Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KAS NEGARA
ANALIS
IS
BELANJ
A
SUBSI
DI
APBN
Arief Hakim H.
Daulay
Janrika Mutyarani
Ni Wayan Manik
Hartini
2016
1. PENGANTAR
Untuk mendukung peningkatan kapasitas produksi dan penguatan daya saing guna
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, strategi yang
dipilih adalah memperkuat stimulus fiskal, yang akan ditempuh baik melalui sisi pendapatan
negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Dari sisi pendapatan negara,
pemberian insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis ditujukan untuk mendukung iklim
investasi dan keberlanjutan dunia usaha. Sementara itu, dari sisi belanja negara, langkah yang
ditempuh dalam meningkatkan ruang fiskal adalah: (1) optimalisasi pendapatan; (2)
melanjutkan efisiensi subsidi; (3) efisiensi belanja; dan (4) pengendalian earmarking dan
belanja wajib.
Jelas dari strategi fiskal yang akan dilaksanakan tahun ini, subsidi tetap akan ditekan
seminimal dan seefektif mungkin demi menciptakan ruang fiskal yang lebih. Hal ini memang
sudah seharusnya dilakukan mengingat pemerintah terus berusaha menggenjot pembangunan
infrastruktur dengan meminimalkan utang sebagai sumber pembiayaannya. Untuk
menciptakan ruang tersebut, dari sisi pendapatan, pemerintah akan terus menggenjot
pendapatan dari segala sektor, terutama pajak dan PNBP, sedangan dari pengeluaran
pemerintah akan berusaha meminimalkan pengeluaran, salah satunya adalah efisiensi subsidi.
Peningkatan subsidi di tahun 2016 direncanakan dialokasikan untuk program pertain dan
penguatan pangan, sejalan dengan program presiden. Untuk alokasi melalui belanja non K/L,
dukungan pencapaian prioritas kedaulatan pangan antara lain melalui: (1) penyediaan subsidi
pangan untuk 15,5 juta RTS dengan kuantum sebesar 15kg/ RTS/penyaluran yang disalurkan
untuk 12 bulan, subsidi pupuk dengan total volume 9,55 juta ton, serta subsidi benih dengan
volume 116.500.000 kg yang terdiri atas benih jenis padi hibrida dan inhibrida serta benih
kedelai.
Anggaran Program Pengelolaan Subsidi dalam belanja negara dialokasikan dalam rangka
meringankan beban masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasarnya, dan sekaligus untuk
menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya yang merupakan
kebutuhandasar masyarakat, dengan harga yang terjangkau. Pemberian subsidi ditujukan
untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa di dalam negeri, memberikan perlindungan
pada masyarakat berpendapatan rendah, meningkatkan produksi pertanian, serta memberikan
insentif bagi dunia usaha dan masyarakat. Dengan subsidi tersebut diharapkan bahan
kebutuhan pokok masyarakat tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan harga yang stabil,
dan terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, penyaluran subsidi diupayakan lebih tepat sasaran
kepada masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi subsidi menuju pencapaian belanja yang berkualitas,
maka arah kebijakan subsidi tahun 2016 mencakup antara lain: (1) menjaga stabilisasi harga;
(2) membantu masyarakat miskin dan menjaga daya beli masyarakat; (3) meningkatkan
produktivitas dan menjaga ketersediaan pasokan dengan harga terjangkau; (4) meningkatkan
daya saing produksi dan akses permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan berbagai kebijakan tersebut, maka anggaran Program Pengelolaan Subsidi dalam
RAPBN tahun 2016 direncanakan mencapai Rp201.363,6 miliar. Jumlah tersebut menurun
Rp10.740,8 miliar bila dibandingkan dengan pagu Program Pengelolaan Subsidi dalam
APBNP tahun 2015 sebesar Rp212.104,4 miliar. Sebagian besar anggaran tersebut akan
dialokasikan untuk subsidi energi sebesar Rp120.957,2 miliar, yaitu subsidi BBM, LPG
tabung 3 kg, dan LGV sebesar Rp70.957,2 miliar, dan subsidi listrik sebesar Rp50.000,0
miliar. Sementara itu, untuk subsidi nonenergi sebesar Rp80.406,4 miliar, terdiri atas: (1)
subsidi pangan sebesar Rp20.993,4 miliar; (2) subsidi pupuk sebesar Rp30.063,2 miliar; (3)
subsidi benih sebesar Rp1.023,8 miliar; (4) subsidi PSO sebesar Rp3.752,5 milar; (5) subsidi
bunga kredit program sebesar Rp16.474,5 miliar; (6) subsidi pajak ditanggung pemerintah
(DTP) sebesar Rp8.099,1 miliar.
Realisasi belanja subsidi energi, dalam rentang waktu 20102014 secara nominal mengalami
peningkatan sebesar Rp201.857,4 miliar atau tumbuh rata-rata 25,0 persen per tahun, yaitu
dari Rp139.952,9 miliar pada tahun2010 menjadi Rp341.810,4 miliar pada tahun 2014.
Salah satu parameter subsidi BBM adalah volume BBM bersubsidi. Volume konsumsi BBM
bersubsidi dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun
2010, realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi mencapai 38,2 juta kilolitre dan meningkat
menjadi
46,0
juta
kilolitre
pada
tahun
2014.
Pada
APBNP
tahun
2015, volume konsumsi BBM turun signifikan menjadi 17,9 juta kilolitre dikarenakan
penghapusan subsidi padajenis premium. Perkembangan volume konsumsi BBM bersubsidi
tahun 20102015 disajikan perkembangan harga BBM bersubsidi
Penentuan subsidi BBM diatur dalam UU APBN yang dibuat setiap tahunnya.
UU No 14 tahun 2015
Penentuan subsidi BBM dilakukan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh kementrian
ESDM dan kemudian diajukan persetujuan kepada DPR. Subsidi diberikan sesuai dengan
kemampuan Negara di tahun yang bersangkutan
Subsidi tetap dan subsidi Mengambang
Mekanisme subsidi tetap yaitu memberi subsidi per liter BBM dengan plafon tertentu yang
mengacu pada harga pasar. Misalnya, subsidi diberikan secara tetap sebesar Rp 500 atau Rp
1.000 per liter. Dengan pola itu, harga BBM bersubsidi bisa berubah setiap bulan, sesuai
dengan perkembangan harga di pasar. Saat harga minyak dunia naik, maka harga BBM
bersubsidi akan naik. Namun, saat minyak dunia merosot, maka harga BBM bersubsidi juga
akan menurun.
subsidi mengambang berarti pemerintah berusaha mempertahankan harga BBM sesuai
dengan target tanpa memperhatikan harga minyak dunia.
S= Subsidi listrik
TTL
= Tarif tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing Golongan Tarif
BPP
= BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing Golongan Tarif
M
= Margin (%)
V
= Volume Penjualan
Marjin dalam perhitungan pembayaran Subsidi Listrik merupakan marjin yang
digunakan dalam perhitungan besaran Subsidi Listrik untuk menghasilkan angka
Subsidi Listrik yang ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.
Besaran Subsidi Listrik disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
kepada Menteri Keuangan sebagai usulan dalam rangka persiapan penyusunan
Rancangan APBN dan/atau Rancangan APBN- Perubahan. Menteri BUMN dapat
mengusulkan besaran persentase marjin kepada Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral.
Dalam rangka pelaksanaan Subsidi Listrik, PT PLN (Persero) melakukan pengendalian
terhadap parameter pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran
Energi yang digunakan dalam perhitungan Subsidi Listrik dalam APBN dan/atau
APBN-Perubahan. Pelaksanaan pengendalian dituangkan dalam laporan realisasi
pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran Energi dan disampaikan
oleh PT PLN (Persero) kepada kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada KPA. Dalam laporan
realisasi juga disampaikan perkiraan realisasi sampai dengan akhir tahun berjalan atas
6
Pada 2015 PT PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) sebagai BUMN listrik
mengumumkan kenaikan tarif listrik untuk sejumlah kelas. Indonesia telah menaikkan
tarif listrik dengan penyesuaian periodik berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan
sejak 2013 (lihat Tabel 1 di bawah untuk uraian lengkapnya). Situs online PT PLN juga
mulai mempublikasikan pengumuman tarif bulanan, sejak Mei 2014 (PLN, 2014).
Berdasarkan peraturan terbaru yang ditandatangani pada 24 Desember 2014 oleh
Sudirman Said, Menteri ESDM yang baru, tarif listrik akan ditetapkan oleh PT PLN,
dan penyesuaian tarif akan dilakukan setiap bulannya, berdasarkan evaluasi nilai tukar
RupiahUSD, harga minyak mentah Indonesia (CPI) dan tingkat inflasi. Peraturan ini
mulai berlaku pada 1 Januari 2015.
Indonesia masih menyubsidi sejumlah kelas tarif, khususnya untuk sambungan
tegangan rendah di kelas perumahan (R), bisnis (B) dan industri (I). Berdasarkan
jumlah pelanggan, kelas-kelas tersebut merupakan kelompok pengguna listrik terbesar
di Indonesia. Pada 2013, sambungan tegangan rendah (hingga 1.000 V) melingkupi 99
persen dari total konsumen PT PLN yang jumlahnya tercatat lebih dari 53,85 juta
konsumen (Kementrian ESDM, 2014, hal.52). Konsumsi bahan bakar untuk
pembangkit listrik PT PLN di Indonesia didominasi oleh batu bara dengan konsumsi
8
tahunan sebesar 35,51 juta ton pada 2012 (PLN, 2013), jumlah tersebut setara dengan
57,35 persen konsumsi bahan bakar dari pembangkit listrik Indonesia (Pusdatin, 2014,
hal. 96).
b) Subsidi LPG Tabung 3 Kg
Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya disebut LPG adalah gas hidrokarbon yang
dicairkan dengan tekanan untuk rnemudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan
penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau carnpuran
keduanya.
Penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg hanya diperuntukkan bagi rumah
tangga dan usaha mikro. Penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg
dilaksanakan secara bertahap pada daerah tertentu dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg
diawali dengan memberikan secara gratis tabung, LPG Tabung 3 Kg dan kompor gas
beserta peralatan lainnya kepada rumah tangga dan usaha mikro. Pemberian hanya
dilaksanakan sebanyak 1 (satu) kali.
Menteri menetapkan perencanaan volume penjualan tahunan LPG Tabung 3 Kg serta
standar dan mutu (spesifikasi) LPG Tabung 3 Kg dengan mempertimbangkan :
a. Kebutuhan penggunaan LPG untuk rumah tangga dan usaha mikro; serta
b. Usulan dari Badan Usaha
Dalarn rangka penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg, Menteri rnenetapkan
harga patokan dan harga jual eceran LPG Tabung 3 Kg untuk rumah tangga dan usaha
rnikro. Menteri menetapkan harga patokan LPG Tabung 3 Kg setelah rnendapatkan
pertirnbangan Menteri Keuangan. Menteri menetapkan harga jual eceran LPG Tabung 3
Kg didasarkan pada hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonornian.
Penyediaan dan pendistribusian atas volume kebutuhan tahunan LPG Tabung 3 Kg
dilaksanakan oleh Badan Usaha melalui penugasan oleh Menteri. Penugasan kepada
Badan Usaha dapat dilakukan rnelalui penunjukan langsung dan/atau lelang.
Penunjukan langsung wajib memenuhi ketentuan:
a. Perlindungan aset kilang rninyak dan gas dalarn negeri terrnasuk
pengernbangannya dalam jangka panjang;
b. Jarninan ketersediaan LPG Tabung 3 Kg dalarn negeri; atau
c. Apabila hanya terdapat 1 (satu) Badan Usaha pernegang Izin Usaha Niaga Urnurn
LPG untuk rnelaksanakan penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg.
Penyediaan LPG dapat berasal dari LPG produksi dalam negeri atau melalui impor
LPG. LPG produksi dalam negeri berasal dari hasil pengolahan Minyak dan Gas Bumi
dan hasil pengolahan lapangan pada kegiatan usaha hulu. LPG produksi dalam negeri
wajib diutamakan untuk memenuhi pasokan kebutuhan LPG di dalam negeri.
Pengolahan Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Badan Usaha pemegang lzin
Usaha Pengolahan Minyak Bumi danlatau Badan Usaha pemegang lzin Usaha
Pengolahan Gas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPG
9
yang berasal dari pengolahan lapangan pada kegiatan usaha hulu wajib dijual kepada
Badan Usaha pemegang lzin Usaha Niaga LPG dengan titik serah di lapangan kegiatan
usaha hulu.
Penyediaan LPG yang berasal dari impor dilaksanakan oleh Badan Usaha pemegang
lzin Usaha Niaga LPG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan impor LPG oleh Badan Usaha dilakukan setelah mendapat rekomendasi
Direktur Jenderal atas nama Menteri dan izin Menteri Perdagangan. Pengguna
Langsung LPG dapat melakukan impor LPG setelah mendapat rekomendasi Direktur
Jenderal atas nama Menteri dan izin Menteri Perdagangan. Pengguna Langsung LPG
merupakan konsumen atau pengguna LPG untuk penggunaan sendiri dan tidak untuk
dipasarkan danlatau diperjualbelikan.
Kebijakan harga LPG
Pada awal 2015 juga terjadi sejumlah perubahan dalam harga LPG. Pada 31 Desember
2014, Ahmad Bambang, Direktur Pemasaran PT Pertamina, mengumumkan bahwa
harga acuan LPG tabung 12 kilogram akan dinaikkan sebesar Rp 1.500 per kilogram
(US$ 0,12 per kg), mulai dari 1 Januari 2015 (Bisnis, 2014). Ini menyebabkan harga
LPG 12 kg naik dari Rp 7.569 menjadi Rp 9.069 per kg (US$ 0,61 menjadi US$ 0,73
per kg) (TribunNews, 2015). Dengan penambahan biaya pengemasan dalam tabung dan
transportasi, serta pajak nilai tambah dan margin keuntungan distributor, akumulasinya
menghasilkan harga eceran vendor PT Pertamina sebesar Rp 11.225 per kg atau
Rp134.700 per tabung 12kg (US$ 0,90 per kg atau US$ 10,78 per 12 kg). Harga ini
dapat menjadi lebih tinggi seiring biaya angkut dan faktor lain yang menyebabkan
pengecer memutuskan untuk menggelembungkan harga. Di area di luar Jakarta terdapat
laporan bahwa harga dapat mencapai Rp 12.500 per kg atau Rp 150.000 per 12 kg (US$
1 per kg atau US$ 12 per tabung 12 kg) (Jakarta Post, 2015c; Merdeka, 2015b).
Pada tanggal 19 Januari terjadi penyesuaian harga kembali dalam bentuk penurunan.
Biaya LPG tabung 12 kg diturunkan dari Rp 134.700 menjadi Rp 129.000 per tabung
(US$ 10,7 menjadi US$ 10,3 per tabung) (Jakarta Globe, 2015).
Menurut pemerintah, LPG tabung 12 kg PT Pertamina adalah produk energi nonsubsidi, dan berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.26/2009 pasal 25, harga LPG
non-subsidi ditetapkan di tingkat perusahaan. Namun demikian, pada kenyataannya
kewenangan penetapan harga perusahaan tidak sepenuhnya lepas dari campur tangan
pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa LPG tabung 12 kg telah dijual di
bawah biaya pasokan selama bertahun-tahun dan upaya PT Pertamina untuk menaikkan
harga LPG pada 2013 sempat dibatalkan setelah adanya instruksi dari Presiden
Yudhoyono untuk meninjau ulang keputusan tersebut (Sindonews, 2013).
Belajar dari permasalahan dalam hal koordinasi kebijakan tersebut, PT Pertamina
mengembangkan skema penyesuaian harga dan mengumumkan kerangka waktu untuk
kenaikan harga LPG non-subsidi setiap 6 bulan yang akan berlangsung hingga akhir
2016. Pada Agustus 2014, Ali Mundakir, Vice President Corporate Communication PT
Pertamina, mengumumkan bahwa pemerintah telah memberikan lampu hijau untuk
kenaikan harga LPG pada Januari 2015 (Liputan6, 2014a). Kenaikan sebelumnya, yang
menaikkan harga LPG tabung 12 kg dari Rp 6.069 menjadi Rp 7.569 per kilogram
(US$ 0,47 menjadi US$ 0,61 per kilogram) berlangsung pada September 2014, pada
10
dan harga jual sebesar Rp1.600,0 per kg. Kenaikan alokasi anggaran subsidi pangan
terutama disebabkan oleh adanya kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP)
Gabah/Beras per 17 Maret 2015, dari semula Rp6.600,0 per kg menjadi Rp7.300,0 per
kg sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2015 dan pembayaran kekurangan bayar subsidi tahun
2013 (hasil audit BPK).
Dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional dan membantu petani
mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau, Pemerintah mengalokasikan anggaran
untuk subsidi pupuk. Volume pupuk bersubsidi tahun 2016 direncanakan sebanyak 9,55
juta ton. Subsidi pupuk tetap diberikan dengan sistem tertutup melalui mekanisme
rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Namun, mekanisme pelaksanaan
subsidi langsung kepada petani akan dilakukan secara bertahap. Di samping itu,
Pemerintah terus berupaya agar HPP ditetapkan mendekati harga keekonomian dan
mengusulkan rencana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk mengurangi
disparitas harga pupuk. Selain itu, Pemerintah terus mendorong peningkatan
penggunaan pupuk organik dan pupuk majemuk berimbang, serta penyempurnaan basis
data yang berbasis orang dan lahan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, anggaran
subsidi pupuk dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan sebesar Rp30.063,2 miliar.
Jumlah tersebut lebih rendah Rp9.412,5 miliar bila dibandingkan pagunya dalam
APBNP tahun 2015 sebesar Rp39.475,7 miliar. Lebih rendahnya alokasi anggaran
subsidi pupuk tersebut dikarenakan pada tahun 2016 hanya dialokasikan bagi
pembayaran subsidi pupuk tahun berjalan. Sementara itu, untuk tahun 2015 sebagian
anggarannya dialokasikan untuk pembayaran kurang bayar tahun sebelumnya.
Untuk mendorong peningkatan produksi pertanian, Pemerintah mengalokasikan
anggaran untuk subsidi benih. Seperti pola pelaksanaan tahun 2015, pemberian subsidi
benih tersebut dalam rangka menyediakan benih padi dan kedelai yang berkualitas
dengan harga terjangkau oleh petani dan ketersediaan benih varietas unggul
bersertifikat menjadi lebih terjamin, serta mudah diakses petani/kelompok tani. Besaran
subsidi benih dialokasikan berdasarkan daftar usulan pembeli benih bersubsidi
(DUPBB). Anggaran subsidi benih dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan sebesar
Rp1.023,8 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi Rp84,4 miliar bila dibandingkan
pagunya dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp939,4 miliar.
pangan, mendukung diversifikasi energi, dan KUR . KUR adalah pembiayaan modal
kerja dan atau investasi kepada debitur di bidang usaha sektor pertanian perikanan
industri pengolahan, dan perdagangan yang terkait, ditujukan untuk usaha yang
produktif dan layak/ feasible.
Subsidi ini juga disediakan untuk menutup selisih antara bunga pasar dengan bunga
yang ditetapkan lebih rendah olehpemerintah untuk berbagai skim kredit program
seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP),Kredit Koperasi Primer untuk Anggota
(KKPA),Kredit Usaha Tani, Kredit Koperasi, KreditPemilikan Rumah Sederhana
(KPRS) dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana(KPRSS), termasuk beban
resiko (risk sharing ) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default ).
Tujuan subsidi bunga kredit program adalah untuk membantu masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan pendanaan dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari bunga
pasar.
b) Subsidi Lainnya
Merupakan subsidi non energi yang tidak termasuk:
1. Subsidi Pertanian terdiri dari : Subsidi Pangan, Subsidi Benih, dan Subsidi Pupuk;
2.Subsidi Bunga Kredit Program;
3.Public Service Obligation (PSO);
4.SubsidiPajak/DTP
13
14
15
16
Pelaksanaan PSO oleh BUMN merupakan amanat konstitusi, yakni Pasal 34 Ayat 3
UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas
kesehatan dan pelayanan umu m yang layak bagi masya rakat. Dalam
implementasinya, pasal ini ditindaklanjuti oleh Pasal 66 UU BUMN yang mengatur
bahwa bagi BUMN yang mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum
(PSO), bila berdasarkan kajian finansial tidak visibel, peme rintah wajib
memberikan kompen sasi atas semua biaya yang tel ah dikeluarkan oleh BUMN
tersebut termasuk margin keuntungan yang diharapkan.
Berdasarkan regulasi mengenai pembebanan PSO pada BUMN di atas, pada
prinsipnya tidak akan menimbulkan kerugian atau mengganggu kinerja BUMN p
enerima PSO. Namun demikian dalam praktik, berdasarkan data banyak BUMN
yang mengemban PSO merugi dengan alasan karena beban PSO. Merujuk pada
mekanisme PSO berdasarkan amanat Pasal 66 UU BUMN seharusnya bila beban
PSO dibiayai oleh pemerintah, seharusnya BUMN untuk non PSO harusnya dapat
membukukan keuntungan.
5. Proses Penyelesaian Usulan PSO/Subsidi Tahap Awal
1. Pada tahap awal penyelesaian usulan PSO, BUMN akan mengusulkan kepada
Departemen Teknis terkait atas penugasan PSO yang akan diberikan kepadanya
yang isinya memuat antara lain :
a. Jenis kegiatan PSO
b. Sasaran kegiatan PSO
c. Jumlah produk yang akan didistribusikan
d. Harga njual yang akan diusulkan untuk disepakati
e. Perhitungan Biaya Pokok Produksi +Margin + Pajak
f. Besar dana subsidi atas kegiat an PSO yang harus dibayar Pemerintah
g. Kualitas Produk PSO
h. Waktu penyerahan produk PSO
i. Mekanisme distribusi produk.
2. Selanjutnya, Departemen Teknis setelah menerima usulan dari BUMN Operator
akan menganalisa berdasarkan manajemen risiko atas usulan PSO tersebut dari
berbagai sektor, dinataranya : landasan filosofi dan analisa 5 T.
3. Setelah analisa tersebut di atas dilakukan dan usulan dianggap memadai, maka
selanjutnya Departemen Teknis akan menyusun kebijakan dan strategi
pelaksanaan untuk selanjutnya dibahas bersama dengan Menteri Keuangan dan
Bappenas untuk diberikan persetujuan.
6. Proses Penyelesaian Usulan PSO/Subsidi
17
18
19
Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam praktik, BUMN operator PSO tidak
saja merugi dalam ak tivitas komersialnya, melainkan juga dianggap tidak mammpu
mengemban penugasan kewajiban pelayanan publik tersebut. Berdasarkan hal itu,
diperlukan pengelolaan risiko yang timbul akibat penugasan PSO oleh Pemerintah
pada BUMN. Pengeloaan risiko ini sudah dimulai sejak tahap awal ketika anggaran
PSO diusulkan. Dalam tiap tahapan selanjutnya, risiko harus dikelola dengan baik,
agar BUMN tetap dapat menjalankan kegiatan komersialnya, sehingga tetap dapat
berkompetisi dengan swasta.
Di sisi lain, pelayanan publik dapat dilakukan dengan optimal, yang pada gilira nnya
akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945,
khususnya Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945. Manajemen risiko dalam pelaksanaan PSO
meliputi tidak saja pada proses produksi dan distribusi, melai nkan harus
ditindaklanjuti den gan pelaporan baik akuntansi komersial dan akuntasi manajemen.
Selanjutnya pelaporan ini ditindaklanjuti dengan pertanggungjawaban.
komersial. Berbeda dengan PSO, dimana usulan datang dari BUMN yang
selanjutnya dib ahas oleh Menneg BUMN, Departemen Keuangan dan Bappenas,
maka USO diajukan oleh Departemen teknis- dalam hal telekomunikasi adalah
Depkominfo. Landasan hukum USO adalah PP No : 52 Tahun 200 Tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No : 28 Tahun 2005 Tentang Tarif PNBP di
lingkungan Depkominfo. Selanjutnya Departemen teknis inilah yang mengajukan
USO ke pemerintah , dan selanjutnya dibahas oleh Departemen Teknis dengan
Komisi I D PR yang membidangi telekonunikasi. Dana USO berasal dari
setoran/pun gutan sebesar 0,5 % dari pendapatan kotor seluruh operator, yang
selanjutnya masuk ke dalam APBN dan merupakan DIPA /anggaran departemen
teknis yang bersangkutan. Pelaksanaan USO dilakukan berdasarkan ten der,
sehingga boleh diikuti oleh operator mana saja yang memiliki kualifiksasi, sampai
diperoleh operator yang benar-benar memenuhi persyaratan yang dikehendaki.
Pemenang tender adalah penawar terendah. Dengan mekanisme penugasan yang
tepat, penunjukan pihak swasta dalam kewajiban pelayanan publik akan
menghasilkan pelayanan yang optimal, mengingat swasta yang menjadi operator
PSO memang ahli di bidangnya. Diharapkan di masa-masa mendatang, swata dapat
berperan aktif dalam PSO, sepanjang tujuan dan land asan filosofi PSO tetap tercap
ai, yaitu kesejahteraan masyarakat.
b) Subsidi Pajak
Pajak Ditanggung Pemerintah, yang selanjutnya disebut P-DTP, adalah pajak terutang
yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
1. Ruang Lingkup
Ruang lingkup P-DTP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
meliputi:
a. Pendapatan P-DTP berupa:
a. Pendapatan PPh DTP;
b. Pendapatan Pajak Lainnya DTP.
b. Belanja Subsidi P-DTP berupa:
a. Belanja Subsidi PPh DTP.
Menteri Keuangan menetapkan obyek pajak tertentu yang mendapat insentif fiskal
P-DTP setiap tahun anggaran dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
sesuai Undang-Undang yang mengatur mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
2. Sumber Dana
Alokasi dana untuk P-DTP disediakan dalam DIPA Bagian Anggaran BUN
Pengelola Belanja Subsidi.
Alokasi dana untuk P-DTP merupakan batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui.
22
23
24
26
27