Vous êtes sur la page 1sur 29

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI URGENSI

Disusun Oleh :
dr Muamar Amirullah

Pembimbing :
dr Antonius
Anton
Rumambi DK, M.Kes.

Disusun dalam rangka mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia


Angkatan IV Tahun 2015 (November 2015 s/d November 2016)
di Rumah Sakit Tingkat III Robert Wolter Monginsidi
Teling-Manado-Sulawesi
Teling
Utara

KRISIS HIPERTENSI
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa (1).

EPIDEMIOLOGI
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi
krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7%
pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia di atas 60 tahun.
Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan
berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target (1).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada
JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi,
namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus
yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif (1).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII (2)
Kategori

TD sistolik (mmHg)

Normal

TD diastolik (mmHg)

< 120

Dan

< 80

Pre-hipertensi

120-139

Atau

80-89

Hipertensi Stadium 1

140-159

Atau

90-99

Hipertensi Stadium 2

> 160

Atau

> 100

DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi
yang paling sering dipakai adalah :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak
disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi intravena.

[1]

2. Hipertensi urgensi (mendesak)


Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan
organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila
tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan kelainan
funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari
vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan.
Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun
sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat,
penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi endotel,
remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan
darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga
membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi (1,4,8).

[2]

FAKTOR PENYEBAB KRISIS HIPERTENSI


Hipertensi esensial
Penyakit Parenkim Ginjal
Pielonefritis Kronik
Glomerulonefritis
Nefritis tubulointerstisial
Penyakit Vaskular pada Ginjal
Stenosis Arteri Renalis
Makroskopis poliarteritis nodusa
Obat-obatan
Penghentian tiba-tiba obat obatan agonis alfa-2 adrenergik yang bekerja sentral seperti
clonidine dan metildopa
Intoksikasi obat simpatomimetik (kokain, dll)
Interaksi dengan obat MAO-Inhibitor (phenilzine, selegiline)
Kehamilan
Eklampsia/pre-eklampsi berat
Endokrin
Feokromositoma
Aldosteronisme primer
Kelebihan hormone glukokortikoid
Tumor yang mensekresikan rennin
Kelainan Sistem Saraf Pusat
Stroke hemoragik
Cedera Kepala

MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan
darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan
terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen
lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme
ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
[3]

pingsan dan sinkop. Pada


da penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular
serebrovask
dan usia tua,
batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada
pada kurva, sehingga
pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2)
(1)

Gambar 1. Patofisiologi hipertensi emergensi

(1)

[4]

Gambar 2. Kurva Autoregulasi Pada Tekanan Darah (1)

Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran


pe gukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang
normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan
pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Ora
Orang
ng dengan hipertensi terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal(1).
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira
kira kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebany
sebanyak
20%-25%
25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan
lakukan dalam tempo 15
15-30 menit dan bisaa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefa
ensefalopati,
lopati, penurunan tekanan darah 25%
2
dalam 2-33 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut aataupun
taupun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih
le
lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan
darah tidak lebih rendah dari 170-180/100
170
mmHg (1,2,4,6,8).

[5]

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ

Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan
sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau
paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan
atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian
pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina,
akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal
ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi (1,5,7).

Gambar 3. Papilledema. Pembengkakan optic disc dan margin kabur (1).

[6]

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana yang mengalami
gangguan.
Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin
diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat menaikkan
tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid Diethylamide (LSD),
amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala sistem saraf (nyeri kepala,
perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK berwarna merah, jumlah urin
berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak napas, payah jantung, kongestif dan
oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular
atau ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis) penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk
dievaluasi adalah riwayat kehamilan untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisis
hipertensi(1,2,3).

[7]

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada keempat ekstremitas,
auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung untuk mencari murmur/gallop,
auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan neurologis serta funduskopi.
Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina, eksudat pada retina
atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada peningkatan tekanan vena
jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk menilai
tanda perubahan neurologis yang segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda hipertensi
ensefalopati seperti disorientasi, gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal dan kejang
fokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :
a.

Pemeriksaan segera seperti :


Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit
Urine : Urinalisa
EKG : 12 lead : melihat tanda iskemi
Rontgen Thoraks : Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai ukuran jantung, tanda

edema paru serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut.


b.

Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan pertama)


Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin,

Venumandelic Acid (VMA)


Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari gangguan
fungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi (1,2,5) :

[8]

Pasien dengan Hipertensi

TD > 180/120 mmHg

Tidak

Ya

Kerusakan Organ Target

Tidak Krisis Hipertensi


- Pre-hipertensi
TDS 120-139
TDD 80-89
- Hipertensi stadium 1
TDS 140-159
TDD 90-99
- Hipertensi stadium 2
TDS > 160
TDD > 100

Tatalaksana

1. Neurologi
- Tanda Stroke Iskemik/Hemoragik
Nyeri kepala
Muntah
Penurunan kesadaran
Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
Bicara pelo
Mulut mencong
- Flapping Tremor
2. Jantung & Paru
- Nyeri dada
- Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg (diseksi aorta)
- Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop
- Peninggian JVP
- Ronkhi basah/sesak napas
3. Ginjal
- Edema perifer
- Oliguria/anuria
- Hematuria/proteinuria
- Peningkatan ureum kreatinin
4. Mata
- Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV

Tidak

Hipertensi Urgensi

Gambar 4. Alur Diagnostik Krisis Hipertensi(1)

[9]

Ya

Hipertensi Emergensi

PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi
parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan
mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset
mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan
dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk,
hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis
pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien
dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi
urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai
tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien,
setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara
oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat
diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.

[10]

Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (2-adrenergicreceptor agonist)


yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa
diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan
darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering terjadi
adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20
menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat
dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih
belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan
15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi. Untuk menghindari
hal tersebut maka pemberian anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol secara intravena lebih
dianjurkan dibanding terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine. Tujuan penurunan TD
bukanlah untuk mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk mendapatkan penurunan tekanan
darah yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik tidak kurang dari 100 mmHg.
Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg
selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal : disecting aortiic
aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang didapat.
Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah awal dapat
diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian tekanan darah
dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke iskemik
akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105
[11]

mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara
hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara
sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada
arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan blocker (labetalol
dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan
dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat
menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik >
120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida
atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obatobatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang
dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan
pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking
agent). Golongan -blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah
dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obatobatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera(1,6).

[12]

Tabel 5. Obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi emergensi

[13]

STATUS PASIEN
I.

Identitas Pasien
Nama

: Ny. NS

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 57 tahun

Alamat

: Tateli-Manado-Sulawesi Utara

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Agama

: Islam

Status perkawinan

: Menikah

Tgl masuk

: 03-01-2016

II. Anamnesis
Keluhan Utama

Keluar darah dari hidung sejak 1 jam SMRS


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD dengan keluhan keluar darah dari hidung sejak 1 jam SMRS,
keluhan dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang duduk nonton TV. Darah yang keluar
berwarna merah segar. Darah keluar dari kedua hidung dan saat pasien meludah kadangkadang juga terdapat darah. Pasien merasa pusing. Pasien tidak merasakan pusing berputar.
Keluhan nyeri kepala, mual, muntah disangkal. Keluhan hidung berdarah tanpa penurunan
kesadaran.
Pasien menyangkal keluhan nyeri kepala disertai pandangan kabur, penglihatan ganda,
nyeri dan gatal pada mata. Tidak terdapat adanya kelemahan anggota gerak, tidak terdapat
rasa kesemutan, tidak terdapat lidah pelo, Buang air kecil dan buang air besar lancar tanpa
keluhan. Pasien tidak ada riwayat trauma pada hidung. riwayat benda asing di hidung
disangkal.

[14]

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien sebelumnya mengalami pilek dan sering kambuh. Pasien mengaku mempunyai
riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak rutin kontrol. Riwayat penyakit
serupa disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat batuk lama disangkal. Pasien
menyangkal riwayat penyakit jantung, penyakit kencing manis, dan penyakit asma.

Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan dalam jangka waktu lama dan dekat
dan mengaku tidak mempunyai riwayat alergi

Pasien mengaku tidak ada alergi obat.

Riwayat penyakit keluarga :


Pasien mengaku terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien.Ibu
kandung pasien menderita hipertensi.

III. Pemeriksaan Fisik


-

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 220/130 mmHg

Nadi

: 100 x/menit, regular

Pernapasan

: 22 x/menit normal

Suhu

: 36,50C

BB

: 87 kg

Status Generalis
Kepala

Bentuk

: Normal, simetris

Rambut

: Hitam, tidak mudah rontok

Mata

: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik-/-, edema palpebra -/-, pupil

isokor kanan dan kiri. Refleks cahaya +/+

Telinga

: Bentuk normal, simetris, otorrhea -/-.

[15]

Hidung

: Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi, nyeri tekan (-)

Rhinoskopi anterior : Rhinorrhea (+)/(+), perdarahan aktif (-)/(-), massa (-)/(-), polip
(-)/(-)

Mulut

: Mulut simetris, tidak ada deviasi, Tonsil T1/T1, sianosis (-), deviasi

lidah (-)
Leher
Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak, Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
dan kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat.
Thoraks
Pulmo

Inspeksi

: Bentuk dada kanan kiri simetris, pergerakan nafas kanan sama

dengan kiri , tidak ada penonjolan masa.

Palpasi

: fremitus taktil kanan sama dengan kiri

Perkusi

:sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: ves +/+, ronki -/-, Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi

: Iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi

Perkusi Batas jantung :


o Batas atas : ICS II garis parasternalis kiri
o Batas kanan : ICS V garis sternalis kanan
o Batas kiri : ICS V garis axillaris anterior kiri

Auskultasi

: S1 dan S2 murni regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen

Inspeksi

: Perut cembung, tidak tampak adanya kelainan

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Suara timpani pada lapang abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)

Palpasi

:Nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien tidak teraba, ballotement ginjal (-)

[16]

Genitalia
Tidak dinilai
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2, arteri perifer teraba normal, edema ekstremitas -/-

Status Neurologis
Saraf Cranial :
N. II (Optikus)
Refleks cahaya langsung : +/+ (pupil bulat, isokor)
Tajam penglihatan

: sulit dinilai

Lapang penglihatan

: baik dalam batas normal

Melihat warna

: baik dalam batas normal

Fundus okuli

: Tidak dilakukan

N. III (Occulomotor)
Pupil
Ukuran

: 3mm

Bentuk

: bulat

Isokor/anisokor

: Isokor

Reflex cahaya tidak langsung

: +/+

N. IV (Troklearis)
Pergerakan bola mata (Ke Bawah Dalam)

: +/+

N. V (Trigeminus)
Membuka mulut

: asimetris

Menguyah

: baik dalam batas normal

Menggigit

: baik dalam batas normal

Refleks kornea

: baik dalam batas normal

Sensabilitas wajah : baik dalam batas normal

N. VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata (ke lateral)

: baik dalam batas normal


[17]

N VII (Facialis)
Mengerutkan dahi

: simetris kanan-kiri

Menutup mata

: simetris kanan-kiri

Memperlihatkan gigi

: simetris kanan-kiri

N IX (glosofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 bagian lidah belakang) : baik dalam batas normal
Posisi uvula

: tidak ada deviasi

N X (vagus)
Arkus faring

: baik dalam batas normal

Menelan

: baik

Refleks muntah

: baik

N. XI (Asesorius)
Menengok (M. Sternocleidomastoideus): baik, dapat menengok kanan dan kiri
Mengangkat bahu (M. Trapezius)

: baik

N XII (Hipoglossus)
Pergerakan lidah

: baik, dapat menggerakan lidah ke segala arah

Lidah deviasi

: tidak terdapat deviasi

Badan dan Anggota Gerak :


Anggota gerak atas
Motorik: Baik
Pergerakan: (+)/(+)
Kekuatan: 5 / 5
Anggota gerak bawah
Motorik: Baik
Pergerakan: (+)/(+)

[18]

Kekuatan: 5 / 5
Tonus: Normal
Refleks patologis :
Babinski

: (-)/(-)

Chaddock

: (-)/(-)

Gondon

: (-)/(-)

Oppenheim

: (-)/(-)

Schiffer

: (-)/(-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (03/01/2016)
LAB

RESULT

NORMAL

Hb

15,5

13-16 gr%

Leukosit

11.700

4.000-10.000

Eritrosit

4,7

4-6 juta/mm3

Trombosit

265.000

150.000-450.000

Hematokrit

44

37-43%

GDS

126

80-120 mg/dl

Ureum

18

10-50

Creatinin

1,0

0,5-1,5 mg/dl

SGOT

32

< 31 U/L

SGPT

33

< 32 U/L

[19]

Rontgen Thoraks

Kesan : C/P Normal


EKG

Irama sinus
Heart rate 88x/menit
[20]

Axis normal
P wave N 0.08 detik
PR interval 0,16 detik
QRS kompleks 0,8 detik
Interval QT 0,32 detik
S V2 + R V6 > 35 mm
Kesan : Gambaran EKG Normal

V. Resume :
Pasien datang dengan keluhan epistaksis. Pasien juga mengeluh pusing. Pasien
mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 220/130, pulsasi 100 x/menit, rhinorrhea (+/(+),
perdarahan aktif (-)/(-). JVP tidak meningkat. Pemeriksaan fisik paru dan jantung dalam batas
normal. Tidak didapatkan defisit neurologis maupun gangguan nervus kranialis. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Rontgen thoraks dan EKG tidak ada
kelainan.

[21]

VI. Daftar Masalah


Hipertensi urgensi
Epistaksis
VII.

Pembahasan

1. Hipertensi Urgensi

Atas dasar : Didapatkan krisis hipertensi yang digolongkan pada hipertensi


Urgensi, karena didapatkan peningkatan tekanan darah tanpa disertai
kecurigaan kerusakan organ.

Assesment :

Planing

Berdasarkan krisis hipertensi digolongkan pada hipertensi urgensi.

Konsul Bagian Neurologi

Treatment

Non farmakologis
o Di rawat di ruangan
o Istirahat baring
o Diet rendah garam
o Tujuan pengobatan hipertensi emergensi adalah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan
dengan keadaan klinis penderita

Farmakologis
o Infus RL 10 tpm
o Amlodipine 10 mg 1 0 0
o Candesartan 8 mg 0 1 0
o Bisoprolol 5 mg - 0 - 0
o Menurunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam 1-12 jam,
setelah tidak ada tanda hipoferfusi organ penurunan dapat di
lanjutkan hingga 24-72 jam sampai mendekati normal

2. Epistaksis

Atas dasar : Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Pada umumnya
terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian
posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
[22]

arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari


arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis dapat
ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik,
kelainan sistemik yang sering menimbulkan epistaksis adalah penyakit
kardiovaskuler seperti hipertensi. Pada kasus ini, pasien mengalami hipertensi
urgensi yang mengakibatkan terjadinya epistaksis anterior.

Assesment :

Planing

Epistaksis anterior ec hipertensi urgensi

Konsul Bagian THT

Treatment

Non farmakologis : Istirahat baring

Farmakologis

Pasang tampon hidung (tampon anterior), ini dilakukan untuk menekan


dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior agar
perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan
pangkal hidung untuk menghentikan perdarahan tersebut.

Pemberian antibiotik ceftriaxone bertujuan untuk mencegah terjadinya


infeksi karena tampon dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam
traneksamat bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Pemberian
ketorolac sebagai analgetik.

[23]

VIII. Diagnosa
Epistaksis ec Hipertensi Urgensi
IX. Follow up
Tgl

Pemeriksaan

04-01-2016

T : 170/120 mmHg
P : 80x/menit
R : 20x/menit
S : 36,5C
Pusing (-), pandangan kabur (-), mual (-), muntah (-), kesemutan di
ekstremitas (-), BAB & BAK dbn.
Kesadaran : CM
Kepala : Normocephal
Mata : Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat
Tho :VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -,
gallop Abdomen : cembung, H/L tak membesar
Akral hangat +/+
Kekuatan otot 5/5, 5/5
GDP: 110 mg/dl (75-115 mg/dl)
GD2PP: 123 mg/dl (<200 mg/dl)
Terapi
Infus RL 10 tpm
Tampon hidung
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v

[24]

Inj. Ketorolac 1 Amp i.v


Inj. Asam tranexamat 1 Amp i.v
Amlodipine
Candesartan
Bisoprolol

05-01-2016

T : 150/110mmHg
P : 81x/menit
R : 20x/menit
S : 36,4C
Kesadaran : CM
Keluhan (-)
Kepala : Normocephal
Mata: Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Hidung : perdarahan aktif (-)/(-)
Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat
Tho : VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -,
gallop Abdomen : cembung H/L tak membesar
Akral hangat +/+
Kekuatan otot 5/5, 5/5
Terapi lanjut
Aff tampon hidung, inj. As tranexamat & ketorolac stop

26-05-2015

T : 140/90mmHg
P : 80x/menit
R : 20x/menit

[25]

S : 36,6 C
Nyeri kepala (+), pandangan kabur (-), diplopia (-), mual muntah (+) 2x
Kepala : Normocephal
Mata: Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat
Tho : VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -,
gallop Abdomen : cembung H/L tak membesar
Akral hangat +/+

Hasil CT Scan:
Tidak tampak tanda perdarahan, infark maupun S.O.L
Terapi lanjut

X. Prognosis :
Quo ad vitam

: Dubia

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : Dubia


[26]

PEMBAHASAN
Pasien didiagnosis dengan epistaksis anterior. Berdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis
anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Pecahnya
Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior dikarenakan berbagai sebab seperti
trauma pada hidung, adanya benda asing, tumor jinak hidung, ataupun sebab sistemik seperti
adanya riwayat hipertensi. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, terjadinya epistaksis
dimungkinkan karena adanya riwayat hipertensi. Pleksus kiesselbach merupakan daerah
dimana rentan terjadi perdarahan karena daerah ini mempunyai pembuluh darah yang kecil
dan rapuh. Hipertensi dapat menyebabkan pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior
menjadi pecah karena tingginya tekanan darah di daerah tersebut.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon hidung (tampon anterior), ini
dilakukan untuk menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior
agar perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan pangkal hidung
untuk menghentikan perdarahan tersebut. Pemberian antibiotik ceftriaxone injeksi bertujuan
untuk mencegah terjadinya infeksi karena tampon dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam
traneksamat bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Pemberian ketorolac digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit.
Pemberian anti hipertensi pada pasien didasarkan pada diagnosis kerja hipertensi urgensi
karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan organ target. Pemberian obat
antihipertensi secara oral merupakan pilihan yang dapat diberikan pada pasien dengan
hipertensi urgensi. Pemilihan obat berdasarkan mekanisme kerja dan ketersediaan obat.
Amlodipine dipilih sebagai alternatif nicardipine yang merupakan pilihan pertama pada
pasien hipertensi urgensi yang berasal dari golongan calcium-channel blocker. Candesartan
dari golongan Angiotensin Receptor Blocker diberikan sebagai kombinasi dengan golongan
Calcium channel blocker agar penurunan tekanan darah dapat berlangsung lebih cepat.
Kombinasi obat ketiga adalah golongan antagonis adrenoseptor, yang dipakai adalah
bisoprolol karena bekerja pada reseptor beta-1 yang dimetabolisme terutama di hepar dan
memiliki waktu paruh yang panjang sehingga bisa dimanfaatkan efeknya untuk menurunkan
tekanan darah dalam waktu yang lebih lama.

[27]

DAFTAR PUSTAKA
1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol. 27, No.3,
Desember 2014.
2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh report of
the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and treatment of
high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human Services, National
Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute, NIH Publication.
2004; No.04-5230l.
3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and
emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:144-7.
4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M.
Current Medical Diagnosis and Treatment 55th edition. 2016. McGraw-Hill Education
5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report From
the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.
6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and
Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania Hospital.
University of Pennsylvania, Philadelphia.
7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of
Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306
8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22: 209219
9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-tenggorokleher. FKUI. 2001

[28]

Vous aimerez peut-être aussi