Vous êtes sur la page 1sur 16

REFERAT

ANION GAP

Oleh:
Kelompok A
Andrew Halim
Annisa Sutera Insani
Aprilian Chandra A.
Asih Aprilya
Aulia Syavitri D.
Kelompok C
M. Luqman Fadli
Nurani Issiyah
Rina Aprilianti K.
Rizki

(0510710011)
(0510710018)
(0510710019)
(0510710022)
(0510710025)
(0510710083)
(0510710098)
(0510710113)
(0510710114)

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN EMERGENSI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
Asidosis merupakan keadaan yang timbul bila terjadi kenaikan jumlah asam
dibandingkan basa dalam tubuh manusia, dengan karakteristik adanya penurunan pH darah
disertai penurunan konsentrasi bikarbonat (Indrati dkk., 2008).
Asidosis metabolik dapat mengganggu berbagai fungsi organ, pada sistem
kardiovaskular antara lain dapat menurunkan curah jantung, tekanan darah arteri, serta

menurunkan aliran darah ke hati dan ginjal. Keadaan ini juga mengganggu proses
metabolisme karena menghambat glikolisis serta menurunkan ambilan glukosa oleh
jaringan. Asidemia dapat menyebabkan kalium keluar dari sel dan masuk ke cairan
ekstraselular menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Sedangkan terhadap otak, asidemia
dapat menyebabkan gangguan metabolism dan regulasi volume cairan intraseluler dan
ekstraselular, sehingga terjadi gangguan kesadaran, bahkan koma. Oleh karena itu,
keadaan

asidosis

metabolik

dapat

meningkatkan

angka

kematian,

sehingga

penanganannya harus cermat, tepat, serta berdasarkan kelainan yang mendasari penyakit
tersebut. Asidosis metabolik bukanlah suatu diagnosis. Pengelolaan asidosis metabolik
adalah dengan menangani kelainan dasarnya, sehingga sangat penting untuk mencari
penyakit dasar yang menyebabkan asidosis tersebut (Indrati dkk., 2008; Ooi et al., 2004).
Anion gap dapat mendeteksi adanya asidosis metabolik meskipun nilai pH,
bikarbonat, dan pCO2 normal. Nilai anion gap dapat dipakai untuk menentukan tingkat
kegawatan asidosis metabolik dan dapat pula dipergunakan untuk memperkirakan
penyebab terjadinya asidosis metabolik tersebut (Indrati dkk., 2008).
II. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan anion gap?
2. Apakah kegunaan menghitung anion gap?
3. Bagaimana cara menghitung anion gap?
4. Apa yang dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan anion gap?
5. Bagaimana pengaruh anion gap terhadap metabolik asidosis?
III. Tujuan
1.
2.
3.
4.

Mengetahui yang dimaksud dengan anion gap


Mengetahui kegunaan menghitung anion gap
Mengetahui cara menghitung anion gap
Mengetahui hal yang dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan anion

gap
5. Mengetahui hubungan antara anion gap dan metabolik asidosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anion Gap
2.1.1 Definisi Anion Gap
Anion gap adalah perkiraan jumlah representasi dari ion-ion tidak terukur dalam plasma
atau serum. Anion gap diukur dengan mengamati selisih antara jumlah kation terukur dikurangi
jumlah anion terukur di dalam darah (Kaslow, 2011 ;Staville, 2009).

2.1.2 Cara Menghitung Anion Gap


Anion gap dihasilkan dari pengurangan jumlah konsentrasi natrium dan kalium (kation)
dengan jumlah konsentrasi klorida dan bikarbonat (anion). Kation yang diukur dengan profil
laboratorium umum adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca+) dan magnesium (Mg2+).
Kation tidak terukur mencakup protein serum yang dalam keadaan normal jumlahnya sedikit,
dan beberapa protein patologis (misalnya paraprotein yang ditemukan pada multiple myeloma)
(Staville, 2009).
Sedangkan anion yang diukur dengan profil laboratorium umum adalah klorida (Cl -),
bikarbonat (HCO3-), dan fosfat (PO3-). Anion tidak terukur meliputi sulfat dan sejumlah protein
serum (dominan albumin). Yang disepakati untuk pengukuran anion gap adalah natrium, klorida
dan bikarbonat (Staville, 2009).
Keseimbangan antara kation dan anion dapat dilihat dari persamaan berikut:
o (Na+) + (kation lain) = (Cl-) + (HCO3-) + (anion lain)
o (Na+) - {(Cl-) + (HCO3-)} = (anion lain) (kation lain) = anion gap
Anion gap (mEq/L) = (Na+) - {(Cl-) +
2.1.3 Kegunaan Menghitung Anion Gap
Kegunaan menghitung anion gap adalah (Longenecker, 1998):
Untuk memberikan sinyal adanya asidosis metabolik dan mengkonfirmasi temuan yang

lain
Membantu

peningkatan atau tanpa peningkatan anion gap.


Untuk menilai keparahan biokimia dari asidosis dan menilai keberhasilan terapi
Mendeteksi triple acid-base disorder

membedakan

2.1.4 Anion Gap Serum

penyebab

etiologis

dari

asidosis

metabolik:

dengan

Untuk mempertahankan netralitas elektrik, terdapat konsentrasi anion dan kation yang
seimbang dalam serum. Konsentrasi natrium pada serum mewakili kebanyakan kation yang
ada (140 mEq/L). Kation lain adalah kalium, magnesium dan kalsium. Di sisi lain, konsentrasi
bikarbonat dan klorida serum mewakili hanya sekitar 128 mEq/L kation. Sisa anion sekitar 12
mEq/L mencakup protein bermuatan negative, phosphate, dan sulfat. Perbedaan antara
konsentrasi natrium serum dan konsentrasi bikarbonat klorida inilah yang disebut anion gap
(Longenecker, 1998).
Anion gap bukanlah fenomena yang misterius; anion gap terjadi karena panel elektrolit
standar yang biasa digunakan tidak dapat mengukur semua anion yang ada. Karenanya, anion
gap merujuk pada sekelompok anion yang ada tapi tidak diidentifikasi. Jika semua anion-anion
yang ada pada serum diukur, tidak akan ada anion gap (Longenecker, 1998).
Berikut ini adalah pola elektrolit normal dan persamaan untuk anion gap (Gambar 2.1)
(Longenecker, 1998)

Gambar 2.1 Anion Gap. Rentang normal anion gap dapat lebih rendah, tergantung dari
instrumen yang digunakan. Cl- = klorida, HCO3- = bikarbonat, K+ = Kalium, Na+ = Natrium
(Longenecker, 1998)

2.1.5 Nilai Normal


Pada keadaan yang normal, rentang anion gap adalah 12 + 3 jika kalium tidak diikutkan
dalam perhitungan. Jika kalium dimasukkan dalam penghitungan anion gap, rentang normal
anion gap adalah 16 + 3. Sehubungan dengan perkembangan pada alat-alat laboratorium yang
digunakan untuk mengukur ion, rentang anion gap normal, bisa saja lebih rendah. Sangat
penting untuk mengetahui nilai normal rentang anion gap pada rumah sakit tertentu
(Longenecker, 1998).
2.1.6 Keadaan yang Menyebabkan Peningkatan atau Penurunan Anion Gap

Peningkatan anion gap, hampir selalu mengindikasikan adanya asidosis metabolik


dengan peningkatan anion gap, walaupun beberapa proses lain dapat menyebabkan
perubahan pada anion gap. Pada kelainan yang seperti ini, penilaian adanya asidosis metabolik
dengan peningkatan gap dapat menjadi kabur. Contohnya, jika pasien mempunyai kelainan
yang menurunkan jumlah anion gap dan pada saat yang bersamaan menderita kelainan yang
menyebabkan metabolik asidosis dengan peningkatan anion gap, anion gap dapat berada pada
rentang normal. Beberapa proses yang dapat menyebabkan peningkatan anion gap dapat
dilihat pada tabel 2.1. Beberapa proses yang dapat menurunkan anion gap dapat dilihat pada
tabel 2.2 (Longenecker, 1998).
Tabel 2.1 Proses yang menyebabkan peningkatan anion gap (Longenecker, 1998)

Asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap (paling sering)


Terapi dengan sodium sitrat atau sodium laktat (jika shok atau hipoksia menurunkan

metabolisme anion menjadi HCO3-)


Tranfusi darah (terdapat sejumlah besar sitrat pada PRBC)
Alkalosis (menyebabkan sedikit peningkatan laktat serum, meningkatkan anion gap
sebesar 2-3 mEq/L)

HCO3- = bikarbonat ; mEq/L = milliequivalents per liter; PRBC = packed red blood cells

Tabel 2.2 Proses yang menyebabkan penurunan anion gap (Longenecker, 1998; Oei et
al., 2004)

Hipoalbuminemia (albumin adalah anion bermuatan negatif. Sekitar 75% dari anion

gap adalah albumin)


Dilusi yang sangat dari cairan ekstraseluler
Bromism (mesin laboratorium membaca

konsentrasi klorida seolah-olah lebih tinggi)


Mieloma multipel dan keadaan hiperparaproteinemia
Hipermagnesemia
Kesalahan dari laboratorium

bromida

sebagai

klorida,

karenanya

2.1.7 Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik dapat dibagi menjadi 2 tipe: dengan peningkatan anion gap serta
dengan anion gap normal. Perbedaan diantara kedua tipe asidosis ini terletak pada anion yang
berikatan dengan ion hidrogen. Untuk asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap, anion
yang berikatan dengan ion adalah anion yang tidak terukur (misalnya asam keton pada
ketoasidosis diabetikum)(Gambar 2.2). Untuk asidosis metabolik dengan anion gap yang
normal, anion yang berikatan dengan ion hydrogen adalah klorida (Gambar 2.3), dimana klorida
dapat diukur oleh mesin laboratorium. Asidosis metabolik dengan anion gap yang normal pada
prinsipnya menambahkan HCl ke dalam system asam basa tubuh. Sehingga nama lain untuk
asidosis metabolik dengan anion gap yang normal adalah asidosis hiperkloremik. Hasil akhir
dari asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap adalah pertukaran bikarbonat untuk
anion (anion yang tidak diukur pada keadaan normal), yang pada akhirnya meningkatkan anion
gap. Sedangkan hasil akhir untuk asidosis metabolik dengan anion gap yang normal adalah
pertukaran bikarbonat untuk anion klorida, dan anion gap tidak meningkat dari tingkat
normalnya.

Gambar 2.2 Pola anion pada asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap. Ketika asam
kuat ditambahkan pada serum (misal asam keton), bikarbonat akan digunakan. Anion yang tidak
terukur akan beredar di serum, sehingga anion gap meningkat. Hasil akhirnya adalah pertukaran
HCO3- dengan anion Cl- . Cl- = Klorida, HCO3- = bikarbonat, HA = asam

Gambar 2.3 Pola anion (A-) pada asidosis metabolik dengan anion gap normal. Pada asidosis
dengan anion gap normal bikarbonat pada serum hilang dan diganti dengan klorida sehingga
HCl ditambahkan pada serum.

2.1.8 Diagnosis banding


2.1.8.1 Asidosis Metabolik dengan Peningkatan Anion Gap

Diagnosis banding asidosis metabolik dengan anion gap yang meningkat/ High Anion Gap
Metabolic Acidosis (HAGMA) adalah
M Methanol/ethanol
U Uremia
D Diabetic Ketoacidosis (DKA)
P Paraldehyde ingestion
I Ischemia (menyebabkan asidosis laktat)
L Lactic Acidosis (sepsis, hipotensi, hipoksia, iskemia)
E Ethylene Glycol
S Salycilates

2.1.8.1.1 Methanol
Methanol seringkali didapatkan pada cat, pelarut, bahan antibeku, dan bahan bakar
untuk kompor luar. Sehingga kecurigaan terhadap eksposure bahan ini memegang
kemungkinan besar diagnosis asidosis karena methanol. Absorpsi bahan ini dapat melalui
saluran pencernaan, kulit, dan saluran napas (Sinuhaji, 2007).
Methanol dikonversikan menjadi formaldehid oleh alcohol dehydrogenase (ADH),
kemudian menjadi formic acid (formate) oleh aldehid dehydrogenase. Asam format
dikonversikan menjadi CO2 dan air, folat merupakan kofaktor dari reaksi ini. Akumulasi formic
acid

menyebabkan asidosis anion gap dan kerusakan CNS. Pembentukan asam format

membutuhkan waktu sehingga gejala dan tanda baru dapat dirasakan 30 jam setelah
eksposure. Toksisitas dari methanol dominan mempengaruhi sistem saraf, penglihatan dan
pencernaan (Sinuhaji, 2007).
Kadar methanol dapat diukur untuk konfirmasi kecurigaan diagnosis toksisitas methanol.
Kadar methanol lebih dari 20 mg/dL atau kurang dari 20 mg/dL dengan disertai asidosis disebut
toksik (Sinuhaji, 2007).
2.1.8.1.2 Uremia
Uremia terkait dengan kegagalan fungsi ginjal. Fungsi ginjal yang tidak baik
menyebabkan produksi ureum dari metabolit protein tidak bisa dikeluarkan dari darah,
akibatnya terjadi penumpukan ureum dalam darah. Ureum bermuatan negatif, sehingga terjadi
peningkatan anion gap. Riwayat penyakit ginjal progresif dan peningkatan serum urea nitrogen
(BUN) dan kadar kreatinin adalah kunci untuk mendiagnosis asidosis anion gap tinggi sebagai
akibat dari gagal ginjal kronis (Sinuhaji, 2007).
Uremia merupakan penyebab yang paling umum terjadi. Anion gap pada uremia
biasanya terlihat hanya ketika kreatinin > 4,0 mg / dL (SI:> 354 mol / L). Uremic asidosis jarang
tanpa

hyperphosphatemia.

Koma

hiperglikemia

nonketotic

menyebabkan asidosis metabolik anion gap tinggi (Sinuhaji, 2007).

dan

rhabdomyolisis

dapat

2.1.8.1.3 Ketoasidosis (Diabetik, alkoholik, dan starvasi)


Pada ketoasidosis terjadi produksi berlebih keton terkait dengan metabolisme lemak dan
protein. Adanya proses glukoneogenesis menyebabkan pemecahan protein dan lemak menjadi
glukosa. Metabolit dari proses tersebut adalah keton yang bermuatan negatif. Semakin banyak
keton yang terbentuk akan mengakibatkan jumlah ion negatif menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan ion positif, sehingga terjadilah anion gap yang tinggi (Sinuhaji, 2007).
Ketoasidosis diabetik (KAD) memiliki 3 trias gambaran klinik yakni hiperglikemia,
ketonemia, dan asidemia. Ketoasidosis diabetik sering terjadi pada pasien diabetes tipe 1
meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi pada diabetes tipe 2. Pada DM tipe 2, pancreas
secara umum dapat menghasilkan insulin, tetapi tubuh tidak mampu memproses dan
menggunakan glukosa dengan baik. Keadaan ini menyebabkan kadar glukosa darah yang
tinggi, tetapi di sisi lain, tubuh kelaparan karena tidak dapat menggunakan glukosa sebagai
energi. Akibatnya, tubuh membakar lemak untuk menghasilkan energi. Proses ini menghasilkan
metabolit yang berbahaya yaitu keton. Kadar glukosa yang tinggi dalam tubuh dapat
menyebabkan cairan keluar dari sel, sehingga menyebabkan dehidrasi sel (Sinuhaji, 2007).
Terjadinya KAD diawali dengan kondisi kekurangan atau tidak adanya insulin disertai
dengan adanya peningkatan kadar glukagon. Seringkali ini kondisi ini disebabkan oleh regimen
insulin yang tidak terpenuhi atau meningkatnya stress fisik (infeksi atau operasi). Glukagon
menimbulkan kondisi ketoasidosis melalui 2 mekanisme utama. Pertama,

glukagon

menstimulasi terjadinya glukoneogenesis dan menyebabkan gangguan pada penggunaan


insulin perifer sehingga terjadi hiperglikemia disertai dengan diuresis osmotik. Mekanisme yang
kedua, glukagon menstimulasi oksidasi hepatik asam lemak bebas yang berasal dari jaringan
adipose sebagai respon terhadap defisiensi insulin. Oksidasi asam lemak bebas menghasilkan
ketoacid, hidroksibutirat dan asetoasetat sehingga menimbulkan kondisi asidosis metabolik
(Sinuhaji, 2007).
Pasien dengan KAD akan memberikan gambaran klinik mual, muntah dan poliuria dapat
juga disertai nyeri abdomen serta dari pemeriksaan fisik didapatkan pernafasan Kussmaul dan
tanda-tanda dehidrasi. Tanpa terapi, KAD dapat berkembang dan memberat yang ditandai
dengan penurunan kesadaran dan yang lebih jarang kolaps sirkulasi. Tingginya level keton dan
gula pada darah juga dapat terukur melalui urinalisis (Sinuhaji, 2007).
Diagnosis ketoasidosis alkoholik diawali dengan adanya riwayat penggunaan alkohol
yang kronis atau penurunan/penghentian tiba-tiba penggunaan alkohol. Seperti halnya pada
KAD, kadar glukagon meningkat sebagai akibat berkurangnya glukosa intrasel sehingga
menyebabkan pembentukan ketoacid. Gambaran klinis ketoasidosis alkoholik yang nyata
adalah adanya muntah, nyeri abdomen, dan dehidrasi (Sinuhaji, 2007).

Ketoasidosis starvasi sering terjadi pada kondisi starvasi sebagai respon terhadap
stress fisik seperti penyakit, aktifitas fisik atau kehamilan. Pada kondisi ini tidak adanya insulin
yang diinduksi oleh kondisi starvasi mengaktifkan jalur ketogenik sehingga menghasilkan
kondisi ketoasidosis starvasi akut (Sinuhaji, 2007).
2.1.8.1.4 Paraldehid
Pada dosis yang berlebih, paradelhid dapat memberikan gambaran klinis seperti
overdosis terhadap obat sedative-hipnotik, yakni hipotensi, bradipnea, hipotermia, dan
perubahan status mental. Penggunaannya dapat menghasilkan asam asetat dan asam
kloracetic, yang akan meningkatkan anion gap sehingga menimbulkan asidosis metabolik
(Sinuhaji, 2007).
Ada dua rute utama ekskresi paraldehid, yaitu ekshalasi (28%) dan metabolism melalui
hepar (80%). Pernah dikemukakan bahwa tahap awal adalah depolymerisation untuk
asetaldehida, diikuti dengan oksidasi asam asetat, dan kemudian melalui siklus Krebs untuk
karbon dioksida dan air. asidosis diproduksi oleh paraldehyde merupakan konsekuensi dari
oksidasi paraldehyde-derived acetaldehyde. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan inhibisi
enzim selama metabolism intermediate.
2.1.8.1.5 Isoniazid dan Besi
Toksisitas akut isoniazid secara tidak langsung melalui deplesi piridoksin, toksisistas
kronik secara langsung melalui reaksi hipersensitivitas. Hal ini memungkinkan terjadinya
defisiensi -aminobutyric acid (GABA), menghasilkan refractory generalized, kejang tonic clonic.
Anion gap metabolic acidosis dihasilkan dari produksi laktat yang cepat dan berlebih selama
kejang (Sinuhaji, 2007).
Zat besi bebas, yaitu transferin yang tersaturasi, dapat menghasilkan tokssitas seluler
secara tidak langsung. Ini menyebabkan tidak terjadinya couple fosporilasi oksidatif
mitokondria, yang akhirnya menggagalkan sintesa ATP. Ini juga menghasilkan radikal bebeas,
yang akan merusak membrane sel melalui peroksidasi lemak. Kerusakan ini selanjutnya akan
menyebabkan perdarahan GI, dan disfungsi myocardial, menambah kerusakan hepar, dan
kerusakan CNS. Peningkatan anion gap meliputi produksi laktat sebagai efek dari hipovolemia,
syok cardiogenik, dan metabolisme anaerobic, disamping itu proton yang tidak terbuffer
menghasilakan hidrasi ferric iron bebas (Sinuhaji, 2007).
2.1.8.1.6 Asidosis Laktat
Produksi berlebih laktat terkait dengan gagal napas (hipoksia), gangguan enzim
metabolisme karbohidrat, defisiensi gizi yang mengganggu kemampuan tubuh untuk melakukan
metabolisme laktat (vitamins B, terutama vitamin B1). L-laktatemia dapat terjadi akibat kondisi
hipoperfusi (ketoasidosis diabetikum, syok sepsis, syok kardiogenik), intoksikasi karbon

monoksida, sianida, biguanid. D-laktatemia dapat terjadi akibat short bowel syndrome (Sinuhaji,
2007).
Asidosis laktat berbeda dengan hiperlaktatemia, di mana pH pada hiperlaktatemia masih
normal, namun terjadi peningkatan kadar laktat, sedangkan rasio

laktat

/piruvat-nya tetap konstan.

Asidosis laktat telah lama digunakan sebagai prediktor survival post-trauma, baik trauma
tembus maupun tumpul (Sinuhaji, 2007).
2.1.8.1.7 Ethylene Glycol
Ethylene Glycol menurunkan titik beku air dan maka dari itu banyak ditemukan pada zat
antibeku, pembersih lapisan es, dan minyak rem. Tingkat dugaan yang tinggi pada paparan
mempunyai peran yang besar pada diagnosis keracunan. Peningkatan anion gap asidosis
disebabkan oleh akumulasi asam glycolic dengan bantuan dari asam laktit. Tanda dan gejala
muncul dalam kurun waktu 4 sampai 8 jam setelah masuk, dengan efek yang dominan pada
neurologi, kardiopulmoner, dan system ginjal (Sinuhaji, 2007).
2.1.8.1.8 Salisilat
Toksisitas akut dan kronis dapat ditimbulkan akibat ingesti salisilat pada pengobatan
peroral. Salisilat menyebabkan gangguan asam basa yang merangsang langsung pusat medula
pernapasan, yang menyebabkan alkalosis respiratorik, dan pelepasan dari fosforilasi oksidatif
yang menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik kemudian diperkuat oleh ekskresi
bikarbonat ginjal sebagai respon untuk meningkatkan ventilasi, penumpukan asam laktat akibat
gangguan dari mitokondria, produksi asam keton akibat salisilat yang menginduksi inhibisi
dehidrogenasi siklus kreb, dan asam salisilat bebas (Sinuhaji, 2007).
Salisilat menyebabkan inhibisi siklus asam sitrat dan uncoupling oksidasi fosforilasi.
Selain itu, metabolism lemak juga distimulasi, sedangkan metabolism asam amino dihambat.
Salisilat menstimulasi pusat nafas, menyebabkan hiperventilasi dan respirasi alkalosis. Salisilat
juga mengintervensi siklus kreb, membatasi pembentukan ATP, dan meningkatkan produkso
laktat yang menyebabkan ketosis dan asidosis metabolik anion gap tinggi (Sinuhaji, 2007).
Tanda utama keracunan adalah hiperventilasi, tinnitus, tak dapat mendengar,
vasodilatasi dan berkeringat. Koma jarang terjadi, namun bila terjadi menandakan keracunan
yang sangat hebat. Pengosongan lambung sampai 4 jam setelah masuknya racun dapat
mengeluarkan salisilat cukup banyak. Kehilangan cairan harus digantikan dan natrium
bikarbonat (1,26%) diberikan untuk memperbaiki ekskresi salisilat dalam urin (Sinuhaji, 2007).

2.1.8.1 Asidosis Metabolik Tanpa Peningkatan Anion Gap


Diagnosis banding asidosis metabolik Tanpa Peningkatan Anion Gap / Normal Anion Gap
Metabolic Acidosis (NAGMA) adalah

H
A
R
D
U
P

2.4.1

Hiperalimentasi
Acetazolamide (carbonic anhydrase inhibitor)
Renal tubular acidosis dan renal insufisiensi
Diare dan diuretik
Ureteroenterostomi
Pancreatic Fistula

Hiperalimentasi
Asidosis hiperkloremik terjadi akibat pemberian makanan yang berlebihan secara

parenteral, tanpa sejumlah bikarbonat yang cukup atau pemberian bikarbonat yang terlarut,
seperti laktat atau asetat. Proton proton dilepaskan dari sintesa asam amino bermuatan
positif, seperti arginin, lisin, atau histidin, dalam campuran pemberian makanan yang berlebihan
karena dimetabolisme. Dalam keadaan defisiensi relatif dari bikarbonat, proton proton ini tidak
dapat berfungsi sebagai penyangga sehingga menyebabkan asidosis dengan anion gap yang
normal (Sinuhaji, 2007).
2.4.2

Acetazolamide (carbonic anhydrase inhibitors)


Acetazolamide merupakan inhibitor karbonik anhidrase yang digunakan dalam

pengobatan glaucoma, kejang epilepsi, benign intracranial hypertension (BIH), altitude


sickness, dan sistinuria. Acetazolamide juga digunakan sebagai diuretik (Sinuhaji, 2007).
Pada tubulus ginjal, ion hydrogen disekresikan secara normal bersamaan dengan
bikarbonat (HCO3-) untuk membentuk asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat secara normal
dipengaruhi oleh karbonat anhidrase, menyebabkan terbentuknya CO 2. Karena CO2
meninggalkan tubulus dengan difusi melalui membrane sel, reaksi diatas secara normal
bergeser ke kiri (dengan kata lain berkebalikan), dan sebagian besar bikarbonat diabsorbsi
secara terus menerus dari serum. Namun, adanya acetazolamid, karbonat anhidrase dihambat
dan level asam karbonat menjadi meningkat. Penghambatan karbonat anhidrase menyebabkan
reaksi yang berkebalikan dan menurunkan kemampuan tubuh untuk menyerap bikarbonat
serum, menghasilkan bikarbonat dalam urin. Berbeda dengan hal tersebut, H + yang terdapat
pada lumen juga diabsorbsi melalui jalur alternatif sama dengan Cl -; kemudian menujua ke
aliran darah, menyebabkan metabolik asidosis hiperkloremik (Sinuhaji, 2007).
2.4.3

Asidosis Tubulus Ginjal dan Insufisiensi Ginjal


Jika terdapat NAGMA serum dan anion gap urin 0, kehilangan bikarbonat dari saluran

pencernaan (diare) merupakan penyebab dari metabolik asidosis. NAGMA dengan anion gap
urin 0 menunjukkan tipe 1 (distal) atau tipe 4 renal tubular asidosis. pH urin > 5,5 dengan
metabolik asidosis menunjukkan ketidakmampuan dari tubulus distal untuk mengasamkan urin
dan terjadi dengan tipe 1 atau tipe 4 renal tubular asidosis. Pada awalnya, tipe 1 renal tubular

asidosis mungkin disebabkan oleh terapi amphotericin atau oleh disfungsi tubular karena
protein myeloma pada multiple myeloma (Sinuhaji, 2007).
Renal tubular asidosis tipe 2 merupakan defek primer dari fungsi tubular yang jarang
terjadi pada usia tua tetapi dapat dihasilkan dari dieresis bikarbonat yang disebabkan oleh
penghambat karbonat anhidrase sebagai terapi glaucoma. Untuk tujuan ini, adanya NAGMA,
tetapi setelah dieresis bikarbonat, pH urine < 5,5 selama asidosis karena kemampuan
asidifikasi ion hydrogen distal normal (Sinuhaji, 2007).
Renal tubular sidosis tipe 4 disebabkan oleh obstruksi traktus urinarius, diabetes
mellitus, atau obat-obatan yang berhubungan dengan aldosteron (contoh, penghambat
angiotensin- converting enzyme, angiotensin-receptor blockers). Renal tubular sidosis tipe 4
digambarkan dengan disfungsi tubular yang lebih buruk daripada tipe 1. Tambahan disfungsi
tubular ditunjukkan oleh adanya hiperkalemi (Sinuhaji, 2007).
2.4.4

Diare dan Diuretik


Kehilangan darah melalui diare dapat menyebabkan dehidarasi dan ketidakseimbangan

elektrolit. Pada keadaan normal, pH darah dipertahankan dalam rentang yang sempit agar sel
tubuh dapat bekerja dengan baik. Ini dimungkinkan dengan adanya sistem buffer yang dibantu
mekanisme kompensasi dan koreksi fisiologis oleh paru-paru dan ginjal. pH dipengaruhi oleh
rasio kadar bikarbonat (HCO3-) dan asam karbonat darah (H2CO3) sedangkan kadar asam
karbonat darah dipengaruhi oleh tekanan CO2 darah (pCO2). Bila rasio ini berubah, pH akan
naik atau turun. Penurunan pH darah di bawah normal yang disebabkan penurunan kadar
bikarbonat darah disebut asidosis metabolik. Sebagai kompensasi penurunan bikarbonat darah,
akan dijumpai pernafasan cepat dan dalam (pernafasan Kussmaul) sehingga tekanan CO2
darah menurun (hipokarbia). Di samping itu ginjal akan membentuk bikarbonat baru (asidifikasi
urine) sehingga pH urine akan asam (Sinuhaji, 2007).
Penurunan kadar bikarbonat darah bisa disebabkan hilangnya bikarbonat dari dalam
tubuh (keluar melalui saluran cerna atau ginjal) ataupun disebabkan penumpukan asam-asam
organik, -baik endogen maupun eksogen, yang menetralisir bikarbonat (Sinuhaji, 2007).
Berdasarkan hukum elektroneutral, -jumlah kation harus sama dengan jumlah anion
dalam satu larutan-, pada asidosis metabolik di mana terjadi penurunan kadar bikarbonat
plasma akibat penumpukan asam organic dalam plasma (anion yang tidak terukur meninggi),
dijumpai kadar klorida darah normal. Keadaan ini disebut asidosis metabolik dengan anion gap
(kesenjangan anion) meninggi atau asidosis metabolik normokloremia (Sinuhaji, 2007).
Sebaliknya bila asidosis metabolik terjadi karena penurunan kadar bikarbonat plasma
akibat hilangnya bikarbonat dari tubuh, akan dijumpai peninggian kadar klorida darah. Ini
disebut dengan asidosis metabolik dengan anion gap (kesenjangan anion) normal ataupun
asidosis metabolik hiperkloremia. Pada penderita diare, asidosis metabolik dengan anion gap

normal dijumpai bila penurunan kadar bikarbonat darah murni akibat hilangnya bikarbonat
melalui tinja (Sinuhaji, 2007).
Diare terutama pada anak menyebabkan kehilangan bikarbonat dalam jumlah sangat
besar, sekitar 70-80 meq/L. Sebagai kompensasi, tubuh akan mempertahankan anion klorida
melalui reabsorbsi klorida dari ginjal. Mekanisme ini akan semakin meningkat bila sudah tidak
ada lagi anion lain yang digunakan untuk bereaksi dengan ion H+ dalam darah. Akibatnya terjadi
asidosis metabolik dengan kadar klorida dalam darah yang meningkat (Sinuhaji, 2007).
Pemakaian diuretik seperti triamterene, spironolakton, dan amilorida, mempengaruhi
absorpsi Na di tubulus distalis, sekresi ion hidrogen, dan sekresi K. Akibatnya, timbul keadaan
hiperkalemia dan asidosis metabolik hiperkloremia seperti pada asidosis tubulus ginjal tipe 4
(Sinuhaji, 2007).
2.4.5

Ureteroenterostomi dan Enterostomi


Pasien ureterosigmoidostomy mengalami akumulasi urine di colon. Kandungan klorida

dan amonium urine ini akan direabsorbsi dan ditukar dengan bikarbonat, akibatnya pasien akan
kehilangan bikarbonat, namun terkompensasi dengan peningkatan klorida, sehingga anion gap
tetap normal (Sinuhaji, 2007).
2.4.6

Fistula Pankreas
Fistula pankreas adalah adanya hubungan yang abnormal antara pankreas dan organ

lainnya karena adanya kebocoran sekresi pankreas dari duktus pankreas yang rusak. Fistula
pankreas eksterna adalah terdapatnya hubungan pankreas dengan kulit, yang juga dikenal
sebagai fistula pankratikokutaneus, sedangkan fistula pankreatik interna berkomunikasi dengan
organ atau ruang internal. Fistula pankreas dapat disebabkan oleh penyakit pankreas, trauma
atau pembedahan (Sinuhaji, 2007).
Fistula pankreatik ekterna merupakan hubungan yang abnormal antara pankreas
(terutama duktus pankreatikus) dan bagian luar tubuh melalui dinding perut. Kehilangan cairan
pankreas yang kaya akan bikarbonat melalui fistula pankreatikus dapat menyebabkan
hiperkloremik atau normal anion gap metabolic asidosis (NAGMA). Kehilangan sedikit volume
cairan tidak akan menyebabkan masalah tetapi asidosis seringkali terjadi jika kehilangan cairan
pankreas dalam jumlah yang besar (Sinuhaji, 2007).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Anion gap adalah perkiraan jumlah representasi dari ion-ion tidak terukur dalam plasma
atau serum.
2. Anion gap dihasilkan dari pengurangan jumlah konsentrasi natrium dan kalium (kation)
dengan jumlah konsentrasi klorida dan bikarbonat (anion).
3. Kegunaan menghitung anion gap adalah untuk memberikan sinyal adanya asidosis
metabolik dan mengkonfirmasi temuan yang lain, membantu membedakan penyebab
etiologis dari asidosis metabolik: dengan peningkatan atau tanpa peningkatan anion
gap, menilai keparahan biokimia dari asidosis dan menilai keberhasilan terapi, serta
mendeteksi triple acid-base disorder

DAFTAR PUSTAKA
Indrati AR. Parwati I. Noormartany. 2008. Korelasi Nilai Anion Gap dengan Nilai Base
Excessserta Peranan Kadar Klorida terhadap Anion Gap pada Penderita Asidosis Metabolik.
MKB vol XL no 4
Kaslow EK. Anion Gap. http://www.drkaslow.com/html/anion_gap.html. Diakses pada tanggal 22
April 2011
Longenecker J.C. 1998. High-Yield Acid-Base Disorder, 2nd edition. Lippincott Williams &
Wilkins
Ooi S. Manning P. 2004. Guide to the Essentials in Emergency Medicine. McGraw Hills
Sinuhaji, AB. 2007. Asidosis Metabolik: Salah satu penyulit diare akut pada anak yang
seharusnya dapat dicegah. http://Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/731/1/08E0012.pdf.
Diakses pada tanggal 24 April 2011.
Stavile

KL,

Richard

S.

2009.

Metabolic

http://www.emedicine.com/emerg/topic312.htm. Diakses pada tanggal 24 April 2011.

Acidosis.

Vous aimerez peut-être aussi