Vous êtes sur la page 1sur 15

Nama Peserta

: dr.Eldwin Suputro

Nama Wahana

: RSUD Jombang

Topik

: Asthma Bronkial Eksaserbasi Akut

Tanggal (Kasus)

: 15 September 2015

Presenter

Nama Pasien

: Ny. S

No.RM

: 295283

Tanggal Presentasi

Nama Pendamping

: dr. Sangidu

Tempat Presentasi

Objek Presentasi

Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Deskripsi

: Pasien wanita dewasa berumur 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan muncul sejak 2

Dewasa

Lansia

Bumil

jam yang lalu. Pasien memiliki riwayat penyakit asma sebelum ini, namun bisa hilang dengan obat umum. Sesak disertai
dengan mengi, disertai juga dengan batuk yang muncul sejak 3 hari ini.

Tujuan

: Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pada Asma bronkial

Bahan Bahasan

Tinjauan Pustaka

Riset

Kasus

Audit

Cara Membahas

Diskusi

Presentasi dan Diskusi

Email

Pos

Data Pasien

Nama

: Ny. S

Nomor Registrasi :

295283

Umur

: 32 Tahun

Alamat

: Mentaos Gudo Jombang

RSUD Jombang

Nomor Telp : 0321-865716

Terdaftar sejak :

15 September 2015

Nama Klinik

Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Asma bronkiale eksaserbasi akut, Sesak napas disertai dengan mengi

2. Riwayat Pengobatan:
Pasien pernah berobat di PKM, namun keluhan tetap berulang.

3. Riwayat kesehatan/Penyakit: 4. Riwayat keluarga: tidak anggota keluarga sakit seperti ini sebelumnya

5. Riwayat pekerjaan: -

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN): -

7. Riwayat imunisasi: -

8. Lain-lain :
PEMERIKSAAN FISIK (15/09/2015)
Kesadaran compos mentis
Tensi 100/90 mmHg; Nadi 124x/menit, regular;
Respirasi 30x/menit; Suhu 36.8C
Kepala: Anemis(-)/ Ikterus(-)/Cyanosis(-)/Dyspneu(-)
Pulmo: Ves/Ves, Rh -/-, Wh +/+, cor: S1S2 tunggal, murmur (-)
Abdomen: soefl, tenderness (-), Bising Usus positif normal
Ekstremitas: akral hangat
Capilary refill : < 2 detik

Hasil Pembelajaran :
1. Deteksi dini dan diagnosis dari asma bronkial
2. Tatalaksana asma bronkial

Ro Thoraks AP : dalam batas normal

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subjektif
Pasien wanita dewasa berumur 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan muncul sejak 2 jam yang lalu.
Pasien memiliki riwayat penyakit asma sebelum ini, namun bisa hilang dengan obat umum. Sesak disertai dengan mengi, disertai juga
dengan batuk yang muncul sejak 3 hari ini.
2. Objektif
Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, suhu 36,8oC. Pemeriksaan fisik pada auskultasi regio thoraks,
ditemukan suara wheezing pada kedua lapangan paru, dari pemeriksaan penunjang didapatkan dalam batas normal.

3. Assesment
Telah dilaporkan seorang pasien wanita 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak napas disertai dengan mengi. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan wheezing pada kedua lapangan paru. Dari pemeriksaan penunjang tidak didapatkan kelainan yang bermakna. Adanya riwayat
asma sebelumnya akan lebih mudah untuk menegakkan diagnosa Asma bronkial eksaserbasi akut pada pasien ini.

4. Planning
A. Diagnosis
Diagnosis kerja : Asma Bronkiale eksaserbasi akut
B. Pengobatan
- Pemberian O2 nasal cannule 4lpm
- Nebulisasi ventolin 1 respul
- PO Metilprednisolon 3x4mg
- PO Aminophyllin 3x250mg
- PO Ambroxol 3x30mg
C. Edukasi
- Edukasi pasien dan keluarga pasien tentang penyakitnya diderita
- Edukasi pasien dan keluarganya untuk kontrol rutin dan minum obat teratur untuk mengurangi kekambuhan penyakit

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI ASMA
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di
seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak
napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dyspneu, dan batuk
(cough) terutama pada malam atau dini hari.
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute, pada individu yang rentan,
gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.
1.2 EPIDEMIOLOGI
Asma dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki-laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja perbandingan menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita
dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia
remaja dibandingkan dengan perempuan.
Berdasarkan data WHO hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia
diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini

akan terus

meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. Hasil penelitian International
Study on Asthma and Allergies in Chilhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan
bahwa di Indonesia, prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%.
Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia,
artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.
1.3 PATOFISIOLOGI
Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan eksaserbasi asma oleh
karena inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang
dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan
individu yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya
adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca,
makanan, obat, atau ekspresi emosi yang berlebihan. Faky=tor lain yang kemungkinan
dapat menyebabkan eksaserbasi adalah rinitis, sinusitis bakterial, poliposis,
menstruasi, refluks gastro esopageal, dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran
udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Alergen akan
memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE dependent dari sel mast
saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin,

leukotrien, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang
bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien
asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis serangan.
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh
inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkhioler
merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi
aliran, hiperinflasi pulmoner, dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Apabila
tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal
napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi
pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan.
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma
akut. Gangguan ini akan menhambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan
dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate
(PEFR) dan FEV1 (Forced expiration volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara
saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang
kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka
akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat
penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat
pulaterlihat pada foto toraks yang memperlihatkan gambaran volume paru yang
membesar dan diafragma yang mendatar.
Hipoksemia tingakt ringan-sedang, hipokapnea dalam jngka lama, dan
alkalosis respiratori merupakan hal umum yang dijumpai pada pemeriksaan analisa
gas darah (AGD) pada pasien dengan serangan asma akut berat. Jika obstruksi aliran
udara sangat berat dan tak berkurang, mungkin akan berkembang cepat menjadi
hiperkapnea dan asidosis metabolik. Awlanya akan timbul kelelahan otot dan
ketidakmampuan mempertahankan ventilasi alveolar secara adekuat. Akhirnya akan
terjadi produksi laktat.
Ketika pasien asimptomatis, FEV1 cenderung menjadi sekurang-kurangnya
40-50% dari prediksi. Ketika tanda-tanda fisik menghilang FEV1 berkusar antara 6070% dari prediksi atau lebih tinggi lagi. Kombinasi antara hiperkapnea akut dan
tingginya tekanan intratorakal pada pasien dengan asma akut berat akan menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial yang bermakna.
Kematian akibat asma kebanyakan terjadi di rumah, saat kerja, atau selama
perjalanan ke RS. Pertanda yang dihubungkan dengan peningkatan resiko kematian
akibat asma adalah riwayat seringnya pasien memerlukan perawatan di RS, terutama
jika memerlukan ventilator. Ada dua kemungkinan yang dapat menyebabkan kematian
pada pasien asma ini. Aritmia berpean terhadap beberapa kasus kematian yang telah

diamati terutama pada pasien dewasa. Aritmia bisa terjadi oleh karena peningkatan
hipokalemia dan terjadinya pemanjangan segmen QT akibat penggunaan 2 agonis
dosis tinggi. Kematian juga bisa terjadi oleh karena asfiksia yang disebabkan oleh
keterbatasan aliran udara dan hipoksemia.
1.4 FAKTOR-FAKTOR RESIKO
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah :
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada sma kemungkinan terjadi
ekspresi sel Th2 yang berlebihan. Gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat
sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5-14
tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu
sekitar 3-5%. Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health
and Welfare, kejadian asma pada kelompok umur 18-34 tahun adalah 14%
sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di jakarta, sebuah studi pada RS
Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada
anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi
lebih sering terjadi pada perempuan. Pada manusia dewasa tidak didapati
perbedaan angka kejadian asma di antara dua jenis kelamin.
4. Faktor Pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling
penting. Alergen-alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan
polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet, dan
tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi,
teruama pada rumah di perkotaan. Paparan terhadap binatang, khususnya bulu
anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi poeln
di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam
bentuk partikel-partikel besar.
Iritan-iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah
dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan
fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan
mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma, dan pengontrolan asma.
Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat
memicu terjadinya serangan asma. Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan
juga telah dihubungkan dengan kejadian asma.
5. Status Sosioekonomik

Prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status
sosioekonomik yang rendah, yaitu 40%.
1.5 DIAGNOSIS
Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera di diagnosis dan
diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Riwayat Penyakit
Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya serangan dan beratnya gejala,
terutama untuk membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya, semua obat yang
digunakan selama ini, riwayat di RS sebelumnya, kunjungan ke gawat darurat, riwayat
episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator), gangguan
psikiatrik atau psikologis. Tidak adanya riwayat asma sebelumnya terutama pada
pasien dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperti gagal jantung
kongestif, PPOK, dan lainnya.
Pemeriksaan Fisik
Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan kondisi
sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu
bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai indikator adanya obstruksi yang berat.
Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra sternal menunjukkan adanya
kelemahan fungsi paru.
Frekuensi pernapasan >30x/menit, takikardi >120x/menit atau pulsus paradoksus >12
mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asma akut berat. Lebih dari 50%
pasien dengan asma akut berat, frekuensi jantungnya berkisar antara 90-120x/menit.
Umumnya

keberhasilan

pengobatan

terhadap

obstruksi

saluran

pernapasan

dihubungkan dengan penurunan frekuensi denyut jantung, meskipun beberapa pasien


tetap mengalami takikardi oleh karena efek bronkotropik dari bronkodilator.
Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry perlu dilakukan pada seluruh
pasien dengan asma akut untuk mengekslusi hipoksemia. Pengukuran Sp02
diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal napas dan kemudian
memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan agar
saturasi oksigen 92% tetap terjaga.
Analisa Gas Darah
Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal
penatalaksanaan. Karena ketepatan dan kegunaan pulse oximetry, hanya pasien dengan
terapi oksigen yang SpO2 tak membaik sampai >90%, perlu dilakukan pemeriksaan
AGD. Meskipun sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi tetap tidak adekuat
perlu dipikirkan kondisi lain yang memperberat seperti adanya pneumonia.
Foto Toraks

Foto toraks hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala adanya
pneumothoraks (nyeri dada pleuritik, emfisema sub kutis, instabilitas kardiovaskular,
atau suara napas yang asimetris), pada pasien yangs ecara klinis dicurigai adanya
pneumonia atau pasien asma yang stelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara
intensif tetapi tidak respon terhadap terapi.
Monitor Irama Jantung
EKG tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitor terus menerus sangat tepat
dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asma juga
menderita penyakit jantung. Irama jantung yang biasanya ditemukanadalah sinus
takikardi dan supraventrikular takikardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya
disebabkan oleh penyakit asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi akan segera
kembali ke irama normal dalam hitungan jam setelah ada respon terapi terhadap
penyakit asmanya.
1.6 KLASIFIKASI
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan.Global
Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma
serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.Perlu dibedakan
antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).

1.7 PENATALAKSANAAN
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi
oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran
pernapasan dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan anti
kolinergik)

dan

mengurangi

inflamasi

saluran

pernapasan

serta

mencegah

kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal.


Oksigen
Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi,
hal ini biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3liter/menit dengan
nasal kanul atau masker. Meskipun demikian, penggunaan oksigen dengan aliran cepat
tidak membahayakan dan direkomndasikan pada semua pasien dengan asma akut.
Target pemberian oksigen ini adalah mempertahankan SpO2 pada kisaran 92%.
2-agonis
inhalasi 2-agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma akut.
Onset aksi obat tadi cepat dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol
merupakan obat yang banyak dipakai di instalasi gawat darurat (IGD). Onset aksi obat
ini sekitar 5 menit dengan lama aksi sekitar 6 jam. Obat lain yang juga sering
digunakan adalah metaproterenol, terbutalin, dan fenoterol. Obat dengan aksi kerja
panjang tidak direkomendasikan, untuk pengobatan kegawatdaruratan. Pemberian
epinefrin sub kutan jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek samping
pada jantung. Obat ini hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak
mendapatkan keuntungan dengan pemakaian obat secara inhalasi.
Pemakaian secara inhalasi memiliki onset yang lebih cepat dengan efek samping yang
lebih sedikit serta lebih efektif bila dibandingkan dengan pemakaian secara sistemik.
Penggunaan 2-aginis secara intravena pada pasien dengan asma akut diberikan hanya
jika respon terhadap obat per-inhalasi sangat kurang atau jika pasien batuk berlebihan
dan hampir meninggal.
Pemberian obat perinhalasi secara terus menerus diperkirakan lebih menguntungkan
bila dibandingkan dengan pemberian secara berkala. Efek samping pemakaian selektif
2-agonis diperantarai melalui reseptor pada otot polos vaskular (takikardi dan
takiaritmia), otot rangka (termor, hipokalemi oleh karena masuknya kalium ke dalam
sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme lipid dan karbohidrat (peningkatan
kadar asam lemak besar dalam darah, insulin, glukosa, dan piruvat).
Anti Kolinergik
Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus vagal
saluran pernapasan pada pasien asma akut, tetapi efeknya tidak sebaik 2-agonis.
Penggunaan ipatripium bromida (IB) secara inhalasi digunakan sebagai bronkodilator
awal pada pasien asma akut. Kombinasi pemberian IB dan 2-agonis diindikasikan

sebagai terapi pertama pada pasien dewasa dengan eksaserbasi asma berat. Dosis
4xsemprot (80mg) tiap 10 menit dengan MDI atau 500mg setiap 20 menit dengan
nebulizer akan lebih efektif.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan
kecuali kalau derajat ekaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilator tetapi
secara ekstrem sangat efektif dalam menurunkan inflamasi pada saluran napas.
Pemberian hidrokortison 800mg atau 160mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi
setiap harinya, umumnya sudah memberikan efek yang adekuat pada kebanyakan
pasien.

Penanganan Asma Akut

Keputusan untuk Memulangkan atau Merawat Pasien


Spirometri dan gejala klinis dipakai untuk mengambil keputusan ini. Pasien harus
dirawat jika meskipun sudah diberikan penatalaksanaan intensif selama 2-3 jam di
IGD, tetapi masih didapatkan mengi yang nyata, penggunaan otot-otot bantu
pernapasan, masih memerlukan pemberian oksigen untuk menajga SpO2 >92% dan
fungsi paru yang masih belum membaik (FEV1 dan PEF 40% prediksi). Kondisi lain
yang perlu dipertimbangkan untuk merawat pasien adalah bila pada pasien tersebut
didapatkan adanya faktor resiko yang tinggi dan untuk terjadinya kematian oleh
karena asma (tidak tersedianya akses untuk mendapatkan pengobatan/ ke rumah sakit,
kondisi rumah yang menyulitkan, sulitnya transposrtasi ke rumah sakit bila sewaktuwaktu terjadi perburukan gejala).

Jika pasien bebas dari gejala dan fungsi parunya 60% prediksi, pasien dapat
dipulangkan. Umumnya 3-4 jam di IGD sudah cukup waktu untuk menentukan jika
pasien asma akut dapat membaik gejalanya dan aman untuk dipulangkan.
Keputusan untuk Memasukkan Pasien ke ICU
Pasien dengan obstruksi aliran udara derajat berat yang memburuk atau hanya
mengalami perbaikan minimal meskipun sudah diberikan terapi harus masuk ICU.
Pertanda klinis untuk memasukkan ke ICU adalah distress pernapasan, tingginya
pulsus paradoksus, atau hilangnya denyut nadi pada pasien dengan fatigue atau pasien
yang secara subjektif merasakan adanya ancaman gagal napas. Indikasi lain untuk
memasukkan pasien ke ICU adalah bila didapatkan adanya gagal napas, status
mentalnya berubah, spO2 <90% meskipun sudah mendapatkan oksigenasi dan
kenaikan PaCO2 disertai dengan keadaan klinis yang tak mengalami perbaikan.

Vous aimerez peut-être aussi