Vous êtes sur la page 1sur 11

Asal Usul Mandailing Tidak dari Batak Toba

Mandailing ditinjau dari Sejarah Asal Usul Mandailing bukan Batak berdasarkan
kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama. Patut di ingat, catatan ini adalah kitab
tertua yang pernah ada di Indonesia dan diakui kebenarannya oleh UNICEF dan
dunia ilmiah. Artinya, jika seseorang tidak percaya kebenarannya, secara
intelektual ia akan "masuk neraka".

Dalam kitab tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa


mandailing) mencatat banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang
ditaklukkannya. Mpu Prapanca menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk
di dalamnya; Mandailing, Pane (Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba,
Mandailing dan Barus dikategorikan rumpun Melayu. Tidak ada BATAK pada
saat itu. Tidak dijumpai terminologi Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta) atau
bahasa yang dikenal dan difahami antar bangsa saat itu. Referensi yang paling
diterima dan masuk akal menyebutkan bahwa istilah Batak untuk memanggil satu
kaum baru muncul kemudian oleh orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab
kepada penduduk pedalaman.

Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif,


dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir
dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara
Sibolga dan Tarutung.

Batak memakan daging manusia, adalah fakta historis di masa lalu. Kini, setelah
batak menyerap agama Kristen, kanibalisme pun perlahan ditinggalkan.

Memakan daging manusia oleh manusia diistilahkan dengan kanibalisme.


Kanibalisme banyak terjadi di beberapa peradaban manusia. Pada masa lalu di
kepulauan Pasifik seperti Fiji, kanibalisme sering dilakukan penduduk setempat.
Menurut novel sastrawan, China pernah mengalami kelaparan hebat setelah
perang yang berkepanjangan di masa Mao Tze Tung dan ketika itu hampir tidak
ada yang bisa dimakan selain daging manusia. Sang ayah mewasiatkan, jika kelak
dirinya mati lebih dahulu, maka anak isteri yang ditinngal boleh memakan
dagingnya. Kanibalisme juga dialami Afrika, terjadi karena kekurangan makanan.
Dalam perang sipil di Maluku, perilaku sadisme memakan daging musuh juga
terjadi.

Bahkan

Sumanto

memakan

daging

manusia

untuk

menambah

kesaktiannya. Dalam pandangan inilah, kanibalisme memang benar-benar historis


dalam budaya manusia.

Beda dengan Batak di masa lalu, memakan daging manusia dilakukan dalam ritual
kepercayaan setempat. Tidak setiap orang boleh dijadikan gulai untuk dimakan.
Yang sering dijadikan santapan adalah musuh, tawanan perang, orang yang
berzina dan penjahat, orang tua yang sudah tidak berdaya (tidak bisa nyari
nafkah). Memakan bagian tubuh tertentu dari lawan yang sakti saat itu dianggap
akan menambah kesaktian yang memakannya. Seorang datu mengalahkan datu
sakti yang lain akan lebih sakti jika ia memakan bagian tubuh penting seperti:
tangan, hati, dan otaknya.

Tiga hal yang sangat penting dalam kepercayaan batak masa lalu: Tondi, Sahala,
dan Begu. Semua orang memiliki Tondi dan begu, tapi hanya orang sakti yang
mempunyai Sahala. Memakan daging musuh yang sakti dianggap menambah
Sahala datu yang memakannya.

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak,


yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah,
jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.

Dalam memoir Marco Polo yang tinggal di pantai timur Sumatera dari bulan April
sampai September 1292, ia menyebutkan pernah berjumpa dengan rakyat bukit
yang ia sebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco
Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas".
Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi
langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa
menceritakan ritual tersebut.

Niccol de 'Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian


besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi
perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia
menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau,
disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta
undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail
tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal
yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua
untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup"..
"daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".

Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi
tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual
kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn
menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di
sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah
daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini
terkadang untuk menakut-nakuti calon penjajah dan sesekali untuk mendapatkan

pekerjaan sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh
bajak laut.

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844
mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana
suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel
dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa
kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan hukum dan aplikasinya
dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, matamata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh
keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan
tidak memikirkan balas dendam.

Ida Pfeiffer Laura mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun
dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang
diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati
diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding
dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki
adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan,
telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas.
Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan
tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".

Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali


mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan
nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun
1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh Islam dalam masyarakat Batak.

Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati martir di Sisangkak (sekarang
masuk Kecamatan Adiankoting) 28 Juli 1834. Dua misionaris utusan Gereja
Amerika dibunuh Raja Panggalamei. Mayat mereka di pertontonkan di sebuah
pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda kemenangan.
Konon, mayat kedua martir itu dimakan hingga tinggal kerangka.

Masa lalu mandailing hampir sama dengan pedalaman Toba. Meski tidak ada
catatan tentang kanibalisme di Mandailing tidak berarti kanibalisme tidak pernah
terjadi di Mandailing. Mungkin pernah terjadi, mungkin tidak, barangkali, siapa
tahu pernah kejadian, jangan-jangan pernah terjadi. Tidak pasti! Kita mengangap
mandailing di masa lalu bukan pelaku kanibal hingga fakta membuktikan
sebaliknya.

Yang pasti adalah, sebelum islam masuk ke Mandailing melalui Batang Natal,
pesisir barat Sumatera, nenek moyang mandailing memakan hampir apa saja yang
bisa di telan. Lima generasi dari sekarang, orang mandailing masih memakan
monyet, setidaknya menurut penuturan orang-orang tua. Nah jika dulu Mandailing
juga pemakan manusia, kita tidak perlu malu dgn masa lalu kita, atau ikut-ikutan
menggulai manusia.

Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban


manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai
Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih
berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang
Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan
penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa
banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.

Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan
Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama
Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas,
tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa
Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane. Itulah kenapa semua Candi yang
ada di Mandailing Godang dibangun di lapangan terbuka dan tidak jauh dari
Sungai-sungai utama. Candi Portibi, Candi Bahal, Candi yang ada di Siabu dan di
Pidoli berada di tempat yang layak untuk umum.

Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba,
Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas
yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding
kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau
Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan
pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan
pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah.
Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar
setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan


Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan
Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih
diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja,
Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal
dari pengaruh Hindu-Budha.

Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu


Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane
yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi
Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami

Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya
yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan
dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek
Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci
koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang
berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu
Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian
lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah
Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh
Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang
Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang
terusir itu.

Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa apa yang
dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang
merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di
Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing.
Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat,
pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak
hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan
beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan
situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya
berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih
dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo
Mandailing.

Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya.
Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di
akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk
yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini
lebih tua dan mendarah daging.

Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal
usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data
empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat.
Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.

Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap
data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus
yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari
sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba".
Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal
usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita
telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul
mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan
sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang
bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di
zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau
tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".

Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas
hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah
(tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya,
sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul
mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul
mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.

Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang


asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa.

Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah
perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing
bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing.
Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih
terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.

Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau
siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh
dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah
seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian
dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya
yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang
tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.

Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah
sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi
massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.

Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan
pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga
tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak
menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat
menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin
mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.

Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama
kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian
seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak.

Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur.
Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau
barat.
Patut diakui bahwa fakta, banyak suku marga yang berasal dari batak toba hidup
sebagai orang mandailing. Tetapi itu terjadi pada masa berikutnya dalam
kronologi sejarah batak. Patut di ingat, orang mandailing tidak homogen, tetapi
percampuran darah dari radius 1000 kilometer. Sutan Mahmud, yang leluhurnya
berasal dari minangkabau adalah orang mandailing, dan ia telah menjadi marga
lubis. Jimmy yang orang tuanya berasal dari mandailing sekarang telah menjadi
orang sunda. Semua bisa lebur menjadi siapapun dan marga apapun mengikuti
kronologi sejarah.
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah
rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari
batak toba".

Fakta lain untuk melengkapi bahwa Mandailing tidak berasal dari Batak dan Toba
adalah tulisan Mpu Prapanca dalam Negarakertagama sekitar 1365 M. Bisa di

Mandailing bukan Batak berdasarkan kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama.


Patut di ingat, catatan ini adalah kitab tertua yang pernah ada di Indonesia dan
diakui kebenarannya oleh UNICEF dan dunia ilmiah. Artinya, jika seseorang tidak
percaya kebenarannya, secara intelektual dia akan "masuk neraka".

Dalam kitab tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa


mandailing) mencatat banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang
ditaklukkannya. Mpu Prapanca menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk
di dalamnya; Mandailing, Pane (Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba,
Mandailing dan Barus dikategorikan rumpun Melayu.

Tidak ada BATAK pada saat itu. Istilah Batak muncul kemudian dari orang-orang
pesisir yang merasa lebih beradab, batak adalah istilah untuk orang pedalaman.
Tidak ada kata Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta).

Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif,


dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir
dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara
Sibolga dan Tarutung). Peradaban berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai
Batang Pane. Dan Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan
Pulungan, tepi Sungai Batang Gadis. Ada satu masa ketika pedalaman batak
masih kanibal tapi di belahan Madailing dan Panai sudah dibangun candi.

Vous aimerez peut-être aussi