Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Perioperatif
Samsu Buntoro
112014114
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Terusan Arjuna No.6,Kebun Jeruk,Jakarta Barat.Tel.(021)56966593-4 Fax.
(021)5631731
Email: boensamsu@yahoo.co.id
I.Pendahuluan
a. Latar Belakang
Ahli anestesi atau anestesiologi dewasa ini, menjadi disiplin ilmu yang sangat berperan
dalam proses pembedahan. Sebelum dilakukan pembedahan, seorang ahli anestesi perlu
melakukan pemeriksaan klinik pra bedah untuk mempersiapkan kondisi pasien siap dilakukan
pembedahan. Selain kondisi fisik dan mental pasien, tempat dan jenis tindakan bedah yang akan
dilakukan turut berperan dalam menentukan kebutuhan anestesi yang akan diberikan. Peran ahli
anestesi dalam menjaga kestabilan tanda vital pasien sangatlah penting dalam menentukan
kemudahan dan hasil akhir suatu proses pembedahan.
b. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan adalah agar pembaca dapat memahami jenis dan urutan
penggunaan obat dalam ilmu anestesi selama perioperative. Selain itu, penulis juga berharap
pembaca dapat bertambah wawasannya dalam hal obat-obat anestesi.
II.Pembahasan
Agar ahli anestesiologi dapat melakukan pilihan rasional bagi tindakan untuk pasien
tertentu yang akan menjalani operasi, penting evaluasi prabedah yang teliti dan menyeluruh.
Pemeriksaan klinik prabedah dan pemeriksaan selanjutnya oleh ahli anestesiologi bertujuan
memperoleh keterangan penting tentang riwayat penyakit, keadaan klinik, pemeriksaan fisik dan
hasil laboratorium pasien. Hal ini membantu untuk mengklasifikasi pasien menurut The American
Society of Anesthesiology yaitu :1. pasien sehat,normal, 2 pasien penyakit sistemik ringan, tidak
ada gangguan fungsional 3. pasien dengan penyakit sistemik sedang, dengan gangguan fungsional
4. Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang menjadi ancaman konstan terhadap nyawa 5.
Pasien terminal yang diperkirakan tidak selamat dalam waktu 24 jam dengan atau tanpa operasi 6
pasien donor organ yang sudah dinyatakan mati batang otak.1
a.Premedikasi
Hipersekresi jalan napas juga perlu dikurangi, bila mungkin dicegah. Trakea merupakan
jalan napas utama dalam tubuh manusia dan satu-satunya pintu masuk O2. Jika pasase udara
terganggu, tentu akan terganggu pula oksigenasi pasien. Terutama pada pasien yang terhipnosis,
kemampuan mempertahankan patensi jalan napas akan terganggu. Sekalipun pasien menjalani
anestesi umum dengan intubasi endotrakeal, hipersekresi jalan napas tetap merupakan penyulit,
terutama jika ini meliputi seluruh jalan napas. Penyulit lain yang berhubungan dengan jalan napas
adalah asma bronkiale atau hipersensitivitas jalan napas. Selain harus diketahui faktor
pencetusnya, pada pasien dengan penyulit ini perlu dipersiapkan hal-hal yang dapat mencegah
atau setidaknya mengurangi gejala. Perlu dipertimbangkan pemberian obat bronkodilator, agonis
beta dan steroid. 1
Pencegahan pneumonia aspirasi
Terkadang pasien tertentu memiliki resiko pneumonia aspirasi yang tinggi. Sebagian
contoh pasien dengan refluks esofagitis, pasien hamil besar, pasien dengan tumor intra-abdomen,
termasuk pasien emergensi yang tidak sempat dipuasakan. Pasien seperti ini ketika dilakukan
induksi anestesia dapat terjadi refluks isi lambung ke atas dan karena posisi pasien terlentang
maka besar resiko terjadinya aspirasi isi lambung. Pasien yang berisiko dengan risiko pneumonia
aspirasi seringkali diberi metoklopramid untuk mempercepat pengosongan lambung atau
diberikan antagonis H2. 1
Mengurangi nyeri
Obat analgetika seringkali diperlukan pada pasien yang terus menerus merasakan nyeri.
Penggunaan opioid sekarang ini sebagai premedikasi di ruangan sudah sangat terbatas karena
berpotensi menimbulkan depresi sistem saraf pusat. Alternatif analgetik selain golongan opioid
adalah obat-obat antiinflamasi nonsteroid(NSAID). Pemilihan obat ini harus cermat karena efek
samping yang ditimbulkan yaitu asma bronkiale yang dicetuskan obat NSAID tertentu, NSAID
dapat bersifat iritatif pada lambung dan sistem koagulasi darah. 1
Obat yang sering diberikan untuk premedikasi
Benzodiazepin
Golongan obat benzodiazepin adalah diazepam, temazepam, lorazepam, dan midazolam.
Benzodiazepin memiliki beberapa efek yakni ansiolitik, sedatif, dan amnesia. Midazolam oral
sering digunakan pada anak-anak. Midazolam sirup efektif sebagai sedatif dan ansiolitik pada
dosis 0,2-0,4 mg/kgBB. Waktu pulih dari midazolam meningkat pada pasien usia lanjut, obesitas,
dan penyakit hati berat. Dosis dari midazolam intravena adalah 0,05 mg/kgBB. 1,3
Opioid
Pemberian opioid dapat menimbulkan sedasi karena depresi susunan saraf pusat. Opioid
dengan waktu paruh yang panjang dapat pula memberikan efek analgesia pascaoperasi. Depresi
susunan saraf pusat termasuk depresi napas menjadi kelemahan opioid. Hipoventilasi dapat
mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia yang tentu saja dapat berbahaya. Penggunaan opioid
sebaiknya dihindari pada pasiem yang akan melahirkan, pasien dengan kesadaran tidak baik dan
pasien dengan gangguan fungsi pernapasan. Opioid merangsang CTZ (Chemoreceptor Trigger
Zone) di ventrikel IV otak, mencetuskan mual muntah. Oleh sebab itu penggunaan opioid
seringkali disertai antiemetik. Morfin dan opioid dapat menimbulkan spasme sfinkter Oddi pasien
dengan obstruksi traktus biliaris yang dapat menimbulkan nyeri abdomen kuadran atas. Efek lain
yang sering timbul setelah pemberian opiat dan opioid adalah penglepasan histamin.Dosis fentanyl
adalah 1-5mcg/kgBB. 1
Antikolinergik
Obat antikolinergik adalah obat yang memblokade neurotransmitter asetilkolin dengan
cara inhibisi kompetitif. Obat-obat ini menginhibisi tonus parasimpatis, dengan konsekuensi
menurunkan tonus otot polos di saluran cerna, saluran kemih dan sebagainya. Contoh obat
golongan ini adalah atropine, glikopirolat, difenhidramin, dimenhidrinat, ipratropium bromide.
Atropin paling banyak digunakan. Selain relaksasi sfingter, atropine menyebabkan dilatasi pupil.
Oleh karena itu penggunaan atropine perlu perhatian khusus pada glaucoma sudut sempit ,
hipertrofi prostat dan obstruksi kandung kemih. Dosis atropine sebagai premedikasi adalah 0,010,02 mg/kgBB. Efek yang diinginkan adalah antisialagog(mengurangi sekresi jalan napas). Obat
ini juga berguna untuk mengatasi reflex vagal karena atropine mempunyai sifat vagolitik. Efek
lain antikolinergik yang tidak diinginkan adalah meningkatnya risiko refluks gastroesofagus akibat
penurunan tonus sfingter esophagus, agitasi, konvulsi hingga koma, siklopegia, demam akibat
hambatan sekresi keringat dan mulut kering yang berlebihan. Oleh sebab itu, pemberian atropine
sebagai premedikasi tidak boleh terlalu lama sebelum anesthesia dimulai karena akan
menimbulkan sensasi yang tidak menyenangkan pada pasien. 1
-blocker
Pemberian obat ini di kamar bedah sebagai premedikasi terbatas pada preparat intravena
yang berawitan sangat cepat dan durasinya pendek. Obat ideal untuk keperluan ini adalah esmolol
atau pilihan nomor dua, metoprolol. Penggunaan golongan obat ini sebagai premedikasi
dimaksudkan untuk menghambat respon hemodinamik akibat stimulus nosiseptif(laringoskop dan
intubasi) serta menghambat respon stress neuroendokrin. Obat ini tidak memiliki kemampuan
analgesia. Penggunaan -blocker yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada pasien asma
bronkiale karena sekatan dapat terjadi juga di reseptor 2 di bronkus dan menyebabkan
bronkokonstriksi. 1
Klonidin dan Deksmedetomidin
Obat-obat ini merupakan agonis 2 yang dapat mempotensiasi anastesia dengan
menurunkan aktivitas noradrenergic pusat serta simpatolitik. Pemberian premedikasi klonidin
digunakan sebagai antihipertensi dengan dosis 0,1 mg dalam 30-60 menit sebelum operasi,
memiliki efek sedasi serta menurunkan kebutuhan akan anastesia perioperative. Khusus
deksmedetomidin dikatakan memiliki efek analgetik.Obat golongan ini menghambat pelepasan
norepinefrin secara sentral. Oleh karena itu pemberiannya harus dihindari pada pasien-pasien yang
sangat memerlukan kemampuan kompensasi kardiovaskular, misalnya pada pasien syok
hipovolemik. 1
Antagonis reseptor H2, Inhibitor Pompa Proton
Proton pump inhibitor seperti omeprazole, lansoprazol dan pantoprazole bekerja pada sel
parietal lambung, berikatan dengan menghambat pompa proton sehingga menghambat sekresi
asam lambung. Penggunaannya untuk profilaksis aspirasi asam lambung pada anesthesia umum
tertentu terbatas dibandingkan dengan penggunaan di atas. Inhibitor reseptor H2 menghambat
pengikatan histamin pada reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi dan volum gaster serta
menurunkan pH lambung sehingga lebih efektif mencegah pneumonia aspirasi. Sebagai
profilaksis dapat digunakan dosis ranitidine 50 mg IV. Ranitidin oral 150-300 mg diberikan malam
hari dan waktu 1-2 jam pra-anastesia. Pemberian harus lebih berhati-hati pada pasien dengan
kelainan ginjal dna hepar. 1
Antagonis Serotonin
Serotonin atau 5-hidroksitriptamin(5-HT) adalah neurotransmitter monoamine. Secara
dominan 5-HT ada dalam traktus gastrointestinal, platelet dan susunan saraf pusat. Pada system
hematologi, serotonin 5HT2A bertanggung jawab pada kontraksi otot polos dan menyebabkan
kontraksi yang meningkatkan peristaltic tanpa memengaruhi sekresi. Selain itu 5HT3 dapat
ditemukan pada reseptor yang memediasi pusat muntah di otak dan juga lambung. Antagonis
5HT3 yang pertama dikenal ada beberapa jenis, yaitu derivate karbazol(ondansetron),
indazol(granisetron), dan indol(tropisetron dan dolasetron). Granisteron biasa diberikan 1 mg
sebelum induksi anestesi. Antagonis reseptor 5HT hamper semuanya adalah antiemetik.
Penggunaan rutin sebagai profilaksis antimual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan pasca
bedah terutama pada pasien dengan riwayat mual muntah, pasien menjalani pembedahan yang
berisiko tinggi menyebabkan nausea seperti laparoskopi, serta operasi yang memerlukan
pencegahan mual muntah seperti pada bedah saraf atau operasi mata. Dosisi yang
direkomendasikan pada ondansetron adalah 4 mg. 1
Metoklorpropamid
Metoklorpropamid bekerja sebagai cholinomimetic yang memfasilitasi transmisi
asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif. Obat ini adalah agen prokinetik pada saluran cerna
bagian atas, meningkatkan tonus sfingter esophagus bagian bawah, mempercepat pengosongan
lambung dan menurunkan volum gaster. Efektif pada pasien dengan gastropati diabetikum, gastroesophageal reflux disease(GERD) dan pencegahan pneumonia aspirasi. Dosis metoklorpropamid
0,25mg/kgBB efektif secara oral dengan awitan 30-60 menit dan secara intravena dengan awitan
1-3 menit. Dosis lebih besar 1-2 mg/kgBB dapat digunakan pada emesis kemoterapi. Efek
samping pada pemberian intravena cepat adalah kram abdominal. Obat ini dikontraindikasikan
pada Parkinsonisme, obstruksi usus, serta feookromasitoma karena dapat menyebabkan
penglepasan katekolamin dari tumor. Obat dieksresikan di urin sehingga perlu hati-hati pada
pasien gangguan ginjal. 1
Obat-obat Anestesi Umum
Obat anestesi dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi atau sedasi
tergantung dari dosis yang diberikan. Dalam sebagian besar kasus, obat anestesi intravena
digunakan untuk induksi dan obat anestesi inhalasi digunakan untuk pemeliharaan. Obat anestesi
intravena akan menuju ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya menuju
organ target dan akhirnya dieksresikan. Obat yang sering digunakan untuk induksi anestesi
intravena adalah propofol dan ketamine. 4
Propofol
Propofol telah menjadi pilihan paling popular dalam intravena anestesi. Kemampuan
onsetnya dengan barbiturate inttravena hampir sama namun kecepatan pemulihan propofol lebih
cepat dan pasien dapat berjalan lebih cepat setelah anestesi umum. Efek farmakologi propofol
adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Propofol juga
memiliki efek antiemetic sehingga mengurangi kejadian mual muntah pasca operasi. Propofol
memiliki onset 30-45 detik dengan durasi 4-7 menit. Sakit saat dimasukkan secara bolus
merupakan adverse effect yang umum pada propofol. Efek samping yang ditimbulkan hipotensi,
depresi napas hingga apnea, nyeri pada saat injeksi, pergerakkan involunter, cegukan dan propofol
infusion syndrome(asidosis metabolic, kardiomiopati akut, dan miopati skeletal). Dosis Induksi
propofol yaitu 1-2mg/kgBB.3,4
Ketamine
Obat ini dapat menimbulkan stadium anestetik disosiatif seperti katatonia, amnesia dan
analgesia dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Ketamin merupakan obat anestetik intravena
yang memiliki efek analgesic dan kemampuan menghasilkan rangsangan kardiovaskular dengan
dose-related. Efek analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang. Denyut nadi ,
arterial blood pressure dan cardiac output dapat meningkat secara signifikan diatas nilai awal.
Ketamin meningkatkan aliran darah otak, konsumsi oksigen dan tekanan intracranial. Penggunaan
ketamine berhubungan dengan diorientasi post operasi, ilusi pada persepsi dan sensori serta vivid
dream. Diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB atau midazolam 0,025-0,05 mg/kgBB IV yang diberikan
sebelum pemberian ketamine dapat menurunkan kejadian dari efek yang tidak diinginkan tersebut.
Terdapat tiga kemasan vial dengan konsentrasi 100mg/ml, 50mg/ml dan 25 mg/ml yang masingmasing kemasan vial berisi 10 ml. Sebelum digunakan dibuat larutan yang mengandung 10 mg/ml
dengan akuades sebagai bahan pengencernya.Dosis ketamine adalah 1-2 mg/kgBB 4,5
Obat inhalasi
menyebabkan hipotensi dan depresi napas. Keuntungan dari sevofluran ialah induksi cepat dan
lancar, tidak iritatif terhadap mukosa saluran pernapasan, dan pemulihan paling cepat. Namun
kelemahan dari sevofluran ialah analgesia dan relaksasi yang kurang sehingga perlu
dikombinasikan dengan obat lain. 3
Isoflurane
Isoflurane memiliki kecepatan induksi 2-3 menit, jarang digunakan tunggal karena iritatif
terhadap mukosa saluran pernapasan. Konsentrasi induksi ialah 5% dengan dosis pemeliharaan 11,5%. Efek samping yang ditimbulkan ialah hipotensi, takikardi, dan depresi napas.
Keuntungannya adalah konsentrasi sampai 1 MAC tidak meningkatkan aliran darah coroner dan
serebral sehingga banyak digunakan dalam kasus bedah jantung dan bedah saraf. Kelemahan dari
isoflurane sama dengan sevoflurane. 3
Nitrous oxide(N2O)
Nitrous oxide(N2O) berdifusi secara bertahap dari alveoli ke dalam darah dan mencapai
saturasi 100% dalam waktu 5 jam. N2O tidak diikat oleh hemoglobin, tetapi larut dalam plasma
dengan kelarutan 15 kali lebih besar daripada kelarutan oksigen. N2O mampu berdifusi ke seluruh
rongga dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan hipoksia difusi jika tidak dikombinasi dengan
oksigen. Efek klinis yaitu analgetik. Efek samping yang ditimbulkan adalah depresi napas(jika
diberikan bersama opioid), tuli karena perubahan tekanan rongga telinga, pneumothoraks, depresi
sumsum tulang(pada pemakaian jangka panjang), efek teratogenik(usia gestasi 1-6 minggu) dan
hipoksia difusi pasca anestesi. 3
Obat Pelumpuh Otot
Relaksasi otot rangka merupakan salah satu dari trias anesthesia yang harus dipenuhi.pada
operasi-operasi besar seperti misalnya laparatomi, torakotomi dan operasi-operasi yang
memerlukan napas kendali. Relaksasi otot rangka ini dapat diperoleh dengan obat anesthesia,
seperti misalnya eter, halotan dan obat inhalasi yang lain, namun dibutuhkan dosis yang besar
sehingga akan muncul efek samping yang justru lebih berbahaya. Untuk mendapatkan khasiat
relaksasi yang optimal tanpa harus menghadapi efek samping obat yang berbahaya bagi pasien,
digunakan obat pelumpuh obat. 5
Walaupun sesungguhnya pada kebanyakan kepusatakaan, obat pelumpuh otot ini tidak
termasuk dalam obat anesthesia, namun termasuk salah satu trias anesthesia, maka ini berarti
bahwa obat pelumpuh otot juga termasuk obat anesthesia. Obat yang sering digunakan biasanya
rokuronium dan atrakurium. Kedua obat ini termasuk dalam obat pelumpuh otot non depolarisasi
yang artinya hambatan ini terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi yang
menetap, sehingga otot kehilangan respons kontraksi yang akan menyebabkan kelumpuhan otot.
Pemulihan fungsi saraf otot sangat tergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim
pseudokholinesterase. 1.Terjadi fasikulasi otot rangka yang menyeluruh yang dimulai pada otot
rangka kecil. 2. Berpotensiasi dengan antikolinesterase 3. Kelumpuhannya berkurang pada
pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis 4. Kelumpuhannya tidak bertahap
pada perangsangan tunggal atau tetanik 5. Masa kerja singkat 6.Belum dapat diatasi dengan obat
spesifik.5
Dosis awal
Dosis
Durasi (mnt)
mg/kgBB
Pemeliharaan
1.d-tubokurarin
0,04-0,06
0,10
30-60
2.Pankuronium
0,08-0,12
0,15-0,20
30-60
3.Metakurin
0,20-0,41
0,05
40-60
4.Pipekuronium
0,05-0,12
0,01-0,15
40-60
5.Doksakurium
0,02-0,08
0,005-0,010
45-60
6.Alkurium
0,15-0,30
0,05
40-60
1.Atrakurium
0,5-0,6
0,1
20-45
2.Vekuronium
0,1-0,2
0,015-0,02
25-45
3.Rokuronium
0,6-1,0
0,10-0,15
30-60
4.Cisatrakurium
0,15-0,20
0,02
30-45
1.Mivakurium
0,20-0,25
0,05
10-15
2.Ropakurium
1,5-2,0
0,3-0,5
15-30
Panjang
Sedang
Singkat
ini
adakah
terjadinya
peningkatan
aktivitas
kolinergik
seperti
bradikardi,
hiperperistaltik, dan spasme saluran cerna, peningkatan sekresi kelenjar saluran cerna, saluran
napas dan kelenjar keringat, spasme bronkus, miosis, dan kontraksi kandung kemih. Hampir
sebagian efek ini dapat dinetralkan dengan pemberian sulfas atropine(obat antikolinergik)
sehingga neostigmine harus diberikan bersama-sama dengan sulfas atropine dalam satu spuit atau
terpisah. Neostigmin dapat diberikan secara bertahap mulai dari 0,5 mg IV, selanjutnya dapat
diulang sampai dosis total 5 mg. Neostigmin diberikan bersama-sama dengan sulfas atropine
dengan dosis 1-1,5 mg. Pada keadaan tertentu, misalnya : takikardi atau demam, pemberian sulfas
atropine dipisahkan dan diberikan setelah prostigmin. 5
III.Penutup
a.Kesimpulan
Pentingnya tahap-tahap seperti premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan dalam
anestesi tentu bertujuan agar proses pembedahan dapat memberikan hasil akhir yang baik sesuai
yang diharapkan.
Daftar Pustaka
1.Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi.Jakarta:Departemen anestesiologi dan intensive
care RS Cipto Mangunkusumo;2012.h.197207.
2.Katzung BG..Basic & clinical pharmacology.10th ed.USA : The McGraw-Hill Companies; 2007.
3.Brunton LL, Parker KL.Goodman&gillman :manual of pharmacology and therapeutics. USA :
The McGraw-Hill Companies;2008.p.221-53.
4.Beauchamp, Evers, Mattox. Sabiston textbook of surgery.19th ed.Canada:Elsevier;2012.p.405
5.Mangku G, Senapathi TGA. Buku ajar:ilmu anestesi dan reanimasi.Jakarta:Indeks;2010.p.24-78.