Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
2. Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19.
Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
3. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum Pasal 2.
Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demokrasi dalam
17
Universitas Sumatera Utara
Menyelengarakan pengamanan.
Pawai.
Rapat umum.
Mimbar bebas.
secara
tertulis
kepada
Polri.
Pemberitahuan
puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh
Polri setempat.
e. Surat Pemberitahuan
Surat pemberitahuan ini mencakup:
-
Bentuk.
Penangung jawab.
Jumlah peserta.
ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan
tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan
itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap
selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan
pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau
mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan,
maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata
tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut
sukar dipikirkan.22
Selanjutnya R. Soesilo berkomentar:
Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat
umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak
perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi
yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak
mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka
hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang
menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang
mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum
dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan
karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan
yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.
Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah,
22
Ibid.
panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan
(dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya
tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat
dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.23
Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud
yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai
jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa
yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).
Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata
yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ
dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu)
orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.
Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat
dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya,
cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar
hukum.
Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat
terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:
1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada
orang lain yang ada di situ.
2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana.
23
penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak betulbetul dilakukan oleh orang yang terhasut.24
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.
Nomor: 7/PUU-VII/2009,
menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP)
harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini
berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal
160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan
penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat
delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar
terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan. 25
2. Tentang Asas Culpabilitas
Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van
alle schuld) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya.
26
Ibid.
PAF Lamintang, 1997, Dasar-DAsar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, halaman 158.
27
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu:
Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya:
1. Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua
perbuatan yang diancam dengan hukuman.
2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan
kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan
kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi
pemerintah pusat atau daerah.
3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan
peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undangundang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang,
jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan
perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.28
Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu:
Kasus posisi:
1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi
28
mengenai
perburuhan,
termasuk
tentang
Undang-Undang
dan
membicarakan
persoalan-persoalan
yang
belum
pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut.
Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk
Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri
Medan dalam berkas perkara secara terpisah.
7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan
Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:
I. Kesatu:
Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.
Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum
dengan
kekerasan,
dst,
dan
seterusnya,
seterusnya,
..dst, .
(Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ..).
Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana.
menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu
tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat
dihukum, .dst, dst .
II. Kedua :
Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidana Secara terbuka dan
secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang
..dst, dst .
tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan bersamasama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan
secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan
perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.
5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman
Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai
pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban
kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada
penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan
dengan seruan mogok /unjuk rasa dari Ketua Umum SBSI, Muchtar
Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan
disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di
unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama
saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula
pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan
buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.
6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi
saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan
perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.
7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap
perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.
8. Selanjutnya, Mejelis membertimbangkan unsur pertama Pasal 160 jo. Pasal 55
ada penyelesaian.
12. Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok
di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada
hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan
sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 1241994. Karena pengarahanpengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih
20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak
mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 1441994.
13. Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan
menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah
jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.
14. Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun
menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan
kesengajaan, kecuali, terhadap perbuatan yang dilakukan karena lalai.
15. Hakekatnya unsur kesengajaan dalam Pasal tersebut telah terkandung dalam
awalan me pada kata menghasut, Oleh karenanya, unsur sengaja harus
dibuktikan dalam perbuatan terdakwa.
16. Oleh karena undang-undang tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan,
maka doktrin dan jurisprudensi tentang kesengajaan, maka doktrin dan
jurisprudensi memberikan arti sebagai dikehendaki dan diketahui sehingga
dalam paraktek dikenal adanya teori kehendak dan teori pengetahuan.
17. Pengadilan cenderung akan menerapkan teori kehendak (Will Theory) dalam
perkara ini, Di persidangan, ternyata bahwa keberadaan SBSI di Medan tidak
Yang Meringankan:
-
PENGADILAN TINGGI
-
MENGADILI
-
Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun.
Tidak dilakukannya hal itu, istilah kini mogok liar diancam dengan pidana
Pasal 26
Tidak dilakukannya hal itu diancam dengan pidana Pasal 510 KUH Pidana.
Tindak pidana yang dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Pasal 510 KUH Pidana.
Mengadili Sendiri :
-
Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun, 3 (tiga) bulan.
sependapat dengan uraian bahwa salah satu bentuk kejahatan penghasutan aksi
unjuk rasa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/195 adalah dimuka
umum dengan tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana. Sehingga
dengan demikian dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa
yang berakibat anarkhis adalah adanya kegiatan terpidana berupa menghasut
dengan tulisan supaya pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam kasus unjuk rasa
tersebut melakukan perbuatan pidana, seperti mengancam buruh lain yang tidak
ingin berunjuk rasa, atau melakukan tindak pidana lainnya seperti merusak sarana
prasarana umum.
Dalam UU No. 9 tahun 1998, namun kebebasan bukan diartikan bebas sebebasbebasnya, atau bebas tanpa batas, pengungkapan pendapat harus tetap
menghormati hak-hak orang lain, menghormati dan mematuhi aturan yang berlaku,
menjaga ketertiban serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi
demonstrasi yang terjadi sepertinya tidak memperdulikan semua itu.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya tindakan anarkis
dalam unjuk rasa:
1. Sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan
harus dituruti.
Hal ini bisa kita lihat dalam pelaksanaan unjuk rasa/demonstrasi, para
demonstran menganggap bahwa aspirasi atau pendapat yang mereka suarakan
merupakan merupakan aspirasi yang benar, mereka juga menganggap bahwa
aspirasi yang mereka suarakan merupakan aspirasi yang mewakili suara hati
seluruh rakyat Indonesia, dengan dasar itulah mereka mengaggap bahwa apa yang
mereka pikirkan, apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka lakukan
merupakan hal yang benar dan mereka menginginkan agar apa yang mereka
suarakan bisa terrealisasikan.
Dengan dasar kebenaran ini maka dalam pelaksanaan unjuk rasa para
demonstran bukan hanya sekedar mengemukakan pendapat namun lebih mengarah
pada memaksakan pendapat, sehingga untuk meksakan kehendaknya ini mereka
melakukan tindakan anarkis. Jadi tindakan anarkis yang dilakukan merupakan
wujud dari pemaksaan kehendak, dengan harapan agar kehendak atau aspirasi
yang mereka suarakan diperhatikan.
30
Setetes
Ilmu,
Anarkisme
Dalam
Demonstrasi,
http://setetesilmublog.blogspot.com/2010/05/anarkisme-dalam-demonstrasi.html, Diakses tanggal
2. Suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cenderung
mudah terpancing emosi.
Anarkisme dalam unjuk rasa juga bisa di sebabkan karena situasi ketika
demo terjadi, umumnya dalam suatu demonstrasi memerlukan waktu yang tidak
sebentar dan dilakukan di siang hari, suasana yang panas, sesak dan penat akan
mudah membuat para demonstran untuk terpancing emosinya dan mudah marah.
Ketika demonstrasi kondisi fisik dari para anggota juga pasti mengalami kelelahan,
dengan kondisi ini jika dalam suasana yang panas atau hujan deras maka akan
membuat para demonstran mudah marah, hal ini akan mengakibatkan tindakan
anarkis, jika salah satu anggota demonstran melakukan tindakan anarkis maka
anggota lain akan mudah tertular untuk melakukan tindakan yang serupa.
3. Tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan
demonstran.
Ketika ada niat untuk melakukan unjuk rasa, tentunya suatu kelompok atau
pihak yang akan melakukan demonstrasi sudah mempunyai suatu pandangan,
gagasan dan pemikiran yang mereka yakini kebenarannya, inilah yang nantinya
akan mereka suarakan dengan harapan apa yang mereka suarakan bisa menjadi
kenyataan, atau paling tidak mendapatkan tanggapan dari pihak yang mereka
harapkan. Namun banyak kejadian ketika ada demonstrasi tidak ada satupun orang
yang bersedia menemui para demonstran untuk berbicara dan member penjelasan,
hal ini membuat para demonstran kecewa, marah sehingga melakukan berbagai
tindakan anarkis sebagai luapan emosinya.
11 Mei 2012.
Ibid.
Ibid.
33
Setetes
Ilmu,
Anarkisme
Dalam
Demonstrasi,
http://setetesilmublog.blogspot.com/2010/05/anarkisme-dalam-demonstrasi.html, Diakses tanggal
21 Mei 2012
32
6. Adanya provokasi
Setiap unjuk rasa tentunya melibatkan banyak orang, hal ini membuat
situasi sangat sulit untuk di kontrol dan di kendalikan, selain itu banyaknya
demonstran juga sangat rawan dengan provokasi, baik provokasi dari dalam
maupun dari luar, provokasi dari dalam biasanya dilakukan oleh salah satu anggota
demonstran yang mempunyai kecenderungan prilaku menyimpang dalam
kesehariannya, sehingga dimanapun orang tersebut berada maka akan ada potensi
untuk rusuh akibat perilaku yang dilakukannya. Lalu provokasi juga mungkin
dilakukan oleh pihak-pihak dari luar yang menginginkan suasana demo menjadi
rusuh. Dalam suatu demonstrasi umumnya pihak atau
Kelompok yang melakukan demo mempunyai visi dan misi yang sama,
sehingga dengan kesamaan ini para demonstran cenderung memiliki solidaritas
yang tinggi antar sesama anggota. Sehingga jika salah satu anggota melakukan
tindakan anarkis maka anggota lain juga akan sangat mudah untuk mengikuti
tindakan itu.