Vous êtes sur la page 1sur 6

Ajaran Syekh Siti Jenar & Kejawen

Dalam Mengenal Tuhan


AJARAN
PREVIOUS POST

By Admin / January 26th, 2015 / No Comments


Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan
Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh maulana yang utama, yang mulia
yang sakti, yang suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci
menjelma menjadi diri manusia.
Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak di utara atau selatan. Manusia
tidak akan menemukan biarpun keliling dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh
manusia sebagai penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan
hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk, kotor, hancur, tanah. Jika
manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala
penderitaan. Lebih lanjut Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah ruh diri
manusia yang tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak
tidur, yang tidak terikat dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.
Syekh Siti Jenar mengaku bahwa, aku adalah Allah, Allah adalah aku. Lihatlah, Allah ada dalam
diriku, aku ada dalam diri Allah. Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya
sebagai Tuhan Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap teguh sebagai
makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya bersatu dengan ruh Tuhan.
Memang ada persamaan antara ruh manusia dengan ruh Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di
dalam diri manusia. Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan
manusia denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat
Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam
ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi
satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.
Pandangan Syekh Lemah Abang Tentang Manusia
Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa merupakan
suara hati nurani manusia yang merupakan ungkapan dari zat Tuhan, maka hati nurani harus ditaati
dan dituruti perintahnya. Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang
Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang
berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat zat Tuhan yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka
lepaslah jiwa dari belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi angan-angan
dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat dipercaya, karena selalu berubah-ubah.

Menurut sabdalangit, perbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak belakang dalam pandangan
Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis demarkasi yang menjadi pemisah antara sifat hakikat jiwa
dan akal-budi. Jiwa terletak di luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada di dalam nafsu.
Mengenai perbedaan jiwa dan akal, dalam wirayat Saloka Jati diungkapkan bahwa akal-budi
umpama kodhok kinemulan ing leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa
umpama kodhok angemuli ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam pohon).
Bagi Syekh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara bersamaan dengan munculnya
kesadaran subyek terhadap obyek. Maka pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh
seseorang bersama dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui Tuhanmu, ketahuilah
(terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syekh Lemah bang percaya bahwa kebenaran yang diperoleh dari
hal-hal di atas ilmu pengetahuan, mengenai wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini
ada bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.
Pandangan Syekh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia
Pandangan Syekh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya adalah mati.
Dikatakan demikian karena hidup di dunia ini ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh
manusia. Manusia yang mendapatkan surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan,
kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita itu termasuk neraka. Jika
manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan, sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi
kesenangan atau surga di dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga
manusia dan sarana kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.
Syekh Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat yang gentayangan
untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar kekayaan yang dapat menyenangkan
jasmani. Manusia bergembira atas apa yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan jiwanya,
padahal ia tidak sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun begitu manusia suka
sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya adalah
bangkai. Manusia justru merasa dirinya mulia dan bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa
harta bendanya merupakan penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.
Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya derita. Pandangan seperti itu
menjadikan sikap dan pandangan Siti Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan dunia.
Hidup di dunia ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur dan celaka, bahagia
dan sempurna, surga dan neraka, semua bercampur aduk menjadi satu. Dengan adanya peraturan
maka manusia menjadi terbebani sejak lahir hingga mati. Maka Syekh Siti Jenar sangat
menekankan pada upaya manusia untuk hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup di dunia ini.
Siti Jenar kemudian mengajarkan bagaimana mencari kamoksan (mukswa/mosca) yakni mati
sempurna beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh (warongko manjing curigo). Hidup ini mati,
karena mati itu hidup yang sesungguhnya karena manusia bebas dari segala beban dan derita.
Karena hidup sesudah kematian adalah hidup yang sejati, dan abadi.

Syekh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya


Alasan yang mendasari mengapa Syekh Siti Jenar mengkritik habis-habisan para ulama dan
santrinya karena dalam kacamata Syekh Siti, mereka hanya berkutat pada amalan syariat (sembah
raga). Padahal masih banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk mencapai
tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta bujuk rayu surga justru
membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia. Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu
lupa akan tugas-tugas beratnya. Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan
Tuhannya.
Kritik Syekh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka
Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh para
ulama. Menurut Syekh Siti Jenar, surga dan neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama
mengajarkan surga dan neraka merupakan balasan yang diberikan kepada manusia atas amalnya
yang bakal diterima kelak sesudah kematian (akherat).
Menurut Syekh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan shalat jungkir balik, mengharapharap surga, sedang surga sesudah kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan orang tidak
perlu mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan toh tidak memberi
lantaran shalat.
Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di masjid, di dalamnya terdapat
Tuhan yang bohong. Para ulama telah menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik
lima kali, pagi, siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak. Sehingga
orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi gelisah tak enak ketika terlambat
mengerjakan shalat. Orang seperti itu sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang
menyadari bahwa shalat itu dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri untuk
menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari keserakahannya; dengan minta-minta
imbalan/hadiah surga. Orang-orang telah terbius oleh para ulama, sehingga mereka suka berzikir,
dan disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya tiap hari. Sebaliknya, lupa bahwa
sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan kepada sesama (habluminannas).
Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka sebagai orang dungu dan
dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai balasan yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran
demikian adalah penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup asal hidup, tidak
mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka menolak mentah-mentah. Surga dan neraka
letaknya pada manusia masing-masing. Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam
oleh para pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah neraka.
Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk makan
sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah
sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk udaranya, tenang jiwanya,
itulah surga. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga mana neraka.

Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan mikrokosmos (manusia)
sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa
sebagai penjelmaan zat Tuhan.
Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, sebagai organ tubuh
seperti daging, otot, darah, dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang
pinjaman yang suatu saat, setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan kembali
berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).
Syekh Lemah Bang, mengatakan bahwa;
Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan pula
kekosongan atau kehampaan. Penampilanku sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku
dapat busuk bercampur debu, nafasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali
sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh
manusia, manusialah yang memberi nama.
Kesimpulan
Pandangan Syekh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari belenggu alam kematian yakni
hidup di alam dunia ini, berawal dari konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia
adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia menemui
ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Pada saat itu semua bentuk badan wadag (jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad
merupakan barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang pinjaman yang
harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.
Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang dunia sebagai bentuk penderitaan
total yang harus segera ditinggalkan rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad,
Hussein Ibnu Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda dengan konsep Islam
secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah Tuhan.
Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia
Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia dunia ditampilkan secara rinci, realistis, logis
dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe,
mampir minum, hidup dalam waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam keabadian setelah raga
ini mati. Tetapi tugas manusia sungguh berat, karena jasad adalah pinjaman Tuhan. Tuhan
meminjamkan raga kepada ruh, tetapi ruh harus mempertanggungjawabkan barang pinjamannya
itu. Pada awalnya Tuhan Yang Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan suci,
apabila waktu kontrak peminjaman sudah habis, maka ruh diminta tanggungjawabnya, ruh harus
mengembalikan jasad pinjamannya dalam keadaan yang suci seperti semula. Ruh dengan jasadnya
diijinkan Tuhan turun ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman tersebut agar
dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad.

Ruh dan jasad menyatu dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan
dan mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga yang dinamakan bumi
berikut segala macam isinya; atau mercapada. Karena bumi bersifat pinjaman Tuhan, maka bumi
juga bersifat tidak kekal.
Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad, berikut tempat tinggal dan
segala isinya menjadi fasilitas manusia boleh digunakan secara gratis. Tuhan hanya menuntut
tanggungjawab manusia saja, agar supaya menjaga semua barang pinjaman Tuhan tersebut, serta
manusia diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan sediakan dengan cara tidak
merusak barang pinjaman dan semua fasilitasnya.
Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini; yakni menjaga barang titipan
atau pinjaman, serta boleh memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia
dengan tanpa merusak, dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak, dan kembali seperti
semula dalam keadaan suci. Itulah perjanjian gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya.
Untuk menjaga klausul perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau aturanmain yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni manusia. Rumus Tuhan ini yang disebut
pula sebagai kodrat Tuhan; berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran atas isi atau klausul
kontrak tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya; keburukan akan berbuah
keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Barang siapa menanam, maka mengetam.
Perbuatan suka memudahkan akan berbuah sering dimudahkan. Suka mempersulit akan berbuah
sering dipersulit.
Konsep Kejawen Tentang Pahala dan Dosa dan Pandangan Kejawen tentang KebaikanKeburukan
Ajaran Kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap
beribadat. Bagi Kejawen, motifasi beribadat atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan
karena tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang manembah kepada Tuhan
Yang Maha Suci bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga. Kejawen memiliki tingkat
kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan
ketakutan dan intimidasi dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik
kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita pada sesama adalah
KEBUTUHAN diri kita sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena setiap kebaikan yang kita
lakukan pada sesama akan kembali untuk diri kita sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali pada
diri kita secara berlipat. Demikian juga sebaliknya, setiap kejahatan akan berbuah kejahatan pula.
Kita suka mempersulit orang lain, maka dalam urusan-urusan kita akan sering menemukan
kesulitan. Kita gemar menolong dan membantu sesama, maka hidup kita akan selalu mendapatkan
kemudahan.
Menurut pandangan Kejawen, kebiasaan mengharap dan menghitung pahala terhadap setiap
perbuatan baik hanya akan membuat keikhlasan seseorang menjadi tidak sempurna. Kebiasaan itu
juga mencerminkan sikap yang serakah, lancang, picik, dan tidak tahu diri. Karena menyembah

Tuhan adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan. Mengapa seseorang masih juga
mengharap-harap pahala dalam memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri ? Dapat dibayangkan, jika
kita menjadi mahasiswa maka butuh bimbingan dalam menyusun skripsi dari dosen pembimbing,
maka betapa lancang, serakah, dan tak tahu diri jika kita masih berharap-harap supaya dosen
pembimbing tersebut bersedia memberikan uang kepada kita sebagai upah. Dapat diumpamakan
pula misalnya; kita mengharap-harapkan upah dari seseorang yang bersedia menolong kita..?
Ajaran Kejawen memandang bahwa seseorang yang menyembah Tuhan dengan tanpa
pengharapan akan mendapat pahala atau surga dan bukan atas alasan takut dosa atau neraka,
adalah sebuah bentuk KEMULIAAN HIDUP YANG SEJATI. Sebaliknya, menyembah Tuhan,
berangkat dari kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ini selalu berhutang kenikmatan dan
anugrah dari Tuhan. Dalam satu detik seseorang akan kesulitan mengucapkan satu kalimat sukur,
padahal dalam sedetik itu manusia adanya telah berhutang puluhan atau bahkan ratusan
kenikmatan dan anugerah Tuhan. Maka seseorang menjadi tidak etis, lancang dan tak tahu diri jika
dalam bersembahyang pun manusia masih menjadikannya sebagai sarana memohon sesuatu
kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta, tetapi manusia lah yang tak tahu diri tiada habisnya
meminta-minta. Dalam sikap demikian ketenangan dan kebahagiaan hidup yang sejati akan sangat
sulit didapatkan.
Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya kepada Tuhan.
Namun demikian ajaran Kejawen memandang bahwa rasa sukur kepada Tuhan melalui sembahyang
atau ucapan saja tidak lah cukup, tetapi lebih utama harus diartikulasikan dan diimplementasikan ke
dalam bentuk tindakan atau perbuatan baik kepada sesama dalam kehidupan sehari-harinya. Jika
Tuhan memberikan kesehatan kepada seseorang, maka sebagai wujud rasa sukurnya orang itu
harus membantu dan menolong orang lain yang sedang sakit atau menderita.
Itu lah pandangan yang menjadi dasar Kejawen bahwa menyembah Tuhan, dan berbuat baik pada
sesama, bukanlah KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang
mewajibkan.
Note: Judul sengaja kami rubah agar lebih menarik!
Oleh: sabdalangit
Oleh: https://sabdalangit.wordpress.com

Vous aimerez peut-être aussi