Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
HIPERTENSI URGENSI
Disusun Oleh :
dr Muamar Amirullah
Pembimbing :
dr Antonius
Anton
Rumambi DK, M.Kes.
KRISIS HIPERTENSI
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa (1).
EPIDEMIOLOGI
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi
krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7%
pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia di atas 60 tahun.
Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan
berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target (1).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada
JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi,
namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus
yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif (1).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII (2)
Kategori
TD sistolik (mmHg)
Normal
TD diastolik (mmHg)
< 120
Dan
< 80
Pre-hipertensi
120-139
Atau
80-89
Hipertensi Stadium 1
140-159
Atau
90-99
Hipertensi Stadium 2
> 160
Atau
> 100
DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi
yang paling sering dipakai adalah :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak
disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi intravena.
[1]
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila
tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan kelainan
funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari
vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan.
Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun
sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat,
penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.
[2]
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan
darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan
terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen
lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme
ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
[3]
(1)
[4]
[5]
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ
Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan
sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau
paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan
atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian
pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina,
akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal
ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi (1,5,7).
[6]
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana yang mengalami
gangguan.
Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin
diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat menaikkan
tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid Diethylamide (LSD),
amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala sistem saraf (nyeri kepala,
perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK berwarna merah, jumlah urin
berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak napas, payah jantung, kongestif dan
oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular
atau ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis) penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk
dievaluasi adalah riwayat kehamilan untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisis
hipertensi(1,2,3).
[7]
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada keempat ekstremitas,
auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung untuk mencari murmur/gallop,
auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan neurologis serta funduskopi.
Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina, eksudat pada retina
atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada peningkatan tekanan vena
jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk menilai
tanda perubahan neurologis yang segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda hipertensi
ensefalopati seperti disorientasi, gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal dan kejang
fokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :
a.
[8]
Tidak
Ya
Tatalaksana
1. Neurologi
- Tanda Stroke Iskemik/Hemoragik
Nyeri kepala
Muntah
Penurunan kesadaran
Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
Bicara pelo
Mulut mencong
- Flapping Tremor
2. Jantung & Paru
- Nyeri dada
- Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg (diseksi aorta)
- Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop
- Peninggian JVP
- Ronkhi basah/sesak napas
3. Ginjal
- Edema perifer
- Oliguria/anuria
- Hematuria/proteinuria
- Peningkatan ureum kreatinin
4. Mata
- Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV
Tidak
Hipertensi Urgensi
[9]
Ya
Hipertensi Emergensi
PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi
parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan
mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset
mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan
dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk,
hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis
pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien
dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi
urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai
tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien,
setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara
oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat
diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.
[10]
2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat
dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih
belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan
15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi. Untuk menghindari
hal tersebut maka pemberian anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol secara intravena lebih
dianjurkan dibanding terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine. Tujuan penurunan TD
bukanlah untuk mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk mendapatkan penurunan tekanan
darah yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik tidak kurang dari 100 mmHg.
Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg
selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal : disecting aortiic
aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang didapat.
Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah awal dapat
diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian tekanan darah
dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.
mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara
hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara
sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada
arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan blocker (labetalol
dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan
dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat
menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik >
120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida
atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obatobatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang
dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan
pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking
agent). Golongan -blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah
dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obatobatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera(1,6).
[12]
[13]
STATUS PASIEN
I.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. NS
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 57 tahun
Alamat
: Tateli-Manado-Sulawesi Utara
Pekerjaan
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Tgl masuk
: 03-01-2016
II. Anamnesis
Keluhan Utama
[14]
Pasien sebelumnya mengalami pilek dan sering kambuh. Pasien mengaku mempunyai
riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak rutin kontrol. Riwayat penyakit
serupa disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat batuk lama disangkal. Pasien
menyangkal riwayat penyakit jantung, penyakit kencing manis, dan penyakit asma.
Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan dalam jangka waktu lama dan dekat
dan mengaku tidak mempunyai riwayat alergi
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 220/130 mmHg
Nadi
Pernapasan
: 22 x/menit normal
Suhu
: 36,50C
BB
: 87 kg
Status Generalis
Kepala
Bentuk
: Normal, simetris
Rambut
Mata
Telinga
[15]
Hidung
Rhinoskopi anterior : Rhinorrhea (+)/(+), perdarahan aktif (-)/(-), massa (-)/(-), polip
(-)/(-)
Mulut
: Mulut simetris, tidak ada deviasi, Tonsil T1/T1, sianosis (-), deviasi
lidah (-)
Leher
Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak, Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
dan kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat.
Thoraks
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: Suara timpani pada lapang abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)
Palpasi
:Nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien tidak teraba, ballotement ginjal (-)
[16]
Genitalia
Tidak dinilai
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2, arteri perifer teraba normal, edema ekstremitas -/-
Status Neurologis
Saraf Cranial :
N. II (Optikus)
Refleks cahaya langsung : +/+ (pupil bulat, isokor)
Tajam penglihatan
: sulit dinilai
Lapang penglihatan
Melihat warna
Fundus okuli
: Tidak dilakukan
N. III (Occulomotor)
Pupil
Ukuran
: 3mm
Bentuk
: bulat
Isokor/anisokor
: Isokor
: +/+
N. IV (Troklearis)
Pergerakan bola mata (Ke Bawah Dalam)
: +/+
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut
: asimetris
Menguyah
Menggigit
Refleks kornea
N. VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata (ke lateral)
N VII (Facialis)
Mengerutkan dahi
: simetris kanan-kiri
Menutup mata
: simetris kanan-kiri
Memperlihatkan gigi
: simetris kanan-kiri
N IX (glosofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 bagian lidah belakang) : baik dalam batas normal
Posisi uvula
N X (vagus)
Arkus faring
Menelan
: baik
Refleks muntah
: baik
N. XI (Asesorius)
Menengok (M. Sternocleidomastoideus): baik, dapat menengok kanan dan kiri
Mengangkat bahu (M. Trapezius)
: baik
N XII (Hipoglossus)
Pergerakan lidah
Lidah deviasi
[18]
Kekuatan: 5 / 5
Tonus: Normal
Refleks patologis :
Babinski
: (-)/(-)
Chaddock
: (-)/(-)
Gondon
: (-)/(-)
Oppenheim
: (-)/(-)
Schiffer
: (-)/(-)
RESULT
NORMAL
Hb
15,5
13-16 gr%
Leukosit
11.700
4.000-10.000
Eritrosit
4,7
4-6 juta/mm3
Trombosit
265.000
150.000-450.000
Hematokrit
44
37-43%
GDS
126
80-120 mg/dl
Ureum
18
10-50
Creatinin
1,0
0,5-1,5 mg/dl
SGOT
32
< 31 U/L
SGPT
33
< 32 U/L
[19]
Rontgen Thoraks
Irama sinus
Heart rate 88x/menit
[20]
Axis normal
P wave N 0.08 detik
PR interval 0,16 detik
QRS kompleks 0,8 detik
Interval QT 0,32 detik
S V2 + R V6 > 35 mm
Kesan : Gambaran EKG Normal
V. Resume :
Pasien datang dengan keluhan epistaksis. Pasien juga mengeluh pusing. Pasien
mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 220/130, pulsasi 100 x/menit, rhinorrhea (+/(+),
perdarahan aktif (-)/(-). JVP tidak meningkat. Pemeriksaan fisik paru dan jantung dalam batas
normal. Tidak didapatkan defisit neurologis maupun gangguan nervus kranialis. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Rontgen thoraks dan EKG tidak ada
kelainan.
[21]
Pembahasan
1. Hipertensi Urgensi
Assesment :
Planing
Treatment
Non farmakologis
o Di rawat di ruangan
o Istirahat baring
o Diet rendah garam
o Tujuan pengobatan hipertensi emergensi adalah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan
dengan keadaan klinis penderita
Farmakologis
o Infus RL 10 tpm
o Amlodipine 10 mg 1 0 0
o Candesartan 8 mg 0 1 0
o Bisoprolol 5 mg - 0 - 0
o Menurunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam 1-12 jam,
setelah tidak ada tanda hipoferfusi organ penurunan dapat di
lanjutkan hingga 24-72 jam sampai mendekati normal
2. Epistaksis
Atas dasar : Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Pada umumnya
terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian
posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
[22]
Assesment :
Planing
Treatment
Farmakologis
[23]
VIII. Diagnosa
Epistaksis ec Hipertensi Urgensi
IX. Follow up
Tgl
Pemeriksaan
04-01-2016
T : 170/120 mmHg
P : 80x/menit
R : 20x/menit
S : 36,5C
Pusing (-), pandangan kabur (-), mual (-), muntah (-), kesemutan di
ekstremitas (-), BAB & BAK dbn.
Kesadaran : CM
Kepala : Normocephal
Mata : Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat
Tho :VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -,
gallop Abdomen : cembung, H/L tak membesar
Akral hangat +/+
Kekuatan otot 5/5, 5/5
GDP: 110 mg/dl (75-115 mg/dl)
GD2PP: 123 mg/dl (<200 mg/dl)
Terapi
Infus RL 10 tpm
Tampon hidung
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v
[24]
05-01-2016
T : 150/110mmHg
P : 81x/menit
R : 20x/menit
S : 36,4C
Kesadaran : CM
Keluhan (-)
Kepala : Normocephal
Mata: Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Hidung : perdarahan aktif (-)/(-)
Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat
Tho : VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -,
gallop Abdomen : cembung H/L tak membesar
Akral hangat +/+
Kekuatan otot 5/5, 5/5
Terapi lanjut
Aff tampon hidung, inj. As tranexamat & ketorolac stop
26-05-2015
T : 140/90mmHg
P : 80x/menit
R : 20x/menit
[25]
S : 36,6 C
Nyeri kepala (+), pandangan kabur (-), diplopia (-), mual muntah (+) 2x
Kepala : Normocephal
Mata: Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat
Tho : VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -,
gallop Abdomen : cembung H/L tak membesar
Akral hangat +/+
Hasil CT Scan:
Tidak tampak tanda perdarahan, infark maupun S.O.L
Terapi lanjut
X. Prognosis :
Quo ad vitam
: Dubia
Quo ad functionam
: Dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Pasien didiagnosis dengan epistaksis anterior. Berdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis
anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Pecahnya
Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior dikarenakan berbagai sebab seperti
trauma pada hidung, adanya benda asing, tumor jinak hidung, ataupun sebab sistemik seperti
adanya riwayat hipertensi. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, terjadinya epistaksis
dimungkinkan karena adanya riwayat hipertensi. Pleksus kiesselbach merupakan daerah
dimana rentan terjadi perdarahan karena daerah ini mempunyai pembuluh darah yang kecil
dan rapuh. Hipertensi dapat menyebabkan pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior
menjadi pecah karena tingginya tekanan darah di daerah tersebut.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon hidung (tampon anterior), ini
dilakukan untuk menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior
agar perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan pangkal hidung
untuk menghentikan perdarahan tersebut. Pemberian antibiotik ceftriaxone injeksi bertujuan
untuk mencegah terjadinya infeksi karena tampon dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam
traneksamat bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Pemberian ketorolac digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit.
Pemberian anti hipertensi pada pasien didasarkan pada diagnosis kerja hipertensi urgensi
karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan organ target. Pemberian obat
antihipertensi secara oral merupakan pilihan yang dapat diberikan pada pasien dengan
hipertensi urgensi. Pemilihan obat berdasarkan mekanisme kerja dan ketersediaan obat.
Amlodipine dipilih sebagai alternatif nicardipine yang merupakan pilihan pertama pada
pasien hipertensi urgensi yang berasal dari golongan calcium-channel blocker. Candesartan
dari golongan Angiotensin Receptor Blocker diberikan sebagai kombinasi dengan golongan
Calcium channel blocker agar penurunan tekanan darah dapat berlangsung lebih cepat.
Kombinasi obat ketiga adalah golongan antagonis adrenoseptor, yang dipakai adalah
bisoprolol karena bekerja pada reseptor beta-1 yang dimetabolisme terutama di hepar dan
memiliki waktu paruh yang panjang sehingga bisa dimanfaatkan efeknya untuk menurunkan
tekanan darah dalam waktu yang lebih lama.
[27]
DAFTAR PUSTAKA
1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol. 27, No.3,
Desember 2014.
2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh report of
the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and treatment of
high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human Services, National
Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute, NIH Publication.
2004; No.04-5230l.
3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and
emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:144-7.
4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M.
Current Medical Diagnosis and Treatment 55th edition. 2016. McGraw-Hill Education
5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report From
the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.
6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and
Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania Hospital.
University of Pennsylvania, Philadelphia.
7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of
Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306
8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22: 209219
9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-tenggorokleher. FKUI. 2001
[28]