat Hork-Bajir di
bawahku.
Makhluk itu menoleh dan melihatku. Ia menatap burung elang
yang mencengkeram seekor ikan.
Aku bertanya-tanya, apakah Hork-Bajir tahu bahwa elang ekor
merah bukan pemakan ikan. Kuharap ia tidak tahu.

Dalam sekejap aku sudah sampai di tempat tujuan. Pesawat


perbekalan Yeerk sedang menurunkan pipa penyedot air. Serta-merta
aku meluncur ke balik pepohonan yang tumbuh di tepi danau.
<Siap-siap!> aku memberi aba-aba pada Cassie. Aku
melepaskannya bagaikan pesawat tempur Perang Dunia II yang
sedang meluncurkan torpedonya.
Air bercipratan ke segala arah ketika Cassie tercebur ke danau.
<Bagaimana, kau baik-baik saja?>
Tak ada jawaban.
<Cassie! Aku tanya, kau baik-baik saja?>
<Y-y-yeah,> ia akhirnya menyahut. <Aku tidak apa-apa.>
<Kau sudah bisa menguasai naluri ikan?>
Sekali lagi tak ada jawaban. Lalu terdengar ia berseru, <Hei,
aku di dalam air!>
Aku menarik napas lega. <Ya, kau memang di dalam air,>
ujarku sambil tertawa.
<Aku sempat ketakutan tadi,> ia mengaku. <Aku... aku tahu
kedengarannya konyol. Tapi aku terus membayangkan diriku sebagai
ikan yang terhidang di atas piring. Digoreng. Lengkap dengan irisan
jeruk nipis dan saus tomat.>

Chapter 22

JAKE mendapat giliran berikut. Ia menjelma jadi ikan trout,


dan aku membawanya melewati dua Polisi Hutan yang tidak
memperhatikanku.
Setelah itu giliran Marco. Aku nyaris bertabrakan dengan HorkBajir ketika aku terbang keluar, tapi makhluk raksasa itu pun tidak
peduli padaku.
Tampaknya rencana Cassie akan berhasil. Walaupun semua
Pengendali di sekitar danau sedang siaga penuh, mereka tak
menyangka bahwa lawan mereka ternyata seekor burung yang sedang
menggotong-gotong ikan.
Akhirnya tinggal Rachel yang masih di dalam gua.
<Sejauh ini semuanya lancar,> ujarku.
"Yeah. Moga-moga seterusnya juga begitu."
<Kau gugup?>
"Siapa yang tidak gugup kalau begini? Oke, aku mulai
sekarang."
Ia mulai berubah. Aku telah menyaksikan perubahan yang
terjadi pada ketiga temanku, jadi aku tidak kaget lagi. Tapi morph,
atau proses metamorfosis tetap saja bukan tontonan yang
menyenangkan. Aku tidak tega melihat teman-temanku menggeliatgeliut dan perlahan-lahan berubah wujud di depan mataku.
Kurasa kami takkan pernah terbiasa. Mungkin lain halnya
dengan kaum Andalite. Bisa jadi mereka menganggap proses itu
biasa-biasa saja. Tapi aku yakin mereka pun enggan berubah kalau
tidak perlu.

Aku membuang muka ketika sosok Rachel mulai tampak


mengerikan.
Ia sudah hampir menjelma sebagai ikan ketika terjadi peristiwa
tak terduga.
Krak! Krak! Ada sesuatu yang menerobos semak-semak di
mulut gua.
"Heffrach neeth di sana." Itu suara prajurit Hork-Bajir.
"Ya, aku tidak buta," sebuah suara manusia menyahut ketus.
"Tubuh manusia ini juga punya mata, tahu?! Jangan sok jago.
Mentang-mentang Hork-Bajir. Lebih baik kaupakai tandukmu untuk
membuka jalan."
Aku mendengar suara mirip bunyi golok menebas semak-semak
di mulut gua.
"Kalau ada apa-apa di sini," kata si Pengendali-manusia, "kau
akan mengalami nasib sama seperti si tolol yang membiarkan orang
itu lolos kemarin. Visser Three tidak butuh anak buah yang
sembrono."
Aku menatap Rachel. Sudah terlambat baginya untuk kembali
ke wujud manusia.
<Ada apa?> ia bertanya.
<Ada Yeerk! Satu Pengendali-manusia dan satu PengendaliHork-Bajir. Persis di depan mulut gua.>
"Masuklah fergutth vir kurcaci. Ha ha."
"Seharusnya kau yang memeriksa sektor ini. Tapi kau malah
tidak lihat bahwa ada gua. Percuma punya badan besar. Kalau kau
masih banyak omong, akan kulaporkan kau pada dia!"
"Kau bakal gulferch dan lulcathmu dimakan. Ha ha."
Tiba-tiba kepala seseorang menyembul di mulut gua, diikuti
sebagian tubuhnya. Orang itu mengenakan seragam Polisi Hutan.
<Kita harus kabur!> aku memberitahu Rachel. <Mereka sudah
masuk!>

"Yeah, memang ada gua. Ada burung yang..."


Saat itu aku mencengkeram Rachel yang sudah menjelma
menjadi ikan. Tapi si Pengendali-manusia menghalangi mulut gua
yang sempit.
Hmm, aku punya taktik. Dan taktik ini sudah terbukti ampuh
melawan helikopter....
Tanpa pikir panjang aku mengepakkan sayap dan melesat maju.
"Hei, apa-apaan ini...." Petugas gadungan itu cepat-cepat
mundur sambil mengayun-ayunkan tangan. Aku terbang melewatinya.
Si Hork-Bajir berusaha menjatuhkanku dengan tanduknya yang
tajam. Bulu ekorku terpangkas sekitar dua sentimeter.
Aku mengudara. Tapi aku sulit menambah kecepatan karena
harus menggotong Rachel. Ikan trout lumayan berat untuk ukuran
elang ekor merah. Dan aku sudah tiga kali terbang bolak-balik dari
gua ke danau. Aku capek.
Untung saja aku juga ketakutan setengah mati. Dan rasa takut
kadang-kadang bisa membuat tenaga kita jadi berlipat ganda.
Ssssseeewww!
Seberkas sinar Dracon membakar udara di atasku. Malang bagi
Hork-Bajir yang mencoba menembakku. Berkas sinar itu tidak
berhenti setelah gagal menemui sasaran. Sinar itu malah menghantam
bagian bawah pesawat perbekalan, dan menimbulkan lubang kecil di
perut pesawat raksasa itu. Namun kerusakan itu sama sekali tidak
berarti.
Si Hork-Bajir langsung panik.
"Tolol!" bentak rekannya, si polisi palsu. "Kau bakal kehilangan
kepala karena ulahmu ini!"
Sementara mereka kebingungan, aku melepaskan Rachel ke
dalam air.
<Bagus, Tobias,> kata Jake. <Hati-hati di atas sana.>
<Kalian juga,> sahutku. <Semoga berhasil.>

Samar-samar aku melihat sekawanan ikan di pinggir danau.


Kemudian mereka berenang menjauhi tepi dan menghilang di air yang
dalam.
Seperti sudah pernah kubilang, jarak yang bisa ditempuh
gelombang pikiran ada batasnya. Hanya saja kami belum tahu
seberapa jauh batas itu. Karena itu aku berusaha berada sedekat
mungkin dengan teman-temanku. Siapa tahu mereka membutuhkan
bantuan. Tapi sebenarnya sih, aku takkan bisa berbuat banyak di
bawah air.
Aku tidak mau terbang di atas mereka. Orang yang melihatku
dari tepi danau pasti curiga. Terus terang, aku agak bingung harus
berbuat apa. Pesawat raksasa itu melayang rendah di atas danau. Jarak
antara perut pesawat dan permukaan air tak sampai dua meter.
Rasanya tidak ada pilihan. Aku terpaksa terbang di bawah
pesawat. Susahnya minta ampun. Aku harus berkonsentrasi penuh.
Aku tidak boleh naik atau turun lebih dari beberapa jengkal.
<Bagaimana keadaan kalian?>
<Tobias? Wah, pikiranmu masih terdengar jelas sekali. Padahal
ada pesawat raksasa di antara kita,> seru Rachel.
Sebenarnya aku bisa saja bilang terus terang bahwa aku cuma
beberapa meter di atas mereka. Tapi kalau Jake tahu, ia malah akan
uring-uringan karena menurutnya aku mengambil risiko yang tidak
perlu.
Kira-kira tiga puluh menit telah berlalu sejak mereka menjelma
menjadi ikan, lalu dibawa ke danau satu per satu dan berenang menuju
pipa penyedot air. Cassie punya sisa waktu sekitar satu setengah jam.
Jake sepuluh menit lebih lama, lalu Marco, dan Rachel.
<Sedang apa kalian sekarang?> tanyaku.
<Kami ada di ujung pipa penyedot. Isapannya kuat sekali,>
Rachel melaporkan.

<Aku akan masuk duluan untuk memantau keadaan,> Jake


mengumumkan. <Oke, ini dia. Heiiii! Wow! Uiiiih!>
<Jake! Jake, kau tidak apa-apa?> seru Cassie.
<Oh, yeah. Ini baru seru! Mestinya ada luncuran air seperti ini
di The Gardens. Rasanya seperti diisap melalui sedotan oleh raksasa.>
<Asyik,> ujar Rachel. <Habis ini giliran aku.>
<Tunggu, aku mau periksa keadaan dulu,> kata Jake.
<Kelihatannya aku ada di suatu ruangan tertutup. Semacam tangki.
Airnya masih dangkal, tapi terus bertambah tinggi. Huh, dengan mata
ikan ini aku tidak bisa melihat ke atas permukaan air. Tapi sepertinya
ada lubang di langit-langit. Seolah ada kisi-kisi.>
<Di langit-langit? Bagaimana kita bisa naik sampai ke langitlangit?> tanya Marco.
<Kalau tangki ini diisi sampai penuh, lama-lama kita akan
berada di dekat langit-langit. Kita tinggal berubah kembali ke wujud
manusia, memanjat keluar, lalu berubah lagi jadi binatang yang lebih
menyeramkan.>
<Tunggu sebentar,> ujar Marco. <Apakah kalian sadar bahwa
rencana kalian itu benar-benar GILA?>
<Apa maksudmu?> tanya Rachel.<Kita kan cuma berubah jadi
ikan supaya bisa dibawa elang, lalu diisap melalui pipa pesawat
antariksa. Habis itu kita berubah lagi jadi harimau, gorila, atau apa
saja, untuk menghajar gerombolan makhluk asing. Masa cuma begitu
saja sudah kausebut gila? >
<Ya, tepat sekali.>
<Yap,> kata Rachel. <Itu memang gila.>
<Hmm, oke,> ujar Marco. <Asal kalian semua sadar bahwa kita
sudah tidak waras. Ya, sudah. Ayo, kita sikat saja mereka.>

Chapter 23

TAK ada yang bisa dikerjakan selain menunggu. Menunggu


sampai permukaan air bertambah tinggi sehingga dapat membawa
teman-temanku ke lubang di bagian atas tangki.
Aku tidak sanggup terbang lebih lama lagi di bawah pesawat
perbekalan. Aku berpamitan pada teman-temanku, lalu terbang
menjauh. Ah, nikmatnya terbang di udara terbuka. Aku naik ke
angkasa dengan bantuan angin termal yang ditimbulkan oleh badan
pesawat itu. Tinggi, semakin tinggi.
Para Polisi Hutan masih berkeliaran di tepi danau dan
sekitarnya. Kedua helikopter dan kedua pesawat Bug Fighter masih
diparkir di tengah lapangan terbuka. Pesawat Blade yang ditumpangi
Visser Three juga ada di situ.
Kedua pesawat Bug Fighter yang lain masih terus berpatroli di
atas hutan.
Aku melihat satu prajurit Hork-Bajir diseret beberapa rekannya.
Rupanya itu Hork-Bajir yang menembakkan senjata sinar Dracon
secara sembrono tadi. Ia akan dibawa ke hadapan Visser Three.
Selama ini kami menganggap Hork-Bajir sebagai monster
mengerikan yang tak kenal takut. Tapi Hork-Bajir yang satu ini
tampaknya tidak terlalu berani. Ia roboh di depan Visser Three. Aku
hampir merasa kasihan padanya.
Inilah salah satu faktor yang menyulitkan pertempuran kami
melawan kaum Yeerk. Musuh kami yang sebenarnya adalah makhlukmakhluk Yeerk yang bercokol dalam kepala para Pengendali. HorkBajir malang itu mungkin dipaksa menjadi Pengendali. Kebebasannya
telah dirampas oleh Yeerk yang ada di dalam kepalanya. Dan

sekarang nyawanya akan melayang karena perbuatan yang


sesungguhnya bukan kesalahannya.
Aku tidak bisa mendengar apa yang terjadi di bawah. Tapi
berkat mata elangku, aku bisa melihat segala sesuatu dengan jelas
sekali.
Aku membuang muka. Aku tak sanggup menggambarkan
bagaimana nasib Hork-Bajir itu. Biarlah aku sendiri yang dihantui
mimpi buruk.
Ketika aku menoleh lagi, Hork-Bajir itu sudah tidak ada. Tapi
semua Hork-Bajir, Taxxon, dan manusia yang mengelilingi Visser
Three mendadak sangat sibuk. Visser Three tampak gusar. Ia
menunjuk-nunjuk ke langit.
Dalam beberapa detik saja kedua helikopter telah lepas landas.
Kedua pesawat Bug Fighter menyalakan mesin, lalu segera ikut
mengangkasa.
Aku langsung mendapat firasat buruk. Hork-Bajir malang tadi
pasti sempat bercerita tentang burung yang hendak ditembaknya. Dan
rekannya, si Pengendali-manusia, mungkin menimpali, "Oh, yeah, aku
juga melihat burung yang mencurigakan." Lalu pasti ada yang
menambahkan, "Hei, bukankah manusia kemarin bisa lolos karena
dibantu seekor burung?"
Dan Visser Three tentu langsung bisa menarik kesimpulan.
Binatang yang bertingkah bukan seperti binatang, pasti Andalite yang
sedang menyamar.
Mestinya aku merasa bangga karena Visser Three menganggap
para anggota Animorphs sebenarnya adalah prajurit Andalite. Tapi
nyatanya tak ada bedanya apakah ia menganggapku sebagai Andalite
atau manusia. Ia langsung menyuruh anak buahnya mencari burung
yang bukan burung.
Yaitu aku.

Salah satu pesawat Bug Fighter terbang rendah di atas pohonpohon. Sebentar-sebentar pesawat itu menembakkan sinar Dracon
yang menyilaukan.
Jantungku berdegup kencang. Mereka membunuh setiap burung
yang terlihat oleh mereka!
Si elang betina! Aku berada di daerah perburuannya.
Tiba-tiba saja sudah ada helikopter yang membuntutiku. Thwak
thwak thwak thwak! Ssshhheeeewww!
Sinar Dracon. Aku nyaris tertembak. Aku berusaha meloloskan
diri, tapi sia-sia. Jumlah lawanku terlalu banyak, dan gerakan mereka
terlalu cepat.
Tapi ada satu tempat di mana mereka takkan berani
menembakkan sinar Dracon. Apalagi setelah mereka melihat apa yang
dilakukan Visser Three terhadap si Hork-Bajir yang sembrono.
Aku menekuk sayap dan terbang menukik. Aku meluncur turun
dengan cepat. Menuju pesawat perbekalan sebesar lapangan bola yang
membentang di bawahku.
Dalam sekejap aku sudah terkepung. Tapi musuh-musuhku
salah mengambil posisi. Aku terlalu dekat ke pesawat perbekalan.
Mereka tidak bisa menembak!
Aku hinggap di pesawat raksasa itu. Aku menapakkan cakarku
pada permukaan logam yang dingin dan keras. Permukaan logam itu
membentang ke segala arah, lalu melengkung ke bawah sehingga
tepinya tidak kelihatan. Aku serasa berada di bulan yang terbuat dari
baja. Dua helikopter dan empat pesawat Bug Fighter melayang-layang
di atasku. Semua Pengendali yang tampak di dalam pesawat-pesawat
itubaik manusia, Hork-Bajir, maupun Taxxonmenatapku dengan
tajam.
Sorot mata mereka terasa akrab bagiku. Sorot mata pemangsa.
Dan akulah mangsa mereka.

Chapter 24

AKU dalam posisi terjepit. Seandainya aku mencoba terbang


menjauh dari pesawat perbekalan, aku pasti langsung hangus
dihantam sinar Dracon sebelum aku sempat mengepakkan sayap
sepuluh kali.
Situasinya benar-benar gawat. Aku hinggap di tengah
permukaan logam yang luas, sementara sekawanan pemangsa
melayang-layang di atasku.
Tapi kemudian keadaannya bertambah parah. Jauh lebih parah.
Tiba-tiba saja pesawat Blade yang membawa Visser Three
muncul di hadapanku bagaikan bulan berwarna hitam pekat.
Pesawat itu seperti tergantung di udara, hanya beberapa puluh
meter di atasku. Sisa-sisa keberanianku langsung menguap.
Wah, Tobias, aku berkata pada diriku sendiri, agaknya kali ini
kau takkan selamat.
Tapi semua pesawat itu terus melayang-layang, tanpa
mengambil tindakan apa pun. Perlahan-lahan aku mulai sadar
mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka tidak bisa menembak
karena takut mengenai pesawat perbekalan.
<Andalite!>
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara yang mendadak
bergaung di dalam kepalaku.
Ia belum pernah bicara langsung padaku. Suaranya penuh
keyakinan. Penuh percaya diri. Gemanya saja sudah mampu membuat
kita merunduk. Dan gemetar ketakutan.
<Andalite! Kaupikir aku tidak tahu siapa kau sebenarnya?
Burung sungguhan pasti sudah terbang.> Jangan menjawab! aku

berkata dalam hati. Jangan ucapkan satu kata pun. Kalau aku nekat
menjawab, bisa jadi ia akan tahu bahwa aku manusia. Dan itu tidak
boleh terjadi. Ia takkan bisa memaksaku bicara.
Aku mengosongkan pikiran. Tapi aku tidak mampu menghalau
suara yang mengerikan itu.
<Menyerahlah, Andalite. Aku berjanji kau akan mati dengan
cepat, tanpa menderita. Asal kau memberitahuku di mana kawankawanmu yang lain.>
Aku telah melihat apa yang dilakukan Visser Three terhadap
Hork-Bajir bodoh yang membuatnya marah. Gambaran itu masih
segar dalam ingatanku.
<Terserah kau, Andalite. Aku bisa bersabar. Aku bisa
menunggu di sini sampai kapan pun. Dan akhirnya kau tetap akan
mati. Kau bisa mati dengan cepat karena tembakan sinar Dracon.
Atau, kalau kami bisa menangkapmu, kau bisa mati perlahan-lahan di
dalam pesawatku. >
Sekonyong-konyong ada suara lain yang menembus ke dalam
kepalaku. Suara yang sangat berbeda. Kedengarannya sayup-sayup.
Seakan-akan berasal dari tempat yang jauh sekali.
<Tobias? Tobias, kau bisa mendengarku?>
Rachel!
<Ya, aku mendengarmu!>
<Tobias! Kami terperangkap! Tangki airnya sudah penuh, tapi
kisi-kisinya tidak bisa dibuka. Cassie dan Jake sudah menjelma lagi
jadi manusia, tapi mereka tidak bisa membukanya. Kami terperangkap
di sini!>
<Rachel! Aku... apa yang bisa kulakukan?>
<Kami tidak bisa keluar,> seru Rachel. <Kami terperangkap.
Tidak ada jalan keluar. Sebentar lagi pesawat ini akan pergi. Dan
cepat atau lambat mereka pasti menemukan kami begitu airnya

dipindahkan ke pesawat induk. Tobias? Kami... kami tidak mau


ditangkap hidup-hidup.>
Darahku seakan-akan berhenti mengalir. Kepalaku serasa
berputar-putar. <Apa maksudmu?>
<Tobias, jangan biarkan mereka menangkap kami hidup-hidup?
Lakukanlah apa saja!>
<Rachel! Aku ingin menolong kalian. Tapi aku tidak bisa
mengeluarkan kalian dari situ!>
<Aku tahu,> ujar Rachel. <Kami semua tahu. Tapi, siapa tahu
ada cara untuk menghancurkan pesawat ini. Aku tahu
kemungkinannya sangat kecil. Tapi, siapa tahu? Seandainya ada cara
untuk...>
<Jangan! Jangan!>
<Aku harus berubah lagi. Kami akan berenang di sini. Kami
harus siap-siap pindah ke pesawat induk. Setelah itu kami akan
menjelma sebagai binatang buas dan bertempur sampai mati.>
<Ini tidak boleh terjadi!> aku memekik. <Tidak boleh!>
<Rupanya kata-kata Marco benar,> Rachel berkata dengan
sedih. <Ternyata kita memang tidak mungkin melawan kaum Yeerk.>
<Rachel... aku belum pernah bilang...>
<Tidak perlu, Tobias,> sahutnya. <Aku sudah tahu. Selamat
tinggal.>
Ia terdiam. Aku membayangkan dirinya menjelma kembali
sebagai manusia. Ia mengayun-ayunkan kaki di dalam air bersama
teman-temanku yang lain, tak berdaya, tak mampu meloloskan diri.
Bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk. Mereka hanya bisa
berdoa agar aku mendapatkan cara untuk mengakhiri penderitaan
mereka dengan cepat. Seperti yang ditawarkan Visser Three padaku
tadi.
Kami kalah. Kaum Yeerk terlalu kuat untuk dilawan. Dan
setelah kami tiada, lenyap pula harapan terakhir umat manusia.

Pesawat Blade di atasku terus menunggu bagaikan elang yang


mengawasi kelinci. Siap menukik dan menghabisiku.
Hanya saja aku bukan kelinc i.
Visser Three pemburu dan pemangsa? Hah, aku juga!
Lagi pula tak ada lagi yang perlu kutakuti. Kalau temantemanku gugur di dalam pesawat induk, maka aku akan sendirian
hidup di dunia ini. Aku tak mau hidup sendirian. Tanpa teman. Tanpa
orangtua. Tak ada yang bisa diajak ngobrol. Tak ada yang bisa
menghiburku
Jadi tak ada lagi yang perlu kutakuti. Kalau mereka mati, aku
juga harus mati.
Tiba-tiba saja aku melihat sesuatu yang seharusnya membuatku
menggigil ketakutan. Mereka menggeliat-geliut ke arahku. Cacingcacing raksasa. Puluhan kaki seribu yang mengincar daging segar.
Gerombolan Taxxon.
Visser Three telah menyuruh mereka keluar dari pesawat.
Kalau aku diam di tempat, aku akan tertangkap. Kalau aku
nekat terbang, pesawat-pesawat Yeerk akan menembakku.
Makhluk-makhluk Taxxon mulai mengepungku.
<Hai hai hai, rupanya waktumu sudah hampir habis,> suara
Visser Three terdengar di dalam kepalaku. Ia tertawa. Tawanya tidak
bisa dibilang enak didengar.
Ah, Visser Three, kau memang pemangsa yang tidak kenal
belas kasihan, pikirku. Kau berhasil membuatku terperangkap.
Terperangkap bagaikan kelinci.
Kelinci yang terperangkap memang tak berdaya. Lain halnya
dengan elang yang terperangkap, apalagi elang yang memiliki akal
sehat manusia.
Salah satu Taxxon membidikku dengan senapan sinar Dracon.
Ia menatapku dengan matanya yang mirip gumpalan agar-agar
berwarna merah.

Kedua kakiku bertolak dari permukaan logam. Aku


mengepakkan sayap.
Sasaranku adalah mata agar-agar itu.
Ia mengangkat salah satu kaki depan untuk melindungi
matanya. Hah, dasar bodoh! Aku bergeser ke kanan sedikit,
menggerakkan cakarku ke depan, lalu menyambarnya seperti
menyambar tikus di tengah padang rumput.
Cakarku mencengkeram senapan sinar Dracon-nya. Genggaman
tangan si Taxxon tak mampu mengimbangi kecepatanku. Dengan
mudah aku berhasil merampas senapan itu.
<Tembak dia!> teriak Visser Three. Pesawat Blade di atas
seakan-akan terguncang oleh kemarahannya.
Tapi aku tidak terbang ke udara bebas. Aku terbang mengikuti
lengkungan badan pesawat perbekalan. Dengan demikian mereka
tidak bisa menembakku tanpa mengenai pesawat itu.
Aku tahu persis ke mana aku terbang. Tanpa ragu-ragu aku
melesat menuju anjungan. Mendekati jendela kecil di mana aku
melihat para awak Taxxon tadi.
Mungkin aku memang tidak bisa menyelamatkan temantemanku. Tapi aku harus berusaha memenuhi permintaan Rachel yang
terakhir. Aku harus berusaha menghancurkan pesawat perbekalan.
Biarpun itu berarti kematian bagi teman-temanku.
Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 25

<LEPAS landas! Cepat!> Visser Three memberikan perintah


kepada awak pesawat perbekalan.
Hampir seketika benda raksasa itu mulai bergerak maju. Mulamula pelan. Tapi terpaan angin dari depan sudah mulai terasa.
Anjungan itu semakin jauh dariku. Ketinggian pesawat terus
bertambah. Lima puluh meter. Seratus meter!
<Ha! Ternyata tidak semudah yang kaubayangkan, Andalite!>
Hampir saja aku tidak tahan terus berdiam diri. Hampir saja aku
memberikan kejutan pada monster keji itu dengan berkata, <Hei,
Brengsek! Aku bukan Andalite. Namaku Tobias!>
Tapi aku sadar belum waktunya berkoar-koar. Pesawat raksasa
itu mulai menambah kecepatan.
Aku mengepakkan sayap lebih cepat lagi. Dan perlahan-lahan
aku kembali mendekati anjungan. Tapi tenagaku sudah nyaris terkuras
habis. Senapan sinar Dracon yang kubawa semakin berat. Terpaan
angin dari depan pun semakin keras.
Anjungan pesawat tampak menggembung. Jaraknya tinggal
beberapa meter saja.
Aku maju semeter. Semeter lagi. Dan semeter lagi.
Kemudian aku mendarat dan melipat sayap. Aku tak sanggup
terbang lagi. Tapi aku masih bisa bergerak maju dengan
mencengkeram tonjolan-tonjolan di atas anjungan.
Ah, berhasil. Aku berdiri di atas lapisan plastik bening. Awak
pesawat kelihatan jelas di bawahku. Makhluk-makhluk Taxxon itu
menatapku dengan panik.

Aku melontarkan tubuhku ke udara. Aku harus mengerahkan


seluruh tenagaku untuk mengimbangi pesawat perbekalan yang
terbang semakin cepat.
Lalu, dengan menggunakan cakarku yang tajam, aku menarik
picu senapan sinar Dracon.
<Biar gosong kalian!>
Tidak seperti senapan biasa, senapan itu tidak tersentak ketika
kutembakkan.
Tapi seketika berkas cahaya merah memancar ke anjungan.
Berkas cahaya itu langsung menembus jendela, membelah salah satu
Taxxon, lalu menghanguskan panel-panel instrumen. Sementara itu
aku terus menarik picunya sampai aku tidak sanggup menarik lebih
lama lagi.
Senapan sinar Dracon terlepas dari cengkeramanku dan jatuh ke
hutan.
Tapi tugasku sudah selesai.
Percayalah, adegan yang terjadi selanjutnya benar-benar seru,
namun sekaligus mengerikan. Pesawat perbekalan yang sebesar
gedung pencakar langit itu tiba-tiba terguncang keras, seperti kapal
laut menabrak bukit karang.
Meski demikian, pesawat itu tetap melesat ke atas, menuju
angkasa luar. Tapi kelihatan jelas awaknya telah kehilangan kendali.
Sekonyong-konyong pesawat itu mulai oleng.
BOOM! Terdengar ledakan membahana. Disusul bola api
berwarna jingga!
Pesawat yang telah lepas kendali itu bertabrakan dengan
helikopter. Helikopter itu langsung hancur berantakan.
Kedua pesawat Bug Fighter serta pesawat Blade yang
ditumpangi Visser Three berusaha menyingkir. Tapi terlambat.
DU-OOOR! BA-BOOM!

Salah satu pesawat tempur menghantam sisi pesawat


perbekalan. Tak ada yang tersisa dari pesawat tempur itu. Pesawat
Visser Three dan pesawat Bug Fighter yang satu lagi langsung
mundur.
Dan kemudian aku melihat sebuah lubang menganga di sisi
pesawat perbekalan.
Panjang lubang itu sekitar tiga puluh meter. Air danau
menghambur keluar dari dalam lubang. Kelihatannya seperti air terjun
dari langit. Jutaan liter mengalir deras.
<Wow,> aku berbisik.
Pesawat perbekalan itu terbang sekitar dua ratus meter di atas
hutan ketika aku melihat teman-temanku.
Cassie. Lalu Rachel dan Marco. Dan Jake. Mereka telah
kembali berwujud manusia, dan mereka terlempar dari lubang di sisi
pesawat.
Mereka jatuh, meluncur kencang, tanpa dapat berbuat apa-apa.
<Jangaaan!>
Aku sadar tak ada yang bisa kulakukan. Aku tahu itu. Tapi tetap
saja aku menukik dan mengejar mereka. Aku melihat teman-temanku
berjumpalitan di udara sambil mengayun-ayunkan lengan dan
menjerit-jerit ketakutan.

Chapter 26

MEREKA jatuh.
Tapi sementara itu mereka mulai berubah.
Cassie yang pertama. Bulu-bulu bermunculan di sekujur
tubuhnya. Ia memang bisa menjelma sebagai burung osprey, yang
masih bersaudara jauh dengan elang ekor merah.
Ia terus meluncur menuju permukaan tanah, tapi secara
bersamaan ia berubah menjadi burung.
Marco dan Rachel sama-sama pernah menjelma sebagai elang
kepala botak. Elang jenis ini berukuran besar, jauh lebih besar
daripada elang ekor merah.
Di depan mataku, lengan mereka berubah jadi sepasang sayap
panjang.
Jake menjelma sebagai peregrine falcon yang mampu melesat
cepat sekali. Dibandingkan mereka, elang ekor merah seakan-akan
berhenti di udara.
Aku melihat paruh peregrine menggantikan mulut Jake.
Tapi... waktunya tidak cukup! Waktunya tidak cukup! Mereka
akan terempas di tanah sebelum...
Wusss!
Cassie merentangkan sayap dan meluncur di atas pohon-pohon.
Tapi nasib Marco lebih buruk. Ia jatuh ke hutan dan menghilang dari
pandangan. Aku kuatir ia tidak bisa menyelamatkan diri.
Tapi kemudian aku melihat seekor burung muncul dari balik
pepohonan, seekor burung dengan rentang sayap hampir dua meter
dan kepala seluruhnya berwarna putih.
<YES! Hebat!> seruku.

Pesawat perbekalan kaum Yeerk kini tak bisa naik lagi. Pesawat
raksasa itu berguling pelan-pelan, lalu menukik ke Bumi.
<Uih, hampir saja!> aku mendengar seruan Marco. <Kita nyaris
celaka. Aku mau berhenti saja jadi anggota Animorphs. Aku mau
pensiun. Aku sudah muak dengan semua ini!>
<Hei, kau belum aman!> aku memberitahunya. <Lihat, tuh!>
Setelah tak lagi terhalang pesawat perbekalan, pesawat Blade
dan pesawat-pesawat tempur Bug langsung mengejar kami.
<Cepat! Masuk ke hutan! Di sana kalian biar sembunyi!> aku
memekik.
Bagaikan skuadron pesawat tempur yang terlatih baik, kami
menyelinap di antara pohon-pohon. Kami melintas di bawah atap
dedaunan, sehingga kaum Yeerk tak bisa melihat kami.
BOOOOM!
Sebuah ledakan mengguncangkan hutan. Pesawat perbekalan
itu telah menghunjam permukaan tanah.
Getarannya menghantam kami bagaikan gelombang pasang
laut.
Aku terpental ke sebuah pohon, untung saja tidak sampai
cedera. <Semuanya baik-baik saja?> aku berseru.
Satu persatu mereka menjawab ya.
Tapi ledakan itu telah mengusik binatang-binatang di hutan.
Semua burung segera kabur atau bersembunyi ketika pertempuran
berlangsung. Dan burung-burung yang masih tersisa kini langsung
terbang.
Aku melihat si elang betina melesat ke udara. Ia ketakutan dan
hendak menyelamatkan diri ke langit.
Tapi kali ini langit bukan tempat yang aman.
Aku tidak tahu pesawat mana yang melepaskan tembakan sinar
Dracon. Mungkin salah satu pesawat Bug Fighter, atau mungkin
pesawat Blade.

Mereka telah melihatku dengan jelas tadi. Dan tampang si elang


betina mirip sekali denganku.
Sinar Dracon mendesis dan membakar sebelah sayap si elang
betina.
Ia jatuh ke Bumi. Dan aku tahu ia takkan pernah bisa terbang
lagi.

Chapter 27

PESAWAT perbekalan raksasa itu terbakar habis. Kaum Yeerk


segera memusnahkan reruntuhannya. Tak sedikit pun yang tersisa.
Tak ada bukti yang dapat kami perlihatkan kepada dunia.
Tapi kami berhasil menghancurkannya. Kami juga berhasil
menghancurkan satu pesawat Bug Fighter. Tanpa korban di pihak
kami.
Hampir tanpa korban.
Keesokan hari aku kembali mengunjungi Rachel. Rupanya ia
sudah menunggu kedatanganku.
"Hai, Tobias," katanya. "Masuklah. Situasi aman, kok."
Aku masuk melalui jendela, lalu hinggap di meja riasnya.
"Bagaimana keadaanmu?" ia bertanya.
<Baik-baik saja,> jawabku.
Ia tampak bingung harus berkata apa lagi. "Ehm, Tobias... aku
tahu kedengarannya gila. Tapi Cassie dan aku... ehm... kami ingin
kembali ke danau. Untuk mencari... si elang betina. Maksud kami,
supaya dia bisa dikubur."
<Itu tidak gila, Rachel,> sahutku pelan. <Sama sekali tidak.
Malah itu perbuatan yang baik sekali. Manusia harus berbuat baik.>
Ia menatapku tanpa berkedip. "Ya, kita memang manusia. Kita
semua."
<Ya. Aku tahu aku manusia sewaktu aku sadar betapa... betapa
sedihnya aku karena dia mati. Elang takkan peduli. Seandainya dia
pasanganku, aku memang akan merasa bingung dan kehilangan. Tapi
sedih? Itu perasaan manusia. Kedengarannya mungkin aneh, tapi

kurasa cuma manusia yang bisa merasa sedih karena kematian seekor
burung.>
"Kalau kau membantu mencari, barangkali kita masih bisa
menemukannya."
<Tidak perlu. Tubuhnya akan dimakan. Oleh raccoon, atau
serigala, atau burung lain. Mungkin bahkan oleh seekor elang.
Memang begitu hukum alam.>
"Hukum itu berlaku untuk binatang liar, Tobias. Bukan untuk
manusia."
<Yeah. Aku tahu. Tapi kau keliru, Rachel. Aku memang
manusia. Tapi, di samping itu, aku juga seekor elang. Aku pemburu
yang harus membunuh supaya bisa makan. Dan aku juga manusia
yang... yang sedih karena kematian.>
Ia tampak sedih sekali. Rachel memang mudah terharu.
Aku terbang keluar melalui jendela. Cuaca sedang bagus.
Matahari bersinar cerah. Awan-awan cumulus menandakan kehadiran
angin termal yang akan mendorongku terbang ke langit luas.
Aku terbang.
Aku Tobias. Anak laki-laki. Tapi sekaligus elang. Suatu
kombinasi yang aneh.
Sekarang kau sudah tahu kenapa aku tidak bisa menyebutkan
nama lengkapku. Atau tempat aku tinggal. Tapi suatu hari kau
mungkin akan memandang ke langit dan melihat siluet seekor burung
pemangsa. Burung besar dengan paruh melengkung dan cakar yang
tajam. Burung bersayap lebar yang melayang-layang dengan bantuan
angin termal.
Bergembiralah untukku, dan untuk semua yang terbang bebas di
angkasa. END
Ebukulawas.blogspot.com

Vous aimerez peut-être aussi