Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pancingan Media
Peristiwa penangkapan MA oleh Mabes Polri merupakan suatu proses hukum biasa untuk kasus
pencemaran nama baik dan pornografi. Kasus ini menjadi drama ketika aktornya adalah Jokowi
dan seorang buruh tusuk sate. Jokowi yang menjabat presiden tercitra sebagai pihak dominan dan
memiliki kuasa terhadap penangkapan seorang buruh tusuk sate sebagai rakyat kecil tertindas.
Saya mencoba mengamati beberapa judul portal media online yang memuat berita tersebut pada
tanggal 28 Oktober. Tempo.co menurunkan judul, Hina Jokowi di FB, Tukang Sate Ini Ditahan.
Okezone.com, Pria Ini Ditangkap Mabes Polri Setelah Bully Jokowi. Republika, Hina
Presiden Jokowi, Pembantu Tukang Satai Ditangkap Polisi.
Dalam penulisan judul, ketiga media tersebut menggunakan kalimat pasif ditunjukkan dengan
penggunaan kata ditahan dan ditangkap- yang artinya ingin lebih menonjolkan objek. Media
memposisikan pelaku sebagai pihak yang termarjinalkan dan tidak berdaya. Apalagi dalam judul
tidak disebutkan alasan penangkapan selain karena (meng)hina atau bully Jokowi.
Selanjutnya, meskipun di dalam isi berita sudah termuat bahwa yang ditangkap adalah penyebar
konten pornografi, mengapa judul tidak ditulis seperti ini, misalnya, Penyebar Pornografi yang
Menghina Jokowi Ditangkap Polisi? Media melakukan determinasi pada judul sehingga terkesan
seolah-olah Jokowi menzhalimi tukang sate.
Di sini kita harus menyadari bahwa penggunaan bahasa, pemilihan kata-kata, bahkan susunan
kalimat bukanlah sesuatu yang kebetulan muncul begitu saja dari media. Dr. Anis Badara dalam
buku Analisis Wacana menulis bahwa kita tidak hanya bisa berhenti pada bagaimana suatu isi
teks berita dihadirkan tetapi bagaimana dan mengapa pesan tersebut hadir.
Bukan Dunia Hitam Putih
Di dalam Al-Quran Surah Al-Hujuraat ayat 6 Allah telah memperingatkan kita akan selektif
dalam menerima informasi. Ayat tersebut berbunyi, Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Di era global seperti sekarang pertukaran informasi berlangsung cepat. Jangankan orang fasik,
menerima informasi dari saudara yang sangat dekat saja kita perlu memeriksa ulang. Mudahnya
jaringan komunikasi (jarkom), broadcast, dan semacamnya membuat orang lengah dan kurang
selektif. Terima berita, langsung sebar. Padahal isinya belum tentu benar. Pun kalau benar, oleh
media beritanya dikemas sedemikian rupa sehingga persepsi pembaca berbeda dengan realitas
yang asli.
Meski begitu, entah mengapa justru di era ini pemuda-pemudi muslim begitu mudah memberi
penilaian/sikap terhadap suatu berita dan menyebarkan ke sosial media. Pembelaan ke satu pihak
dan perlawanan kepada pihak lain dilakukan tanpa beban. Dalam kasus penghinaan di atas
misalnya, mereka yang kontra dengan Jokowi melakukan pembelaan terhadap MA. Apalagi kalau
membelanya bukan karena MA benar, tapi karena apapun kesalahan Jokowi itulah sasaran empuk
untuk dikritik.
Berdasarkan perbuatan yang dilakukan, tentu kita harus berpikir ulang untuk membela MA.
Bagaimana pun menyebarkan pornografi palsu untuk menghina seseorang bukanlah sesuatu yang
pantas dibela, terlebih bagi umat Islam. Hanya saja, karena aspek sosial-ekonomi keluarganya
perlu adanya pendampingan proses hukum. Sekali lagi bukan untuk membela perbuatannya.
Jangan sampai sikap kita terpolarisasi dengan mudah tanpa dasar yang jelas.
Ironi Dunia Tanpa Kasta
Penyikapan terhadap MA begitu dilematis. Sebagai seorang pemuda berusia 24 tahun, dia sudah
tahu mana yang baik dan buruk. Tapi berdasarkan pengakuannya, perbuatannya dilakukan karena
iseng. Di sisi lain, dia adalah tulang punggung keluarga kecil yang hidup jauh dari kata cukup.
Keisengannya menjadi problema tambahan bagi keluarganya.
MA adalah potret banyak anak muda di negeri ini. Anak muda yang sangat bahagia memiliki
kebebasan berekspresi di dunia tanpa kasta, sosial media. Di sosial media tukang becak bisa
menyapa presiden. Di sana pula si pemalu bisa ngomong dengan cerewetnya. Di sosial media
tidak ada hegemoni penguasa. Setiap orang bisa bicara apa saja. Nyatanya, memang yang
dibicarakan apa saja, mulai dari ayat suci sampai sumpah serapah.
Kanjeng Nabi saw. pernah bersabda, Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah dia berkata baik atau diam.. Harusnya dari pesan beliau kita bisa mengambil
hikmah: meskipun kita memiliki kebebasan berbicara (freedom of speech), ada baiknya kita tetap
menjaga diri agar tidak mengatakan atau menulis sesuatu yang sia-sia. Karena perkataan memiliki
implikasi keimanan.