Vous êtes sur la page 1sur 12

Penggunaan Continuous Positive Airway Pressure

(CPAP) dengan Helm Dibandingkan dengan Masker


pada Pasien dengan Bronchiolitis : RCT
Giovanna Chidini, MD1, Marco Piastra, MD2, Tiziana Marchesi, MD3, Daniele De Luca, MD2,
Luisa Napolitano, MD1, Ida Salvo, MD4, Andrea Wolfler, MD4, Paolo Pelosi, MD5, Mirco
Damasco, MD3, Giorgio Conti, MD2, Edoardo Calderini, MD1
1

Pediatric ICU, Department of Anesthesia and Critical Care, Fondazione IRCCS Ca Granda,
Ospedale Maggiore Policlinico, Milan, Italy;
2
Pediatric ICU, Department of Anaesthesiology and Intensive Care, University Hospital A.
Gemelli, Catholic University of the Sacred Heart, Rome, Italy;
3
University of Milan, Milan, Italy;
4
Department of Anesthesia and Intensive Care Childrens Hospital Vittore Buzzi, Istituti Clinici
di Perfezionamento, Milan, Italy;
5Department of Surgical Sciences and Integrated Diagnostics, University of Genoa, IRCCS AOU
San Martino IST, Genoa, Italy
This trial has been registered at www.clinicaltrials.gov (identifier NCT16011968).
www.pediatrics.org/cgi/doi/10.1542/peds.2014-1142
DOI: 10.1542/peds.2014-1142
Accepted for publication Dec 23, 2014
Address correspondence to Giovanna Chidini, MD. E-mail: giovannachid@libero.it
PEDIATRICS (ISSN Numbers: Print, 0031-4005; Online, 1098-4275).
Copyright 2015 by the American Academy of Pediatrics

ABSTRAK
Latar Belakang : Non invasive Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) biasanya dipasang
menggunakan masker nasal atau facial untuk menangani Acute Respiratory Failure (ARF) pada
bayi. Sebuah helm pediatric telah diperkenalkan pada praktek klinis untuk menghantarkan CPAP.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat kegagalan pengobatan selama
menggunakan CPAP yang dihantarkan menggunakan helm atau facial mask pada bayi dengan
respiratory syncytial virus yang diinduksi oleh ARF.
Metode : Pada penelitian Randomised controlled trial yang dilakukan di multicenter ini, 30 bayi
dengan respiratory syncytial virus yang diinduksi oleh ARF dibagi secara acak untuk menerima
CPAP yang dihantarkan menggunakan helm (n = 17) atau CPAP yang dihantarkan menggunakan
facial mask (n = 13).Tujuan utamanya yakni jumlah kegagalan terapi (didefinisikan sebagai
terjadinya intoleransi atau dibutuhkannya intubasi). Tujuan sekundernya yakni waktu
penggunaan CPAP, jumlah pasien yang memerlukan sedasi, dan komplikasi terhadap masingmasing perlakuan.

Hasil : Apabila dibandingkan dengan facial mask, CPAP yang menggunakan helm memiliki
jumlah kegagalan terapi yang disebabkan oleh intoleransi (3/17 [17%] VS 7/13 [54%], p =
0,009), dan lebih sedikit bayi yang memerlukan sedasi (6/17 [35%] VS 13/13 [100%], p =
0,023), jumlah intubasi hampir sama. Pada pasien yang berhasil diterapi, CPAP menghasilkan
pertukaran gas dan pola nafas yang lebih baik pada masing-masing perlakuan. Tidak ditemukan
komplikasi mayor yang disebabkan oleh masing-masing perlakuan, namun CPAP yang
menggunakan facial mask lebih sering menimbulkan perlukaan pada kulit dan mengalami
kebocoran.
Kesimpulan : Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan CPAP yang dihantarkan
menggunakan helm lebih baik dibandingkan dengan CPAP yang dihantarkan menggunakan
facial mask dan memerlukan sedasi yang lebih sedikit. Sebagai tambahan, penggunaannya
sangat aman untuk digunakan dan bebas efek samping bahkan pada penggunaan jangka panjang.

Respiratory Syncitial Virus (RSV) bronchiolitis adalah salah satu infeksi saluran nafas
bawah tersering pada bayi dan merupakan alasan utama untuk rawat inap di negara berkembang.
Inflamasi memicu obstruksi dari jalan nafas yang kecil, sehingga menimbulkan penurunan fungsi
paru, nafas cepat dan dangkal. Sekitar 8% bayi dengan bronchiolitis RSV akut perlu dirawat di
PICU karena membutuhkan Noninvasive Respiratory Support (NRS) oleh karena terjadinya
apneu berulang atau Acute Respiratory Failure (ARF). Continuous Positive Airway Pressure
(CPAP) tersedia luas sebagai NRS lini pertama pada tim PICU. Pada bayi, pilihan penghantar
oksigen sangat penting untuk keberhasilan NRS. Akhir-akhir ini, penghantar oksigen pediatric
termasuk diantaranya adalah nasal kanul, masker nasal dan wajah, dan helm pediatric. Nasal
kanul digunakan untuk menghantarkan CPAP pada bayi preterm, namun terdapat batasan aliran
udara ekspirasi karena obstruksi lubang hidung. Masker nasal dan wajah seringkali digunakan
pada bayi dan anak yang lebih besar. Namun, kebocoran disekitar masker menyebabkan rasa
tidak nyaman dan menyebabkan terganggunya pengobatan. Sebuah helm pediatric telah
digunakan untuk menghantarkan CPAP pada neonatus, bayi dan anak pra sekolah dengan ARF.
Pada populasi ini, CPAP dengan helm dapat lebih ditoleransi daripada masker wajah, tanpa
adanya komplikasi mayor dan kebutuhan sedasi yang lebih sedikit. Tujuan dari penelitian
Randomized Controlled Trial (RCT) prospektif multicenter ini adalah untuk membandingkan
jumlah kegagalan CPAP dengan helm dan masker wajah pada bayi yang dirawat di PICU dengan
ARF terkait RSV.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, nonblinded, multicenter RCT yang
membandingkan antara CPAP dengan helm dan masker wajah pada bayi dengan ARF terkait
RSV. Penelitian ini telah disetujui oleh institusi review lokal. Informed consent tertulis
didapatkan dari orangtua atau anggota keluarga yang legal sebelum penerimaan. Penelitian ini
dilakukan berdasarkan standar etik yang berlandaskan pada Deklarasi Helsinki 1964. Secara
berurutan, pasien dirawat di 3 PICU di Italia (Fondazione IRCCS Ca Granda, Ospedale
Maggiore Policlinico, Milan; University Hospital A. Gemelli, Catholic University of Sacred
Heart, Rome; dan ChildrensHospital Vittore Buzzi, Istituti Clinici di Perfezionamento, Milan
dengan ARF terkait RSV yang diikuti dari Januari 2008 hingga Januari 2010.

Kriteria inklusinya diantaranya adalah (1) usia 6 12 bulan, (2) Diagnosis dari infeksi
RSV konsisten dengan keadaan klinis yang ada (riwayat batuk, wheezing bilateral, dan ekspirasi
yang memanjang; didukung oleh foto X-ray thoraks yang mendukung adanya gambaran
hiperinflasi) dan tes imunoflourescein positif pada swab nasofaring, dan (3) ARF, didefinisikan
dengan adanya tekanan parsial dari oksigen, arterial (PaO2): Fraksi insipirasi oksigen (FiO2) <
300 setelah nafas dengan tambahan O2 menggunakan masker venturi (FiO2 0,5) pada setidaknya
15 menit, plus 2 dari kriteria berikut : Respiratory Rate (RR) >2SD bergantung pada umur,
tambahan otot pernafasan, pergerakan abdomen paradoxical.
Kriteria eksklusinya antara lain : (1) kebutuhan darurat untuk dilakukan intubasi, (2)
Glasgow coma scale < 12, (3) Asidosis mayor (pH < 7,25), (4) pelemahan refleks batuk atau
refleks muntah, (5) obstruksi jalan nafas atas, (6) riwayat operasi daerah wajah atau bagian
lambung, (7) kelelahan pernafasan dengan kebutuhan intubasi kedepannya, (8) keadaan
hemodinamik yang tidak stabil (didefinisikan sebagai dibutuhkannya penggunaan vasopressor
atau inotropik), atau (9) sedang dalam menjalani penelitian yang lain. Semua peserta yang
termasuk dalam kriteria inklusi diacak untuk menerima CPAP menggunakan helm atau masker
sebagai intervensi lini pertama.
Pengacakan secara tersembunyi dilakukan secara terpusat menggunakan sistem
komputer. Sebuah saluruan telepon disiapkan untuk menerima pendaftaran pasien sepanjang
waktu.
CPAP
Penjelasan mendetail tentang CPAP sirkuit aliran bebas telah dipublikasikan. CPAP
dipertahankan menggunakan sebuah generator yang mampu mengalirkan aliran gas mencapai
140 liter/menit dan sebuah katup bergelembung di bawah air. Helm pediatri memiliki diameter
kerah mencapai 27 cm dan volume internal 6 liter. Alat ini dibuat menggunakan latex transparan
bebas polyvinyl clorida dan dijamin memiliki kerah yang lembut pada bagian leher bayi. Sistem
ini dimanfaatkan untuk stabilitas popok. Salah satu bagian helm tersambung dengan sumber gas
dan bagian yang lainnya tersambung dengan katup tekanan ekspirasi dan positif di bawah air.
Terdapat 2 sistem keamanan : sebuah alat monitor tekanan dengan katup pengaman yang
memiliki tekanan lebih (terbuka di sirkuit tekanan >20 cm H 2O) dan katup anti asfiksia (yang
mengalirkan udara ruang masuk jika tekanan di dalam helm menurun di bawah 3 cmH2O)/ Aliran
tinggi udara segar (>35 liter/ menit) digunakan untuk menghindari CO2 terhirup kembali.
Seluruh pasien diposisikan semirekumben. Di seluruh senter, digunakan masker oronasal
standard (Profile Lite Gel ukuran XS-S, Respironics, Murrysville, PA) dan ukurannya dipilih
dengan cara disesuaikan dengan ukuran wajahnya sebaik mungkin. Kemudian masker tersebut
disambungkan dengan sirkuit CPAP menggunakan konektor Y. Iritasi pada kulit dicegah dengan
menggunakan pelindung koloid (DuoDERM, ConvaTec, Deeside, UK). Masker awalnya
diletakkan secara manual kemudian setelah beberapa waktu kemudian dipasangkan sebuah topi
kepala pada wajah pasien.
Sebuah pengatur kelembaban dan kehangatan digunakan pada kedua kelompok. (MR730,
humidifier, fisher & Paykel, Healthcare corp. Auckland, New Zealand). Pengatur kelembaban
digunakan secara kontinyu pada kelompok dengan masker dan digunakan secara intermiten pada
kelompok dengan helm karena pengaruh pencampuran ruang dapat menyebabkan gas menjadi
terlalu panas dan menimbulkan keluarnya embun. Perawat yang bertugas mematikan alat
pengatur kelembaban untuk sementara waktu saat embun terbentuk di dalam helm.

Setelah dilakukan stabilisasi menggunakan masker oksigen venture, sebagai langkah awal
kita mencoba CPAP meningkat secara bertahap setiap 2cmH 2O (dari 4-10cmH2O) untuk
mencapai kebutuhan maksimum alveolar pada kadar FiO2 terendah. Hal ini bertujuan untuk
mencegah penghantaran FiO2 yang terlampau tinggi tanpa adanya hantaran alveolar secara
optimal.
Tingkat CPAP dipilih untuk mendapatkan Saturasi oksigen (SpO 2) 94% dengan FIO2
0,6. CPAP digunakan secara kontinyu dalam 24 jam pertama sampai terjadinya perbaikan klinis
dan oksigenasi. Pasien dengan SpO2 94%, FiO2 0,4 dan tidak adanya penggunaan otot bantu
pernafasan kemudian disapih dengan menurunkan CPAP dalam tingkat 2cmH 2O kemudian
diubah menjadi terapi oksigen pada FiO2 <0,4, CPAP <4cmH2O tanpa tanda penggunaan otot
bantu pernafasan.Protokol terganggu pada kasus gagal terapi menggunakan CPAP dan pasien
dikelola atas kebijakan dokter (termasuk penggunaan alat bantu pernafasan bertekanan non
invasive sebagai tahap selanjutnya sebelum melakukan intubasi endotracheal). Pengambilan
keputusan oleh dokter tidak terkait dengan pengujian.
Penanganan medis pada bayi dengan bronchiolitis akut tetap tidak berubah untuk tujuan
penelitian. Dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk memberikan nutrisi enteral.
Tujuan dan Definisi
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai jumlah kegagalan terapi pada penggunaan
CPAP menggunakan helm dan masker. Kegagalan terapi didefinisikan sebagai terjadinya
penghentian permanen dari penggunaan CPAP oleh karena terjadinya intoleransi terhadap
penghantaran atau indikasi dilakukannya intubasi. Intoleransi dinilai menggunakan Objective
Pain Scale (OPS) dan skala COMFORT. OPS merupakan skala yang didesign untuk bayi dan
anak yang mengandung 5 kategori penilaian : (1) perubahan dalam tekanan darah sistolik, (2)
menangis, (3) pergerakan, (4) agitasi, (5) keluhan nyeri. Rentang skor target dari 1 hingga 4,
OPS 4 menunjukkan distress. Sedangkan skala COMFORT adalah sebuah alat tanpa instruksi
yang digunakan untuk menilai keberhasilan intervensi farmakologis pada intubasi anak. Rentang
skor dari 1 hingga 40; skor diantara 18 hingga 26 menunjukkan bahwa anak bangun dan tenang,
17 menunjukkan dalam keadaan sedasi dan 26 menandakan adanya distress.
Pasien tidak disedasi sebelum perlakuan. Jika pasien perlu dilakukan sedasi, dapat
diberikan midazolam 0,1mg/kgBB secara bolus intravena, diikuti dengan drip secara infuse
(dengan dosis 0,1 mg/kgBB per jam) sesuai dengan protocol PICU. Intoleransi didefinisikan
sebagai skor OPS 4 dan COMFORT 26 setelah 30 menit dari pemberian midazolam secara
drip melalui infuse.
Efek samping mayor yang dapat terjadi, antara lain (1) pneumothoraks, (2) coma
hipercapnia, dan (3) henti jantung. Sedangkan komplikasi kontak muka dinilai menggunakan [1]
skor kulit, (0: tidak ada efek samping, 1: timbul area kemerahan atau perubahan warna tidak
terjadi setelah 30 menit tekanan dilepas, 2: kulit pecah-pecah, 3: ulkus pada kulit, 4: nekrosis
pada kulit), [2] distensi gaster yang dinilai dengan inspeksi visual, [3] irtasi mata (inflamasi pada
palpebra dan atau konjungtiva bulbi di atas permukaan sclera yang terbuka), dinilai dengan 0
(tidak ada komplikasi) dan 1 (ada komplikasi)
Kebocoran mayor didefinisikan sebagai kebocoran yang menyebabkan gangguan tekanan
sirkuit dan membutuhkan penggantian penghantar muka. Kriteria indikasi intubasi endotracheal,
antara lain (1) kegagalan menjaga PaO2 >60 mmHg dengan FiO2 <0,6; (2) tanda klinis kelelahan,
(3) membutuhkan perlindungan jalan nafas dan atau penyedotan sekret pada tracheal yang sangat
banyak, (4) gangguan hemodinamik.

Pengukuran
Data demografi meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, penyakit jantung bawaan,
dysplasia bronchopulmonal, obstruksi jalan nafas, atau penyakit yang mendasari lainnya. Setelah
dilakukan pendaftaran, direvisi Indeks kematian bayi, frekuensi nafas, frekuensi nadi, tekanan
darah yang diukur secara non invasive, dan analisis gas darah diukur dalam interval berikut :
-T0, dasar, nafas spontan dengan oksigen terapi yang dialirkan melalui masker venturi dengan
FiO2 0,4 (Tyco healthcare, Masfield, MA): T1, 1 jam setelah penggunaan CPAP dan T2 nafas
spontan (Masker venturi FiO2 0,4) setelah penggunaan CPAP dalam 24 jam pada pasien yang
berhasil dilakukan terapi.
Skor OPS dan COMFORT dinilai pada T0 dan T1. Standar FiO 2 0,4 pada saat terapi
oksigen pada T2 dipilih berdasarkan pada kriteria untuk menguji pengaruh penggunaan CPAP
tanpa resiko penurunan oksigenasi secara tiba-tiba.
Pemasukan kateter arteri hanya untuk tujuan penelitian dianggap tidak etis. Sampel darah
arteri didapatkan dalam waktu yang telah dijadwalkan. SpO2 dan elektrokardiografi ditampilkan
secara terus menerus. Waktu penggunaan CPAP, FiO2, tingkat CPAP, jumlah pasien yang
memerlukan sedasi intravena secara terus menerus, lama rawat inap di PICU, dan angka
kematian juga dicatat dalam diagram data klinis. Swab nasofaring didapatkan tanpa tekhnik
bronkoskopi. Diagnosis klinis dari infeksi RSV dikonfirmasi dengan pemeriksaan cepat
imunoserbent terkait enzyme.

Statistik
Prediksi rasio kegagalan pada penggunaan CPAP masker wajah sebesar 50%. Kami
memperkirakan adanya perbedaan antar kedua kelompok setidaknya sebesar 30% pada tujuan
pertamanya. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 30 pasien per kelompok perlakuan.
Analisis awal telah dilakukan setelah dilakukan pendaftaran pada 30 pasien untuk mendeteksi
adanya perbedaan pada tujuan awal antara kedua kelompok, dengan pendekatan dua sisi 0,01.
Software SPSS (SPSS, Chicago, IL) digunakan untuk melakukan seluruh analisis data.
Distribusi data ditentukan menggunakan tes Saphiro-wilk. Statistik deskriptif dikalkulasi untuk
variabel kuantitatif (median, jarak antar kuartil) dan variabel kualitatif (jumlah dan persentase
absolut). Data kemudian dianalisis menggunakan Mann-Whitney U test. Data kategori dianalisis
menggunakan x2 atau Fisher exact test.
Perbedaan pada parameter fisiologis sepanjang waktu dibandingkan menggunakan
Friedman Q test untuk penilaian berulang dan analisis post hoc (Wilcoxon H test) dilakukan jika

p<0,05. Signifikansi data diambil jika p<0,05. Seluruh analisis statistik dilakukan oleh seorang
investigator dengan kemahiran di bidang statistik dan blinded terhadap penelitian ini
Hasil
Diagram mengenai alur peserta penelitian dijelaskan dalam Grafik 1. Seluruh pasien yang
terdaftar menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dihentikan pada analisis sementara oleh karena
tujuan utama dicapai dengan perbedaan yang sangat signifikan pada penggunaan CPAP dengan
helm. Karakteristik dasar utama dari pasien disajikan pada Tabel 1 : tidak terdapat perbedaan
signifikan dalam karakteristik demografi dan parameter penunjang pernafasan antar kedua
kelompok. Tujuan utama dan parameter hasil disajikan pada Tabel 2.
Rasio kegagalan terapi lebih banyak ditemukan pada penggunaan CPAP dengan masker
(p=0,009) terutama disebabkan oleh karena terjadi intoleransi (p=0,014). Pasien yang tidak
dapat ditoleransi menggunakan masker, keseluruhannya diberikan terapi pengganti menjadi
CPAP dengan helm. Rasio intubasi didapatkan hasil sama antar kedua kelompok (p=0,290).
Seluruh pasien dilakukan intubasi dalam 24 jam pertama oleh karena perburukan pertukaran gas.
Tidak terdapat efek samping mayor yang terjadi (henti jantung, pneumothoraks, atau
kegagalan sistem pengamanan). Jumlah hari penggunaan CPAP hampir mirip antar kedua
kelompok (p=0,72). Begitu juga pada waktu penggunaan CPAP pada 24 jam pertama (p=0,091).
Jumlah waktu penggunaan CPAP secara keseluruhan selama perawatan di PICU lebih lama pada
kelompok dengan helm (p=0,004). Kebocoran udara, iritasi kulit dan kebutuhan sedasi semuanya
lebih sering terjadi pada kelompok dengan masker (p=0,023;0,016;0,001). Tidak ditemukan
perbedaan antar kedua kelompok mengenai hal-hal yang berkaitan dengan distensi gaster, iritasi
mata, lama inap di PICU dan angka kematian.
Parameter fisiologis ditunjukkan pada tabel 3. Pada analisis keseluruhan PaO 2: FiO2
meningkat signifikan sepanjang waktu (p=0,001 pada penggunaan helm dan p=0,006 pada
penggunaan masker), sedangkan RR (p=0,001 dan p=0,004), dan HR (p=0,002 dan p=0,16)
menurun secara signifikan pada kedua kelompok apabila dibandingkan pada T 0. Perubahan
dalam kadar pH dan PaCO2 sangat sedikit sepanjang waktu dan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada kedua kelompok pada masing-masing waktu penilaian.
Skor OPS dan COMFORT meningkat secara signifikan hanya pada kelompok CPAP
dengan masker jika dibandingkan pada penilaian dasar menggunakan masker oksigen (OPS,
p=0,001, COMFORT,p=0,001) dan CPAP menggunakan helm (OPS, p=0,001 dan COMFORT
p=0,001).

Diskusi
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan CPAP dengan helm memiliki
toleransi yang lebih baik daripada penggunaan CPAP dengan facial mask, dengan kebutuhan
sedasi yang minimal. Aplikasi ini layak digunakan pada ARF ringan pada pediatric dan bebas
dari efek samping. Sehingga memungkinkan pengobatan yang lebih lama daripada penggunaan
masker. Masker wajah memiliki kecenderungan untuk bocor dan menyebabkan lesi pada kulit
oleh karena penggunaan bantalan pelindungnya.
Dalam sepengetahuan kami, penelitian ini merupakan penelitian RCT pertama yang
membandingkan kemanjuran menggunakan CPAP dengan masker dan masker wajah pada setting
klinis yang berkepanjangan. Kedua kelompok memiliki karakteristik demografik yang mirip dan
memiliki match yang baik pada penyebab dan tingkat keparahan ARF. Tujuan telah didefinisikan
secara jelas di awal, demikian juga meminimalisir penggunaan intpretasi data subjektif.
Pengaruh fisiologis dari penggunaan CPAP pada bayi dihasilkan dari fiksasi jalan nafas,
dan peningkatan volume ekspirasi paru, penurunan ventilasi/ ketidakcocokan perfusi, dan
stabilisasi pola respirasi. Pada bayi dengan bronkiolitis berat karena RSV, CPAP menurunkan
tekanan esophagus, dan perbaikan pola nafas dan hasil klinis yang menguntungkan.
Pada penelitian ini, seluruh bayi <1tahun memerlukan NRS. Bayi yang lebih muda tidak
dapat tidak dapat beradaptasi dengan baik dengan penggunaan NRS dibandingkan dengan bayi
yang lebih tua yang bisa lebih kooperatif. Pada bayi muda, penghantaran pada oronasal
merupakan pilihan lini pertama pada pemberian NRS, namun penggunaan pengantar antarmuka
yang terlalu kencang dapat meningkatkan tingkat kegagalan yang lebih tinggi oleh karena
intoleransi dan kebutuhan sedasi yang lebih besar.
Pada penelitian RCT sebelumnya telah dilaporkan bahwa penggunaan CPAP dengan
helm efisien pada pasien dewasa. CPAP helm sama efektifnya dengan CPAP masker dalam
meningkatkan volume akhir ekspirasi paru dan dan mengkompensasi tekanan jalan nafas tanpa
membutuhkan tas reservoir dan tanpa CO2 rebreathing pada aliran gas yang tinggi (>30 l/menit)
tergantung pada ukuran helm. Dari sudut pandang fisiologis, jika tekanan semakin konstan,
semakin banyak keuntungan yang ada dalam pergerakan nafas. Penurunan tekanan pada sirkuit
dapat menyebabkan gangguan pada penghantaran CPAP dan menyebabkan alveoli menjadi
kolaps. Sebuah sistem monitoring tekanan di sirkuit diperlukan untuk mendeteksi. Selama terapi
penggunaan helm tidak ditemukan adanya penurunan tekanan yang terdeteksi pada penelitian
sebelumnya.
Pediatrik helm diperkenalkan pada praktek klinik untuk meningkatkan kenyamanan saat
menggunakan CPAP. Helm memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan
penggunaan masker nasal atau wajah. Dengan penggunaan helm, kepala bayi dapat bergerak
leluasa serta dapat berinteraksi baik dengan lingkungan. Pada bayi preterm dengan distress nafas
ringan, CPAP helm menghasilkan keberhasilan yang lebih baik dan menimbulkan penurunan
oksigen yang lebih jarang daripada penggunaan nasal prong. Pada anak prasekolah dengan ARF
oleh karena penyebab campuran, CPAP helm aman dan memiliki toleransi yang baik dan
menyebabkan peningkatan awal oksigenasi. CPAP helm juga efektif dan memiliki toleransi yang
lebih baik pada anak hipoksemi dengan penyakit parenkim dan pada bayi dengan bronkiolitis
RSV, dengan penggunaan sedasi yang lebih sedikit dan waktu aplikasi yang lebih lama.
Penilaian kenyamanan pada bayi pada NRS belum memiliki standard dan menurut
sepengetahuan kami tidak ada scoring spesifik yang sudah ditentukan. OPS mudah digunakan
dan kami memilihnya untuk mengurangi resiko bias pada variabilitas antar pengamat yang
meliputi perawat dan unit lainnya. Untuk mengkonfirmasi hasil OPS, kami juga menggunakan

skor COMFORT pada setiap pasien di awal dan selama penggunaan CPAP. Semua scoring
tersebut menghasilkan skor yang meningkat secara signifikan pada kelompok dengan masker dan
jika dibandingkan dengan antar kelompok. Hal ini memperkuat penemuan bahwa telah terjadi
intoleransi yang besar dan membutuhkan sedasi yang lebih banyak pada kelompok masker. Kami
menyadari bahwa kedua skor tersebut digunakan untuk mengevaluasi distress dan tidak valid
digunakan pada anak dengan NRS dan tidak adanya skala spesifik yang ada dalam literature.
Penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien yang lebih banyak yang meliputi beberapa PICU
perlu dilakukan untuk dapat menjadikan sebuah scoring baru mengenai toleransi NRS pada
pediatric.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini tidak dilakukan
blinding untuk mendapatkan penanganan, oleh karena ketidakmungkinan untuk
menyembunyikan intervensi dari paramedic. Kedua, hanya bayi dengan ARF terkait RSV derajat
ringan yang diinklusi, jadi penelitian kami tidak dapat diaplikasikan pada pasien lain dan
penyakit lain. Ketiga, bronchiolitis akut yang merupakan indikasi dirawat di PICU sering pada
bayi umur 1-4 bulan. Angka median dari umur pada populasi penelitian ini lebih tinggi oleh
karena di Italia bayi yang lebih muda lebih sering NICU daripada di PICU. Populasi kami juga
memiliki penyakit parenkim yang lebih parah daripada presentasi klinis RSV klasik; tingkat
persentase bakteri koinfeksi akan menjelaskan tingkat keparahan hipoksia yang terjadi.
Beberapa isu juga menimbulkan komentar. Pertama, hasil dari analisis sementara
mungkin diperdebatkan, namun hasil kenyataannya menunjukkan bahwa CPAP helm cukup
meyakinkan dan logis untuk digunakan secara terus menerus pada pasien dibandingkan dengan
penggunaan facial mask. Kedua, saat ini telah tersedia masker wajah ekstra kecil untuk NRS di
PICU, namun saat penelitian ini dilakukan, hal itu belum tersedia. Penelitian lebih lanjut masih
diperlukan untuk menunjukkan kemanjuran terapinya dan kelayakan penggunaannya pada bayi
dan anak-anak dengan ARF. Ketiga, hal ini juga menjadikan sebuah perdebatan apakah
pengambilan sampel darah arteri secara rutin untuk menilai pertukaran gas selama NRS pada
pediatric. Rasio S/F (saturasi oksigen perifer/fraksi insipirasi oksigen) merupakan sebuah alat
yang bermanfaat untuk memonitoring penanganan NRS dan outcome, namun hal ini belum
dilakukan validasi pada waktu penelitian ini dilaksanakan.
Kesimpulan
Helm merupakan alat yang cocok dan aman untuk mengalirkan CPAP pada bayi dengan
bronkhiolitis RSV ringan yang membutuhkan NRS di PICU. Sebagai tambahan, helm memiliki
toleransi yang lebih baik daripada facial mask oleh karena dapat menghindari timbulnya iritasi
kulit, dan memungkinkan pengobatan yang lebih lama.
Ucapan Terima Kasih
Kami berterimakasih kepada seluruh orangtua pasien yang berpartisipasi pada penelitian
ini, dan pada perawat dan dokter yang terlibat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morley CJ, Davis PG. Continuous positive airway pressure: scientific and clinical rationale.
Curr Opin Pediatr. 2008;20(2): 119124
2. Cambonie G, Milsi C, Jaber S, et al. Nasal continuous positive airway pressure decreases
respiratory muscles overload in young infants with severe acute viral bronchiolitis. Intensive
Care Med. 2008;34(10):18651872
3. Milsi C, Matecki S, Jaber S, et al. 6 cmH2O continuous positive airway pressure versus
conventional oxygen therapy in severe viral bronchiolitis: a randomized trial. Pediatr Pulmonol.
2013;48(1):4551
4. Essouri S, Durand P, Chevret L, et al. Optimal level of nasal continuous positive airway
pressure in severe viral bronchiolitis. Intensive Care Med. 2011; 37(12):20022007
5. Thia LP, McKenzie SA, Blyth TP, Minasian CC, Kozlowska WJ, Carr SB. Randomised
controlled trial of nasal continuous positive airways pressure (CPAP) in bronchiolitis. Arch Dis
Child. 2008;93(1):4547
6. Leader S, Kohlhase K. Recent trends in severe respiratory syncytial virus (RSV) among US
infants, 1997 to 2000. J Pediatr. 2003;143(5 Suppl):S127S132
7. Martinn-Torres F, Rodrguez-Nez A, Martinn-Snchez JM. Nasal continuous positive
airway pressure with heliox versus air oxygen in infants with acute bronchiolitis: a crossover
study. Pediatrics. 2008;121(5). Available at: www.pediatrics.org/cgi/content/full/121/ 5/e1190
8. McNamara F, Sullivan CE. Nasal CPAP treatment in an infant with respiratory syncytial virusassociated apnea. Pediatr Pulmonol. 1997;24(3):218221
9. Essouri S, Laurent M, Chevret L, et al. Improved clinical and economic outcomes in severe
bronchiolitis with pre-emptive nCPAP ventilatory strategy. Intensive Care Med. 2014;40(1):84
91
10. Goldman SL, Brady JP, Dumpit FM. Increased work of breathing associated with nasal
prongs. Pediatrics. 1979;64(2): 160164
11. Locke RG, Wolfson MR, Shaffer TH, Rubenstein SD, Greenspan JS. Inadvertent
administration of positive end-distending pressure during nasal cannula flow. Pediatrics.
1993;91(1): 135138
12. Essouri S, Chevret L, Durand P, Haas V, Fauroux B, Devictor D. Noninvasive positive
pressure ventilation: five years of experience in a pediatric intensive care unit. Pediatr Crit Care
Med. 2006; 7(4):329334
13. Brink F, Duke T, Evans J. High-flow nasal prong oxygen therapy or nasopharyngeal
continuous positive airway pressure for children with moderate-to-severe respiratory distress?
Pediatr Crit Care Med. 2013;14(7): e326e331 doi:10.1097/ pcc.0b013e31828a894d
14. Metge P, Grimaldi C, Hassid S, et al. Comparison of a high-flow humidified nasal cannula to
nasal continuous positive airway pressure in children with acute bronchiolitis: experience in a
pediatric intensive care unit. Eur J Pediatr. 2014;173(7):953958 doi:10.1007/ s00431014
2275-9
15. Nrregaard O. Noninvasive ventilation in children. Eur Respir J. 2002;20(5): 13321342
16. Fortenberry JD, Del Toro J, Jefferson LS, Evey L, Haase D. Management of pediatric acute
hypoxemic respiratory insufficiency with bilevel positive pressure (BiPAP) nasal mask
ventilation. Chest. 1995;108(4):10591064
17. Trevisanuto D, Grazzina N, Doglioni N, Ferrarese P, Marzari F, Zanardo V. A new device for
administration of continuous positive airway pressure in preterm infants: comparison with a

standard nasal CPAP continuous positive airway pressure system. Intensive Care Med.
2005;31(6):859864
18. Codazzi D, Nacoti M, Passoni M, Bonanomi E, Sperti LR, Fumagalli R. Continuous positive
airway pressure with modified helmet for treatment of hypoxemic acute respiratory failure in
infants and a preschool population: a feasibility study. Pediatr Crit Care Med. 2006;7(5):455460
19. Piastra M, Antonelli M, Chiaretti A, Polidori G, Polidori L, Conti G. Treatment of acute
respiratory failure by helmetdelivered non-invasive pressure support ventilation in children with
acute leukemia: a pilot study. Intensive Care Med. 2004;30(3):472476
20. Piastra M, De Luca D, Pietrini D, et al. Noninvasive pressure-support ventilation in
immunocompromised children with ARDS: a feasibility study. Intensive Care Med.
2009;35(8):14201427
21. Chidini G, Calderini E, Pelosi P. Treatment of acute hypoxemic respiratory failure with
continuous positive airway pressure delivered by a new pediatric helmet in comparison with a
standard full face mask: a prospective pilot study. Pediatr Crit Care Med. 2010;11(4):502508
22. Milsi C, Ferragu F, Jaber S, et al. Continuous positive airway pressure ventilation with
helmet in infants under 1 year. Intensive Care Med. 2010;36(9): 15921596
23. Chidini G, Calderini E, Cesana BM, Gandini C, Prandi E, Pelosi P. Noninvasive continuous
positive airway pressure in acute respiratory failure: helmet versus facial mask. Pediatrics.
2010;126(2). Available at: www.pediatrics.org/cgi/ content/full/126/2/e330
24. Mathers LH, Frankel LR. Stabilization of the critically ill child. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders;
2004:279313
25. Taccone P, Hess D, Caironi P, Bigatello LM. Continuous positive airway pressure delivered
with a helmet: effects on carbon dioxide rebreathing. Crit Care Med. 2004;32(10):20902096
26. Patroniti N, Foti G, Manfio A, Coppo A, Bellani G, Pesenti A. Head helmet versus face mask
for non-invasive continuous positive airway pressure: a physiological study. Intensive Care Med.
2003;29(10): 16801687
27. Patroniti N, Saini M, Zanella A, Isgr S, Pesenti A. Danger of helmet continuous positive
airway pressure during failure of fresh gas source supply. Intensive Care Med. 2007;33(1):153
157
28. Broadman LM, Rice LJ, Hannallah RS, et al. Testing the validity of an objective
pain scale for infants and children. Anesthesiology. 1988;69(3A):A770
29. Ambuel B, Hamlett KW, Marx CM, Blumer JL. Assessing distress in pediatric
intensive care environments: the COMFORT scale. J Pediatr Psychol. 1992; 17(1):95109

Vous aimerez peut-être aussi