Vous êtes sur la page 1sur 28

PENGELOLAAN

KAS NEGARA
ANALIS
IS
BELANJ
A
SUBSI
DI
APBN

PROGRAM DIPLOMA III KEBENDAHARAAN


NEGARA

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA


STAN

Arief Hakim H.
Daulay
Janrika Mutyarani
Ni Wayan Manik
Hartini

2016

1. PENGANTAR
Untuk mendukung peningkatan kapasitas produksi dan penguatan daya saing guna
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, strategi yang
dipilih adalah memperkuat stimulus fiskal, yang akan ditempuh baik melalui sisi pendapatan
negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Dari sisi pendapatan negara,
pemberian insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis ditujukan untuk mendukung iklim
investasi dan keberlanjutan dunia usaha. Sementara itu, dari sisi belanja negara, langkah yang
ditempuh dalam meningkatkan ruang fiskal adalah: (1) optimalisasi pendapatan; (2)
melanjutkan efisiensi subsidi; (3) efisiensi belanja; dan (4) pengendalian earmarking dan
belanja wajib.
Jelas dari strategi fiskal yang akan dilaksanakan tahun ini, subsidi tetap akan ditekan
seminimal dan seefektif mungkin demi menciptakan ruang fiskal yang lebih. Hal ini memang
sudah seharusnya dilakukan mengingat pemerintah terus berusaha menggenjot pembangunan
infrastruktur dengan meminimalkan utang sebagai sumber pembiayaannya. Untuk
menciptakan ruang tersebut, dari sisi pendapatan, pemerintah akan terus menggenjot
pendapatan dari segala sektor, terutama pajak dan PNBP, sedangan dari pengeluaran
pemerintah akan berusaha meminimalkan pengeluaran, salah satunya adalah efisiensi subsidi.
Peningkatan subsidi di tahun 2016 direncanakan dialokasikan untuk program pertain dan
penguatan pangan, sejalan dengan program presiden. Untuk alokasi melalui belanja non K/L,
dukungan pencapaian prioritas kedaulatan pangan antara lain melalui: (1) penyediaan subsidi
pangan untuk 15,5 juta RTS dengan kuantum sebesar 15kg/ RTS/penyaluran yang disalurkan
untuk 12 bulan, subsidi pupuk dengan total volume 9,55 juta ton, serta subsidi benih dengan
volume 116.500.000 kg yang terdiri atas benih jenis padi hibrida dan inhibrida serta benih
kedelai.

Anggaran Program Pengelolaan Subsidi dalam belanja negara dialokasikan dalam rangka
meringankan beban masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasarnya, dan sekaligus untuk
menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya yang merupakan
kebutuhandasar masyarakat, dengan harga yang terjangkau. Pemberian subsidi ditujukan
untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa di dalam negeri, memberikan perlindungan
pada masyarakat berpendapatan rendah, meningkatkan produksi pertanian, serta memberikan
insentif bagi dunia usaha dan masyarakat. Dengan subsidi tersebut diharapkan bahan
kebutuhan pokok masyarakat tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan harga yang stabil,
dan terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, penyaluran subsidi diupayakan lebih tepat sasaran
kepada masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi subsidi menuju pencapaian belanja yang berkualitas,
maka arah kebijakan subsidi tahun 2016 mencakup antara lain: (1) menjaga stabilisasi harga;
(2) membantu masyarakat miskin dan menjaga daya beli masyarakat; (3) meningkatkan
produktivitas dan menjaga ketersediaan pasokan dengan harga terjangkau; (4) meningkatkan
daya saing produksi dan akses permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan berbagai kebijakan tersebut, maka anggaran Program Pengelolaan Subsidi dalam
RAPBN tahun 2016 direncanakan mencapai Rp201.363,6 miliar. Jumlah tersebut menurun
Rp10.740,8 miliar bila dibandingkan dengan pagu Program Pengelolaan Subsidi dalam
APBNP tahun 2015 sebesar Rp212.104,4 miliar. Sebagian besar anggaran tersebut akan
dialokasikan untuk subsidi energi sebesar Rp120.957,2 miliar, yaitu subsidi BBM, LPG
tabung 3 kg, dan LGV sebesar Rp70.957,2 miliar, dan subsidi listrik sebesar Rp50.000,0
miliar. Sementara itu, untuk subsidi nonenergi sebesar Rp80.406,4 miliar, terdiri atas: (1)
subsidi pangan sebesar Rp20.993,4 miliar; (2) subsidi pupuk sebesar Rp30.063,2 miliar; (3)
subsidi benih sebesar Rp1.023,8 miliar; (4) subsidi PSO sebesar Rp3.752,5 milar; (5) subsidi
bunga kredit program sebesar Rp16.474,5 miliar; (6) subsidi pajak ditanggung pemerintah
(DTP) sebesar Rp8.099,1 miliar.

2. SUBSIDI BBM DAN SUBSIDI NABATI

Realisasi belanja subsidi energi, dalam rentang waktu 20102014 secara nominal mengalami
peningkatan sebesar Rp201.857,4 miliar atau tumbuh rata-rata 25,0 persen per tahun, yaitu
dari Rp139.952,9 miliar pada tahun2010 menjadi Rp341.810,4 miliar pada tahun 2014.

Dalam tahun 2015,anggaran belanja subsidi energy mengalami penurunan yang


sangatsignifikan, dari semula Rp341.810,4 miliar pada realisasi tahun 2014 menjadi
Rp137.824,0 miliar dalam APBNP 2015 terutama akibat penurunan anggaran subsidi BBM
akibat perubahan kebijakan dan parameter subsidi. Perkembangan belanja subsidi energy
tahun 20102015 disajikan dalam grafik berikut

Salah satu parameter subsidi BBM adalah volume BBM bersubsidi. Volume konsumsi BBM
bersubsidi dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun
2010, realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi mencapai 38,2 juta kilolitre dan meningkat
menjadi
46,0
juta
kilolitre
pada
tahun
2014.
Pada
APBNP
tahun
2015, volume konsumsi BBM turun signifikan menjadi 17,9 juta kilolitre dikarenakan
penghapusan subsidi padajenis premium. Perkembangan volume konsumsi BBM bersubsidi
tahun 20102015 disajikan perkembangan harga BBM bersubsidi

Penentuan subsidi BBM diatur dalam UU APBN yang dibuat setiap tahunnya.
UU No 14 tahun 2015

Penentuan subsidi BBM dilakukan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh kementrian
ESDM dan kemudian diajukan persetujuan kepada DPR. Subsidi diberikan sesuai dengan
kemampuan Negara di tahun yang bersangkutan
Subsidi tetap dan subsidi Mengambang
Mekanisme subsidi tetap yaitu memberi subsidi per liter BBM dengan plafon tertentu yang
mengacu pada harga pasar. Misalnya, subsidi diberikan secara tetap sebesar Rp 500 atau Rp
1.000 per liter. Dengan pola itu, harga BBM bersubsidi bisa berubah setiap bulan, sesuai
dengan perkembangan harga di pasar. Saat harga minyak dunia naik, maka harga BBM
bersubsidi akan naik. Namun, saat minyak dunia merosot, maka harga BBM bersubsidi juga
akan menurun.
subsidi mengambang berarti pemerintah berusaha mempertahankan harga BBM sesuai
dengan target tanpa memperhatikan harga minyak dunia.

3. SUBSIDI LISTRIK DAN LPG


a) Subsidi Listrik
Subsidi Listrik adalah selisih kurang antara tarif tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari
masing-masing Golongan Tarif dikurangi BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masingmasing Golongan Tarif ditambah marjin (% tertentu dari BPP) dikalikan volume
penjualan (kWh) untuk setiap Golongan Tarif.
Dana Subsidi Listrik dialokasikan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan. Dalam
rangka pelaksanaan anggaran Subsidi Listrik, Menteri Keuangan selaku Pengguna
Anggaran menunjuk Direktur Jenderal Anggaran selaku KPA. Direktur Jenderal
Anggaran dapat mendelegasikan kewenangan KPA kepada pejabat eselon II di
lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran.
Subsidi Listrik diberikan kepada pelanggan dengan Golongan Tarif yang tarif tenaga
listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di Golongan Tarif
tersebut. Pemberian Subsidi Listrik dilaksanakan melalui PT PLN (Persero).
Subsidi Listrik dihitung dengan formula sebagai berikut:

S = - (TTL - BPP (1 + m)) x V

S= Subsidi listrik
TTL
= Tarif tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing Golongan Tarif
BPP
= BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing Golongan Tarif
M
= Margin (%)
V
= Volume Penjualan
Marjin dalam perhitungan pembayaran Subsidi Listrik merupakan marjin yang
digunakan dalam perhitungan besaran Subsidi Listrik untuk menghasilkan angka
Subsidi Listrik yang ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.
Besaran Subsidi Listrik disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
kepada Menteri Keuangan sebagai usulan dalam rangka persiapan penyusunan
Rancangan APBN dan/atau Rancangan APBN- Perubahan. Menteri BUMN dapat
mengusulkan besaran persentase marjin kepada Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral.
Dalam rangka pelaksanaan Subsidi Listrik, PT PLN (Persero) melakukan pengendalian
terhadap parameter pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran
Energi yang digunakan dalam perhitungan Subsidi Listrik dalam APBN dan/atau
APBN-Perubahan. Pelaksanaan pengendalian dituangkan dalam laporan realisasi
pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran Energi dan disampaikan
oleh PT PLN (Persero) kepada kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada KPA. Dalam laporan
realisasi juga disampaikan perkiraan realisasi sampai dengan akhir tahun berjalan atas
6

parameter pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran Energi.


Laporan realisasi disampaikan secara triwulanan dan paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.
BPP dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan. Komponen BPP meliputi:
1. Pembelian tenaga listrik termasuk sewa pembangkit
2. Bahan bakar yang terdiri atas:
a. Bahan bakar minyak
b. Gas alam
c. Panas bumi
d. Batubara
e. Minyak pelumnas
f. Biaya retribusi air permukaan
3. Biaya pemeliharaan yang terdiri atas:
a. Material, dan
b. Jasa borongan
4. Biaya kepegawaian
5. Biaya administrasi
6. Penyusutan atas aktiva tetap operasional
7. Beban bunga dan keuangan yang digunakan untuk penyediaan tenaga listrik
Direksi PT PLN (Persero) setiap bulan mengajukan permintaan pembayaran Subsidi
Listrik kepada KPA. Permintaan pembayaran Subsidi Listrik untuk 1 (satu) bulan dapat
disampaikan pada tanggal 1 (satu) bulan berikutnya. Berdasarkan permintaan
pembayaran Subsidi Listrik, KPA melakukan penelitian dan verifikasi atas data
pendukung. Hasil verifikasi, dituangkan dalam Berita Acara Verifikasi yang
ditandatangani PPK dan Direksi PT PLN (Persero) selaku pihak yang diverifikasi.
Jumlah Subsidi Listrik yang dapat dibayar untuk setiap bulannya sebesar 95%
(sembilan puluh lima persen) dari hasil perhitungan verifikasi. Tata cara pencairan dana
Subsidi Listrik dalam rangka pelaksanaan kegiatan Subsidi Listrik dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan Subsidi Listrik
Menurut Nota Keuangan dan RAPBN 2014, anggaran subsidi listrik diberikan dengan
tujuan agar harga jual listrik dapat terjangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif
tertentu. Subsidi listrik dialokasikan karena rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL)nya lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik pada golongan tarif
tersebut. Anggaran subsidi listrik juga dialokasikan untuk mendukung ketersediaan
listrik bagi industri, komersial, dan pelayanan masyarakat. Selain itu, pemberian subsidi
listrik diharapkan dapat menjamin program investasi dan rehabilitasi sarana/prasarana
dalam penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, dalam rangka mengurangi beban
subsidi listrik yang terus meningkat, Pemerintah dan PT PLN (Persero) berupaya
menurunkan BPP tenaga listrik, antara lain melalui:
1. Program penurunan susut jaringan (losses); dan

2. Program diversifikasi energi primer di pembangkit listrik dengan melakukan


optimalisasi penggunaan gas, panas bumi, batubara, biodiesel, dan penggantian
high speed diesel (HSD) menjadi marine fuel oil (MFO).
Dalam rangka mengendalikan subsidi listrik, Pemerintah bersama DPR-RI sepakat
untuk menurunkan subsidi listrik secara bertahap, dengan tidak mengorbankan
masyarakat berpenghasilan rendah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah telah
melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rata-rata sebesar 15 persen pada tahun
2013 secara bertahap.

Pada 2015 PT PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) sebagai BUMN listrik
mengumumkan kenaikan tarif listrik untuk sejumlah kelas. Indonesia telah menaikkan
tarif listrik dengan penyesuaian periodik berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan
sejak 2013 (lihat Tabel 1 di bawah untuk uraian lengkapnya). Situs online PT PLN juga
mulai mempublikasikan pengumuman tarif bulanan, sejak Mei 2014 (PLN, 2014).
Berdasarkan peraturan terbaru yang ditandatangani pada 24 Desember 2014 oleh
Sudirman Said, Menteri ESDM yang baru, tarif listrik akan ditetapkan oleh PT PLN,
dan penyesuaian tarif akan dilakukan setiap bulannya, berdasarkan evaluasi nilai tukar
RupiahUSD, harga minyak mentah Indonesia (CPI) dan tingkat inflasi. Peraturan ini
mulai berlaku pada 1 Januari 2015.
Indonesia masih menyubsidi sejumlah kelas tarif, khususnya untuk sambungan
tegangan rendah di kelas perumahan (R), bisnis (B) dan industri (I). Berdasarkan
jumlah pelanggan, kelas-kelas tersebut merupakan kelompok pengguna listrik terbesar
di Indonesia. Pada 2013, sambungan tegangan rendah (hingga 1.000 V) melingkupi 99
persen dari total konsumen PT PLN yang jumlahnya tercatat lebih dari 53,85 juta
konsumen (Kementrian ESDM, 2014, hal.52). Konsumsi bahan bakar untuk
pembangkit listrik PT PLN di Indonesia didominasi oleh batu bara dengan konsumsi
8

tahunan sebesar 35,51 juta ton pada 2012 (PLN, 2013), jumlah tersebut setara dengan
57,35 persen konsumsi bahan bakar dari pembangkit listrik Indonesia (Pusdatin, 2014,
hal. 96).
b) Subsidi LPG Tabung 3 Kg
Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya disebut LPG adalah gas hidrokarbon yang
dicairkan dengan tekanan untuk rnemudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan
penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau carnpuran
keduanya.
Penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg hanya diperuntukkan bagi rumah
tangga dan usaha mikro. Penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg
dilaksanakan secara bertahap pada daerah tertentu dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg
diawali dengan memberikan secara gratis tabung, LPG Tabung 3 Kg dan kompor gas
beserta peralatan lainnya kepada rumah tangga dan usaha mikro. Pemberian hanya
dilaksanakan sebanyak 1 (satu) kali.
Menteri menetapkan perencanaan volume penjualan tahunan LPG Tabung 3 Kg serta
standar dan mutu (spesifikasi) LPG Tabung 3 Kg dengan mempertimbangkan :
a. Kebutuhan penggunaan LPG untuk rumah tangga dan usaha mikro; serta
b. Usulan dari Badan Usaha
Dalarn rangka penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg, Menteri rnenetapkan
harga patokan dan harga jual eceran LPG Tabung 3 Kg untuk rumah tangga dan usaha
rnikro. Menteri menetapkan harga patokan LPG Tabung 3 Kg setelah rnendapatkan
pertirnbangan Menteri Keuangan. Menteri menetapkan harga jual eceran LPG Tabung 3
Kg didasarkan pada hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonornian.
Penyediaan dan pendistribusian atas volume kebutuhan tahunan LPG Tabung 3 Kg
dilaksanakan oleh Badan Usaha melalui penugasan oleh Menteri. Penugasan kepada
Badan Usaha dapat dilakukan rnelalui penunjukan langsung dan/atau lelang.
Penunjukan langsung wajib memenuhi ketentuan:
a. Perlindungan aset kilang rninyak dan gas dalarn negeri terrnasuk
pengernbangannya dalam jangka panjang;
b. Jarninan ketersediaan LPG Tabung 3 Kg dalarn negeri; atau
c. Apabila hanya terdapat 1 (satu) Badan Usaha pernegang Izin Usaha Niaga Urnurn
LPG untuk rnelaksanakan penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg.
Penyediaan LPG dapat berasal dari LPG produksi dalam negeri atau melalui impor
LPG. LPG produksi dalam negeri berasal dari hasil pengolahan Minyak dan Gas Bumi
dan hasil pengolahan lapangan pada kegiatan usaha hulu. LPG produksi dalam negeri
wajib diutamakan untuk memenuhi pasokan kebutuhan LPG di dalam negeri.
Pengolahan Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Badan Usaha pemegang lzin
Usaha Pengolahan Minyak Bumi danlatau Badan Usaha pemegang lzin Usaha
Pengolahan Gas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPG
9

yang berasal dari pengolahan lapangan pada kegiatan usaha hulu wajib dijual kepada
Badan Usaha pemegang lzin Usaha Niaga LPG dengan titik serah di lapangan kegiatan
usaha hulu.
Penyediaan LPG yang berasal dari impor dilaksanakan oleh Badan Usaha pemegang
lzin Usaha Niaga LPG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan impor LPG oleh Badan Usaha dilakukan setelah mendapat rekomendasi
Direktur Jenderal atas nama Menteri dan izin Menteri Perdagangan. Pengguna
Langsung LPG dapat melakukan impor LPG setelah mendapat rekomendasi Direktur
Jenderal atas nama Menteri dan izin Menteri Perdagangan. Pengguna Langsung LPG
merupakan konsumen atau pengguna LPG untuk penggunaan sendiri dan tidak untuk
dipasarkan danlatau diperjualbelikan.
Kebijakan harga LPG
Pada awal 2015 juga terjadi sejumlah perubahan dalam harga LPG. Pada 31 Desember
2014, Ahmad Bambang, Direktur Pemasaran PT Pertamina, mengumumkan bahwa
harga acuan LPG tabung 12 kilogram akan dinaikkan sebesar Rp 1.500 per kilogram
(US$ 0,12 per kg), mulai dari 1 Januari 2015 (Bisnis, 2014). Ini menyebabkan harga
LPG 12 kg naik dari Rp 7.569 menjadi Rp 9.069 per kg (US$ 0,61 menjadi US$ 0,73
per kg) (TribunNews, 2015). Dengan penambahan biaya pengemasan dalam tabung dan
transportasi, serta pajak nilai tambah dan margin keuntungan distributor, akumulasinya
menghasilkan harga eceran vendor PT Pertamina sebesar Rp 11.225 per kg atau
Rp134.700 per tabung 12kg (US$ 0,90 per kg atau US$ 10,78 per 12 kg). Harga ini
dapat menjadi lebih tinggi seiring biaya angkut dan faktor lain yang menyebabkan
pengecer memutuskan untuk menggelembungkan harga. Di area di luar Jakarta terdapat
laporan bahwa harga dapat mencapai Rp 12.500 per kg atau Rp 150.000 per 12 kg (US$
1 per kg atau US$ 12 per tabung 12 kg) (Jakarta Post, 2015c; Merdeka, 2015b).
Pada tanggal 19 Januari terjadi penyesuaian harga kembali dalam bentuk penurunan.
Biaya LPG tabung 12 kg diturunkan dari Rp 134.700 menjadi Rp 129.000 per tabung
(US$ 10,7 menjadi US$ 10,3 per tabung) (Jakarta Globe, 2015).
Menurut pemerintah, LPG tabung 12 kg PT Pertamina adalah produk energi nonsubsidi, dan berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.26/2009 pasal 25, harga LPG
non-subsidi ditetapkan di tingkat perusahaan. Namun demikian, pada kenyataannya
kewenangan penetapan harga perusahaan tidak sepenuhnya lepas dari campur tangan
pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa LPG tabung 12 kg telah dijual di
bawah biaya pasokan selama bertahun-tahun dan upaya PT Pertamina untuk menaikkan
harga LPG pada 2013 sempat dibatalkan setelah adanya instruksi dari Presiden
Yudhoyono untuk meninjau ulang keputusan tersebut (Sindonews, 2013).
Belajar dari permasalahan dalam hal koordinasi kebijakan tersebut, PT Pertamina
mengembangkan skema penyesuaian harga dan mengumumkan kerangka waktu untuk
kenaikan harga LPG non-subsidi setiap 6 bulan yang akan berlangsung hingga akhir
2016. Pada Agustus 2014, Ali Mundakir, Vice President Corporate Communication PT
Pertamina, mengumumkan bahwa pemerintah telah memberikan lampu hijau untuk
kenaikan harga LPG pada Januari 2015 (Liputan6, 2014a). Kenaikan sebelumnya, yang
menaikkan harga LPG tabung 12 kg dari Rp 6.069 menjadi Rp 7.569 per kilogram
(US$ 0,47 menjadi US$ 0,61 per kilogram) berlangsung pada September 2014, pada
10

pemerintahan Yudhoyono (Bisnis.com, 2014). PT Pertamina menyatakan bahwa


penetapan harga 8 yang tidak sesuai dan kesulitan dalam memperbaharui harga telah
memaksa perusahaan tersebut menjual produk LPG non-subsidi dibawah nilai
ekonominya.
Beberapa hari setelah kenaikan harga LPG baru pada 1 Januari, pasokan LPG tabung 3
kg berkurang di beberapa wilayah. Produk LPG 3 kg ini, yang secara resmi dianggap
disubsidi negara karena dijual dengan harga yang lebih rendah, adalah produk yang
sama dengan LPG 12kg, dan hanya berbeda karena produk ini dijual dalam kemasan
yang lebih kecil dengan harga Rp 5.000 per kg atau Rp15.000 per tabung 3kg (US$
0,40 per kg dan US$ 1,2 per 3kg), kurang dari setengah harga per kilogram untuk harga
eceran LPG tabung 12kg saat ini. Produk ini dapat diakses dengan bebas oleh setiap
pembeli tanpa memandang status ekonomi mereka. Setiap peningkatan kesenjangan
harga mendorong konsumen untuk berpindah dari LPG non-subsidi ke LPG bersubsidi
(MetroTVNews, 2015; JPNN, 2015).

4. SUBSIDI LGV DAN PERTANIAN


a) Subsidi LGV
Besaran subsidi BBM, LPG tabung 3 kg, dan LGV dalam RAPBN tahun 2016 sangat
tergantung pada parameter, antara lain: ICP, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat, da volume konsumsi BBM bersubsidi yang diperkirakan mencapai 17,9 juta
kiloliter (kl) serta volume konsumsi LPG tabung 3 kg sebesar 6,17 metrik ton.
Berdasarkan berbagai kebijakan dan parameter tersebut, maka anggaran subsidi BBM,
LPG tabung 3 kg dan LGV dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan sebesar
Rp70.957,2 miliar atau naik sebesar Rp6.282,4 miliar bila dibandingkan dengan
alokasinya dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp64.674,8 miliar. Subsidi tersebut
antara lain terdiri atas: subsidi jenis BBM tertentu (JBT) tahun berjalan sebesar
Rp20.325,9 miliar, subsidi harga atas LPG tabung 3 kg sebesar Rp27.000,4 miliar dan
subsidi LGV sebesar Rp6,4 miliar. Lebih tingginya alokasi subsidi tersebut dikarenakan
besarnya alokasi untuk pembayaran kurang bayar subsidi BBM, LPG tabung 3 kg dan
LGV tahun sebelumnya.
b) Subsidi Pertanian
Dalam RAPBN tahun 2016, anggaran subsidi pangan direncanakan sebesar Rp20.993,4
miliar, atau lebih tinggi Rp2.053,5 miliar bila dibandingkan dengan pagunya dalam
APBNP tahun 2015 sebesar Rp18.939,9 miliar. Kebijakan penyediaan subsidi pangan
ini diberikan dalam bentuk penjualan beras kepada rumah tangga sasaran (RTS)
masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga terjangkau. Dalam tahun 2016,
program subsidi pangan ini disediakan untuk menjangkau 15,5 juta RTS, dalam bentuk
penyediaan beras murah melalui Perum Bulog. Penyaluran beras kepada RTS akan
diberikan untuk 12 kali penyaluran, dengan kuantum sebanyak 15 kg per RTS per bulan
11

dan harga jual sebesar Rp1.600,0 per kg. Kenaikan alokasi anggaran subsidi pangan
terutama disebabkan oleh adanya kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP)
Gabah/Beras per 17 Maret 2015, dari semula Rp6.600,0 per kg menjadi Rp7.300,0 per
kg sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2015 dan pembayaran kekurangan bayar subsidi tahun
2013 (hasil audit BPK).
Dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional dan membantu petani
mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau, Pemerintah mengalokasikan anggaran
untuk subsidi pupuk. Volume pupuk bersubsidi tahun 2016 direncanakan sebanyak 9,55
juta ton. Subsidi pupuk tetap diberikan dengan sistem tertutup melalui mekanisme
rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Namun, mekanisme pelaksanaan
subsidi langsung kepada petani akan dilakukan secara bertahap. Di samping itu,
Pemerintah terus berupaya agar HPP ditetapkan mendekati harga keekonomian dan
mengusulkan rencana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk mengurangi
disparitas harga pupuk. Selain itu, Pemerintah terus mendorong peningkatan
penggunaan pupuk organik dan pupuk majemuk berimbang, serta penyempurnaan basis
data yang berbasis orang dan lahan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, anggaran
subsidi pupuk dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan sebesar Rp30.063,2 miliar.
Jumlah tersebut lebih rendah Rp9.412,5 miliar bila dibandingkan pagunya dalam
APBNP tahun 2015 sebesar Rp39.475,7 miliar. Lebih rendahnya alokasi anggaran
subsidi pupuk tersebut dikarenakan pada tahun 2016 hanya dialokasikan bagi
pembayaran subsidi pupuk tahun berjalan. Sementara itu, untuk tahun 2015 sebagian
anggarannya dialokasikan untuk pembayaran kurang bayar tahun sebelumnya.
Untuk mendorong peningkatan produksi pertanian, Pemerintah mengalokasikan
anggaran untuk subsidi benih. Seperti pola pelaksanaan tahun 2015, pemberian subsidi
benih tersebut dalam rangka menyediakan benih padi dan kedelai yang berkualitas
dengan harga terjangkau oleh petani dan ketersediaan benih varietas unggul
bersertifikat menjadi lebih terjamin, serta mudah diakses petani/kelompok tani. Besaran
subsidi benih dialokasikan berdasarkan daftar usulan pembeli benih bersubsidi
(DUPBB). Anggaran subsidi benih dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan sebesar
Rp1.023,8 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi Rp84,4 miliar bila dibandingkan
pagunya dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp939,4 miliar.

5. BUNGA KREDIT DAN SUBSIDI LAINNYA


a) Subsidi Bunga Kredit
Digunakan untuk peningkatan daya saing usaha dan akses permodalan bagi usaha
mikro kecil menengah (UMKM) dan petani serta pemenuhan kebutuhan masyarakat
terhadap akses air minum melalui subsidi bunga air bersih kepada PDAM. Subsidi juga
digunakan untuk program dalam rangka menunjang upaya peningkatan ketahanan
12

pangan, mendukung diversifikasi energi, dan KUR . KUR adalah pembiayaan modal
kerja dan atau investasi kepada debitur di bidang usaha sektor pertanian perikanan
industri pengolahan, dan perdagangan yang terkait, ditujukan untuk usaha yang
produktif dan layak/ feasible.
Subsidi ini juga disediakan untuk menutup selisih antara bunga pasar dengan bunga
yang ditetapkan lebih rendah olehpemerintah untuk berbagai skim kredit program
seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP),Kredit Koperasi Primer untuk Anggota
(KKPA),Kredit Usaha Tani, Kredit Koperasi, KreditPemilikan Rumah Sederhana
(KPRS) dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana(KPRSS), termasuk beban
resiko (risk sharing ) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default ).
Tujuan subsidi bunga kredit program adalah untuk membantu masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan pendanaan dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari bunga
pasar.
b) Subsidi Lainnya
Merupakan subsidi non energi yang tidak termasuk:
1. Subsidi Pertanian terdiri dari : Subsidi Pangan, Subsidi Benih, dan Subsidi Pupuk;
2.Subsidi Bunga Kredit Program;
3.Public Service Obligation (PSO);
4.SubsidiPajak/DTP

6. SUBSIDI PUBLIC SERVICE OBLIGATION (PSO)


DAN SUBSIDI PAJAK
a) Subsidi PSO
1. Dasar Hukum Pembebanan Kewajiban PSO pada BUMN
Dasar hukum pembebanan PSO pada BUMN terdiri dari landasan hukum yang
bersifat umum dan landasan hukum yang bersifat khusus sesuai dengan BUMN
pengemban PSO
a. Dasar hukum umum
1. Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945 :negara bertanggung jawab atas fasilitas
`kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

13

2. Pasal 66 UU BUMN : Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus


kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan
tetap memper hatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.
b. Dasar hukum khusus
Merupakan dasar hukum bagi BUMN yang mendapat tugas melaksanakan
kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO) sesuai dengan
aktivitas bisnis BUMN yang bersangkutan. Berdasarkan aktivitasnya, maka dasar
hukum khusus bagi BUMN pengemban PSO dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini

14

2. Landasan Filosofi Pembebanan PSO


Pembebanan PSO dilakukan untuk mewujudkan terlaksananya Pasal 34 Ayat 3 UUD
1945 bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan fasilitas pelaya
nan umum yang layak. Saat ini pembebanan PSO masih dilakukan oelh BUMN,
namun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa PSO ini dibebankan pada
Swasta dan Koperasi. BUMN sebagai pengemban PSO sudah diamanatkan dalam
Pasal 66 UU BUMN. Dalam pelaksanaannya , pembebanan PSO harus
memperhatikan:
a. Dilaksanakan secara efisien se hat dan dapat dipertanggungjawabkan.
b. Terpeliharanya kesehatan kesin ambungan usaha BUMN Pelaksana PSO.
Konsekuensi dari pembebanan PSO, maka BUMN/Swasta/Koperasi yang menjadi
operator PSO tidak boleh merugi dengan alasan menanggung kewaiban pelayanan
publik (PSO). Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan suatu rumusan harga
atau dana PSO yang diberikan, yaitu :

Harga Disepakati : BPP + Margin + Pajak

15

Selanjutnya pembebanan PSO har us memperhatikan prinsip 5 Tepat, yaitu :


a. Tepat sasaran ( sesuai dengan Pasal 34 UUD 1945)
b. Kuantitas
c. Kualitas
d. Harga
e. Waktu pemberian PSO/subsidi.
3. Sepuluh Prinsip Alokasi PSO
Sepuluh prinsip berikut ini diusulkan untuk menjadi pegangan dalam
mengalokasikan PSO, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, BUMN, atau
kontraktor swasta:
a. Penyediaan subsidi harus didasarkan pada peraturan sektor yang berlaku atau
penyataan resmi kebijakan pemerintah.
b. Maksud dan tujuan subsidi harus ditentukan dengan jelas.
c. Para target penerima manfaat pelayanan yang disubsidi haruslah diidentifikasi
secara tepat.
d. Rancangan subsidi hendaknya menunjang penyediaan dan penggunaan
pelayanan yang efisien.
e. Rancangan subsidi hendaknya memfasilitasi dan mendukung terciptanya
penyediaan pelayanan yang berkelanjutan dengan biaya anggaran yang
semakin berkurang.
f. Subsidi-subsidi hendaknya disediakan untuk penyediaan output pelayanan
tertentu daripada disediakan untuk input bagi produksi pelayanan.
g. Keuntungan yang diharapkan dari sebuah subsidi hendaknya sama dengan atau
melebihi biaya yang diharapkan.
h. Jumlah subsidi hendaknya didasarkan pada biaya penyedian pelayanan yang
efisien.
i. Tanggung jawab untuk mensubsidi sebuah pelayanan hendaknya terletak pada
tingkat pemerintahan yang mengatur penyediaan subsidi tersebut.
j. Subsidi-subsidi hendaknya bersifat eksplisit, dan informasi tentang biaya
anggaran dan manfaatnya hendaknya tersedia secara terbuka.
4. Anggaran PSO Berasal dari APBN yang Pengelolaannya Tunduk pada
Pengelolaan Keuangan Negara.

16

Pelaksanaan PSO oleh BUMN merupakan amanat konstitusi, yakni Pasal 34 Ayat 3
UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas
kesehatan dan pelayanan umu m yang layak bagi masya rakat. Dalam
implementasinya, pasal ini ditindaklanjuti oleh Pasal 66 UU BUMN yang mengatur
bahwa bagi BUMN yang mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum
(PSO), bila berdasarkan kajian finansial tidak visibel, peme rintah wajib
memberikan kompen sasi atas semua biaya yang tel ah dikeluarkan oleh BUMN
tersebut termasuk margin keuntungan yang diharapkan.
Berdasarkan regulasi mengenai pembebanan PSO pada BUMN di atas, pada
prinsipnya tidak akan menimbulkan kerugian atau mengganggu kinerja BUMN p
enerima PSO. Namun demikian dalam praktik, berdasarkan data banyak BUMN
yang mengemban PSO merugi dengan alasan karena beban PSO. Merujuk pada
mekanisme PSO berdasarkan amanat Pasal 66 UU BUMN seharusnya bila beban
PSO dibiayai oleh pemerintah, seharusnya BUMN untuk non PSO harusnya dapat
membukukan keuntungan.
5. Proses Penyelesaian Usulan PSO/Subsidi Tahap Awal
1. Pada tahap awal penyelesaian usulan PSO, BUMN akan mengusulkan kepada
Departemen Teknis terkait atas penugasan PSO yang akan diberikan kepadanya
yang isinya memuat antara lain :
a. Jenis kegiatan PSO
b. Sasaran kegiatan PSO
c. Jumlah produk yang akan didistribusikan
d. Harga njual yang akan diusulkan untuk disepakati
e. Perhitungan Biaya Pokok Produksi +Margin + Pajak
f. Besar dana subsidi atas kegiat an PSO yang harus dibayar Pemerintah
g. Kualitas Produk PSO
h. Waktu penyerahan produk PSO
i. Mekanisme distribusi produk.
2. Selanjutnya, Departemen Teknis setelah menerima usulan dari BUMN Operator
akan menganalisa berdasarkan manajemen risiko atas usulan PSO tersebut dari
berbagai sektor, dinataranya : landasan filosofi dan analisa 5 T.
3. Setelah analisa tersebut di atas dilakukan dan usulan dianggap memadai, maka
selanjutnya Departemen Teknis akan menyusun kebijakan dan strategi
pelaksanaan untuk selanjutnya dibahas bersama dengan Menteri Keuangan dan
Bappenas untuk diberikan persetujuan.
6. Proses Penyelesaian Usulan PSO/Subsidi
17

Proses penyelesaian usulan PSO dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:


a. Kementerian /Lembaga mengajukan penugasan BUMN kepada Menteri Negara
BUMN dan Menteri, selanjutnya proposal dibahas oleh Kementerian Negara
BUMN, Departemen Keuangan dan Bappenas. Apabila disetujui maka akan
dimasukkan dalam Rencana Anggaran Kegiatan Kementerian-Lemaga (RKA
-KL).proses pengajuan proposal hingga persetujuan dan RKA-KL berlangsung
dari bulan Januari sampai April.
b. Selanjutnya, Kementerian/Lembaga membahas RKA-KL khusus PSO/subsidi
dengan
Komisi
teknis
DPR.
Berdasarkan
hasil
pembahasan
Kementerian/Lembaga dengan Komisi Teknis DPR, Kementerian BUMN
membahas PSO/ subsidi tersebut dengan Komisi VI yang selanjutnya men
ghasilkan usulan PSO/subsidi kepada Panitia Anggaran. Kegiatan ini akan
berlangsung di bulan Mei sampai bulan Agustus.
c. Panitia Anggaran membahas RKA-KL khusus PSO/subsidi tersebut dengan
Departemen Keuangan did ampingi Kementerian BUMN untuk penetapan.dalam
NK dan RAPBN, selanjutnya diajukan dalam sidang kabinet untuk dibahas dan
ditetapkan oleh Presiden.
d. Berdasarkan NK dan RAPBN yang ditetapkan Presiden tersebut,
Kemeterian/Lembaga mengajukan konsep DIPA PSO/subsidi kepada Menteri
Keuangan untuk disahkan.
e. Berdasarkan DIPA yang telah disahkan tersebut, Kuasa Pemegang Anggaran
(KPA) Kementerian/Lembaga menarik dana PSO/Subsidi untuk diteruskan
kepada BUMN pelaksana PSO/subsidi. Proses ini berlangsung di bulan
September sampai Desember.
7. Formulasi Perhitungan Dana Subsidi
Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) merupakan penugasan pemerintah kepada BUMN,
Swasta dan Koperasi. Penugasan ini dilaksanakan di luar kegiatan perekonomian, yaitu
berupa penyaluran barang dan jasa tertentu kepada masyarakat ata u kelompok
masyarakat tertentu . Berdasarkan jenisnya maka dike nal PSO dan subsidi. PSO pada
dasarnya merupakan penugasan dari Pemerintah berdasarkan amanat Pasal 66 UU
BUMN. Penugasan PSO secarra teori di luar bisnis BUMN operator PSO, sehingga
seharusnya kinerja BUMN tersebut tid ak terganggu dan tetap dapat membukukan
keuntungan, mengingat dana PSO berasal dari Anggaran APBN.

18

8. Pemisahan Administrasi Penugasan PSO dengan Kegiatan Komersial


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, PSO adalah aktivitas pelayanan umum
yang membebani anggaran pemerintah , oleh sebab itu harus diorganisasikan daqn
dipertanggungjawabkan dengan profesional sehingga dapat me menuhi tuntutan
transparansi, kewajaran dan akuntabilitas. Selanjutnya agar dapat mencapai tujuan di
atas, maka harus dilakukan pemisahan antara aktivitas komersial dan PSO.
Pemisahan tersebut mencakup :
1. Pemisahan Organisasi
2. Pemisahan Pengelolaan Uang
3. Pemisahan administrasi.
Untuk menjamin akuntabilitas, sistem pengendalian yang baik akan memisahkan
fungsi-gungsi sebagai berikut :
1. Fungsi Otorisasi
2. Fungsi Pengelolaan Uang
3. Fungsi Pengelolaan Persediaan
4. Fungsi Pencatatan
Pemisahan fungsi di atas, akan nampak jelas dalam struktur organisasi diikuti
dengan job description dan span of controluntuk masing-masing individu dalam
organisasi.
9. Manajemen Risiko (risk management)

19

Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam praktik, BUMN operator PSO tidak
saja merugi dalam ak tivitas komersialnya, melainkan juga dianggap tidak mammpu
mengemban penugasan kewajiban pelayanan publik tersebut. Berdasarkan hal itu,
diperlukan pengelolaan risiko yang timbul akibat penugasan PSO oleh Pemerintah
pada BUMN. Pengeloaan risiko ini sudah dimulai sejak tahap awal ketika anggaran
PSO diusulkan. Dalam tiap tahapan selanjutnya, risiko harus dikelola dengan baik,
agar BUMN tetap dapat menjalankan kegiatan komersialnya, sehingga tetap dapat
berkompetisi dengan swasta.
Di sisi lain, pelayanan publik dapat dilakukan dengan optimal, yang pada gilira nnya
akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945,
khususnya Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945. Manajemen risiko dalam pelaksanaan PSO
meliputi tidak saja pada proses produksi dan distribusi, melai nkan harus
ditindaklanjuti den gan pelaporan baik akuntansi komersial dan akuntasi manajemen.
Selanjutnya pelaporan ini ditindaklanjuti dengan pertanggungjawaban.

10. Pembukuan dan Pelaporan


PP Nomor 45/2005 menetapkan bahwa:
BUMN-BUMN yang menerima kompensasi PSO membuat pembukuan yang
terpisah antara kegiatan usaha yang berhubungan dengan penugasan PSO dan
kegiatan usaha yang non-PSO. Direksi BUMN memberikan laporan mengenai
pelaksanaan penugasan PSO kepada Rapat Umum Pemegang Saham / Meneg
BUMN dan Menteri Teknis yang berkepentingan.
a. Pembukuan
Pembukuan yang terpisah antara kegiatan PSO dan non-PSO tidak akan mungkin
bagi hampir semua BUMN karena kegiatan PSO dan kegiatan usaha lain mereka
biasanya berkaitan erat. Misalnya, penjualan listrik PT. PLN kepada kategori tarif
tertentu dapat berubah dari tarif PSO menjadi tarif komersil non-PSO jika tarif
mengalami peningkatan atau jika biaya pelayanan mengalami penurunan.
Demikian pula jika kapal-kapal PT. PELNI secara bersamaan memberikan
pelayanan PSO dan non-PSO, maka biaya pelayanan pada setiap bentuk
pelayanan tidak dapat dicatat secara terpisah.
Dengan demikian maka ketentuan Peraturan Pemerintah hendaknya diartikan
bahwa BUMN-BUMN yang menerima pembayaran PSO harus mempertahankan
manajemen pembukuan atau sistem penghitungan biaya pelayanan yang
kompeten guna mengalokasikan biaya-biaya dan pendapatan secara tepat kedalam
kategori pelayanan yang mereka berikan. Sistem ini harus didokumentasikan
dengan benar, dengan aturan yang jelas menyangkut alokasi overhead dan biayabiaya gabungan. Sistem-sistem tersebut juga perlu diaudit.
b. Pelaporan
20

Laporan-laporan PSO tahunan yang wajib dipersiapkan oleh manajemen BUMN


hendaknya dipandang sebagai instrumen-instrumen untuk meningkatkan
transparansi subsidi pemerintah, dan hendaknya terbuka bagi publik. Di samping
untuk mendokumentasikan biaya penyediaan pelayanan PSO, laporan tersebut
sebaiknya juga memberikan informasi mengenai keuntungan yang diperoleh serta
isu-isu seputar pelaksanaan PSO. Sebagai contoh, PT. PLN bisa diharapkan untuk
mendokumentasikan jumlah pelanggan yang menerima subsidi pada tiap kategori
tarif (sebaiknya berdasarkan wilayah) dan jumlah rata-rata subsidi per pelanggan
menurut kategori tarif. Sedangkan bagi operator transportasi seperti halnya PT.
KAI dan PT. PELNI, akan lebih baik jika ditetapkan prosedur penggunaan
pelayanan (agar dapat melakukan identifikasi awal terhadap kegiatan usaha yang
berpotensi terabaikan) dan menyediakan informasi yang relevan mengenai
keadaan dan skala persaingan dari jasa transportasi lainnya.
11. Penugasan Kewajiban Pelayanan Publik atau Public Service Obligation (PSO)
Pada Swasta dan Koperasi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan ,salah satu kendala ba gi BUMN operator
PSO adalah selain pen ugasan pemerintah untuk kewaji ban pelayanan publik,
BUMN juga di tuntut untuk tetap berhasil me ngelola kegiatan komersialnya.
Selama ini, banyak BUMM yang merasa penugasan atau pembebanan PSO ini justru
mengganggu aktivitas komersia lnya, sehingga jangankan berkompetisi dengan
swasta, untuk membuku kan keuntungan dari aktivitas komersialnya saja sudah
cukup sulit. Tuntutan BUMN sebagai operator PSO adalah adanya kejelasan
penugasan, dana PSO yang sesuai dengan tugas yang diemban serta mekanisme
pemberian dana yang tepat dan dikelola secara profesional, oleh karena
ituketerlibatan swasta bahkan koperasi dalam penugasan kewajiban pelayanan
publik ini sudah selayaknya dipikirkan dalam rangka penyediaan failitas umum dan
kesehatan bagi masyarakat.
Penugasan PSO pada swasta dan koperasi dapat dilakukan dalam bentuk penugasan
atau tender. Adapun landasan yang digunakan dalam mekanisme penunjukan untuk
mengatur alur proses produk/jasa PSO adalah :
1. Golongan masyarakat tertentu di wliyah tertentu/area tertentu.
2. Waktu
3. Volume
4. Harga.
Dalam praktik, pelaksanaan kewajiban pelayanan publik ini sudah dilakukan di
bidang telekomunikasi. Saat ini dikenal universal service obligation (USO) yang
juga merupakan kewajiban pemerintah untuk melayani komunikasi di daerah
terpencil/perbatasan yang secara ekonomis tidak layak untuk dijadikan aktivitas
21

komersial. Berbeda dengan PSO, dimana usulan datang dari BUMN yang
selanjutnya dib ahas oleh Menneg BUMN, Departemen Keuangan dan Bappenas,
maka USO diajukan oleh Departemen teknis- dalam hal telekomunikasi adalah
Depkominfo. Landasan hukum USO adalah PP No : 52 Tahun 200 Tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No : 28 Tahun 2005 Tentang Tarif PNBP di
lingkungan Depkominfo. Selanjutnya Departemen teknis inilah yang mengajukan
USO ke pemerintah , dan selanjutnya dibahas oleh Departemen Teknis dengan
Komisi I D PR yang membidangi telekonunikasi. Dana USO berasal dari
setoran/pun gutan sebesar 0,5 % dari pendapatan kotor seluruh operator, yang
selanjutnya masuk ke dalam APBN dan merupakan DIPA /anggaran departemen
teknis yang bersangkutan. Pelaksanaan USO dilakukan berdasarkan ten der,
sehingga boleh diikuti oleh operator mana saja yang memiliki kualifiksasi, sampai
diperoleh operator yang benar-benar memenuhi persyaratan yang dikehendaki.
Pemenang tender adalah penawar terendah. Dengan mekanisme penugasan yang
tepat, penunjukan pihak swasta dalam kewajiban pelayanan publik akan
menghasilkan pelayanan yang optimal, mengingat swasta yang menjadi operator
PSO memang ahli di bidangnya. Diharapkan di masa-masa mendatang, swata dapat
berperan aktif dalam PSO, sepanjang tujuan dan land asan filosofi PSO tetap tercap
ai, yaitu kesejahteraan masyarakat.
b) Subsidi Pajak
Pajak Ditanggung Pemerintah, yang selanjutnya disebut P-DTP, adalah pajak terutang
yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
1. Ruang Lingkup
Ruang lingkup P-DTP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
meliputi:
a. Pendapatan P-DTP berupa:
a. Pendapatan PPh DTP;
b. Pendapatan Pajak Lainnya DTP.
b. Belanja Subsidi P-DTP berupa:
a. Belanja Subsidi PPh DTP.
Menteri Keuangan menetapkan obyek pajak tertentu yang mendapat insentif fiskal
P-DTP setiap tahun anggaran dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
sesuai Undang-Undang yang mengatur mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
2. Sumber Dana
Alokasi dana untuk P-DTP disediakan dalam DIPA Bagian Anggaran BUN
Pengelola Belanja Subsidi.
Alokasi dana untuk P-DTP merupakan batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui.
22

3. Pejabat Pengguna anggaran


Menteri Keuangan adalah PA untuk P-DTP atas pendapatan P-DTP dan belanja
subsidi P-DTP.
Menteri Keuangan selaku PA menunjuk Kuasa PA untuk pendapatan P-DTP.
Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran selaku PA Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara menunjuk Kuasa PA untuk belanja subsidi P-DTP.
Kuasa PA untuk Pendapatan P-DTP dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan c.q. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak.
Kuasa PA untuk Belanja Subsidi P-DTP dilaksanakan oleh Direktur Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan.
Kuasa PA Belanja Subsidi P-DTP menerbitkan surat keputusan penunjukan
pejabat yang ditunjuk sebagai:
a. PPK;
b. Pejabat Penandatangan SPM; dan
c. Bendahara Pengeluaran.
4. Tata Cara Pelaksanaan P-DTP
Tata cara pelaksanaan P-DTP meliputi kegiatan:
a. Penerbitan SPP DTP;
b. Penerbitan SPM P-DTP; dan
c. Penerbitan SP2D P-DTP.
5. Penerbitan SPP DTP
Kuasa PA atau PPK membuat SSP DTP atau formulir lainnya yang dipersamakan
berdasarkan laporan realisasi dari instansi terkait.
Berdasarkan SSP DTP, PPK menerbitkan SPP dilampiri SSP DTP atau formulir
penerimaan lainnya yang dipersamakan.
SPP beserta dokumen pendukung disampaikan oleh PPK kepada Pejabat
Penandatangan SPM.
6. Penerbitan SPM P-DTP
Pejabat Penandatangan SPM menerima dan melakukan pengujian atas SPP
beserta dokumen pendukung yang disampaikan oleh PPK.
Pengujian SPP dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai penyelesaian tagihan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara pada satuan kerja.
Apabila pengujian SPP telah memenuhi aturan, Pejabat Penandatangan SPM
menerbitkan dan menandatangi SPM Belanja Subsidi P-DTP.

23

SPM Belanja Subsidi P-DTP selanjutnya diajukan oleh Pejabat Penandatangan


SPM ke KPPN dengan dilampiri SPTB P-DTP yang ditandatangani oleh PPK dan
disertai dengan Arsip Data Komputer SPM.
SPM Belanja Subsidi P-DTP dibuat sesuai format SPM sebagaimana diatur dalam
ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Perintah Membayar dan Surat
Perintah Pencairan Dana.
7. Penerbitan SP2D
KPPN menerima dan melakukan pengujian atas SPM Belanja Subsidi P-DTP
yang disampaikan oleh Pejabat Penandatangan SPM.
Pengujian SPM terdiri dari:
a. pengujian substantif; dan
b. pengujian formal.
Pengujian substantif dilakukan untuk:
a. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
b. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/subkegiatan/kode akun dalam
DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran yang dipersamakan dengan
DIPA yang ditunjuk dalam SPM; dan
c. menguji STB P-DTP.
Pengujian formal dilakukan untuk:
a. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM, cap dinas
kantor/satker Kuasa PA dengan spesimen yang diterima;
b. memeriksa kebenaran cara penulisan pengisian jumlah uang dalam angka
dan huruf, termasuk tidak boleh terdapat kesalahan dalam penulisan; dan
c. memeriksa kebenaran dalam penulisan SPM, termasuk tidak boleh terdapat
kesalahan dalam penulisan.
Berdasarkan hasil pengujian SPM, KPPN melakukan:
a. penerbitan SP2D, apabila SPM yang diajukan telah memenuhi ketentuan
pengujian; atau
b. pengembalian SPM kepada Pejabat Penandatangan SPM, apabila SPM yang
diajukan tidak memenuhi ketentuan pengujian.
SP2D ditandatangani oleh seksi pencairan dana dan seksi bank/giro pos atau seksi
bendahara umum pada KPPN.
SP2D diterbitkan dalam rangkap 2 (dua) dan dibubuhi cap timbul KPPN
dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 kepada Pejabat Penandatangan SPM dengan dilampiri SPM
lembar ke-2 yang telah diberi cap Telah Diterbitkan SP2D
Tanggal ............. Nomor ................; dan
b. lembar ke-2 sebagai pertinggal di Seksi Verifikasi dan Akuntansi dilengkapi
SPM lembar ke-1 beserta dokumen pendukung.
8. Pelaporan Dan Pertanggungjawaban

24

Pelaporan atas transaksi P-DTP dilaksanakan oleh:


a. Kantor Pusat-Direktorat Jenderal Pajak c.q. Sekretaris Direktorat Jenderal
Pajak selaku UAKPA untuk transaksi Pendapatan P-DTP; dan
b. Kantor Pusat-Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan
Penerimaan selaku UAKPA atas Belanja Subsidi P-DTP.
UAKPA melakukan proses pencatatan dan pelaporan transaksi pendapatan dan
belanja subsidi P-DTP berdasarkan dokumen sumber.
Dokumen sumber terdiri dari:
a. DIPA Satker belanja subsidi untuk Allotment belanja subsidi P-DTP;
b. DIPA Satker KP-DJP untuk Estimasi Pendapatan P-DTP;
c. SPM;
d. SP2D; dan
e. SSP atau formulir penerimaan lainnya yang dipersamakan.
DIPA berfungsi untuk mencatat estimasi pendapatan P-DTP bagi Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak.
SPM, SP2D, dan SSP atau formulir penerimaan lainnya yang dipersamakan
berfungsi untuk mencatat realisasi pendapatan P-DTP.
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak cq. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
harus menatausahakan dokumen sumber dengan baik.
DIPA berfungsi untuk mencatat alokasi anggaran Belanja Subsidi P-DTP bagi
Kuasa PA Satker Belanja Subsidi P-DTP.
SPM, SP2D, dan SSP berfungsi untuk mencatat realisasi Belanja Subsidi P-DTP.
Satker Belanja Subsidi P-DTP harus menatausahakan dokumen sumber berupa
DIPA Belanja Subsidi P-DTP, SPM, SP2D, dan SSP atau formulir penerimaan
lainnya yang dipersamakan dengan baik.
Pasal 15
Pendapatan P-DTP dan belanja subsidi P-DTP diakui pada saat diterbitkan SPM
dan SP2D Pengesahan.
Transaksi pendapatan P-DTP dicatat dengan kode akun sebagai berikut:
a. Pendapatan PPh DTP sebagai berikut:
1. 411141 (Pendapatan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah);
2. 411142 (Pendapatan PPh Pasal 22 Ditanggung Pemerintah);
3. 411143 (Pendapatan PPh Pasal 22 Impor Ditanggung Pemerintah);
4. 411144 (Pendapatan PPh Pasal 23 Ditanggung Pemerintah);
5. 411145 (Pendapatan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi Ditanggung
Pemerintah);
6. 411146 (Pendapatan PPh Pasal 25/29 Badan Ditanggung Pemerintah);
7. 411147 (Pendapatan PPh Pasal 26 Ditanggung Pemerintah);
8. 411148 (Pendapatan PPh final Ditanggung Pemerintah);
9. 411149 (Pendapatan PPh non migas lainnya Ditanggung Pemerintah).
b. Pendapatan PPN DTP sebagai berikut:
1. 411231 (Pendapatan PPN Dalam Negeri Ditanggung Pemerintah);
25

2. 411232 (Pendapatan PPN Impor Ditanggung Pemerintah);


3. 411239 (Pendapatan PPN Lainnya Ditanggung Pemerintah).
c. Pendapatan Pajak Lainnya DTP sebagai berikut:
1. 411631 (Pendapatan Bunga Penagihan PPh Ditanggung Pemerintah).
Transaksi belanja subsidi P-DTP dicatat dengan kode akun sebagai berikut:
551321 (Belanja Subsidi PPh Ditanggung Pemerintah);
Tata cara rekonsiliasi terhadap transaksi pendapatan P-DTP dan belanja subsidi PDTP dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat.
Pertanggungjawaban P-DTP dilakukan melalui pelaporan terhadap seluruh
transaksi P-DTP.
Seluruh transaksi P-DTP dilaporkan dalam:
a. Laporan Realisasi Anggaran pendapatan P-DTP pada Direktorat Jenderal Pajak
dengan menggunakan SAI;
b. Laporan Realisasi Anggaran belanja subsidi P-DTP pada Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak selaku UAKPA belanja subsidi P-DTP dengan
menggunakan SA-BSBL; dan
c. Laporan Arus Kas pada Kuasa Bendahara Umum Negara.
Transaksi P-DTP mempengaruhi kas pemerintah dan mendapatkan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara merupakan nomor bukti transaksi
penerimaan yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara.
Laporan Realisasi Anggaran dibuat sesuai format yang sudah ditentukan.
Laporan Arus Kas dibuat sesuai format yang sudah ditentukan.
Penyampaian Laporan Realisasi Anggaran pendapatan P-DTP dilaksanakan
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai sistem
akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat;
Penyusunan dan penyampaian Laporan Realisasi Anggaran Belanja Subsidi PDTP oleh UAKPA dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai tata cara penyusunan dan penyajian laporan keuangan belanja
subsidi dan belanja lain-lain.

26

SUMBER : NOTA KEUANGAN 2016


LKPP 2014 (audited)

27

Vous aimerez peut-être aussi