Vous êtes sur la page 1sur 3

Buat anak2 n cucu2 kita ...

5 alasan knapa saat ini 400 rb lulusan S1 dinegeri ini menganggur...


Ya benar, data terkini menunjukkan sebanyak 400 ribu lulusan sarjana S1
menganggur. Setiap hari mereka berjibaku mengirim lamaran kerja, berdesakan
di setiap acara Job Fair sekedar mengambil formulir pendaftaran. Dengan peluh
di sekujur tubuh. Dengan wajah kusut dan rasa frustasi.
Tak ada yang lebih pedih daripada menjadi seorang pengagguran. Apalagi
pengangguran terdidik. Masa kuliah 4 atau 5 tahun seperti terbuang sia-sia, juga
biaya kuliah puluhan juta dari orang tua.
Harga diri seorang yang jobless juga bisa termehek-mehek. Apalagi kalo nanti
pas lebaran ditanya, oh sudah lulus ya, sekarang kerja dimana. Masih
pengangguran bude. Pedih. Galau.
Jadi kenapa 400 ribu lulusan Sarjana S1 jadi pengangguran? Ada setidaknya lima
alasan atau faktor kunci yang bisa menjelaskan kenapa banyak sarjana S1 yang
jadi pengangguran. Mari kita bedah satu demi satu.
Jobless Factor # 1 : Low Economic Growth. Pada akhirnya, elemen ini adalah
salah satu faktor kunci yang menentukan angka pengangguran sebuah negara.
Sejatinya, berdasar rumus standar internasional, angka pengangguran di
Indonesia hanya sekitar 5.81%, masih relatif bagus, dibanding misalnya angka
pengangguran di Perancis yang tembus 9% atau bahkan di Spanyol yang lebih
ngeri, 23%.
Idealnya, angka pengangguran itu sebaiknya 3%. Kalau lebih rendah malah bisa
bahaya, karena industri atau perusahaan akan sangat kesulitan mencari tenaga
kerja baru.
Nah untuk mencapai angka pengangguran yang ideal, butuh pertumbuhan
ekonomi yang mak nyus, atau sekitar 8 10%.
Data terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4.7%. Masih jauh
dari harapan. Btw, di negara-negara maju, pertumbuhan ekonomi sebesar 3%
sudah dinilai sangat bagus.
Untuk negara emerging countries seperti India, China dan Indonesia,
pertumbuhan yang dianggap fenomenal adalah 7% keatas (India dan China bisa
melakukannya berulang kali. Indonesia belum).
Pertumbuhan ekonomi yang kurang bagus membuat industri dan perusahaan
enggan melakukan ekspansi. Artinya kebutuhan tenaga kerja baru juga stagnan.
Muncul-lah barisan masif pengangguran Sarjana S1.

Jobless Factor #2 : Overqualified Skills. Secara mengejutkan data menunjukkan


secara persentase, jumlah lulusan S1 yang menganggur ternyata lebih tinggi
dibanding lulusan SMK/SMA atau bahkan SLTP (maksudnya dari total lulusan
Sarjana, persentase yang menganggur lebih banyak dibanding lulusan
SMA/SMK).
Dengan kata lain, secara persentase, lulusan SMA/SMK lebih banyak yang
terserap dalam lapangan kerja dibanding lulusan S1 (waduh, ngerti gitu dulu
ndak usak kuliah yak. Uhuk).
Kenapa bisa begitu? Simpel : karena kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan
banyak industri di tanah air ya cukup sebatas lulusan SMK/SMA.
Ribuan pabrik di Indonesia masih berada pada level tukang jahit, belum
melangkah ke fase yang lebih advance. Karena kelasnya masih hanya tukang
jahit, ya butuhnya cukup lulusan SMA/SMK. Ngapain lulusan S1. Nanti malah sok
gengsi dan minta gaji mahal. Uhuk.
Demikian juga, di sektor perdagangan. Ribuan toko yang ada di pasar, mal, dan
ruko hanya butuh penjaga toko yang lulusan SMA saja. Memang lulusan S1 mau
suruh jaga toko HP di Roxy? Malu keleus.

Jobless Factor #3 : Too Many Social Graduates. Di tanah air ini mungkin terlalu
banyak lulusan jurusan sosial humaniora (ekonomi, manajemen, hukum, sospol,
sastra, dst, dst).
Di hampir semua kampus di Indonesia pasti ada fakultas Hukum dan Ekonomi.
Padahal mungkin kebutuhan lulusan dua fakultas ini tidak sebanyak pasokan
jumlah sarjana yang lulus. Over supply. Akhirnya jadi pengangguran.
Demikian juga, ribuan sarjana sosial lulus, dan menemui fakta bahwa gelar yang
mereka pegang ternyata tidak laku di pasaran. Akhirnya jadi pengangguran lagi.
Di sisi lain, sebenarnya kita sangat kekurangan jumlah sarjana teknik
(engineering). Kita kekurangan sekitar 120 ribu insinyur padahal ada ribuan KM
jalan raya dan ribuan megawatt listrik yang akan dibangun. Masak yang harus
bangun jalan tol dan listrik, lulusan Sarjana Sastra Jawa.
Btw, studi World Bank menunjukkan jumlah lulusan engineering sebuah negara
berbanding lurus dengan kemajuan bangsa itu. Secara persentase, lulusan
sarjana teknik di Jepang, Korea, Taiwan dan China sangat tinggi. Tak heran
mereka jadi negara maju.
Jobless Factor #4 : Stupid Graduates. Selain faktor-faktor makro seperti diatas,

mungkin banyak pengangguran karena faktor sarjananya sendiri yang tulalit.


Maksudnya banyak lulusan Sarjana S1 yang hanya modal teori doang namun
minim life skills yang mumpuni.
Wajar kalau mereka jadi pengangguran. Mungkin karena di era digital sekarang
ini, mayoritas mahasiswa lebih asyik baca status di social media daripada belajar
tentang berbagai aktivitas yang mengasah life skills.

Jobless Factor #5 : No Wow Factor. Oke ini adalah faktor yang terakhir. Kalau
faktor yang keempat menyangkut aspek kognitif (daya intelektualitas dan
penguasaan ilmu dan teori), maka faktor yang kelima ini menyangkut hasil nyata
: kebanyakan sarjana nganggur karena memang sama sekali tidak punya
something wow.
Hidupnya datar-datar saja, dan terlalu mainstream. Sudah penguasaan teorinya
buruk, ditambah selama menjadi mahasiswa selama 4 5 tahun, tidak pernah
menghasilkan sesuatu yang layak dijadikan penambah nilai jual dihadapan tim
rekrutmen (mungkin saat jadi mahasiswa kerjanya cuma setor muka kuliah,
pulang ke kosan, main game, sibuk socmed, hahahihi, setor muka kuliah lagi,
begitu terus sampe lulus).
Wong ndak punya something wow dan penguasaan teori buruk kok bermimpi
diterima kerja di Chevron atau Citibank dengan gaji pertama langsung 10
juta/bulan. Gaji 10 juta dari Hongkong ?!!
Wow Factor ini memang tidak mudah direngkuh. Mungkin dibutuhkan kreativitas,
daya juang, resourcefulness dan ketekunan untuk menciptakannya.
Sayangnya, 95% mahasiswa tanah air mungkin tidak punya elemen-elemen
pembentuk wow factor itu. Tanpa wow factor, seorang lulusan sarjana tidak akan
bisa stand out above the crowd.
Nasib dia akan sama dengan 400 ribuan sarjana lainnya : masuk jadi penambah
angka statistik pengangguran.
DEMIKIANLAH, lima faktor atau alasan kunci kenapa ratusan ribu lulusan Sarjana
S1 jadi pengangguran.
Sebagian karena alasan makro, sebagian karena faktor kompetensi diri para
lulusannya sendiri.
Pesan terakhir bagi mereka yang mungkin masih jadi pengangguran, atau adik,
keponakan, teman atau saudara Anda yang masih jobless.

Vous aimerez peut-être aussi