Vous êtes sur la page 1sur 28

1

MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT AUTOIMUN


Oleh : Sayu Putu Yuni Paryati

ABSTRAK
Penyakit autoimun disebut juga dengan istilah autoimunitas, yaitu reaksi sistem
kekebalan (imun) terhadap antigen jaringan sendiri (autoantigen). Respon
autoimun dapat atau tidak dapat menimbulkan penyakit autoimun. Penyakit ini
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik endogen maupun eksogen.
Manifestasi kerusakan pada organ tubuh inang sangat beragam, mulai dari
menyerang satu organ sampai yang bersifat multi organ dan terjadi melalui
mekanisme yang beragam pula..

PENDAHULUAN
Sistem imun (kekebalan) biasanya merupakan suatu mekanisme reaksi
efektor terhadap antigen dari lingkungan dengan tujuan untuk mengeliminir atau
memusnahkan agen asing atau substansi yang masuk ke dalam tubuh (Husband
1995). Sifat utama dari sistem imun adalah kemampuannya untuk mengenal dan
memberikan respon terhadap antigen asing, tetapi tidak terhadap antigen sendiri
(self-nonself discrimination). Hal ini timbul karena adanya proses seleksi positif
dan negatif dalam kelenjar thymus. Tapi berbagai kasus klinik yang terjadi
menunjukkan bahwa sistem imun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hal ini sering kali dikaitkan dengan istilah respon autoimun atau penyakit
autoimun.
Istilah respon autoimun merujuk pada ditemukannya autoantibodi
(antibodi terhadap komponen tubuh sendiri) yang diarahkan pada antigen self atau
reaktivitas limfosit tersensitisasi terhadap antigen self. Kejadian ini disebut juga
dengan istilah autoimunitas, yaitu reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan

sendiri (autoantigen). Respon autoimun dapat atau tidak dapat menimbulkan


penyakit autoimun. Meskipun diduga bahwa penyakit autoimun merupakan akibat
dari cedera jaringan oleh respon autoimun, namun belum diketahui apakah
fenomena autoimun adalah penyebabnya, akibat atau suatu penemuan yang
bersamaan dalam penyakit autoimun (Bellanti et al. 1993).
Autoimunitas dapat dipandang sebagai manifestasi tersier dari respon
imun yang diarahkan pada antigen yang pemrosesannya tidak tepat dan
menimbulkan penghancuran jaringan inang. Sering terjadi fenomena autoimun
berkaitan dengan penyakit infeksi (Baratawijaya 1988).

PENYEBAB PENYAKIT AUTOIMUN


Penyebab penyakit autoimun belum diketahui secara pasti, namun telah
diketahui bahwa penyakit dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik endogen
maupun eksogen. Salah satu faktor endogen terpenting adalah faktor genetik
(Kresno 2001). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa faktor genetik adalah
faktor dominan sebagai penyebab kasus penyakit autoimun (Davidson dan
Diamond 2001). Sedangkan faktor eksogen disebabkan oleh adanya pemicu dari
lingkungan (environmental triggers).

1. FAKTOR GENETIK
Berbagai penelitian membuktikan bahwa dasar dari autoimunitas adalah
predisposisi genetik. Penyakit autoimun lebih sering terjadi pada kembar
monozygote ( berasal dari satu sel telur) bila dibandingkan dengan kembar

dizygote (berasal dari dua sel telur) (Davidson dan Diamond 2001). Hubungan
genetik dengan predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah
hubungannya dengan Major Histocompatability Complex (MHC), karena penyakit
autoimun adalah penyakit yang bergantung pada sel T sedangkan seluruh respon
imun yang diperantarai sel T berkaitan erat atau bergantung pada MHC.
Kresno (2001) menjelaskan mekanisme hubungan penyakit autoimun
dengan pewarisan sekuen-sekuen MHC tertentu, di antaranya :
1. Struktur molekul MHC dapat menentukan klon limfosit yang mana yang
diseleksi negatif selama maturasi. Misalnya bila molekul MHC dalam thymus
seseorang tidak dapat mengikat antigen sendiri dengan afinitas tinggi, sel T
immature yang reaktif dengan antigen tersebut dapat terhindar dari seleksi
negatif dan berkembang menjadi sel yang imunokompeten.
2. Molekul MHC kelas II dapat mempengaruhi aktivasi sel T regulator yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas. Pada kasus insulin dependent
diabetes melitus (IDDM), terdapat haplotip MHC kelas II sebagai faktor
predisposisi. Sel T yang menyebabkan kerusakan mungkin spesifik untuk self
peptide yang dipresentasikan dengan molekul HLA-DQ yang tidak memiliki
asam aspartat, sedangkan komplek HLA-DQ yang memiliki aspartat, spesifik
dengan sel T yang mencegah kerusakan. ]
3. Gen yang diasosiasikan dengan penyakit mungkin saja bukan alel HLA tetapi
suatu gen yang terletak dalam komplek HLA.
4. Kemiripan antara antigen mikroba dengan molekul self-MHC dapat
mengakibatkan reaksi autoimunitas setelah infeksi oleh mikroba bersangkutan.

Selain berkaitan erat dengan gen MHC, penyakit autoimun juga


dipengaruhi oleh banyak gen lain di luar MHC. Gen rantai H-imunoglobulin (Ig-H
chain) atau VH misalnya, diketahui ada hubungannya denga arthritis rheumatoid
(RA) dan systemic lupus erythematosus (SLE). Penyakit ini diduga disebabkan
karena hilangnya gen VH.
Ada bukti-bukti bahwa pada penyakit autoimun terjadi ketidak
seimbangan antara sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 karena adanya
defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin.
Salah satu gen yang berkaitan dengan IDDM terletak pada sekelompok gen yang
menyandi berbagai sitokin, misalnya interleukin-4 (IL-4) dan IL-12. Diduga gen
ini mengatur keseimbangan antara sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi.
Demikian juga gen cytotoxic-T-lymphocyte-associated protein 4 (CTLA-4) yang
berperan dalam regulasi negatif dan anergi sel T, banyak dikaitkan dengan kasus
IDDM (Kresno 2001 ; Davidson dan Diamond 2001), penyakit autoimun pada
thyroid dan primary biliary cirrhosis (Davidson dan Diamond 2001). Tabel 1
menunjukkan berbagai sitokin dan defeknya, serta penyakit autoimun yang
ditimbulkannya.
Tabel 1. Berbagai defek produksi sitokin yang dapat menyebabkan penyakit
autoimun (Davidson dan Diamond 2001).
DEFEK

AKIBAT

Tumor necrosis factor

SITOKIN ATAU PROTEIN

Overexpression

Tumor necrosis factor


Interleukin-1-receptor antagonist
Interleukin-2
Interleukin-7
Interleukin-10
Interleukin-2 receptor
Interleukin-10 receptor
Interleukin-3
Interferon-

Underexpression
Underexpression
Overexpression
Overexpression
Overexpression
Overexpression
Overexpression
Overexpression
Overexpression

Inflamatory bowel disease,


arthritis, vasculitis
Systemic lupus erythematosus
Arthritis
Inflamatory bowel disease
Inflamatory bowel disease
Inflamatory bowel disease
Inflamatory bowel disease
Inflamatory bowel disease
Demyelinatingsyndrome
Systemic lupus erythematosus

in skin
Underexpression
Overexpression
Underexpression

STAT-3
STAT-4
Transforming growth factor
Transforming growth
receptor in T cells

factor

Underexpression

Inflamatory bowel disease


Inflamatory bowel disease
Systemic wasting syndrome and
Inflamatory bowel disease
Systemic lupus erythematosus

Gen apoptosis juga diduga berperan dalam mengakibatkan autoimun. Pada


mencit, defek pada gen apoptosis Fas/FasL menyebabkan tidak cukupnya delesi
klonal sel T dan sel B pada saat induksi toleransi, sehingga terjadi akumulasi
fenotip sel T dan sel B yang autoreaktif. Selain itu, defek pada molekul-molekul
lain yang terlibat dalam proses apoptosis turut menentukan toleransi, misalnya
TNF, TNFR, DR3, DR4, DR5 dan lain-lain (Kresno 2001). TNF- yang berperan
dalam Crohns disease dan rheumatoid arthritis, dapat menginduksi antibodi
antinuklear. Hal ini juga mungkin terjadi pada kasus SLE dan multiple sclerosis
(Davidson dan Diamond 2001).
Dari beberapa penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar penyakit
autoimun sistemik diasosiasikan dengan proliferasi limfosit abnormal sebagai
akibat defek dalam proses penghentian aktivasi dan pertumbuhan sel (Kresno
2001).

2. TEORI KLON TERLARANG (FORBIDDEN-CLONES THEORY)


Menyatakan adanya suatu klon dari limfosit mutan yang timbul melalui
mutasi somatik. Sel mutan yang membawa antigen permukaan yang dikenal
sebagai asing (mutan positif secara antigenik) biasanya akan dihancurkan
(Gambar 1), sedangkan sel mutan yang tidak membawa antigen permukaan
(mutan negatif secara antigenik) tidak akan dihancurkan tetapi akan berploriferasi

dan mampu bereaksi dengan jaringan sasaran karena ketidaksamaan genetik


(Gambar 2) (Bellanti et al. 1993).
Forbiden clones yaitu sel-sel autoreaktif yang selama perkembangan
embriologiknya mengalami clonal deletion dan kehilangan toleransi diri (selftolerance) menyebabkan sel-sel sistem imun mengenal antigen tubuh sendiri
sebagai asing. Akibat adanya forbidden clones ini timbul respon imun, baik
respon selular, misalnya infiltrasi atau pengrusakan jaringan oleh limfosit T atau
makrofag, maupun respon imun humoral dengan membentuk antibodi yang
ditujukan terhadap jaringan tubuh sendiri (autoantibodi) dan berakibat penyakit
autoimun.
Walaupun mekanisme efektor respon imun di atas dapat menjelaskan
terjadinya penyakit autoimun untuk banyak jenis penyakit autoimun, faktor yang
menginduksi dan mengatur proses penyakit belum diketahui pasti. Selama
ontogoni sel T atau sel B yang mengandung reseptor yang mampu mengikat self
MHC dengan afinitas tinggi dimusnahkan atau dibuat inaktif, maka limfosit
autoreaktif yang ada di perifer adalah sel-sel yang tidak pernah berhadapan
dengan self antigen atau sel-sel yang hanya mengandung reseptor yang afinitasnya
rendah.

Limfosit
Normal

Mutan positif secara antigenik

Dihancurkan oleh
Limfosit normal

Gambar 1. Forbidden clones theory. Sel-sel limposit mutan


positif secara antigenik dihancurkan oleh limfosit
normal. (Bellanti et al. 1993).

Limfosit
Normal

Bertahan hidup menjadi


sensitif dan menyerang
jaringan sasaran

Mutan negatif
Secara antigenik
(klon terlarang)

Gambar 2. Forbidden clones theory. Sel-sel limposit mutan


negatif secara antigenik berploriferasi dan
bereaksi dengan jaringan sasaran (Bellanti et al.
1993).
Autoreaktivitas dapat diinduksi pada sel-sel tersebut dengan bantuan sel T
yang menghasilkan berbagai mediator yang diperlukan untuk maturasi, bila sel-sel
itu dihadapkan pada antigen yang bereaksi silang dengan self antigen atau antigen
yang dimodifikasi. Beberapa penjelasan mengapa pada beberapa orang yang
rentan reaksi autoreaktif itu berlanjut menjadi penyakit autoimun, yaitu :
a. Faktor atau substansi yang menginduksi respon autoreaktif tetap
berada dalam tubuh sehingga terus menerus merangsang sel T.
b. Menyusul

kerusakan

jaringan,

serangkaian

reaksi

autoreaktif

dirangsang secara terus menerus melalui penglepasan antigen jaringan


dan pemaparan sistem imun pada antigen tersebut.

c. Tidak semua sel autoreaktif disingkirkan pada saat perkembangan,


tetapi sebagian diantaranya dipertahankan dan dikendalikan secara
ketat dalam keadaan anergi. Anergi akan terganggu apabila ada defek
pada sistem pengendaliannya.
Hal lain yang dapat mengakibatkan kehilangan toleransi diri adalah
apabila dalam perlembangannya di dalam thymus, sel thymosit dihadapkan pada
substansi

tertentu

yang

menganggu

procainamide-hydroxylamine

(PAHA)

seleksi
yang

positif

dapat

thymosit,

misalnya

menyebabkan

penyakit

autoimun yang diinduksi oleh obat (drug induced autoimmunity) dengan gejala
klinik mirip lupus (Kresno 2001).

3. TEORI ANTIGEN TERASING (SEQUESTERED ANTIGEN THEORY)


Teori ini didasarkan pada fenomena pengaruh toleransi pada janin. Selama
pertumbuhan embrio, jaringan yang dipaparkan pada sistem limforetikuler dikenal
sebagai self. Antigen yang secara anatomi terpisah atau terasing dari sistem
TIROID

SEL LIMFOID

limforetikuler
misalnya jaringan lensa mata, sistem
saraf pusat, thiroid dan testes,
EMBRIONIK
EMBRIONIK
Permukaan
tidak dikenali
sebagai self. Antigen-antigen ini tidak mempunyai kesempatan
antigen
antigenkontak
terasing dengan sistem limforetikuler. Pada kehidupan kemudian,
mengadakan
Pengenalan dan toleransi

yang dirangsang
terjadinya
pemaparan melalui trauma atau infeksi dari antigen
jaringan
terasing ini terhadap
oleh antigen permukaan

sistem limforetikuler menyebabkan terjadinya


penyakit autoimun (Gambar 3).
Antigen terasing
terpapar
sebelumnya
TIROID
DEWASA

Limfosit menjadi tersensitisasi

Proses autoimun
ditimbulkan

Gambar 3. Teori antigen terasing.


Namun beberapa penelitian membuktikan bahwa pemaparan sistem imun
terhadap ekstrak jaringan tertentu tidak segera menimbulkan pembentukan
antibodi. Hal ini berlaku bagi pengenalan antigen yang melibatkan sel T, yang
menunjukkan bahwa pemaparan saja ternyata belum cukup untuk merangsang
sistem imun, tetapi pemaparan itu harus disertai ekspresi antigen melalui antigen
presnting cell (APC) serta berbagai mediator yang terlibat dalam respon imun.

4. TEORI DEFISIENSI IMUNOLOGIK


Teori ini didasarkan pada hipoaktif atau defisiensi sistem imunologik. Hal
ini didukung oleh adanya pengamatan secara klinik adanya hubungan antara
sindroma defisiensi imunologik dan kenaikan insidensi abnormalitas autoimun.
Mutan melalui
positif munculnya limfosit mutan atau akibat tetap adanya
Injuri akan terjadi
secara antigenik

antigen mikroba (Gambar 4). Umumnya bukan individu normal yang

Limfosit
Defisiensi
Imunoglobulin
Mutan negatif
secara antigenik

Mutan positif dan negatif


menyerang jaringan sasaran

10

mengembangkan penyakit autoimun, tapi paling tidak individu tersebut


mempunyai defisiensi imun yang tidak kentara (Bellanti et al. 1993).

Gambar 4. Teori defisiensi imunologik.


Defisiensi imun dapat bersifat primer maupun sekunder. Defisiensi primer
atau kongenital adalah akibat dari abnormalitas pendewasaan seluler yang
merupakan defek genetik dan berakibat kepekaan terhadap infeksi yang biasanya
mulai tampak sejak usia kanak-kanak. Sedangkan defisiensi sekunder adalah
defisiensi imun yang didapat, biasanya terjadi akibat malnutrisi, kanker, obat-obat
imunosupresif dan infeksi pada sel-sel sistem imun (Kresno 2001).
5. GANGGUAN HOMEOSTATIK
Pada keadaan normal, tubuh mempunyai mekanisme homeostatik yang
mempertahankan agar sel T dan sel B yang autoreaktif selalu ada dalam keadaan
normal serta melindunginya terhadap rangsangan oleh jaringan tubuh sendiri yang
tidak dikehendaki. Ada berbagai mekanisme yang mencegah limfosit untuk untuk
bereaksi dengan self antigen. Sel T berkembang dalam thymus dan
mengekspresikan reseptor antigen spesifik, sel-sel yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap self antigen yang terdapat dalam thymus dimusnahkan, sedangkan sel T
autoreaktif dengan afinitas rendah dan sel T yang mengekspresikan reseptor

11

(TCR-) untuk antigen yang tidak terdapat dalam tyhmus akan berkembang
menjadi sel T matang dan masuk dalam peredaran perifer dan berada dalam
keadaan anergi. Demikian juga yang terjadi pada sel B, dimana sel-sel yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap self antigen akan dimusnahkan di sumsum
tulang, dan sel B dengan afinitas rendah akan masuk ke darah tepi dalam keadaan
anergi atau indiferen. Keadaan ini akan terganggu akibat berbagai hal, beberapa
diantaranya adalah :
a. Aktivasi dan kelainan pada sel autoreaktif
Presentasi autoantigen oleh sel-sel APC yang tidak menampilkan
molekul

ko-stimulator

akan menginduksi

anergi pada sel-sel

autorekatif. Berbagai keadaan yang mengaktifkan sel APC dan


memunculkan molekul ko-stimulator serta produksi sitokin dapat
mengakibatkan anergi sel T hilang. Anergi juga dapat hilang karena
pengikatan CD28 oleh sel T.

b. Aktivasi sel B
Sel B autoreaktif dapat terhindar dari proses pemusnahan di sumsum
tulang melalui mekanisme receptor editing. Receptor editing
dimaksudkan untuk mengubah struktur reseptor sehingga reseptor itu
menunjukkan spesifisitas yang berbeda dan tidak lagi bereaksi dengan
self antigen. Tetapi mekanisme editing ini dapat terganggu antara lain
apabila mekanisme rekombinasi reseptor sel B ini hiperaktif. Mutasi
somatik reseptor ini lebih banyak terjadi pada VH dibandingkan VL.

12

Autoimunitas umumnya terjadi dengan bantuan faktor-faktor lain,


seperti infeksi, sitokin dan bantuan sel T.

c. Kelainan pada sel dendritik.


Sel dendritik (DC) dapat mengaktifkan sel T melalui ikatan dengan
TNF, IL1-, LPS atau CD40, tetapi dalam keadaan normal. Sel T
spesifik dengan afinitas tinggi akan dimusnahkan melalui mekanisme
self-tolerance. Dalam keadaan ketidak seimbangan sitokin, sel DC
dapat terdiferensiasi menjadi fenotip yang mengganggu self-tolerance.

d. Reaksi silang dan molecular mimicry


Berbagai sebab, misalnya adanya infeksi virus, gangguan sintesis
ataupun perombakan, dapat mengakibatkan autoantigen mengalami
modifikasi struktur sehingga sel T terkecoh dan terpacu untuk
melancarkan autoreaktivitas. Hal sama juga dapat terjadi apabila ke
dalam tubuh masuk antigen yang mempunyai struktur molekul yang
mirip autoantigen (molecular mimicry) sehingga terjadi reaksi silang.
Misalnya terjadi pada demam reumatik. Antigen Streptococcus diduga
memiliki struktur molekul yang mirip dengan sel-sel jaringan jantung,
sehingga dapat merangsang pembentukan antibodi terhadap berbagai
komponen miokard dan katup jantung yang kemudian meyebabkan
kerusakan pada jaringan tersebut.

e. Pembentukan idiotip-anti-idiotip.

13

Reaksi autoimun dapat terjadi bila epitop pada antigen, misalnya virus
kebetulan menunjukkan struktur yang sama dengan idiotip pada
reseptor sel T atau B. Hal yang sama juga dapat terjadi bila idiotip
pada

antibodi

yang

pembentukannya

dirangsang

oleh

virus,

menunjukkan struktur yang sama dengan idiotip pada sel T dan B


autoreaktif, atau merupakan anti-idiotip bagi reseptor sel T dan B.

f. Kegagalan mekanisme pengaturan sistem penekan


Pada dasarnya semua peristiwa yang menimbulkan defek pada sistem
penekan, khususnya melalui sel T supresor, dapat menimbulkan
gangguan pada mekanisme homeostatik. Kelainan pada sel T supresor
dapat merangsang sel Th untuk bereaksi terhadap self-antigen.

g. Stimulasi nonimunogenik
Berbagai produk yang berasal dari mikroba, misalnya lipopolisakarida,
enzim proteolitik dan juga bebagai virus seperti virus Epstein Barr
(EBV) dapat merangsang limfosit untuk membentuk antibodi
poliklonal secara langsung tanpa memerlukan bantuan sel T penolong.
Stimulasi ini terjadi oleh interaksi langsungdengan sel B atau dengan
cara menginduksi sel T atau makrofag untuk mensekresi faktor-faktor
non spesifik sehingga sel B terangsang untuk membentuk antibodi.

6. FAKTOR LINGKUNGAN

14

Beberapa penyakit autoimun, seperti RA telah diketahui terjadi menyertai


beberapa infeksi virus, walau peran virus dalam kasus ini belum dapat dibuktikan
secara langsung. Kurang lebih sepertiga dari orang dewasa yang terinfeksi rubela
secara alami atau yang diimunisasi rubela, mengalami gejala seperti RA (Bellanti
et al. 1993). Sedangkan demyelination syndrome banyak menyertai kasus infeksi
usus oleh Campylobacter jejuni (Davidson dan Diamond 2001).Virus Epsten Bar
(EBV) atau polisakarida (LPS) dapat merangsang sel B secara langsung dan
menimbulkan autoimunitas.

MEKANISME PENYAKIT
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa sebab terjadinya respon
autoimun bermacam-macam. Walaupun belum ada bukti-bukti yang memastikan
patogenesis penyakit autoimun, tetapi diduga kerusakan terjadi dengan beberapa
mekanisme. Secara umum dikenal tiga mekanisme yang penting, yaitu :

1. DIRECT ANTIBODY MEDIATED EFFECTS

15

Kerusakan jaringan disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur


permukaan sel atau terhadap komponen seluler tertentu. Salah satu contoh adalah
adanya antibodi terhadap antigen H+/K+ ATPase pada gastritis yang diduga
merupakan penyebab penyakit itu (Kresno 2001).

Gambar 5. Skema organisasi mukosa lambung, kelenjar


lambung, sel parietal lambung dan H/K ATPase
lambung (Anonimus 2002).
Penelitian menggunakan mencit sebagai hewan model, menggambarkan
mekanisme terjadinya gastritis autoimun (EAG) akibat perlakuan yang diberikan,
yaitu thymectomy, imunisasi dengan autoantigen, irradiasi yang berulang-ulang
dan ekspresi transgenik dari GM-CSF lambung. Hasilnya, terjadi induksi
autoantibodi terhadap sel parietal lambung dengan antigen target adalah H+/K+
ATPase sub unit alpha dan beta. Sel-sel mononuklear menginfiltrasi mukosa
lambung

menyebabkan

terjadinya

kerusakan

sel-sel

sebagaimana terlihat pada Gambar 5 (Anonimus 2002).

mukosa

lambung

16

Gambar 6. Mekanisme respon autoimun dalam kasus EAG pada


mencit.
Pada Gambar 6, dijelaskan tentang mekanisme respon autoimun dalam
kasus EAG pada mencit. Adanya pemicu autoimunitas, seperti gangguan regulasi
imun atau inflamasi lokal, diikuti dengan adanya ingesti sejumlah H/K ATPase
lokal bersama-sama dengan aktivasi APC mengakibatkan bertambahnya
autoantigen lambung. APC teraktivasi bermigrasi ke kelenjar paragastrik dan
mengakibatkan aktivasisel T spesifik H+/K+ ATPase dan penghambatan
mekanisme toleransi. CD4 dan sel T teraktivasi bermigrasi dari kelenjar menuju
mukosa lambung dan menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan.

17

Pada penyakit Myasthenia Gravis, autoantibodi terhadap reseptor


acetylcholine menghambat transmisi neuromuscular dari saraf cholinergic dengan
cara

menghambat

pengikatan

acetylcholine

dan

merusak

reseptornya,

menyebabkan kelemahan otot. Autoantibodi terhadap acetylcholine ini dapat


menembus plasenta dan menyebabkan kelemahan otot sementara pada bayi
(Anonimus 2001; Kresno 2001).
Penyakit-penyakit yang lain, seperti demam reumatik, tiroiditis Hashimoto
dan pada tirotoksikosis Graves juga terjadi melalui mekanisme yang sama.
Destruksi sel biasanya terjadi bila ada komplemen seperti tampak pada anemia
hemolitik autoimun. Atau mungkin juga melalui sitotoksisitas selular dengan
bantuan antibodi (antibody dependent cell mediated cytotoxicity = ADCC), pada
penyakit tiroiditis Hashimoto. Kadang-kadang autoantibodi terhadap reseptor
merangsang atau menghambat fungsi sel tanpa merusaknya. Pada tirotoksikosis
Graves, autoantibodi pada reseptor hormon TSH menimbulkan rangsangan pada
kelenjar sehingga terjadi hipertiroiditi.

2. T CELL MEDIATED EFFECTS (KEKEBALAN SELULER)


Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi
merusak sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel
T yang memicu respon inflamasi. Pengenalan autoantigen oleh sel T dapat
merusak jaringan tanpa adanya produk antibodi. Beberapa mekanisme yang
terjadi berupa :

18

1. Toksisitas sel T secara langsung melalui CD8+ CTL


2. Pengrusakan sel-sel jaringan yang diinduksi oleh sitokin, misalnya
TNF
3. Mendatangkan dan mengaktivasi makrofag yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
4. Adanya induksi apoptosis oleh protein membran sel T (FasL).
Interaksi Fas-FasL merupakan mekanisme patogenesis yang umum pada
autoimunitas spesifik organ. Autoimunitas spesifik organ ditandai dengan
kehilangan sel-sel tertentu. Mekanismenya terjadi melalui sitotoksisitas sel T
dengan cara : 1) eksositosis granula yang mengandung perforin yang
menyebabkan pengrusakan sel sasaran; 2) pengikatan Fas dengan FasL yang
terdapat pada membran sel sasaran atau yang dilepaskan oleh sel sasaran.
Interaksi Fas-FasL menyebabkan sitotoksisitas non spesifik yang tidak tergantung
pada MHC. Contohnya pada IDDM, sel pancreas dalam keadaan normal tidak
mengekspresikan Fas, tetapi pada proses insulitis, berbagai sitokin dan mediator
inflamasi dapat mengawali destruksi sel pancreas yang diinduksi oleh Fas.
Dalam keadaan ini, sel pancreas diinduksi oleh IL-1 untuk mengekspresikan
Fas yang fungsional secara selektif.
Pada anemia aplastik, terjadi destruksi jaringan hemopoetik melalui
mekanisme autoimun yang disebabkan adanya produksi IFN- dan TNF secara
berlebihan. IFN- dan TNF dapat menginduksi ekspresi reseptor Fas pada CD34,
dan rangsangan reseptor Fas melalui pengikatan FasL menyebabkan apoptosis sel
bersangkutan.

19

3. IMMUNE COMPLEX MEDIATED EFFECTS (KOMPLEKS IMUN)


Kompleks imun banyak berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan
jaringan diawali dengan pembentukan kompleks imun, yaitu kompleks
autoantibodi-autoantigen yang kemudian memicu aktivitas komplemen, granulosit
dan monosit. Aktivasi komplemen ditandai dengan penurunan kadar komplemen
antara lain C4. Selanjutnya proses ini menyebabkan kerusakan jaringan sistemik
seperti terjadi pada SLE, maupun kerusakan lokal seperti pembentukan arthus
pada RA (Kresno 2001).
Organ-organ tertentu, seperti ginjal, sangat sensitif terhadap akumulasi
kompleks imun. Pada penderita SLE, ditemukan adanya berbagai autoantibodi
baik terhadap antigen sitoplasma maupun nukleus. Kehadiran IgG anti DNA
rantai ganda merupakan karakteristik dari penyakit ini. Bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa kompleks imun berperan dalam SLE, yaitu pasien
mengalami penurunan kadar komplemen (C3) dan netrofil secara nyata karena
aktivasi oleh kompleks imun serta defisiensi komplemen (Anonimus 2001).

KLASIFIKASI PENYAKIT AUTOIMUN


Penyakit autoimun dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu penyakit
autoimun yang spesifik organ dan penyakit autoimun yang nonspesifik organ.
Contoh penyakit autoimun yang spesifik organ, diantaranya adalah tiroiditis
Hashimoto, myxedema primer dan anemia pernisiosa. Penyakit autoimun yang

20

termasuk non-spesifik organ misalnya SLE, skleroderma, dermatomiositis dan


artritis reumatoid. Di tengah-tengah adalah golongan penyakit yang kerusakannya
cenderung spesifik organ tertentu tetapi autoantibodi yang dibentuk tidak spesifik
organ, misalnya anemia hemolitik autoimun, idiopathic thrombocytopenic
purpura (ITP), sirosis bilier primer (Tabel 2).
Tabel 2. Spektrum penyakit autoimun (Kresno 2001).
Tiroiditis Hashimoto
Spesifik organ
Myxedema primer
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa
Gastritis atopik autoimun
Penyakit Addisons
Menopause premature
IDDM
Sindroma Goodpastures
Myastenia gravis
Infertilitas pada pria
Pemfigus vulgaris
Pemfigoid
Oftalmia sistemik
Uveitis fagogenik
Sklerosis multiple
Anemia hemolitik autoimun
ITP
Leukopenia idiopatik
Sirosis bilier primer
Hepatitis kronik aktif
Sirosis kriptogenik
Kolitis ulseratif
Sindrom Sjogrens
Athritis rheumatoid
Dermatomiositis
Skleroderma
Mixed connective tissue disease
Lupus eritomatosis discoid
SLE
Non-spesifik organ

1. PENYAKIT AUTOIMUN SPESIFIK ORGAN


Alat tubuh yang umum menjadi sasaran penyakit adalah kelenjar tiroid,
kelenjar adrenal, lambung dan pankreas. Pada penyakit-penyakit tersebut,
dibentuk antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh penyakit autoimun yang
sering dijumpai dari golongan spesifik organ adalah yang termasuk penyakit

21

autoimun endokrin. Diduga autoimunitas diawali dengan proses inflamasi


(mungkin akibat infeksi) dalam kelenjar endokrin. Sel-sel inflamasi menghasilkan
interferon dan sitokin lain yang menginduksi ekspresi MHC kelas II pada
permukaan sel endokrin. Kesalahan dalam ekspresi MHC kelas II atau pengenalan
kompleks

MHC-antigen

oleh

sel-sel

sistem

imun

secara

tidak

tepat

mengakibatkan autoantigen dianggap sebagai asing. Sel endokrin berfungsi


sebagai APC bagi protein selnya sendiri yang dikenal oleh sel T dan sel B
autoreaktif yang mengakibatkan destruksi sel-sel endokrin secara enzimatik dan
oksidatif. Mekanisme lain yang juga mungkin terjadi adalah interaksi idiotip-antiidiotip (Kresno 2001). Beberapa contoh penyakit autoimun spesifik organ :

a. Tiroiditis Hashimoto
Gambaran klinik tiroiditis Hashimoto bermacam-macam, mungkin
dijumpai pembesaran kelenjar dan kelainan fungsi berupa eutiroid, hipotiroid
atau hipertiroid. Walaupun autoantibodi tampaknya mempunyai peran penting
dalam menimbulkan penyakit, tetapi keadaan patologik terutama disebabkan
oleh respon imun selular (Kresno 2001). Pada keadaan ini terjadi peningkatan
aktivitas sel T sitotoksik dan produksi limfokin oleh limfosit T. Besar
kemungkinan bahwa autoantibodi dibentuk karena adanya kerusakan sel
akibat respon imun selular. Limfosit T sendiri tidak bersifat sitotoksik
terhadap kelenjar tiroid, diduga disini berperan sitotoksisitas dengan bantuan
antibodi (ADCC). Antibodi atau kompleks autoantigen-autoantibodi melekat
pada sel folikular dan sel selanjutnya dirusak oleh sel NK.

22

b. Tirotoksikosis Graves
Penyakit Graves dikenal juga sebagai toxic goiter atau exophtalmic goiter
timbul sebagai akibat produksi antibodi yang merangsang tiroid. Salah satu
antibodi terhadap reseptor permukaan sel tiroid yang telah dikenal antara lain
long acting thyroid stimulator (LATS) atau thyroid stimulating antibody
(TSAb). Beberapa jenis TSAb dapat bereaksi dengan reseptor TSH yang
terdapat pada permukaan kelenjar tiroid. Interaksi antara TSAb dengan
reseptor TSH menyebabkan produksi hormon tiroid melalui sistem adenilate
cyclase.
TSAb-IgG yang berasal dari wanita hamil penderita penyakit Graves
dapat melewati placenta dan dapat menyebabkan hipertiroiditi pada neonatus.
Ada dugaan bahwa pembesaran kelenjar tiroid disebabkan reaksi antara
antibodi dengan reseptor pertumbuhan (growth receptor), meyebabkan sel
berploriferasi yang dinyatakan dengan hiperaktivitas metabolik.

c. Sindroma myxedema primer (Tiroiditis atrofik)


Kebalikan dari tirotoksikosis Graves, serum penderita myxedema primer
mengandung antibodi yang mampu menghambat aktivitas mitogenik TSH,
sehingga pertumbuhan dan fungsi tiroid terganggu. Telah diketahu bahwa
terdapat imunoglobulin yang mampu merangsang proliferasi kelenjar tiroid,
yaitu thyroid growth immunoglobulin (TGI). Pada keadaan myxedema primer,
diteumkan anti-TGI yang menghambat aktivitas TGI.

2. PENYAKIT AUTOIMUN NONSPESIFIK ORGAN

23

Penyakit autoimun nonspesifik organ terjadi karena dibentuknya antibodi


terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada
penyakit ini sering ditemukan kompleks imun yang dapat diendapkan pada
dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan kerusakan
pada alat tersebut. Tempat endapan kompleks imun di dalam ginjal bergantung
pada ukuran kompleks tersebut di dalam sirkulasi. Kompleks dengan ukuran besar
diendapkan di membran basal glomerulus, sedangkan kompleks dengan ukuran
kecil dapat menembus membran tersebut dan terlihat di bagian epitel glomerulus.
a. Systemic lupus erytematosus (SLE)
Manifestasi SLE umumnya terjadi pada berbagai organ dan jaringan di
seluruh tubuh dan terutama ditandai dengan vaskulitis sistemik yang tidak
diketahui sebabnya. Diduga bahwa faktor genetik memegang peran penting
pada patofisiologi SLE. Pada penderita yang secara genetik menunjukkan
predisposisi untuk SLE dapat dijumpai gangguan sistem regulasi sel T dan
fungsi sel B yang dapat diinduksi oleh berbagai hal.
Adanya anti-limfosit T menyebabkan limfopenia dan kepekaan terhadap
infeksi oportunistik. Defisiensi sel T penekan merupakan gangguan imunitas
selular yang paling menonjol. Sebaliknya sel B menjadi hiperaktif karena
tidak adanya pengendalian oleh sel T penekan atau aktivasi berlebihan
melalui

pembentukan

B-cell-groeth-factor

(BCGF)

dan

B-cell-

differentiation-factor (BCDF). Aktivasi sel B menyebabkan pembentukan


ANA dan anti-DNA secara tidak terkendali, yang kemudian berikatan dengan
antigen yang relevan. Kompleks yang terbentuk selanjutnya dapat

24

mengaktivasi komplemen yang berakibat kerusakan jaringan, misalnya


vaskulitis , glomerulonefritis dan kerusakan jaringan lainnya.
Endotoksin
n

Kerusakan sel

Aktivasi poliklonal

DNA

Membran basal
glomerulus
Sel endotel
(podosit) anti-DNA

Kompleks
DNA/anti-DNA

Gambar 7. Model pembentukan kompleks imun dalam ginjal.


Sel yang dirusak endotoksin akan melepaskan DNA yang
kemudian mengendap di kolagen membran basal
glomerulus. Endotoksin juga merangsang sel B poliklonal
untuk membentuk antibodi terhadap DNA dan juga terhadap
IgG, disebut faktor reumatoid (FR). Anti-DNA yang
mengikat DNA dan FR yang mengikat IgG membentuk
kompleks imun dan mengendap (Baratawidjaja 1988).
Salah satu hal yang dapat memicu manifestasi penyakit SLE adalah
pemaparan terhadap sinar matahari, khususnya sinar UV. Sel-sel Langerhans
pada kulit yang tergolong monosit dan makrofag memproduksi interleukin-1
yang merangsang sel T CD4+ sehingga terjadi respon imun selular secara
spontan pada daerah yang terkena sinar UV.

25

Faktor lain yang dapat memicu SLE adalah infeksi bakterial atau virus
yang dapat merangsang aktivitas makrofag dan monosit, serta penggunaan
obat yang dapat mengikat DNA, misalnya isoniazid.

b. Artritis Reumatoid (RA)


Kelainan sendi yang dijumpai pada RA pada hakekatnya terjadi akibat
pertumbuhan sel-sel sinovial yang merusak tulang dan tulang rawan. Penyakit
diawali dengan aktivasi sel T autoreaktif yang kemudian bermigrasi ke dalam
rongga sinovial dan menginduksi aktivasi sel-sel efektor, seperti sel-sel
sinovial dan sel B melalui sitokin yang diproduksi oleh sel T. Membran
sinovial menjadi hiperselular karena penimbunan sejumlah besar limfosit
dalam berbagai stadium aktivasi, sel plasma dan makrofag. Semua sel
menunjukkan aktivitas yang tinggi dan interaksi antaa sel-sel itu
menyebabkan pembentukan imunoglobulin dan faktor reumatoid.
Bukti bahwa sel T dan sitokin yang diproduksinya terlibat dalam
patogenesis penyakit dapat dilihat dari hasil pemantauan perubahan kadar IL1, IL-6, TNF dan IL-10 serta TNF-RI, II dan sIL-10R pada penderita RA
yang diberi pengobatan anti- TNF dengan hasil penurunan kadar sitokin
pro-inflamatorik sejalan dengan perbaikan klinis.
Diduga RA disebabkan atau diawali oleh infeksi, seperti infeksi oleh virus
Epstein-Barr(EBV). Dugaan ini timbul karena EBV dapat menyebabkan
infeksi laten dan persisten, dan dapat menyebabkan proliferasi limfosit B in
vitro. Pengendalian infeksi EBV sangat bergantung pada kemampuan limfosit
T untuk menghancurkan limfosit B yang terinfeksi EBV, karena itu

26

diperlukan pengenalan self. Sel T pada penderita RA ternyata tidak mampu


mengenali limfosit B yang terinfeksi, dan hal ini dikaitkan dengan kelainan
pada gen respons imun.
Interaksi antara faktor reumatoid dengan Fc-IgG dan C1q membentuk
kompleks imun, yang bila terdapat dalam sendi akan mengawali terjadinya
reaksi Arthus. Sel-sel polimorfonuklear akan melepaskan enzim lisozom,
termasuk proteinase dan kolagenase yang dapat merusak tulang rawan sendi.
Kompleks itu juga akan merangsang sel-sel sinovial yang mirip makrofag
untuk melakukan fagositosis. Sebaliknya, makrofag merangsang limfosit T
untuk melepaskan berbagai limfokin, diantaranya fibroblast stimulating
factor yang merangsang proliferasi fibroblast dan faktor kemotaktik yang
menarik granulosit ke tempat terjadinya kerusakan. Makrofag yang teraktivasi
melepaskan

berbagai

mediator,

diantaranya

plasminogen,

IL-1

dan

prostaglandin E2 (PGE2) yang dapat mengaktivasi osteoklas sehingga terjadi


resorpsi tulang dan mengakibatkan penyakit lebih parah (Kresno 2001).

PENUTUP
Secara umum, beberapa prinsip terapi yang mungkin dilakukan untuk
mengatasi penyakit autoimun antara lain : mengubah ambang aktivasi imun,
merangsang respon antigen spesifk, rekonstitusi sistem imun dengan stem sel
autolog atau alogenik dan melindungi organ target. Interaksi antara kostimulasi,

27

penghantaran sinyal, kemokin, sitokin dan molekul-molekul lain yang penting


dalam aktivasi imun diatur untuk menjaga homeostasis sistem imun. Hal ini
didasarkan pada konsep bahwa perubahan yang kecil pada protein atau faktorfaktor lain yang berperan dalam penyampaian sinyal intraselular dapat
mengalihkan sistem imun dari sifat autoreaktifnya.
Terapi antigen spesifik bertujuan untuk menginduksi toleransi terhadap
antigen utama. Pemaparan autoantigen pada sistem imun dapat melalui ingesti
untuk menginduksi toleransi oral, atau dengan injeksi. Terapi antigen spesifik ini
dapat

dilakukan

secara

kombinasi

dengan

pemberian

sitokin

ataupun

penghambatan kostimulator.
Transplantasi stem sel dengan stem sel autolog atau alogenik mungkin
dapat dilakukan pada penderita SLE, RA, schleroderma dan multiple sclerosis,
dengan harapan dapat memperbaiki homeostasis melalui pengaturan sel. Namun,
sampai saat ini, efisiensi dan keamanan cara ini belum diketahui secara pasti. Oleh
karena itu, studi lebih lanjut tentang penyakit autoimun perlu dilanjutkan untuk
mendapatkan strategi yang tepat dalam terapi setiap penyakit autoimun.

28

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus 2001. Mechanisms of autoimmune
immuno.path.cam.ac.uk [26-11-2002].

pathology.

http://www-

Anonimus 2002. Organ Specific Autoimmunity. Faculty of Medicine. Monash


University.
Bellanti JA, Calabro JJ, Gelfand MC. 1993. Penyakit yang Ditengahi secara
Imunologi yang Melibatkan Antigen-antigen Autolog. Dalam Imunologi
III. Edisi J.A. Bellanti. Gadjah Mada University Press. Indonesia
Baratawidjaja K.G. 1988. Imunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Davidson A, Diamond B. 2001. Autoimmun Diseases. N Engl Med. 345(5):340347.
Husband, A.J. 1995. The Immune System and Integrated Homeostasis.
Immunology and Cell Biology. 73:377-382
Kresno SB. 2001. Penyakit Autoimun. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. Hal. 286-314.

Vous aimerez peut-être aussi