Vous êtes sur la page 1sur 2

Annelies Mellema, istri Minke, telah berlayar ke Netherland.

Di Wonokromo, Mama
dan Minke sudah bebas keluar masuk rumah. Keadaan rumah itu masih dalam
suasana tidak menyenangkan. Mama sering meluapkan ketegangan syarafnya bila
berhadapan dengan polisi. Minke belum berminat untuk membaca, apalagi menulis.
Minke menemukan cincin Annelies pemberian Robert Suurhof. Dia bermaksud
mengembalikannya kepada keluarga Suurhof. Tuan Suurhof menolak cincin
tersebut. Cincin hasil curian Robert Suurhof kini berada di tangan polisi.

Panji Darman terus mengirimi surat perkembangan tugasnya memantau


keadaan Annelies selama perjalanan. Dia menulis bahwa selama perjalanan menuju
kapal di Pelabuhan, banyak orang yang bersimpati pada keluarga Mellema. Prajurit
prajurit pengawal rombongan Annelies menjadi sasaran makian, hinaan, dan
lemparan batu pribumi. Saat kapal berlayar, Panji belum bisa melihat keadaan
Annelies karena dia ditempatkan di ambin khusus dan penjagaan ketat serta tidak
pernah keluar. Baru setelah sampai pelabuhan Singapura, dia bisa melihatnya.
Annelies terlihat seperti mayat hidup, begitu rapuh dan seolah tidak ada kehidupan
di dalamnya. Panji berusaha memberitahu Annelies bahwa dia tidak sendiri. Namun
usaha itu ternyata diketahui perawat. Pegawai kapal mengizinkan Panji menemani
Annelies. Annelies tetap seperti mayat hidup. Sedikit demi sedikit Panji mulai
menggantikan tugas perawat mengurus Annelies. Akhirnya, Panji Darman
sepenuhnya menjadi perawat Annelies. Sampai di Netherland, Panji tetap
menemani Annelies dan merawatnya. Annelies sendiri sudah tidak menyadari
sesuatu, hanya Tuhan yang tahu keadaannya. Telegram terakhir Panji Darman,
mengucapkan ikut berdukacita atas meninggalnya Mevrouw Annelies.

Kehidupan terus berjalan tanpa Annelies, meninggalkan duka pada Mama


dan Minke. Hindia mulai digemparkan dengan berita bahwa kedudukan Jepang
sama dengan kedudukan Eropa, protes dimana mana, merasa terhina bahwa
Eropa disamakan dengan salah satu bangsa Asia. Meskipun kenyataannya saat itu
Jepang sudah maju ilmu dan pengetahuannya serta memiliki kapal perang yang
kuat. Hal ini memicu beberapa kelompok orang di beberapa bangsa Asia lain untuk
berusaha bangkit. Kebangkitan itu harus dimulai dengan mengenal bangsa sendiri.
Berbuat sesuatu untuk bangsa. Salah satunya seperti yang disarankan Jean Marais
terhadap Minke, bahwa Minke harus belajar menulis Melayu, karena itu bahasa yang
dapat dimengerti oleh seluruh bangsa di Hindia. Jean menilai Minke pandai menulis
Belanda tapi tidak mau menulis Melayu. Jean bertengkar dengan Minke karena hal
itu. Khouw Ah Soe, seorang Angkatan Muda Cina, diwawancara oleh pimpinan koran
S.N.v/ d D, Marteen Nijman. Dari sana terlihat bahwa Khow Ah Soe adalah salah
seorang pemuda Cina yang sedang berjuang untuk kebangkitan bangsanya,
Tiongkok.

Kejadian kejadian kurang menyenangkan terus dialami oleh Mama dan


Minke di Wonokromo. Khow Ah Soe diburu polisi Hindia dengan alasan
penyelundupan ilegal. Dia dipersilakan menginap di rumah dan menjadi sahabat
Minke. Banyak hal tentang perkembangan keadaan bangsa bangsa Asia yang
tidak dimuat di koran Hindia, Minke dapatkan dari Singkeh itu. Beberapa hari
setelah itu, Khouw Ah Soe diberitakan meninggal, tenggelam di danau jembatan
merah dengan tiga puluh tusukan. Kemudian, kedatangan surat Robert Mellema,
memberi berita segala yang ia alami dan lakukan, termasuk tentang kasus
pembunuhan ayahnya, Herman Mellema, dan anak yang dilahirkan pembantunya,
ternyata adalah darah dagingnya, Rono Mellema.

Letnan Kolonel Ir. Maurits Mellema, saudara tiri Annelies sekaligus


pemegang perwaliannya, datang ke Wonokromo mengantar bungkusan berisi koper
kaleng tua yang sudah cembung cekung sana sini dan baju bekas Annelies. Nyai
Ontosoroh dan Minke menyambutnya dengan sebutan pembunuh dan perampas
harta. Seluruh penduduk kampung di Wonokromo berduka, mengetahui majikannya
yang baik hati, Noni Annelies, dibunuh oleh saudara tirinya . . .

Vous aimerez peut-être aussi