Vous êtes sur la page 1sur 4

ASAL-USUL GUNUNGKIDUL PART 3

Selanjutnya, Gunung Kidul terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang
menjadi raja adalah Sultan Hamengku Buwono I. Pada waktu pemerintahannya, daerah sepanjang
pesisir Laut Selatan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu
namanya bukan Gunung Kidul, tetapi Sumengkar [sekarang wilayah Sambi Pitu, Gunung Kidul].
Sumingkar itu berasal dari kata sumingkir yang berarti menyingkir dalam bahasa Indonesia.
Menurut sejarah dan keadaan masyarakat Sambi Pitu, mereka adalah pelarian dari Majapahit, yang
menyingkir ke hutan Gunung Kidul saat itu. Berawal dari Brawijaya yang melarikan diri ke hutan
Gunung Kidul dan babad alas, dan menjadikannya desa serta meninggalkan budaya yang
beraneka. Kemudian Brawijaya moksa di Guwa Bribin, Semanu, dikarenakan ketika diminta masuk
Islam oleh Sunan Kalijaga tidak mau. Seperti halnya kini masyarakat yang telah menyebar di
Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, dan Panggang,
mereka telah menetap di hutan Gunungkidul sebelum terjadinya Palihan Nagari (perjanjian Giyanti)
di Surakarta. Terbukti dengan adanya kebudayaan Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, seperti:
tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, peninggalan Hindu dan Buddha, dan sebagainya.
Di Sumingkar Adipati Wiranagara didapuk menjadi adipati. Beliau memiliki dua istri, yang pertama
berasal dari Sumingkar, dan yang satunya adalah pemberian Sultan. Dikarenakan istri yang satu dari
kraton Ngayogyakarta, sudah dapat dipastikan semua adipati mendapatkan kesenangan dalam
bentuk apa saja dari rajanya. Suatu ketika sang adipati bertamu ke Kraton Ngayogyakarta, beliau
mendapat titah dari Kanjeng Sultan supaya memindahkan kota Praja Kabupaten Gunungkidul yang
saat itu berada di Sumingkar (Sambi Pitu) menuju Hutan Nangka Dhoyong [yang kini menjadi
Kabupaten Gunung Kidul]. Kota praja kabupaten Gunungkidul perlu dipindhah menurut tata letak
tempat, sehingga kurang pas. Dan dirasa oleh Sultan kurang memberikan kenyamanan menyeluruh
di kabupaten Gunungkidul. Itulah yang diceritakan oleh rakyat. Setelah pulang dari Kraton
Ngayogyakarta, Adipati Wiranagara memanggil seluruh orang kepercayaan di Sumingkar supaya
datang ke pendhapa kabupaten. Namun hingga waktu yang telah di tentukan sang Adipati belum
juga memulai pertemuan di karenakan Demang Wanapawira, yaiku Demang Piyaman (wilayah
Piyaman sampai Nglipar sekarang ini), belum terlihat di pendhapa kabupaten. Para hadirin yang ada
disana saat itu memiliki pandangan yang berbeda tentang belum hadirnya Demang Wanapawira.
Sebelum Demang Wanapawira tiba, Rangga Puspawilaga asal Siraman, berkata kepada Adipati
Wiranagara supaya Demang Wanapawira diberi hukuman karena terlambat datang. Namun usul itu
tidak disetujui Sang Adipati bahkan Sang Adipati marah kepada Puspawilaga. Dikarenakan Demang
tak kunjung datang, maka Adipati Wiranagara pun memulai pertemuan itu. Beliau menceritakan
kepada para hadirin saat itu. Namun mereka hanya bisa terdiam saat Adipati memerintahkan untuk
membabad Hutan Nangka Dhoyong yang terkenal angker. Dan Sang Adipati pun menjelaskan jika
tidak dilakukan pembabadan dan tidak memindahkan Kadipaten Sumingkar maka akan terjadi
bencana hingga seluruh Kesultanan Ngayogyakarta. Adipati meminta agar dari sekian yang hadir

berkenan melaksanakan titah Sultan, namun semua hanya diam. Sehingga beliau pun ingin
melakukan titah Sultan sendirian. Namun tetika pernyataan itu muncul datanglah Sang Demang
Wanapawiro. Sang Demang pun bersedia membabad Alas Nangka Dhoyong untuk membangun
kota praja Kabupaten Gunungkidul, seperti halnya titah Sultan Hamengkubuwana. Sebelum
melaksanakan babad alas, Demang Wanapawiro menuju Piyaman meminta saran kepada Nyi
Nitisari. Nyi Niti adalah saudara kandung dari Demang Wanapawiro. Mereka termasuk dari
keturunan pelarian Majapahit waktu itu. Nyi Niti itu adalah orang yang terkenal di Gunung Kidul.
Beliau dikenal supranatural dan paham tentang Hutan Nangka Dhoyong. Nyi Niti menyarankan
sebelum babad alas agar melakukan selametan dan pensucian diri. Kemudian Demang Wanapawiro
dibantu dalam melaksanakan tirakat di bawah pohon tua yang besar. Mereka selalu mendapatkan
gangguan dari jin dan makhluk halus lainnya. Namun semua itu dilalui tanpa takut. Malah makhlukmakhluk itu yang kalah. Dan munculah Nyi Gadhung Melati penghuni sekaligus utusan penguasa
Laut Kidul, sehingga terjadilah pertarungan antara mereka. Dalam perterungan ini tak satupun yang
dapat dikalahkan sehingga muncul perundingan dan Nyi Niti serta Demang Wanapawiro
menceritakan niat mereka untuk babad alas untuk menjadikan Kota Praja. Akhirnya Nyi Gadhung
Melati merestui tentu atas ijin Ratu Kidul. Namun harus ada syaratnya, yaitu agar pohon tua itu tidak
ditebang supaya untuk menjaga masyarakat menempati wilayah itu nantinya. Syarat itu pun disetujui
oleh Nyi Niti serta Demang Wanapawiro. Dan Nyi Gadhung Melati dengan segera memerintahkan
kepada para Jin untuk membantu terwujudnya Kota Praja dengan membabad Hutan Nangka
Dhoyong. Setelah perundingan selesai, Demang Wanapawiro segera menghadap Adipati
Wiranagara untuk meminta persetujuan agar segera terlaksana dalam babad alas tersebut. Nyi Niti
serta Demang Wanapawiro yang dibantu oleh penduduk Piyaman mengadakan selametan untuk
babad alas. Diceritakan juga bahwa penduduk Piyaman ikut membantu babad alas dikarenakan lihai
dan terbiasa babad alas. Kini terwujudlah Kota Praja yang diinginkan Sultan Hamengkubuwana I.
Adipati Wiranagara memuji Demang Wanapawiro yang bisa mengubah hutan belantara menjadi
sebuah kota. Diceritakan ada salah satu Putri dari Kepanjen Semanu (putra-putrinnya Panji
Harjadipura) bernama Rara Sudarmi yang bersama Mbok Tuminah. Rara Sudarmi bertemu dengan
Demang Wanapawiro yang juga menyukai Rara Sudarmi. Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah akhirnya
bertamu ke rumah Nyi Niti yang tak lain adalah saudara jauh dari Panji Harjadipura ayah Rara
Sudarmi. Singkat cerita, Demang Wanapawira dan Rara Sudarmi dijodohkan dan menikah yang
disaksikan oleh Ki Niti dan Mbok Nitisari. Dalam waktu yang tidak lama Kota Praja yang dulunya
Hutan Nangka Dhoyong kini menjadi ramai. Adipati Wiranegara sekali lagi memberi keparcayaan
kepada Demang Wanapawira agar dapat membangun koya praja yang asri dan indah. Adipati
Wiranegara melaporkan karya Demang Wanapawira kepada Sultan Hamengkubuwana melalui Patih
Danureja. Karena jasanya dalam membabad Alas Nangka Dhoyong menjadi kota yang asri. Rakyat
rakyatpun memuji Demang Wanapawira. Peresmian bekas Hutan Nangka Dhoyong pun terlaksana
dan Sultan Hamengkubuwana I member tanda Kota Nangka Dhoyong diambil dari nama

Wanapawira digabungkan dengan nama Nitisari, menjadi Wanasari. Sekarang biasa disebut
Wonosari. Adapula yang menyebut nama kutha praja Gunungkidul yang terbentuk dari babad alas
ini berasal dari nama Wana yang berarti alas atau hutan dalam bahasa Indonesia, dan kata asri
yang sering terucap sariartinya endah atau indah dalam bahasa Indonesia. Kemudian Demang
Wanapawira diangkat menjadi adipati dengan gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura diangkat
jadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Akhirnya nama Wanapawira dan Rara Sudarmi
menyatu. Dimana Wanapawira, (Wana atau wono berarti alas atau hutan, pawira berarti wong
lanang-kendel-prajurit/ seorang prajurit lelaki yang tangguh), bisa membabad semua kadurhakaan
yang ada di kanan kirinya, dengan kesungguhan dalam hatinya. Yaitu alas rowe/kekuatan di dalam
hati. Tentu dengan ilmu dan saudara yang dapat menguatkan dirinya, menjadi tukang babad,
sesungguhnya. Sumber sumber berasal dari cerita lisan (cerita rakyat) yang sementara masih
menjadi misteri di Gunungkidul sebelah lor-kulon [utara-barat]. Diceritakan oleh Sastra Suwarna,
mantan Kadus Piyaman I, Gunungkidul, dengan tambahan yang dirasa perlu untuk penulisan. Serta
masih ada cerita yang belum tersingkap di Karangmojo-Ponjong-Semanu mengenai asal usul Kota
Wonosari Kabupaten Gunungkidul, yang dirasa berbeda kepentingan dengancerita lisan ini. Atau
versi babad yang bewujud buku atau naskah yang tersimpan rapat di dalam Kraton Ngayogyakarta.
Untuk Kabupaten Gunungkidul, data yang saya peroleh menyimpulkan bahwa hari lahir Kabupaten
Gunungkidul adalah Hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau Tahun Jawa 15 Besar Tahun Je 1758
dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No :
70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten
Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni
1985.
BUPATI YANG PERNAH MEMIMPIN KABUPATEN GUNUNGKIDUL:
1. Mas Tumenggung Pontjodirjo
2. Raden Tumenggung Prawirosetiko
3. Raden Tumenggung Suryokusumo
4. Raden Tumenggung Tjokrokusumo
5. Raden Tumenggung Padmonegoro
6. Raden Tumenggung Danuhadiningrat
7. Raden Tumenggung Mertodiningrat
8. KRT. Yudodiningrat
9. KRT. Pringgodiningrat
10. KRT. Djojodiningrat
11. KRT. Mertodiningrat
12. KRT. Dirjodiningrat
13. KRT. Tirtodiningrat
14. KRT. Suryaningrat
15. KRT. Labaningrat

16. KRT. Brataningrat


17. KRT. Wiraningrat
18. Prawirosuwignyo
19. KRT. Djojodiningrat, BA
20. Ir. Raden Darmakun Darmokusumo
21. Drs. KRT. Sosrodiningrat
22. Ir. Soebekti Soenarto
23. KRT. Harsodingrat, BA
24. Drs. KRT. Hardjohadinegoro (Drs.Yoetikno)
25. Suharto, SH.
26. Prof. DR. Ir. H. Sumpeno Putro, M.Sc
27. Hj. Badingah, S.Sos. [saat ini]
Situs Sejarah:
Pertapan Kembang Lampir (tempat turunnya wahyu kerajaan Mataram Islam)
Pesarehan Ki Ageng Giring IV
Pesarehan R. Bondan Kejawan
Prasasti Ngobaran, dll

Vous aimerez peut-être aussi