Vous êtes sur la page 1sur 7

Analisis APBN 2011

Anggaran merupakan instrument paling penting dalam kebijakan ekonomi yang


dimiliki pemerintah Indonesia dan hal ini menggambarkan pernyataan komprehensif
tentang prioritas Negara. Sebagai warga negara, kita juga sangat bergantung pada negara
untuk menyediakan pelayanan yang krusial dan infrastruktur. Anggaran publik
merupakan bentuk hubungan antara warga negara pembayar pajak dan aparat.
Irene Rubbin, seorang ahli politik anggaran, menegaskan anggaran publik tidak
berbeda dengan anggaran lainnya. Yakni bagaimana membuat pilihan antara
kemungkinan-kemungkinan pengeluaran, keseimbangan dan proses memutuskannya.
Akan tetapi, anggaran publik memiliki tipikal yang berbeda, seperti bersifat terbuka,
melibatkan berbagai aktor dalam penyusunannya yang memiliki tujuan berbedabeda,
mempergunakan dokumen anggaran sebagai bentuk akuntabilitas publik, dan
keterbatasan yang harus diperhatikan (budget constraint).[3]
Terlibatnya beragam aktor sepanjang proses penganggaran, mulai dari
perencanaan dan penyusunan di lingkungan birokrasi, sampai pengesahaanya di DPR RI,
menjadikan anggaran sebagai arena kontestasi politik penting setelah Pemilu. Tidak
mengherankan, banyak pihak menilai anggaran sebagai proses politik arena perebutan
sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktoraktor di dalam lingkaran
sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang memiliki pengaruh
terhadap keputusan politik anggaran.[4]
Konsep hukum Keuangan Negara yang menjadi prioritas disebutkan antara lain sebagai
berikut:
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan
uang; serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.[5]
Sebagai salah satu instrumen Ekonomi seharusnya APBN mampu mendongkrak
kesejahteraan rakyatnya. Kenyataannya APBN Tidak berpihak pada Ekonomi riil
masyarakat.
Tahun ini Dana Pemerintah yang tidak terpakai akibat lambatnya penyerapan
anggaran hingga 8 Agustus 2011,[6] adalah sebesar Rp 117 triliun. Itu adalah kelebihan
pembiayaan yang belum jelas penggunaannya karena kementerian dan lembaga yang

mendapatkan pagu anggaran dalam APBN Perubahan 2011 belum membelanjakan secara
signifikan. Realisasi APBN Perubahan 2011 hingga saat ini masih mencatat Rp 54,7
triliun dan kelebihan pembiayaan Rp 117,1 triliun.
Ini menunjukkan belanja yang tidak optimal, ujar Pelaksana Tugas Kepala Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) Menurut, Kementerian Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro,
[7] anggaran yang tertahan di rekening pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia itu
bukan berarti pemerintah memberlakukan tight money policy (kebijakan pengetatan
uang). Namun, itu merupakan dampak wajar dari penyerapan anggaran yang sangat
lambat. Akibatnya, kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi masih
sangat rendah, yakni 4,5 persen.
Dari sisi lain salah satu penyebab korupsi terbesar di Indonesia adalah liarnya
partai politik dalam mencari sumber dana. Kevakuman hukum dimanfaatkan parpol
untuk mencari dana dari berbagai sumber. Salah satu sumber dana terbesar adalah APBN
yang tahun ini sekitar Rp 1.200 triliun. Meski tidak gampang dibuktikan, sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa parpol lewat anggotanya yang ditempatkan di Badan
Anggaran (Banggar) DPR leluasa membobol uang negara. Mafia anggaran bukan cerita
isapan jempol.[8]
Dana APBN cukup untuk membiayai parpol dan dampak positifnya jauh lebih
besar daripada parpol dibiarkan mencari sumber pendanaan seperti selama ini. Sebuah
studi menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir, dana APBN yang dirampok parpol lewat
orang-orangnya di DPR mencapai lebih dari Rp 130 triliun atau rata-rata sekitar Rp 18
triliun setahun. Sebuah jumlah yang luar biasa. Jika parpol dibiayai negara, dana APBN
yang disisihkan tidak lebih dari Rp 5 triliun setahun atau Rp 50 triliun untuk lima tahun
dengan asumsi 10 parpol yang lolos parliament threshold rata-rata mendapat jatah Rp 500
miliar setahun atau Rp 5 triliun selama lima tahun. Jika parliament threshold dinaikkan
lagi dari 2,5 persen menjadi 4 persen atau 5 persen, parpol yang layak dibiayai negara
akan tinggal sekitar lima atau enam. Saat ini terdapat sembilan parpol yang memiliki
wakil di Senayan.[9]
Berdasarkan,[10] Catatan hasil Survei Pelaku Usaha Tani 2009, jumlah rumah
tangga petani (padi, jagung, dan kedelai saja) berkisar 22 juta rumah tangga. Belum lagi
subsektor pertanian lainnya. Artinya, jika subsidi digelontorkan ke sektor pertanian ini,

setidaknya APBN akan memberikan efek penguatan hidup dan produktivitas sekitar 100
juta orang.
Berbicara kebijakan tentang subsidi hanyalah salah satu alokasi anggaran yang
cukup besar porsinya. Porsi anggaran paling besar adalah untuk belanja pegawai. Sekitar
60 persen dari total APBN plus APBD masuk kantong pegawai negeri di seluruh
Indonesia. Dana yang sangat besar ditransfer pemerintah pusat ke daerah, kebanyakan
dipakai untuk belanja pegawai. Bahkan, ada daerah yang menggunakan 75 persen APBDnya hanya untuk bayar pegawai.
Aliran dana terkait pembangunan Wisma Atlet untuk SEA Games di Palembang
terus berkembang. Dalam sidang dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang terungkap,
DPR RI dijatah 5 persen dari nilai proyek sebesar Rp 199,635 miliar atau sekitar Rp 9
miliar.[11] Jaksa Agus Salim yang membacakan dakwaan terhadap Rosa menyatakan,
terdakwa melakukan pertemuan dengan Muhammad Nazaruddin dan karyawan PT
Permai Grup membicarakan pembagian fee Proyek Pembangunan Wisma Atlet dan
Gedung Serba Guna dengan prosentase pembagian fee. Dalam pembagian tersebut, PT
Permai Grup (induk perusahaan PT Anak Negeri) memperoleh fee 18 persen.
Baru-baru ini kita mendengar berita 103 Trilyun APBN RI dirampok, mendengar
hal ini semua masyarakat Indonesia bertanya-tanya, Negara membiayai Partai Politik dan
keuangan negara hanya dinikmati elit politik di pemerintah dan DPR sedangkan
masyarakat hanya hidup dengan serba kekurangan, ironis, keuangan Negara bukan
digunakan untuk meningkatkan taraf hidup warga negaranya, Dan adalah sebuah
kenyataan bahwa ditingkat daerah elite politik pun demikian halnya sebagaimana di
pusat.
Belum lagi persoalan yang menyangkut perilaku birokrat, inefisiensi, kekurang efektifan
pelaksanaan program, tingkat kebocoran yang tinggi, meningkatnya jumlah pinjaman luar
negeri, defisit anggaran yang terus membesar, rencana anggaran pendapatan yang tidak
mencapai target, terus berkurangnya asset negara dan berbagai masalah lainnya yang
semakin menjauhkan kebijakan Politik Anggaran berpihak pada rakyat.
Tentu saja akibat buruk dari alokasi anggaran pembangunan yang sangat terbatas
itu, minim pula proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk memacu perputaran
roda-roda perekonomian. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, minimal 7 persen,

dibutuhkan untuk mengurangi secara signifikan penganggur dan kemiskinan yang masih
terus membelit puluhan juta warga di seluruh penjuru Nusantara.
Hampir semua kritik dari berbagai kalangan menuntut agar Pemerintah harus
berani mengembalikan arah politik anggaran ke jalur yang benar. Semua inefisiensi
dalam penganggaran, dari belanja kementerian dan lembaga, belanja daerah, hingga
subsidi yang tidak tepat sasaran, harus dipangkas. Dengan demikian, belanja modal dapat
ditingkatkan secara signifikan untuk menyediakan landasan pacu pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas. Bukan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati sejumlah kecil
penduduk. Kalau begitu, tidak berlebihan tuntutan untuk adanya komitmen dan
konsistensi kebijakan, terutama dalam penganggaran dengan menetapkan prioritas
pembangunan secara jelas dan tegas.

Analisis APBN 2011


Pemerintah Mengabaikan Rakyat, Memanjakan PejabatPemerintah selama ini
sering mengklaim bahwa APBN disusun untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan
pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan
mendukung kelestarian lingkungan.
Namun nyatanya, besaran APBN justru lebih untuk kepentingan birokrat, politisi
dan Pemerintah. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran pelesiran Pemerintah
pada 2011 membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp
24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.
Menurut FITRA, Pemerintah terkesan hendak menyembunyikan hal itu. Belanja
perjalanan yang biasanya diuraikan pada nomenklatur belanja barang, pada dokumen
Data Pokok APBN 2011 tidak lagi dicantumkan. Rupanya, untuk menghindari kritik
masyarakat atas membengkaknya belanja perjalanan, Pemerintah justru menutupi belanja
perjalanan ini, tegas Sekjen FITRA, Yuna Farhan.
Menurut Yuna, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap
tahunnya. Dalam APBN 2009, misalnya, alokasi belanja perjalanan hanya Rp 2,9
triliun. Namun, dalam APBN-P 2009 melonjak menjadi Rp 12,7 triliun, bahkan dalam
realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun. Lalu dalam APBN 2010, Pemerintah
menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp
19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).
Membengkaknya anggaran belanja perjalanan di APBN 2011 ini bukan semata
karena peran Pemerintah, tetapi DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah
harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Selama ini
para anggota DPR memperlihatkan salah satu hobi mereka: pelesiran, meski dengan judul
studi banding, dengan dana miliaran rupiah.
Sebagaimana diketahui, belanja perjalanan selama ini menjadi lahan subur
penghasilan baru pejabat. Berdasarkan hasil audit BPK pada Semester I 2010, belanja
perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Setidaknya
ditemukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas di 35 kementerian/lembaga senilai
Rp 73,5 miliar. Angka penyimpangan sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka itu
mengingat audit yang dilakukan oleh BPK beluk secara menyeluruh dan detil. Selain

biaya perjalanan, pada tahun ini juga ada rencana pembelian mobil dinas dengan total
mencapai Rp 32,572 miliar, selain biaya perawatan gedung yang mencapai Rp 6,1 triliun.
Di sisi lain, DPR telah memutuskan tetap membangun gedung baru. Gedung baru
itu akan dibangun 36 lantai dengan luas sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp
1,3 triliun.
Mengabaikan RakyatBerbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa keuangan
negara yang seharusnya dibelanjakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, justru
banyak digunakan untuk fasilitas dan kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah.
Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran
Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA,
Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN
P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk
menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data,
di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita
hanya

dialokasikan

sekitar

Rp

50

ribuan/balita/tahun

atau

sekitar

Rp

ribuan/balita/bulan.
Sebagaimana diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada sebanyak 31,02
juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Bisa jadi kondisi mereka sangat mengenaskan
seperti yang terjadi pada enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong,
Kabupaten Jepara, yang meninggal dunia akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat
dari bahan ketela pohon yang terpaksa mereka konsumsi karena kemiskinan dan
minimnya pendapatan mereka.
Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan
melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS,
pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi.
Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya.
Menutup Defisit dengan UtangBesarnya biaya perjalanan dan fasilitas birokrasi,
pejabat dan politisi itu semestinya bisa dipangkas sehingga setidaknya akan mengurangi
defisit APBN. Selama ini defisit APBN itu selalu ditutupi oleh Pemerintah dengan
mencari utang. Tahun ini pun Pemerintah berencana menerbitkan surat utang hingga 200
triliun. Padahal menurut data Utang Luar Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian
Keuangan dan Bank Indonesia (BI), tercatat hingga September 2010, utang Indonesia
sudah mencapai US$ 194,349 miliar (setara Rp 1.755 triliun dengan kurs Rp 9000

perdolar AS). (Detikfinance.com, 9/1/2011).


Tentu utang itu harus dibayar dengan uang APBN yang notabene adalah uang
rakyat karena hampir 80% APBN berasal dari pajak yang dipungut langsung dari rakyat
dan pendapatan dari kekayaan alam yang juga adalah milik rakyat. Di dalam APBN 2011,
pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247
triliun. Jumlah ini naik Rp 10 triliun dibandingkan tahun 2010. Pembayaran utang
tersebut menghabiskan pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat,
misalnya saja untuk anggaran subsidi pendidikan dan bahan bakar minyak (BBM).
Pragmatisme EkonomiBesarnya biaya perjalanan dan fasilitas untuk birokrasi,
pejabat dan politisi ini adalah cermin dari pandangan ekonomi Pemerintah seperti yang
diungkapkan oleh Presiden SBY: pragmatisme. Menurut Pengamat Kebijakan Publik
Ichsanuddin Noorsy, pragmatisme adalah ideologi yang membuat penganutnya tak mau
bersusah payah. Ujung dari pragmatisme adalah keuntungan individu sebagai segalagalanya. Jadi pusat kegiatan ekonominya adalah keuntungan pribadi, bukan
kesejahteraan bersama! (Mediaumat.com, 4/1/2011).
Lebih dari itu, itulah buah dari ideologi Kapitalisme-sekular yang dianut dan
diterapkan di negeri ini. Ideologi itu membuat penyelenggara negara tak lagi memiliki
rasa malu melakukan semua hal diatas. Sebab, semuanya itu dalam pandangan mereka
adalah legal dan bisa diatur.

Vous aimerez peut-être aussi