Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB I

LAPORAN KASUS
I.1 IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. R

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Tanggal Lahir

: 8 Januari 1992

Umur

: 24 tahun

Pekerjaan

: Belum bekerja

Alamat

: Kayu Manis U lama, Jakarta

Tanggal Masuk

: 19 Desember 2015

No RM

: 2222747

I.2 SUBJECTIVE

Keluhan Utama :
Kejang sejak 1 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUP Persahabatan tanggal 19 Desember
2016, pukul 22.16 WIB dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS.
Kejang timbul mendadak saat pasien sedang beristirahat di rumah. Kejang
dialami pasien 1 kali 5 menit, kejang seluruh badan, dengan mata keatas
dan lidah tidak tergigit. Setelah kejang pasien langsung pingsan dan tidak
sadarkan diri. Pusing (-), demam (+) sejak 1 hari SMRS, sakit kepala (+),
sesak (-), mual muntah sempat dirasakan pasien beberapa kali semenjak di
rawat di RS, kesulitan menelan (-), bicara pelo (-). Pasien sempat dirawat
di Rumah Sakit selama 3 minggu dengan keluhan yang sama yaitu kejang
dan penurunan kesadaran dan pasien baru keluar dari Rumah Sakit 5 hari
lalu. Tangan dan kaki kanan terasa lemas dan sulit digerakan sejak 2
bulan lalu saat dirawat untuk pertama kalinya. Tidak ada riwayat terjatuh
atau trauma sebelumnya, nafsu makan masih baik, pasien masih bisa
makan dan minum. Tidak ada gangguan BAB dan BAK. Tidak ada riwayat
penurunan berat badan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya pasien pernah mengalami kejang sejak 2 bulan lalu


dan dirawat di Rumah Sakit
Riwayat epilepsi

: disangkal

Hipertensi

: disangkal

DM

: disangkal

Sakit jantung : disangkal


Trauma

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat penyakit infeksi : pasien mengaku mengalami TB paru


dan sedang menjalankan pengobatan

Riwayat Penyakit Keluarga

: disangkal

I.3 OBJECTIVE
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Vital Sign

Tekanan darah : 110/70 mmHg


Nadi
: 120 kali/menit
Suhu
: 38 C
Pernafasan
: 22 kali/menit

STATUS LOKALISATA
Status Interna
Kepala/Leher:
-

Tidak terlihat adanya jejas trauma


Tidak terlihat ikterik pada kedua sklera kanan dan kiri
Tidak ada tanda-tanda anemia pada konjungtiva
Pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks :
-

Jantung :
o Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

o Palpasi : Iktus kordis teraba, tidak kuat angkat, terdapat pada sela
iga 5 garis midclavicula
o Perkusi
: Redup, batas jantung normal
o Auskultasi
: Suara jantung I dan II regular, tidak terdapat gallop
-

Paru
o
o
o
o

dan tidak ada murmur


:
Inspeksi
: Simetris
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
: Nafas vesikuler, tidak terdapat suara nafas
tambahan, baik berupa rhonki maupun wheezing.

Abdomen :
Inspeksi
: Simetris, protuberan
Auskultasi
: Bising usus normal terdengar di seluruh kuadran abdomen
Palpasi
:
Teraba soefl
Tidak terdapat ascites
Hepar dan lien tidak teraba
Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas:
Tidak ada edema
Tidak terdapat akral yang dingin
Tidak terdapat sianosis
Status Neurologi
GCS
: E4V5M6
MENINGEAL SIGN
:
Kaku Kuduk
: Kernig
: Brudzinski I-IV : NERVUS CRANIALIS :
1. N. Olfaktorius (N. I) : Tidak ada kelainan
2. N. Optikus (N. II)
:
a. Tajam Penglihatan
: Tidak ada kelainan
b. Lapang pandang (visual field)
: Tidak ada kelainan
c. Warna
: Tidak dilakukan
d. Funduskopi
: Tidak dilakukan
3. N. okulomotorius, troklearis, abducen (N. III,IV,VI)
a. Kedudukan bola mata saat diam : Dalam batas normal
b. Gerakan bola mata : Tidak ada kelainan
3

c. Pupil:
i. Bentuk, lebar, perbedaan lebar
: Dalam batas normal
ii. Reaksi cahaya langsung dan konsensuil: +/+
iii. Reaksi akomodasi dan konvergensi : Dalam batas normal
4. N. Trigeminus (N. V)
a. Sensorik : Dalam batas normal
b. Motorik :
i. Merapatkan gigi
: Tidak ada kelainan
ii. Buka mulut
: Tidak ada kelainan
iii. Menggigit tongue spatel kayu : Tidak dilakukan
iv. Menggerakkan rahang
: Tidak ada kelainan
c. Refleks :
i. Maseter /mandibular
: (-)
ii. Kornea
: (+)
5. N. Facialis (N. VII)
a. Sensorik
: sensorik raba dalam batas normal
b. Motorik
i.
Kondisi diam
: simetris
ii. Kondisi bergerak :
a) Musculus frontalis
: Tidak ada
kelainan
b) Musculus nasalis

: Tidak

ada kelainan
c) Musculus orbicularis oculi
kelainan
d) Musculus orbicularis oris

: Tidak ada
: Tidak

ada kelainan
e) Musculus zigomaticus

: Tidak ada

kelainan
f)Musculus bucinator

: Tidak ada

kelainan
g) Musculus mentalis

: Tidak ada

kelainan
c. Sensorik khusus
i.
Lakrimasi
ii.
Refleks stapedius
iii.
Pengecapan 2/3 anterior lidah

: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak ada

kelainan
6. N. Statoakustikus (N. VIII)
a. Suara bisik: Tidak ada kelainan
b. Arloji
: Tidak ada kelainan
c. Garpu tala : Tidak dilakukan
d. Nistagmus : Tidak dilakukan
e. Tes Kalori : Tidak dilakukan

7. N. Glosopharingeus, Vagus (N.IX, X)


a. Inspeksi oropharing keadaan istirahat
b. Inspeksi oropharing saat berfonasi
c. Refleks

: uvula simetris
: uvula simetris
: muntah (+), batuk

(+)
d. Sensorik khusus
:
- Pengecapan 1/3 belakang lidah
: tidak ada kelainan
e. Suara serak atau parau
: (-)
f. Kesulitan menelan
: (-)
8. N. Acesorius (N.XI)
a. Kekuatan m. trapezius
: Dalam batas normal
b. Kekuatan m. sternokleidomastoideus
: Tidak ada kelainan
9. N. hipoglosus (N. XII)
a. Kondisi diam
: lidah simetris
b. Kondisi bergerak : lidah simetris
MOTORIK :
a. Trofi
: atrofi pada ekstremitas bawah
b. Tonus
: hipotonus pada sisi kanan
c. Kekuatan otot :
3
5
3

SENSORIK
a. Eksteroseptik / protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar) :
Dalam batas normal
b. Proprioseptik (gerak/posisi, getar dan tekan) : Dalam batas
normal
REFLEKS FISIOLOGIS
a. Refleks Superficial
i.
Dinding perut /BHR : - / ii.
Cremaster
: tidak dilakukan
b. Refleks tendon / periostenum :
i.
BPR / Biceps
: / +
ii.
TPR / Triceps
: / +
iii.
KPR / Patella
: / +
iv.
APR / Achilles
: / +
v.
Klonus :
Lutut / patella
:-/ Kaki / ankle
:-/REFLEKS PATOLOGIS
Hoffman Tromer : - / Babinsky
:+/Chaddok
:+/Gordon
:-/Schaefer
:-/-

PEMERIKSAAN SEREBELLUM
a. Koordinasi
: Dalam batas normal
b. Keseimbangan : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR


1. Aphasia
2. Alexia
3. Apraksia
4. Agraphia
5. Akalkulia

: (-)
: (-)
: (-)
: (-)
: (-)

III.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hematologi
Darah rutin
Leukosit
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit
Kimia Klinik
Analisa Gas Darah
pH
PCO2
PO2
HCO3
TCO2
Base Excess
Std HCO3
Saturasi O2

Hasil

Unit

Nilai rujukan

9.46

ribu/mm3

5 10

0.4
1.7
80.7
14.2
3.0

%
%
%
%
%

01
24
50 - 70
25 - 40
28

4.04
11.6
37
91.0
28.6
31.5
17.18
351

juta/uL
g/dL
%
fL
Pg
%
%
ribu/mm3

3.6 -5.8
12.10 - 16.0
35 47
80 - 100
26 34
32 36
11.5 - 14.5
150 - 440

7.275
22.5
107.0
10.1
10.8
-15.5
13.4
97.5

mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
mmol/L
%

7.34-7.44
35-45
85-95
22-26
23-27
-2.5-2.5
22-26
96-97

GDS
Asam urat
Trigliserida
Kolesterol total
Kolesterol HDL
Kolesterol LDL

106
2.5
107
182
41
119.6

mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL

Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Clorida

16
0.4

mg/dL
mg/dL

<180
36
<150
<200 , 200-239 batas tinggi
<40 : rendah >=60 : tinggi
<100 : optimal
100 - 129 : mendekati optimal
130 - 159: batas tinggi
160 - 189: tinggi
> 190: sangat tinggi
20 - 40
0.8 - 1.5

137
4.00
101.0

mmol/L
mmol/L
mmol/L

135 - 145
3.5 - 5.5
9.3 - 109

U/L 37 C
U/L
U/L
U/L
U/L
g/dL

<120
<190
0-37
0-40
29-41
3.4-5

Amilase P
95.6
Lipase
190.4
SGOT
53
SGPT
64
Gamma GT
431.0
Albumin
4
IMUNOSEROLOGI
Anti Toxolasma IgG 286

IU/mL

Negatif <4
Equivocal <=4-<8
Positif >=8

Non Reaktif
Anti Toxolasma IgM

0.07

Negatif indeks <0.55


Equivocal 0.55-<0.65
Positif >= 0.25

Non Reaktif
Anti HIV

0.06

Reaktif >=0.25

2. CT-Scan Brain

I.5 ASSESSMENT
A.
B.
C.
D.

Klinis
Topik
Etiologi
Diagnosis PA

: Tuberkuloma Intrakranial (SOL)


: Tuberkuloma Intrakranial Supratentorial
: Tuberkuloma ec TB Paru

I.6 PENATALAKSANAAN
PLANNING TERAPI
-

Streptomicyn 1x750 mg
Rifampicyn 1x450 mg
INH 1x300 mg
Etambutol 1x1000 mg
Pirazinamid 1x1000 mg
Depacote 1x500 mg
Fenitoin 3x1
Vit B6 3x1
Citicholine 2x500
Clyndamicyn 3x600 mg
Neurobion 5000 (drip)
Ranitidine 2x1
Loratadin 2x1
Ceftriaxone 1x2 gr
Dexametasone 2x1gr

PLANNING MONITORING
Observasi keadaan umum
Observasi vital sign
Observasi defisit neurologis
EDUKASI
-

Menjelaskan penyakit yang diderita.


Mengatur pola makan
Perbanyak latihan gerak terutama sisi kanan
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Tuberkuloma intrakranial adalah suatu massa seperti tumor yang berasal
dari penyebaran secara hematogen lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain
terutama dari paru. Infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis ini melibatkan parenkim otak dan kadang kadang melibatkan selaput
otak (meninges). Tuberkuloma sering multiple dan paling banyak berlokasi pada
fosa posterior pada anak dan orang dewasa tetapi dapat juga pada hemisfer
serebri. Tuberkuloma merupakan konglomerasi dari tuberkel kecil dan bergabung
membentuk tubekuloma matur yang terdiri atas nekrosis perkejuan di pusatnya
dikelilingi oleh fibroblas, sel epiteloid, sel raksasa dan limfosit. 1,2
II. 2 Epidemiologi
Tuberkulosis tetap menjadi beban di seluruh dunia, dengan sebagian besar
kasus baru tuberkulosis aktif terjadi di negara-negara terbelakang dan
berkembang. Delapan puluh persen kasus baru tuberkulosis berhubungan dengan
faktor demografi seperti kemiskinan, jumlah penduduk yang padat, malnutrisi,
sistem kekebalan tubuh dan memainkan peran utama dalam epidemi di seluruh
dunia. Sedangkan 20% sisanya berhubungan dengan HIV (Human
Immunodefisiensy Virus) di Sub-Sahara Afrika. Faktor risiko lain adalah penderita
campak, alkoholisme, keganasan, dan pengguna agen imunosupresif pada orang
dewasa.
Dalam sebuah penelitian besar tentang epidemiologi tuberkulosis paru di
Amerika Serikat, keterlibatan sistem saraf pusat tercatat 5 sampai 10% dari kasus
tuberkulosis ekstrapulmoner. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa 6,3% kasus
ekstrapulmoner melibatkan sistem saraf pusat (1,3% dari kasus tuberkulosis total).

Dalam penelitian epidemiologi tuberkulosis sistem saaraf pusat dengan metode


prospektif kohort di Kanada tahun 1970-2001 memberikan hasil kemungkinan
tuberkulosis berkembang ke sistem saraf pusat 1,0% dari 82.764 kasus
tuberkulosis. Frekuensi keterlibatan CNS berdasarkan literature berkisar dari 0,5
% sampai 5,0 %, dan banyak ditemukan pada Negara berkembang. Tuberkuloma
ditemukan 15% sampai 30% dari kasus tuberkulosis CNS dan kebanyakan terjadi
pada hemisfer. Kejadian tuberkulosis intrakranial meningkat seiring dengan
meningkatnya insidensi pada penderita HIV khususnya di negara berkembang.3
II.3 Etiologi & Faktor Risiko
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0,3 0,6 m
dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Penyebab dan sifat tuberkuloma
ini kurang dimengerti, tetapi tuberkuloma ini tidak menggambarkan kegagalan
pengobatan dengan obat. Lesi ini dapat menetap selama berbulan bulan atau
bahkan bertahun-tahun.1
Faktor risiko dari tuberkuloma diantaranya adalah sistem imun yang lemah,
keadaan sosial ekonomi yang rendah, hygiene masyarakat yang rendah, dan faktor
genetik. Tuberkuloma dapat terjadi pada berbagai usia, namun 86 % penderita
tuberkuloma intrakranial berusia dibawah 25 tahun di negara berkembang.
Sebaliknya di Amerika, tuberkuloma terjadi lebih sering pada usia lebih dari 20
tahun.1,3
II.4 Klasifikasi
Tuberkulosis susunan saraf pusat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu
intrakranial dan spinal. Tuberkulosis intrakranial antara lain: tuberkulosis
meningitis (TBM), TBM dengan tuberkulosis miliar, ensefalopati tuberkulosis,
tuberkulosis vasculopathy, dan space occupying lesion yang meliputi tuberkuloma
(tunggal atau multipel), tuberkuloma dengan tuberkulosis milier dan abses
tuberkulosis. Tuberkuloma diklasifikasikan menjadi 2 tipe. Tipe 1 adalah tipe
vaskuler superfisial yang memproduksi tanda fokal awal dan tipe 2 adalah tipe
vaskuler dalam berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

10

Peningkatan tekanan intrakranial bisa berupa udema papil. Berdasarkan lokasi


tuberkuloma intrakranial di bagi menjadi tuberkuloma di supratentorial,
infratentorial dan di brain stem. Berdasarkan perjalanannya, tuberkuloma di bagi
menjadi stadium akut, stadium infamasi granuloma dan stadium
kaseosa/perkejuan. Stadium akut dan granuloma disebut juga sebagai stadium non
kaseosa.1,2
II.4 Patogenesis2,4
Mycobacterium tuberculosis adalah basil bentuk anaerobic, nonmotile,
nonspora, dan tahan asam (acid fast basil/AFB) yang menginfeksi terutama pada
manusia. Waktu proliferasinya sangat lambat (15 sampai 20 jam) dan
membutuhkan waktu beberapa minggu untuk tumbuh konvensional di media
Lwenstein-Jensen. Basil ini cenderung tumbuh dalam kelompok paralel,
menghasilkan karakteristik koloni serpentine cording. Metode biokimia serta
RNA/DNA-based dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dari basil tahan asam
lainnya. Infeksi M. tuberculosis terjadi melalui droplet terhirup yang mengandung
inti basil Mycobacterium tuberculosis dan kemudian mengendap di alveoli paruparu. Di alveoli, basil berinteraksi dengan makrofag alveolar melalui banyak
reseptor yang berbeda. Sel-sel kekebalan tubuh bawaan dipicu, cytokin dan
chemokyn banyak dilepaskan, aktivasi respon imun T-helper cell-mediated type 1
terjadi, dan granuloma terbentuk. Pada awal proses terjadinya infeksi, basil
disaring oleh kelenjar getah bening. Di kelenjar getah bening tersebut terdapat
bakteremia tingkat rendah dimana M. tuberculosis menyebar ke tempat lain di
dalam tubuh. Penyebaran secara hematogen paling sering terjadi di daerah tubuh
yang kaya oksigen, termasuk otak. Akhirnya interaksi kompleks antara faktor
kekebalan tubuh dan faktor virulensi M. tuberculosis yang menentukan apakah
tubuh akan terinfeksi atau tidak dan sejauh mana penyebaran basil sehingga
menyebabkan penyakit.
Tuberkulosis sistem saraf pusat dimulai selama tahap bakteremia yang
menyebar secara hematogen dan membentuk fokus kecil tuberkulosis di otak,
selaput otak atau di sumsum tulang belakang yang dikenal sebagai rich foci. Lesi
tersebut terinokulasi dan dapat tetap aktif selama beberapa tahun. Kemudian

11

pecah atau tumbuh dari satu atau lebih lesi kecil menjadi berbagai jenis
tuberkulosis sistem saraf pusat. Jenis dan perluasan lesi tergantung dari jumlah
dan virulensi basil serta respon imun dari inang. Lokasi fokus dan kekebalan
tubuh menentukan bentuk tuberkulosis sistem saraf pusat.
Patogenesis dari lesi yang terlokalisir di otak di anggap berhubungan
dengan adanya penyebaran basil tuberkulosis secara hematogen yang fokus
primernya dari paru, meskipun pada beberapa penelitian hanya tampak 30% pada
radiografi paru. Hal itu memberi keyakinan bahwa inokulasi dalam ukuran kecil
dan tidak adanya kekebalan tubuh dapat menyebabkan fokus tuberkulosis di
parenkim otak dan dapat berkembang menjadi tuberkuloma atau abses
tuberkulosis otak.
Tuberkel dapat pecah dan memasuki cairan otak dalam ruang subarachnoid
dan sistim ventrikel, menimbulkan meningitis dengan proses patologi berupa
1)

Keradangan cairan serebrospinal. meningen yang berlanjut

2)

menjadi araknoiditis, hidrosefalus dan gangguan saraf pusat


Vaskulitis dengan berbagai kelainan serebral, antara lain infark

3)

dan edema vasogenik.


Ensefalopati atau mielopati akibat proses alergi.

II.5 Gejala Klinis


Manifestasi klinis tuberkulosis intrakranial tergantung lokasi. Pasien sering
mengeluh sakit kepala, kejang, edema papil, atau tanda peningkatan tekanan
intrakranial lain. Demam ringan, mual, pusing, kejang, defisit neurologi fokal, dan
papil udem merupakan karakteristik klinis dari tuberkuloma supratentorial.
Sedang tuberkuloma di infratentorial akan menunjukkan gejala brainstem
syndrome, cerebellar syndrome dan cranial nerve palses. Perkembangan gejala
tuberkuloma intrakranial diukur dalam minggu ke bulan.
Seringkali disertai riwayat tuberkulin tes positif, riwayat paparan
tuberkulosis, atau adanya faktor risiko individu terjangkit tuberkulosis. Meskipun
pada penelitian didapatkan riwayat tuberkulosis ditemukan hanya sekitar 10% dari
pasien dan adanya tuberkulosis paru aktif pada pemeriksaan sinar X ditemukan
sekitar 30 sampai 50%.4,5

12

II.6 Diagnosis1,4,6
Diagnosis tuberkulosis intrakranial meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi (foto
polos, CT, MRI) dan pemeriksaan PA.
a. Pemeriksaan darah
Erythrocyte sedimentation rate (ESR) dianggap membantu dalam
diagnosis tuberkulosis paru dan ekstra paru. ESR ini dilaporkan meningkat
pada tuberkuloma cerebral namun pada prosentase kasus yang kecil. Diagnosis
definitif tuberkulosis intrakranial adalah adanya deteksi basil tuberkulum
dalam CSF, baik dengan pemeriksaan BTA atau kultur bakteri. Namun kultur
bakteri diperlukan waktu yang lama. Pada pemeriksaan CSF pasien
tuberkuloma menunjukkan adanya limfomonositik pleositosis dengan level
glukosa yang rendah dan proten yang tinggi. Karena sulit mendeteksi basil TB,
dikembangkan pemeriksaan antibodi terhadap basil tuberkulum yang terdeteksi
dengan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) dan terbukti pemeriksaan
tersebut berhasil. Namun, tes ELISA dapat memberikan hasil negatif palsu,
misalnya dalam keadaan tidak ada imunosupresi atau jika ada imunosupresi
oleh karena reaksi positif terhadap antigen secara umum (misalnya jamur dan
gondok). Tes kulit tuberkulin dilaporkan awalnya negatif 50-70% kasus dan
sering menjadi positif selama terapi. Metode terbaik untuk mendiagnosis
mikrobakteri infeksi adalah dengan PCR (poli chain reaction) di mana probe
cDNA digunakan untuk mengidentifikasi RNA mikrobakteri atau urutan DNA
di CSF.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan dengan CT dan MR merupakan pencitraan awal yang
digunakan untuk melihat lokasi dan karakter tuberkulosis intrakranial, yang
kemudian biasanya di konfirmasi dengan bedah atau otopsi. Kalsifikasi jarang
terjadi dengan prosentase <20%. Gambaran khas tuberkuloma berupa nodul
dengan area pusat yang kecil (nekrosis perkejuan) pada CT menunjukkan
gambaran dengan densitas rendah dan pada MRI T2WI/FLAIR menunjukkan

13

densitas yang tinggi (hiperintens). Area disekitar lesi menunjukkan adanya


udem dengan efek massa. Penyangatan cincin di tepi nodul (dengan dinding
ireguler dan tebal bervariasi menyebabkan suatu gambaran created look atau
nodul (dengan pusat yang tidak menyangat).

Gambar 1. CT Scan Otak; Gambar A, tanpa kontras menunjukan


pergeseran dari ventrikel, Gambar B, dengan kontras tampak sebagai lesi
space-occupying lesions,dari cerebellum kiri

Gambar 2. Magnetic resonance imaging pada otak; (a ,b) T2-weighted


images; and (c,d) post-gadolinium T1-weighted Gambar menunjukan 3 lapis
dari tuberkuloma otak.meliputi central, isodense, caseous, necrotic core
c. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Secara histologi tuberkuloma berupa masa bentuk bulat, oval atau
merupakan konfigurasi lobuler dengan menyatunya beberapa nodul yang lebih
kecil. Tuberkuloma mempunyai ciri ukuran yang kecil kira-kira 0,5-2 mm yang
terdiri atas sel epitheloid dengan basil TBC, tepi fibroblas dan sel inflamasi
mononuklear. Sel raksasa yang terdiri atas inti yang ganda merupakan ciri
khasnya. Tuberkuloma yang keras (hard tuberculoma) tidak menunjukkan

14

nekrosis di pusatnya, namun dengan adanya reaksi hipersensitivitas tipe


lambat, terjadi nekrosis perkejuan di pusat lesi dan terjadi nekrosis koagulatif
serta terjadi likuefaksi yang terdiri atas cairan jernih kekuningan yang
meyerupai materi perkejuan. Bentuk dengan pusat yang mengalami perkejuan
disebut sebagai tuberkuloma tipe lunak (soft tuberculoma).
II.7 Penatalaksanaan7
Berdasar Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit infeksi Amerika
dan Standar pedoman dari perkumpulan thorax di Amerika, terapi tuberkulosis
intrakranial adalah dengan terapi awal induksi dengan rejimen isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan ethambutol selama 2 bulan dan diikuti oleh 7 sampai
10 bulan tambahan isoniazid dan rifampisin sebagai terapi pemeliharaan.
Isoniazid, rifampisin, dan lini kedua agen aminoglikosida, kapreomisin, dan
fluoroquinolones tersedia dalam bentuk parenteral jika per oral tidak bisa
diberikan. Penggunaan rejimen dan durasi terapi disarankan sesuai dengan
rejimen standar untuk tuberkulosis paru, karena tidak ada penelitian pengobatan
yang optimal untuk tuberculosis intrakranial.
Namun beberapa ahli ada yang berpendapat pada tuberkulosis intrakranial
diberikan lebih lama dibandingkan tuberkulosis paru. Sementara para ahli yang
lain mendukung terapi 6 sampai 9 bulan saja. Isoniazid dan pirazinamid dapat
melewati blood brain barrier sehingga menjadi pengobatan utama pengobatan
meningitis tuberkulosis. Sedangkan rifampisin dan etambutol memiliki penetrasi
yang kurang signifikan ke sistem saraf pusat, meskipun rifampisin dan etambutol
masih memainkan peran penting dalam pengobatan tuberkulosis sistem saraf
pusat.
Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi tambahan dalam pengobatan
tuberkulosis sistem saraf pusat dimulai sejak tahun 1950. Sampai saat ini
penggunaan kortikosteroid ini tetap kontroversial. Awalnya steroid diberikan
untuk mengurangi peradangan dalam ruang subarachnoid. Pendapat lain
mengatakan pemberian korikosteroid diindikasikan hanya jika terdapat
peningkatan tekanan intracranial. Karena terapi antituberkulosis pada tuberkulosis
intrakranial efektif, maka peran operasi di lakukan jika hanya terjadi komplikasi
serius misalnya adanya hidrosefalus. Gejala sisa yang bisa timbul antara lain
15

hidrosefalus dan kejang, sehingga diperlukan evaluasi dengan CT scan 1 minggu


dan 1 bulan sesudah dilakukan CT scan yang pertama. Tujuannya untuk melihat
adanya temuan diagnostik lain dan gejala sisa yang mungkin terjadi.
II.8 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi dari tuberkulosis intrakranial adalah penurunan neurologis,
dengan kejadian sekitar 20 sampai 30%. Gangguan tersebut antara lain berupa
kelumpuhan saraf kranial, ophthalmoplegia, kejang, gangguan kejiwaan, ataksia
dan hemiparesis, kebutaan, tuli, dan keterbelakangan mental. Hidrosefalus
komunikan merupakan komplikasi paling sering dari meningitis tuberkulosis.
Kejadiannya sekunder karena obstruksi aliran cairan serebrospinal yang
disebabkan eksudat selaput otak di sisterna basal. Hidrosefalus non komunikan
sering terjadi akibat obstruksi dari tuberkuloma dan jarang karena abses
tuberkulosis. Faktor yang memperburuk prognosis tuberkulosis intrakranial antara
lain usia, adanya infark, koinveksi dengan HIV, resisten terhadap isoniazid dan
rifampisin, adanya laktat yang tinggi pada CSF, leukopenia pada LCS, dan
glukosa yang rendah pada LCS. Selain itu adanya kelemahan fokal, serebral palsy
dan adanya hidrosefalus juga salah satu prediksi akan prognosis yang buruk.

16

Vous aimerez peut-être aussi