Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I

PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivititas, akan tetapi dapat
bersifat

menetap

dan

mengganggu

aktivititas

bahkan

kegiatan

harian.

Produktivititas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat


menimbulkan disability

(kecacatan),

sehingga

menambah

penurunan

produktivititas serta menurunkan kualititas hidup (PDPI,2003).


Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika
Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di
rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.
Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA,2006).
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,
menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan.
Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000
kematian akibat asma. Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit
alergi lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih
berupa

upaya

penurunan

frekuensi

dan

derajat

serangan,

sedangkan

penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (PDPI, 2006).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas
namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2010).
B. FAKTOR RISIKO
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan

atau

menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan


yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu

dengan genetik asma,


baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

(Amu, 2006)

Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan (Baratawidjaja, 2006).
Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
Faktor lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat-obatan tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
4

d.
e.
f.
g.
h.

Ekspresi emosi berlebih


Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
Exercise-induced asthma
Perubahan cuaca

C. PATOFISIOLOGI
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan
epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot
polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik
yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi
sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam
rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada
jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah
oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong
inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar selsel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT),
platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain.
Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat
menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi selsel

radang,

hipersekresi

mukus,

keluarnya

plasma

protein

melalui

mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan


hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.

Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf


otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus,
sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk
ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan
sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan
pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi
(Sundaru, 2006).

Gambar 1. Patofisiologi asma


D. DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan penanganan


penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis ditemukan gejala
berupa sesak episodik, mengi (wheezing), batuk kronik berulang dan dada
terasa sakit/sesak. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.
Pemeriksaan status alergi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit
alergi lain pada pasien maupun keluarganya seperti rhinitis alergi. Pengukuran
respons dapat membantu diagnosis pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal.
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari
episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Melalui pemeriksaan fisik
pasien asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks dan ditemukan
perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat ditemukan pasien
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada, napas cepat
hingga sianosis, juga kesulitan bernapas. Ekspirasi memanjang dan mengi
dapat ditemukan saat dilakukan auskultasi pada pasien asma. Dalam praktek
sehari-hari jarang ditemui kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi
sering pula dijumpai pasien non-asma yang mempunyai mengi, sehingga
pemeriksaan penunjang diperlukan dalam menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana
untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon pengobatan
menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta. Dinyatakan asma bila
didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik pertama / VEP1 sebanyak .
12% atau (200ml). Bila respon yang didapat 12% atau (200ml) belum pasti
menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat
dijumpai pada pasien yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati
normal.
Peak expiratory flow/ volume ekspirasi paksa dapat diukur menggunakan
alat Peak flow meter/ PFM yang merupakan alat penunjang diagnosis dan
monitoring asma. Alat ini relatif murah, praktis, dan ideal digunakan pasien

untuk menilai obstruksi jalan napas di rumah. Pemeriksaan spirometri tetap


lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif
dibanding spirometer untuk diagnosis obstruksi saluran napas. PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat sebagai alat monitoring asma bukan
sebagai alat diagnostik utama.
Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas
bronkus dapat dilakukan jika pemeriksaan spirometri normal. Beberapa cara
melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin, metakolin, kegiatan
jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Dianggap
bermakna bila didapat penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih. Uji kegiatan
jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari cepat selama 6 menit
sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap
bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Respirasi) paling
sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk diagnosis penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan VEP1.
Foto dada / X-ray thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di
paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, dan lain-lain.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma
diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.
Tabel 1. Klasifikasi Asma
Derajat Asma
Gejala
Gejala Malam
Intermitten
Gejala <1x/minggu
2x sebulan
Tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat
Persisten
Ringan

Gejala >1x/minggu >2x sebulan


tapi <1x/hari

Faal Paru
VEP1 80% nilai
prediksi
APE
80%
nilai
terbaik
Variability APE <20%
VEP1 80% nilai
prediksi
APE
80%
nilai

Persisten
Sedang

Gejala setiap hari


Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator tiap
hari
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas

Persisten
Berat

>1x seminggu

Sering

terbaik
Variability APE 20%30%
VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai
terbaik
Variability APE >30%

VEP1 <60% nilai


prediksi
APE <60% nilai
terbaik
Variability APE >30%
(PDPI, 2003)

E. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan

dalam

melakukan

aktivitas

sehari-hari.

Pada

prinsipnya

penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:


1. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan
bantuan medis segera. Penanganan harus cepat dan sebaiknya
dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk
mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien
dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat
serangan,

gejala,

pemeriksaan

fisis

dan bila

memungkinkan

pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat.


Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan
laboratorium

yang

dapat

menyebabkan

keterlambatan

dalam

pengobatan/tindakan.
2. Penatalaksanaan Asma Kronik
9

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem


penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi
kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan
pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta
mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator
merupakan

pengobatan

saat

serangan

untuk

mengatasi

eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.


Terapi farmakologis asma ditujukan untuk mengatasi dan
mencegah gejala obstruksi jalan napas terdiri atas pengontrol
dan pelega. Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang
untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai
dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk
obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis -2 kerja lama, inhalasi
Agonis -2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Pelega (Reliever) prinsipnya bekerja untuk dilatasi jalan


napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti

mengi,

memperbaiki

rasa

inflamasi

berat
jalan

di

dada

dan

napas

atau

batuk,

tidak

menurunkan

hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah :


Agonis -2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik (Steroid sistemik digunakan
sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator
yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,

10

penggunaannya

dikombinasikan

dengan

bronkodilator lain)
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin
(PDPI,2003)

Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi Oksigen

Initial Treatment
en smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi 2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik glukokortikosteroid, sedatif di kontra

Re-Assesment setelah 1 jam


Pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2
Kriteria episode moderate (sedang) : Kriteria episode severe (berat)
Gambar
2. Diagram Penatalaksanaan
Asma
Akut di RS
PEF 60-80% nilai
prediksi/terbaik
PEF <60%
nilai Eksaserbasi
prediksi/terbaik
Tes Fisik : Gejala moderate, penggunaan otot
Gejala
bantu
berat
nafas
timbul pada waktu istirahat
Treatment
Riwayat faktor resiko yang mendekati asma lanjut
O2
Treatment
Inhalasi 2-agonist+antikolinergik tiap jamO2
Oral glukokortikosteroid
Inhalasi 2-agonist+antikolinergik tiap jam
Lanjutkan selama 1-3 jam
Sistemik glukokortikosteroid
Injeksi IV magnesium

Re-Assesment setelah 1 jam


Respon baik :
Respon inkomplit (1-2 jam):
Respon buruk (1-2 jam):
PEF >70%
Gejala ringan-sedang
PEF<30%
SO2 >90%
PEF<60%
PCO2>45mmHg
Tidak ada distress pernafasan
SO2 tidak ada perubahan PO2<60mmHg
Acute care setting:
Intensive Care (ICU) :
O2
O2
Perubahan : kriteria pulangInhalasi 2-agonist+antikolinergik
Inhalasi 2-agonist+antikolinergik
PEF >60%
IV magnesium
Pertimbangkan IV 2-agonist
Obat oral/inhalasi
Monitor PEF, SO2, nadi
Pertimbangkan IV teofilin
Lanjutkan 2-agonist
Intubasi dan ventilasi mekanik
Pertimbangkan oral glukokortikosteroid
Pertimbangkan kombinasi inhalasi Re-Assesment
Edukasi

11

Respon buruk : ICU


Perbaikan
Respon inkomplit dalam 6-12 jam : pertimbangkan ICU

(PDPI, 2003)
Gambar 3. Penatalaksanaan berdasarkan berat asma (PDPI, 2003)

12

BAB III

13

ILUSTRASI KASUS

A IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. D
Usia
: 44 tahun
Alamat
: Palur Karanganyar
Agama
: Islam
Status
: Belum menikah
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
No. RM
:B ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari yang lalu disertai
batuk berdahak bewarna bening kental, rasa tertekan didada dan mengi. Mulai
muncul setelah kedinginan akibat kehujanan. Pasien ada riwayat asma
sebelumnya dan mengaku mengkonsumsi salbutamol apabila sesak muncul
tetapi obat pasien sudah habis. Sesak napas timbul apabila terpapar dengan
suasana dingin, debu dan asap rokok. Sesak napas dirasakan mengganggu
aktivitas dan tidur. Dalam 6 bulan terakhir, sesak napas dirasakan lebih 1 kali
dalam seminggu tetapi tidak lebih 1 kali dalam sehari, dan saat malam
hari lebih 2 kali dalam sebulan. Sesak terasa berkurang dalam posisi duduk.
Pasien masih bisa tidur tanpa meninggikan bantal. Tidak demam, tidak
ada riwayat demam, nyeri dada tidak ada, tidak mual, tidak muntah, tidak ada
jantung berdebar. Batuk

lama

dan

keringat

malam

disangkal.

Saat

dianamnesis,pasien berbicara dengan kalimat yang terputus-putus. BAB dan


BAK normal.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:
Riwayat serupa
Riwayat alergi

: pasien punya riwayat asma sejak +18 tahun yang lalu


: cuaca dingin, debu

Riwayat pengobatan OAT : disangkal


Riwayat trauma

: disangkal
14

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat serupa

: Nenek pasien menderita asma

RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Pasien adalah ibu rumah tangga, merokok disangkal , minum alkohol
disangkal, obat-obatan terlarang disangkal
C PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sakit sedang, gizi kesan cukup
Vital sign
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 30x/menit
Suhu : 36,2 C
1. Kepala

Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban

2. Mata

(-), mudah rontok (-), luka (-)


Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), SI(-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema

3. Telinga

palpebra (-/-), strabismus (-/-)


Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan

4. Hidung

mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), Berdenging(-)


Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi

5. Mulut

penghidu baik
Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-),

6. Leher

lidah tifoid (-),stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)


JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah,
simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
limfonodi cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena
leher (-)
15

7. Thorax

Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan


=

kiri,

retraksi

intercostal

(-),pernafasan

torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB


axilla (-/-), atropi m pectoralis (-)
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Iktus kordis tidak tampak


Iktus kordis tidak kuat angkat
Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra

Auskultasi

konfigurasi jantung kesan tidak melebar


HR : kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II, bising (-),
gallop (-).

Pulmo :
Inspeksi

Normochest, simetris, sela iga

melebar (-), iga

mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga


Palpasi

melebar, retraksi intercostal (-)


Simetris. Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =

Perkusi
Auskultasi

ki, fremitus raba kanan = kiri


sonor / sonor
Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan

Punggung

wheezing (+/+) di seluruh lapangan paru


kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-),

Abdomen :
Inspeksi

Dinding perut lebih besar dari dinding thorak, distended

Auscultasi
Perkusi
Palpasi
Genitourinaria

(-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)
Peristaltik (+) normal
Timpani
Supel,nyeri tekan (-)
Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

16

Ekstremitas

Akral dingin
_
_
_
_

Odem
_
_
_ _

D RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


Foto Rotgen
Spirometri
E DIAGNOSIS
Asma brokial serangan akut dalam asma persisten ringan
F TATALAKSANA
1 Tujuan
a Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b Mencegah eksaserbasi akut
c Meningkatkan dan mempertahankan faal paru
2 Terapi
O2 3 L/menit melalui kanul nasal
Nebulizer ventolin
Pemberian dengan jarak +20 menit dalam satu jam, dievaluasi 1-2 jam

kemudian
Dexamethasone tab mg 0,5 3x1
Ambroxol tab mg 30 3x1
Pengobatan Lanjut
Edukasi pasien
Salbutamol tab mg 2 3x1
Dexamethasone tab mg 0,5 3x1
Resep
R/ Salbutamol tab mg 2 No X
S 3 dd tab 1
A
R/ Dexamethasone tab mg 0,5 No.X
S 3 dd tab 1
A
Pro: Nn.S ( 22 th)

17

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
A. Agonis -2
Agonis adrenergik atau simpatomimetik diberikan untuk terapi pada
asma, bronkitis, empisema dan berbagai penyakit paru obstruksi lainnya. Obat
simpatomimetik terdiri dari dua cara kerja yaitu short-acting (salbutamol,
terbutalin sulfat, bambuterol hidroklorida, fenoterol hidrobromida) dan longacting (formeterol fumarat, salmeterol). Efek karakteristik terbaik dari agobis
adrenergik pada jalan napas adalah relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan bronkodilatasi.
Beta adrenergik dapat diberika secara oral, subkutan, intravena atau secara
inhalasi. Pemberian terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi oleh karena
penyerapan akan lebih baik dan tepat sasaran dan juga untuk meminimalisir efek
samping.
Agonis adrenergik merupakan obat utama pada penyakit asma dan
PPOK. Pada asma, short acting agonis adrenergik digunakan sebagai terapi pada
gejala akut dan untuk mencegah spasme bronkus. Sedangkan long acting agonis
adrenergik digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan asma yang

18

sedang hingga berat dimana biasanya diberikan bersamaan dengan inhalasi


kortikosteroid.
Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b 2 di trachea
(batang tenggorok) dan bronkus, yang menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim
ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi
cyclic-adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang
digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam
sel menghasilkan beberapa efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan
mediator oleh mast cells.

Salbutamol
Dosis : 3-4 dd 2-4 mg. Inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada
serangan akut 2 puff yang dapat diulang setelah 15 menit. Pemberian i.m
atau s.c 250-500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam.
Efek samping : jarang terjadi, biasanya biasanya berupa nyeri kepala,
mual dan tremor tangan. Pada overdosis dapat terjadi stimulasi reseptor -1
dengan efek kardiovaskular : takikardi, palpitasi, aritmia dan hipotensi. Oleh
karena itu jangan memberikan inhalasi dalam waktu yang terlalu singkat
karena dapat terjadi takifilaksis yaitu efek obat menurun dengan pesat pada
penggunaan yang terlalu sering.
Ventolin Nebules

Komposisi

: Salbutamol sulfate

Indikasi

: Penanganan & pencegahan serangan asma.

Penanganan rutin bronkospasme kronik yg tdk memberi respon


terhadap terapi konvensional; asma berat akut (status asmatikus).

Dosis

: dewasa dan anak-anak awal 2.5 mg, lalu dpt

ditingkatkan s/d 5mg, dapat diulangi 4x/hr dg nebulizer. Obstruksi


sal napas berat dewasa sampai dengan 40 mg/hr.

19

Kontra indikasi : Abortus yg mengancam selama kehamilan


trimester 1 & 2. Penanganan persalinan prematur misalnya plasenta
previa, perdarahan antepartum atau toksemia gravidarum.

B. Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah glukokortikoid turunan prednisolon yang
mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya.
Metilprednisolon

tidak

mempunyai

aktivitas

retensi

natrium

seperti

glukokortikosteroid yang lain. Kinerja obat ini adalah menekan sistem


kekebalan tubuh untuk mengurangi gejala peradangan seperti pembengkakan,
nyeri, dan ruam. Obat ini dapat digunakan untuk menangani peradangan atau
inflamasi

dalam

berbagai

penyakit,

misalnya penyakit

Crohn, kolitis

ulseratif, alergi, artritis reumatoid, asma, serangan multiple sclerosis, serta


jenis-jenis kanker tertentu.
Indikasi pengguaannya pada abnormalitas fungsi adrenokortikal,
penyakit kolagen, keadaan alergi dan peradangan pada kulit dan saluran
pernafaan tertentu, penyakit hematologik, hiperkalsemia sehubungan denga
kanker. Kontra indikasinya meliputi keadaan infeksi jamur sistemik pada
pasien hipersensitif. Pemberian kortikosteroid yang lama merupakan
kontraindikasi pada ulkus duodenum dan peptikum, osteoporosis berat,
penderita dengan riwayat penyakit jiwa, herpes. Pasien sedang diimunisasi.
Dosis awal bervariasi antara 448 mg/hari tergantung pada jenis dan
beratnya penyakit, serta respon penderita. Bila telah diperoleh efek terapi yang
memuaskan, dosis harus diturunkan sampai dosis efektif minimal untuk
pemeliharaan. Pada situasi klinik yang memerlukan methylprednisolone dosis
tinggi termasuk multiple sklerosis : 160 mg/hari selama 1 minggu, dilanjutkan
menjadi 64 mg/hari selama 1 bulan menunjukkan hasil yang efektif.
Jika selama periode terapi yang dianggap wajar respon terapi yang diharapkan
tidak tercapai, hentikan pengobatan dan ganti dengan terapi yang sesuai.
Setelah pemberian obat dalam jangka lama, penghentian obat sebaiknya
dilakukan secara bertahap. Pemberian obat secara ADT (Alternate-Day
Therapy) : adalah rejimen dosis untuk 2 hari diberikan langsung dalam 1 dosis

20

tunggal pada pagi hari (obat diberikan tiap 2 hari sekali). Tujuan dari terapi ini
meningkatkan farmakologi pasien terhadap pemberian dosis pengobatan
jangka lama untuk mengurangi efek-efek yang tidak diharapkan termasuk
supresi adrenal pituitari, keadaan :Cushingoid, simptom penurunan
kortikoid dan supresi pertumbuhan pada anak.
Efek samping :
Saluran pencernaan : tukak lambung dengan kemungkinan perforasi
dan pendarahan, pankreatitis, distensi abdominal dan esofagus
ulseratif.
Muskuloskeletal : otot lemas, miopati steroid, kehilangan massa otot,
osteoporosis, kompressi fraktur vertebral, fraktur patologik pada tulang
panjang dan osteonekrosis.
Dermatologi : impaired wound healding, thin fragile skin, eritema
pada wajah dan keringat bertambah.
Sistem saraf : sakit kepala, vertigo, kejang, tekanan intrakranial
bertambah dengan edema papil (pseudo tumor).
Gangguan cairan dan elektrolit : retensi cairan dan natrium (edema)
jarang terjadi karena hanya sedikit mempunyai efek mineralokortikoid.
Edema ini dapat terjadi pada pasien yang terganggu kecepatan
glomerulusnya, hipokalemia, hipertensi serta gagal jantung bawaan.
Endokrin : penekanan pertumbuhan pada anak-anak, insufisiensi
adrenal sekunder (khususnya pada waktu stress karena trauma dan
pembedahan), menstruasi tidak teratur.
Mata : katarak supkapsular posterior, tekanan intraokuler bertambah
(kadang-kadang), glaukoma dan eksoftalmos.
Metabolik : keseimbangan nitrogen negatif (karena metabolisme
protein).
Pada penatalaksanaan asma Glukokortikosteroid sistemik diberikan
untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali
serangan ringan (bukti A), terutama jika :

Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan

awal tidak memberikan respons


Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan

21

Serangan asma berat

Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena,


pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada
penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi
gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian intravena.
Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai
perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik
metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya
adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg
metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat (bukti B).
Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari .
Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu
terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu.
C. Ambroxol
Ambroksol, suatu metabolit aktif bromheksin diduga sama cara kerja
dan penggunaannya. Ambroksol bekerja dengan cara menurunkan viskositas
sekresi mukus dengan cara memecah rantai mukopolisakarida.
Struktur

kimianya

ialah:

N-cyclohexyl-N--methyl--(2--amino--

3,dibromobenzyl)--amonium chloride.

Struktur kimia Ambroxol


Mekanisme kerja
Ambroksol mempunyai sifat mukokinetik dan sekretolitik. Ambroksol
meningkatkan pembersihan sekresi yang tertahan pada saluran pernapasan
dan menghilangkan mukus statis, memudahkan pengenceran dahak.
Ambroksol

dilaporkan

mempunyai

aktivitas

penghambatan

sitokin

22

proinflamasi,

menurunkan

inflamasi

paru

dan

mempercepat

proses

penyembuhan paru.
Indikasi
Penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial,
antara lain: bronkiektasis, bronkhitis, bronkhitis asmatik dan asma bronkial.
Dosis
a

Dewasa: 30-120 mg/hari dibagi dalam tiga dosis.

Anak-anak 5-12 tahun: sehari 3 kali 15 mg.

Anak-anak 2 - 5 tahun: sehari 3 kali 7,5 mg.

Anak-anak dibawah 2 tahun : sehari 2 kali 7,5 mg.

Dosis

dapat

dikurangi

menjadi

kali

sehari, untuk pengobatan

yang lama. Harus diminum sesudah makan.


Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ambroksol. Pemakaian
trimester

pertama

pada

kehamilan

tidak dianjurkan. Pemakaian selama menyusui

keamanannya belum diketahui dengan pasti.


Efek Samping
Efek samping yang ringan pada saluran pencernaan: nausea
dan vomitus dilaporkan pada beberapa pasien. Reaksi hipersensitivitas. Dari
penelitian, diketahui bahwa ambroxol dapat menginduksi ALI (acute lung
injury).
Interaksi Obat
Kombinasi ambroksol dengan obat-obatan lain dimungkinkan,
terutama yang berhubungan dengan sediaan yang digunakan sebagai obat
standar untuk sindroma bronkitis (glikosida jantung, kortikosteroid,
bronkospasmolitik, diuretik dan antibiotik).

23

BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Gejalanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas
namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan.
2. Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Terapi farmakologis asma ditujukan untuk mengatasi
dan mencegah gejala obstruksi jalan napas terdiri atas
pengontrol dan pelega.

24

DAFTAR PUSTAKA
Amu FA, Yunus F. Asma Pra Mentruasi, Departemen Pulmonologi Respirasi,
FKUI-RS Persahabatan. Jakarta, Respir Indo Vol:26 No1, 1 Januari 2006 ;
28.
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati,Sundaru H, Siregar
SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh
WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai:
Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.
Danusaputro H. Ilmu Penyakit Paru, 2000 ; 197 209.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2010.
Handayani D, Wiyono WH, Faisal Y. Penatalaksanaan Alergi Makanan. J.Respir
Indo 2004 ;24(3) 133-44.
Naning R. Prevalensi Asma pada murid Sekolah Dasar di Kotamadya
Yogyakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UGM, RSUP Dr. sarjito,
Yogyakarta 1991.
Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit
EGC. 1996:775.
Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:PDPI
Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC, 1995 ;
689.
Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247.
Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI

25

Vous aimerez peut-être aussi