Vous êtes sur la page 1sur 62

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 2004


TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, dan makmur;
b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan
Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K AN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan
sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.
3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang
berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa
peserta dan/atau anggota keluarganya.
4. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan sosial.
5. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak
mampu sebagai peserta program jaminan sosial.

6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial.
7. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan
iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional
penyelenggaraan program jaminan sosial.
8. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
9. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota
keluarganya.
10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja,
dan/atau Pemerintah.
11. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan
dalam bentuk lain.
12. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan
pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
13. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
14. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk
kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya,
dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
15. Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota
badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya
kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
16. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidak-mampuan seseorang untuk
melakukan pekerjaan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN
Pasal 2
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas
manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 4
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip :
a. kegotong-royongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;

d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dana amanat; dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
BAB III
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
Pasal 5
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.
(2) Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada
dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.
(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI); dan
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
(4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat
(3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.
BAB IV
DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Pasal 6
Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-Undang ini
dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 7
(1) Dewan Jaminan Sosial Nasional bertanggung jawab kepada Presiden.
(2) Dewan Jaminan Sosial Nasional berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi
penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
(3) Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas :
a. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial;
b. mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional; dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya
anggaran operasional kepada Pemerintah.
(4) Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program jaminan sosial.
Pasal 8
(1) Dewan Jaminan Sosial Nasional beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri dari
unsur Pemerintah, tokoh dan/atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial, organisasi
pemberi kerja, dan organisasi pekerja.

(2) Dewan Jaminan Sosial Nasional dipimpin oleh seorang Ketua merangkap anggota dan
anggota lainnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari unsur Pemerintah.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dibantu oleh Sekretariat
Dewan yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Dewan Jaminan Sosial Nasional.
(5) Masa jabatan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah 5 (lima) tahun, dan dapat
diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
(6) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam
puluh) tahun pada saat menjadi anggota;
f. lulusan pendidikan paling rendah jenjang strata 1 (satu);
g. memiliki keahlian di bidang jaminan sosial;
h. memiliki kepedulian terhadap bidang jaminan sosial; dan
i. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat meminta masukan dan
bantuan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 10
Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Pasal 11
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat berhenti atau diberhentikan sebelum berakhir
masa jabatan karena :
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. mengundurkan diri;
d. tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
Pasal 12
(1) Untuk pertama kali, Ketua dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional diusulkan oleh
Menteri yang bidang tugasnya meliputi kesejahteraan sosial.
(2) Tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Jaminan Sosial
Nasional diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
BAB V
KEPESERTAAN DAN IURAN

Pasal 13
(1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti.
(2) Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 14
(1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan
orang tidak mampu.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada
setiap peserta dan anggota keluarganya.
(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi tentang hak dan
kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
Pasal 16
Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program
jaminan sosial yang diikuti.
Pasal 17
(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase
dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang
menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial secara berkala.
(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap
jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan
dasar hidup yang layak.
(4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh
Pemerintah.
(5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah
untuk program jaminan kesehatan.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Jenis Program Jaminan Sosial

Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi :
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun; dan
e. jaminan kematian.
Bagian Kedua
Jaminan Kesehatan
Pasal 19
(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial
dan prinsip ekuitas.
(2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan.
Pasal 20
(1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya
dibayar oleh Pemerintah.
(2) Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.
(3) Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain yang menjadi
tanggungannya dengan penambahan iuran.
Pasal 21
(1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang
peserta mengalami pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan belum
memperoleh pekerjaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.
(3) Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh
Pemerintah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 22
(1) Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan
yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan
bahan medis habis pakai yang diperlukan.
(2) Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan, peserta
dikenakan urun biaya.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 23

(1) Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan pada
fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan
pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
(3) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna
memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib
memberikan kompensasi.
(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di
rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden.
Pasal 24
(1) Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas
kesehatan di wilayah tersebut.
(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan
yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan
pembayaran diterima.
(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan,
sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.
Pasal 25
Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang dijamin oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 26
Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 27
(1) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan
persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh
pekerja dan pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan
berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
(3) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran ditentukan berdasarkan
nominal yang ditetapkan secara berkala.
(4) Batas upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala.
(5) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta batas
upah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Pasal 28
(1) Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin
mengikutsertakan anggota keluarga yang lain wajib membayar tambahan iuran.
(2) Tambahan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.
Bagian Ketiga
Jaminan Kecelakaan Kerja
Pasal 29
(1) Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial.
(2) Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang pekerja
mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja.
Pasal 30
Peserta jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.
Pasal 31
(1) Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai
apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia.
(2) Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli
waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan.
(3) Untuk jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu, pemberi kerja dikenakan
urun biaya.
Pasal 32
(1) Manfaat jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang memenuhi syarat dan
menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
(3) Dalam hal kecelakaan kerja terjadi di suatu daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan
yang memenuhi syarat, maka guna memenuhi kebutuhan medis bagi peserta, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi.
(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas perawatan di
rumah sakit diberikan kelas standar.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya manfaat uang tunai, hak ahli waris, kompensasi,
dan pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 34
(1) Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah sebesar persentase tertentu dari upah atau
penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja untuk peserta yang tidak menerima upah adalah
jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah.
(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bervariasi untuk setiap kelompok
pekerja sesuai dengan risiko lingkungan kerja.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Jaminan Hari Tua
Pasal 35
(1) Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau
tabungan wajib.
(2) Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima
uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal
dunia.
Pasal 36
Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.
Pasal 37
(1) Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta
memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
(2) Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh akumulasi iuran yang
telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya.
(3) Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu
setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.
(4) Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat
jaminan hari tua.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan berdasarkan
persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang ditanggung bersama oleh
pemberi kerja dan pekerja.
(2) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta yang tidak menerima upah ditetapkan
berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Jaminan Pensiun
Pasal 39
(1) Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau
tabungan wajib.
(2) Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak
pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun
atau mengalami cacat total tetap.
(3) Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
(4) Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Pasal 41
(1) Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai :
a. Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal dunia;
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat penyakit sampai
meninggal dunia;
c. Pensiun janda/duda, diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau
menikah lagi;
d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai usia 23 (dua puluh tiga)
tahun, bekerja, atau menikah; atau
e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran uang pensiun berkala
setiap bulan setelah memenuhi masa iur minimal 15 (lima belas) tahun, kecuali ditetapkan
lain oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai usia pensiun
sesuai formula yang ditetapkan.
(4) Apabila peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia pensiun atau belum memenuhi
masa iur 15 (lima belas) tahun, ahli warisnya tetap berhak mendapatkan manfaat jaminan
pensiun.
(5) Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur 15 (lima belas) tahun,
peserta tersebut berhak mendapatkan seluruh akumulasi iurannya ditambah hasil
pengembangannya.
(6) Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja
tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun.
(7) Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat total tetap
meskipun peserta tersebut belum memasuki usia pensiun.
(8 ) Ketentuan mengenai manfaat pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 42
(1) Besarnya iuran jaminan pensiun untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan

persentase tertentu dari upah atau penghasilan atau suatu jumlah nominal tertentu yang
ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pekerja.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keenam
Jaminan Kematian
Pasal 43
(1) Jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan santunan kematian
yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
Pasal 44
Peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Pasal 45
(1) Manfaat jaminan kematian berupa uang tunai dibayarkan paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah klaim diterima dan disetujui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Besarnya manfaat jaminan kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah nominal
tertentu.
(3) Ketentuan mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
(1) Iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta penerima upah ditentukan berdasarkan
persentase tertentu dari upah atau penghasilan.
(3) Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima upah ditentukan
berdasarkan jumlah nominal tertentu dibayar oleh peserta.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGELOLAAN DANA JAMINAN SOSIAL
Pasal 47
(1) Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.
(2) Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat

kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.


Pasal 49
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengelola pembukuan sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku.
(2) Subsidi silang antarprogram dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana
program lain tidak diperkenankan.
(3) Peserta berhak setiap saat memperoleh informasi tentang akumulasi iuran dan hasil
pengembangannya serta manfaat dari jenis program jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian.
(4) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi akumulasi iuran
berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta jaminan hari tua sekurang-kurangnya
sekali dalam satu tahun.
Pasal 50
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan
standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 51
Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dilakukan
oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) yang
dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN)
yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
38), berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan
Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3014) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3200);


c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1991 Nomor 88);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) yang dibentuk
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan
Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16);
tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
(2) Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 5
(lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Last edited by Ali Alkatiri on Sun May 30, 2010 4:23 am; edited 1 time in total
Ali Alkatiri
Administrator

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Sun May 30, 2010 4:19 am
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004
NOMOR 150

Number of posts: 1123


Age: 57

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Location: Jakarta
Registration date:
2008-08-27

NOMOR 40 TAHUN 2004


TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
UMUM
Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan
kebijakan pembangunan nasional telah menghasilkan banyak
kemajuan, di antaranya telah meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan,
adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat.
Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan
tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang
belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan
sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat
(3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam
Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua
negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap
tenaga kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor
X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem
Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan
sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program
Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program
ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan
hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit,
mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut,
atau pensiun.
Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan
beberapa program jaminan sosial. Undang-Undang yang secara
khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan
pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua
dan jaminan kematian.
Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program
Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang
dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 dan
program Asuransi Kesehatan (ASKES) yang diselenggarakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang
bersifat wajib bagi PNS/Penerima Pensiun/Perintis
Kemerdekaan/Veteran dan anggota keluarganya.
Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), dan PNS Departemen
Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya, telah dilaksanakan

program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


(ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun
1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 1971.
Berbagai program tersebut di atas baru mencakup sebagian kecil
masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan
yang memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program
jaminan sosial tersebut belum mampu memberikan perlindungan
yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan manfaat
program yang menjadi hak peserta.
Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang mampu mensinkronisasikan
penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan
oleh beberapa penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan
yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi
setiap peserta.
Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut :
- Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam
mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta
yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh
rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi;
dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip
kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk
mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah
untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat,
hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
- Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari
seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan
hasil pengembangannya.
- Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan
jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan
atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
- Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan
agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.
Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat
dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan
pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu
sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga
dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara
mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional
dapat mencakup seluruh rakyat.
- Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta
merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola

sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk


kesejahteraan peserta.
- Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam
Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang
saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan
kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja.
Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh
beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan
dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai
dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat
manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional
menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan
merupakan asas yang bersifat idiil. Ketiga asas tersebut dimaksudkan
untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan
esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 4
Prinsip kegotong-royongan dalam ketentuan ini adalah prinsip
kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan
sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar
iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
Prinsip nirlaba dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan usaha
yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
Prinsip keterbukaan dalam ketentuan ini adalah prinsip
mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi
setiap peserta.
Prinsip kehati-hatian dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan
dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
Prinsip akuntabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip pelaksanaan
program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Prinsip portabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip memberikan


jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan
atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang
mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial,
yang dilaksanakan secara bertahap.
Prinsip dana amanat dalam ketentuan ini adalah bahwa iuran dan
hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk
digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.
Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam
ketentuan ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang
dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut
ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan dinamika
perkembangan jaminan sosial dengan tetap memberi kesempatan
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang telah ada/atau
yang baru, dalam mengembangkan cakupan kepesertaan dan program
jaminan sosial.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Kajian dan penelitian yang dilakukan dalam ketentuan ini antara lain
penyesuaian masa transisi, standar operasional dan prosedur Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, besaran iuran dan manfaat,
pentahapan kepesertaan dan perluasan program, pemenuhan hak
peserta, dan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Huruf b
Kebijakan investasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
penempatan dana dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian,
optimalisasi hasil, keamanan dana, dan transparansi.
Huruf c
Cukup jelas

Ayat (4)
Kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya program jaminan
sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
Pasal 8
Ayat (1)
Jumlah 15 (lima belas) orang anggota dalam ketentuan ini terdiri dari
unsur pemerintah 5 (lima) orang, unsur tokoh dan/atau ahli 6 (enam)
orang, unsur organisasi pemberi kerja 2 (dua) orang, dan unsur
organisasi pekerja 2 (dua) orang.
Unsur pemerintah dalam ketentuan ini berasal dari departemen yang
bertanggung jawab di bidang keuangan, ketenagakerjaan, kesehatan,
sosial, dan kesejahteraan rakyat dan/atau bidang pertahanan dan
keamanan, masing-masing 1 (satu) orang.
Unsur ahli dalam ketentuan ini meliputi ahli di bidang asuransi,
keuangan, investasi, dan aktuaria.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Frasa secara bertahap dalam ketentuan ini dimaksudkan agar
memperhatikan syarat-syarat kepesertaan dan program yang
dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan anggaran negara,
seperti diawali dengan program jaminan kesehatan.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup hak dan
kewajiban sebagai peserta, akun pribadi secara berkala minimal satu
tahun sekali, dan perkembangan program yang diikutinya.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud pembayaran iuran secara berkala dalam ketentuan ini
adalah pembayaran setiap bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fakir miskin dan orang yang tidak mampu dalam ketentuan ini adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Prinsip asuransi sosial meliputi :
a. kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan
sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;
b. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;
c. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;
d. bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran
yang telah dibayarkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak
tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain dalam ketentuan
ini adalah anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.
Untuk mengikutsertakan anggota keluarga yang lain, pekerja
memberikan surat kuasa kepada pemberi kerja untuk menambahkan
iurannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini memungkinkan seorang peserta yang mengalami
pemutusan hubungan kerja dan keluarganya tetap dapat menerima
jaminan kesehatan hingga 6 (enam) bulan berikutnya tanpa mengiur.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud pelayanan kesehatan dalam pasal ini meliputi
pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga
Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan
tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung.
Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik
mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin
kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan
kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah
dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal
ini diperlukan untuk kehati-hatian.
Ayat (2)
Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka
peluang moral hazard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku
peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan
diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik.
Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama
upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan
urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari
biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat
peserta memperoleh pelayanan kesehatan.
Ayat (3)

Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dokter praktek, klinik,
laboratorium, apotek dan fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas
kesehatan memenuhi syarat tertentu apabila fasilitas kesehatan
tersebut diakui dan memiliki izin dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kompensasi yang diberikan pada peserta dapat dalam bentuk uang
tunai, sesuai dengan hak peserta.
Ayat (4)
Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya
(kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti
asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara
biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan
biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dapat memberikan anggaran tertentu
kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah
peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan
(kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya
perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan
rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian,
sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif
dan seefisien mungkin.
Ayat (3)
Dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menerapkan sistem kendali mutu dan kendali biaya
termasuk menerapkan iuran biaya untuk mencegah penyalahgunaan
pelayanan kesehatan.
Pasal 25
Penetapan daftar dan plafon harga dalam ketentuan ini dimaksudkan
agar mempertimbangkan perkembangan kebutuhan medik
ketersediaan, serta efektifitas dan efisiensi obat atau bahan medis
habis pakai.
Pasal 26

Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengertian secara berkala dalam ketentuan ini adalah jangka waktu
tertentu untuk melakukan peninjauan atau perubahan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kompensasi dalam ketentuan ini dapat berbentuk penggantian uang
tunai, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas
kesehatan tertentu.
Ayat (4)
Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya
(kelas standar), dapat meningkatkan kelasnya dengan mengikuti
asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara
biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan
biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Variasi besarnya iuran disesuaikan dengan tingkat risiko lingkungan
kerja dimaksudkan pula untuk mendorong pemberi kerja menurunkan
tingkat risiko lingkungan kerjanya dan terciptanya efisiensi usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Prinsip asuransi sosial dalam jaminan hari tua didasarkan pada
mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan
pemberi kerja.
Prinsip tabungan wajib dalam jaminan hari tua didasarkan pada
pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua berasal dari akumulasi
iuran dan hasil pengembangannya.
Ayat (2)
Jaminan hari tua diterimakan kepada peserta yang belum memasuki
usia pensiun karena mengalami cacat total tetap sehingga tidak bisa
lagi bekerja dan iurannya berhenti.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah menjamin terselenggaranya pengembangan dana jaminan
hari tua sesuai dengan prinsip kehati-hatian minimal setara tingkat
suku bunga deposito bank Pemerintah jangka waktu satu tahun
sehingga peserta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Ayat (3)
Sebagian jaminan hari tua dapat dibayarkan untuk membantu peserta
mempersiapkan diri memasuki masa pensiun.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang akan diatur oleh Pemerintah adalah besarnya persentase iuran
yang dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja.

Pasal 39
Ayat (1)
Pada dasarnya mekanisme jaminan pensiun berdasarkan asuransi
sosial, namun ketentuan ini memberi kesempatan kepada pekerja
yang memasuki usia pensiun tetapi masa iurannya tidak mencapai
waktu yang ditentukan, untuk diberlakukan sebagai tabungan wajib
dan dibayarkan pada saat yang bersangkutan berhenti bekerja,
ditambah hasil pengembangannya.
Ayat (2)
Derajat kehidupan yang layak yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah besaran jaminan pensiun mampu memenuhi kebutuhan pokok
pekerja dan keluarganya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan manfaat pasti adalah terdapat batas minimum
dan maksimum manfaat yang akan diterima peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Manfaat pensiun anak adalah pemberian uang pensiun berkala kepada
anak sebagai ahli waris peserta, paling banyak 2 (dua) orang yang
belum bekerja, belum menikah, atau sampai berusia 23 (dua puluh
tiga) tahun, yang tidak mempunyai sumber penghasilan apabila
seorang peserta meninggal dunia.
Huruf e
Manfaat pensiun orang tua adalah pemberian uang pensiun berkala
kepada orang tua sebagai ahli waris peserta lajang apabila seorang
peserta meninggal dunia.
Ayat (2)
Ketentuan 15 (lima belas) tahun diperlukan agar ada kecukupan dan
akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka
waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Formula jaminan pensiun ditetapkan berdasarkan masa kerja dan
upah terakhir.
Ayat (4)
Meskipun peserta belum memenuhi masa iur selama 15 (lima belas)
tahun, sesuai dengan prinsip asuransi sosial, ahli waris berhak

menerima jaminan pensiun sesuai dengan formula yang ditetapkan.


Ayat (5)
Karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun
diberlakukan sebagai tabungan wajib.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8 )
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan likuiditas adalah kemampuan keuangan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi kewajibannya
jangka pendek.
Yang dimaksud dengan solvabilitas adalah kemampuan keuangan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi semua
kewajiban jangka pendek dan jangka panjang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Subsidi silang yang tidak diperkenankan dalam ketentuan ini
misalnya dana pensiun tidak dapat digunakan untuk membiayai
jaminan kesehatan dan sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban di
masa depan kepada peserta.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4456
gitahafas
Moderator

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Sun May 30, 2010 9:43 am
RIEKE KHAWATIR MENKES PERLAMBAT PEMBAHASAN
BPJS
Laporan wartawan Persda Network Rachmat Hidayat
Jumat, 28 Mei 2010 | 22:02 WIB

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi perempuan PDI Perjuangan,


Rieke Diah Pitaloka mengaku masih ada yang mengganjal dalam
benaknya terkait gagalnya rapat dengar pendapat (RDP) antara DPR,
Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu
Sedyaningsih, Kamis (27/5/2010) kemarin.
Rieke yang juga anggota Komisi IX --membidangi masalah kesehatan
dan tenaga kerja-- ini menegaskan, Menkes kemungkinan tidak tahu
adanya sistem jaminan sosial nasional (SJSN). "Adanya peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor HK.02.02/Menkes/0C0D/I/2010/
tanggal 27 Januari 2010 ini, bukti bahwa Menteri Kesehatan tidak
tahu tentang SJSN," kata Rieke dalam perbincangan dengan
tribunnews, Jumat (28/5/2010).
Seperti diberitakan kemarin, Gagalnya RDP antara Menkes dengan
Komisi IX dikarenakan Peraturan Menteri (Permen) tentang Jaminan
Kesehatan Unit Pelaksanaan Teknis di Daerah Nomor
HK.02.02/Menkes/095/1/2010 yang dibacakan Menkes, dianggap
para anggota DPR, bertentangan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Menkes kemudian diberi waktu mempelajari UU No 40 Tahun 2004.


Rieke kemudian menegaskan, dalam Pasal 25 Permenkes ini sangat
bertentangan dengan UU SJSN (UU No 40 Tahun 2004). "Saya
khawatir, ini bagian dari upaya pemerintah memperlambat
pembahasan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Menkes,
mau tidak mau harus mencabut Permenkes itu," tandas Rieke.
Ditegaskan lagi, apapun segala macam bentuk perundang-undangan
haruslah bersifat secara nasional. Dan tidak boleh berbeda, antara
daerah yang satu dengan daerah lain. "Itu harus. Dan soal UU
kesehatan ini, seluruh rakyat, harus mendapat jaminan kesejatan yang
sama. Kenapa kemudian ada Permenkes? Ini sama saja dengan
penghinaan legislasi yang sudah dilakukan oleh DPR. Meskipun itu
menjadi hak eksekutif, tapi seperti meledek DPR. Menteri (Menkes)
tidak bisa main tandatangani (Permenkes) seperti itu," ujarnya.
"Saya tidak tahu ada motif politik atau tidak terkait kejadian kemarin.
Yang jelas, Menkes sudah teledor yang implikasinya bisa akan sangat
panjang. Tidak semudah itu saja Menkes mengatakan akan mencabut
Permenkes itu. Harusnya, evaluasi sudah dilakukan sejak lama. Dan
yang patut diutamakan adalah, sakitnya orang miskin harus lebih
dipedulikan," tambahnya dia.
Ali Alkatiri
Administrator

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Sun May 30, 2010 6:54 pm
Kamis, 27/05/2010 | 12:56

Endang Rahayu Sedyaningsih Akan Tarik Permenkes


Number of posts: 1123
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-08-27

Iman Dwi Nugroho - Jurnalparlemen.com


Senayan - Kritik tajam anggota Komisi IX DPR pada Peraturan
Menteri Kesehatan, hingga membuat Menkes Endang Rahayu
Sedyaningsih 'terusir' dari Rapat Kerja, dinilai Menkes hanya sebagai
salah tafsir saja. Solusi yang akan dilakukan Menkes adalah menarik
Permenkes itu dan merevisinya.
Hal itu dikatakan Endang Rahayu Sedyaningsih, Kamis (27/5), seusai
Raker Komisi IX. "Rupanya Permenkes kita multitafsir. Baik
perkatanyaan dan kalimatnya. Agar tidak kembali multitafsir, maka
akan ditarik dan direvisi," kata Endang.
Kemultitafsiran itu terletak pada kata Badan Penyelenggara, tanpa
menyebutkan apa badan penyelenggara yang dimaksud. Apakah
Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) atau Kementerian
Kesehatan. Bila BPJS, maka berarti yang bertanggungjawab dalam
hal ini adalah UU.

"Bagiamana perbaikannya, itu nanti akan kita bicarakan dulu secara


intern Kementerian Kesehatan. Sekaligus memperbaiki jalur
komunikasi dengan DPR, biar kita tidak salah lagi," katanya.
Lebih jauh Endang memastikan, tujuan dari Permenkes itu adalah
untuk mengatur pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
agar pelayanan kesehatan bisa benar-benar efektif dirasakan
masyarakat. Karena itu, Menkes menyambut lembaga-lembaga di
masyarakat yang dibentuk berdasarkan Permenkes, seperti wali
amanah.
"Masyarakat memang tidak bisa menunggu, orang miskin yang
terdaftar Jamkesmas dan orang yang tidak terdaftar tapi mengaku
miskin, akan segera ditanggung oleh Jamkesda," katanya.
Berdasarkan Permenkes itu juga, masing-masing daerah menangani
hal pendanaan dengan beragam. Mulai diserahkan ke PT Askes, ada
juga yang dikelola sendiri.
Endang menolak bila sengketa salah tafsir ini diartikan sebagai salah
satu bentuk sikap pemerintah yang sepakat BPJS. Dia mencontohkan,
semangat Jamkesda sama dengan BPJS. "Jamkesda itu mengatur
bagaimana pemerintah itu menyediakan anggaran. Karena memang
harus menghitung satu kepala berapa rupiah dan lain-lain," katanya.
(idn/yat)
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Thu Jun 10, 2010 7:45 pm
JAMINAN SOSIAL TIDAK LINDUNGI SEMUA RAKYAT
Laporan wartawan KOMPAS Ratih P Sudarsono
Kamis, 10 Juni 2010 | 17:33 WIB
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
BOGOR, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai tidak serius untuk
mematuhi Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). P rogram jaminan sosial yang ada
masih parsial, tumpang tindih, dan tidak meng-cover seluruh rakyat
Indonesia. "UU SJSN sudah diundangkan tahun 2004, namun hingga
saat ini tidak ada badan nasional independen, yang bukan lembaga
pemerintah, yang mengatur dan menangani program jaminan sosial
yang meng-cover secara universal seluruh rakyat Indonesia. Ini
karena pemerintah tidak serius, tidak ada political will, untuk
membentuknya," kata Prof Hasbullah Thabrany, dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Univer sitas Indonesia, Kamis (10/6/2010).
Hasbullah di Bogor dalam kaitan sebagai salah seorang pembicara
dalam Sosisalisasi Undang-undang SJSN di Ruang Rapat I Balaikota.
Sosial isi berkaitan rencana Pemko Bogor bekerjasama dengan PT
Askes (Perseroan) dalam mengelola dana jaminan kesehatan/biaya
rumah sakit bagi karyawan Pemda dan warga miskin Kota Bogor. Ia
mengatakan, program jaminan sosial yang ada saat ini berdiri sendiri-

sendiri, seperti yang dilaksankan Jamsostek, Taspen, Askes, dan


Asabri. Hal itu harus disinkronisasaikan karena UU Nomor 40 Tahun
2004 sudah disahkan. "Dimana undang-undang itu mengharuskan ada
satu badan khusus tersendiri dan independen yang mengatur SJSN
bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Menurut Hasbullah, tidak terjadi keadilan sosial kalau hanya pegawai
negeri sipil dan militer yang mendapat jaminan kesehatan atau
pensiun, yang merupakan bentuk jaminan sosial dari pemeritah.
Sebab, apakah dana APBN hanya dimiliki pegawai pemerintah atau
milik seluruh rakyat. Di sisi lain UUD 1945 mengamankan bahwa
setiap rakyat mempunyai hak mendapat jaminan sosial dari negara.
Selain itu, tidak mungkin masalah jaminan sosial rakyat ini
diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah, karena APBD
tidak akan mampu mencukupinya. Ia menambahkan, daripada
pemerintah bergelut dan pusing dengan tekanan pengeluaran untuk
mensubsidi bahan bakar minyak atau listrik, lebih baik konsentrasi
penuh membentuk badan , yang lengkap dengan perangkat dan
dananya sebagaimana KPK, untuk mengurusi program SJSN ini.
"Tidak ada undang-undnag yang mengharuskan pemerintah
menggunakan uang negara untuk mensubsidi BBM atau listrik.
Tetapi, ada UU yang meng haruskan pemerintah memberi jaminan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui progam SJSN. Mengapa
pemerintah sampai saat ini tidak melaksanakann ya? Di Tahiland,
pemerintahnya meniadakan subsidi BBM namun seluruh rakyatanya
ter-cover dengan program jaminan sosialnnya," tutur Hasbullah
Thabrany.
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Thu Jun 10, 2010 7:47 pm
MENGGUGAT ARAH SISTIM JAMINAN KESEHATAN
Sabtu, 20 Februari 2010
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Petugas Puskesmas Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat,
terpaksa berkeliling secara rutin untuk mengunjungi lima desa sekitar.
Ini disebabkan desa-desa tersebut lokasinya jauh dari puskesmas.
Terkadang, pasien mereka bawa ke puskesmas jika membutuhkan
tindakan medis lebih lanjut. Ketika orang miskin tidak mampu
membayar biaya pengobatan bila sakit, pemerintah pun berbaik hati
untuk membayarinya melalui sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Secara politis ini sangat bagus karena rakyat akan melihat bahwa
pemerintah telah memerhatikan mereka.
Namun, berita tentang bayi yang disandera karena orangtuanya tidak
mampu membayar, atau orang miskin yang ditolak rumah sakit (RS),
menunjukkan bahwa dalam praktik masih ada masalah. Dari contohcontoh kasus yang diberitakan media massa, masalahnya agaknya
bukan pada tidak tersedianya dana, tetapi lebih pada birokrasi yang
tidak dipahami atau tidak terjangkau oleh orang miskin.

Dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II bidang


kesehatan, masalah ini tidak dipersoalkan, tetapi justru jumlah dana
yang disalurkan yang diperbesar dan cakupan yang diperluas,
meliputi juga warga lembaga pemasyarakatan.
Masalah syarat administrasi ini memang pernah dibahas dalam rapat
kerja Kementerian Kesehatan, tetapi lebih dilihat dari kepentingan
RS. Masalah kemudahan bagi rakyat yang benar-benar memerlukan
kurang dipersoalkan. Terobosan yang akan diambil Menteri
Kesehatan, sesuai program 100 hari, adalah membagikan kartu
miskin. Bagaimana mekanisme pembagiannya, berapa lama masa
berlaku, dan bagaimana mekanisme perpanjangan kartu itu belum
diungkapkan.
Di Amerika Serikat (AS), salah satu hal yang memberi tambahan nilai
pada akreditasi RS adalah jika rumah sakit memiliki social service
department. Tugas bagian ini adalah melakukan verifikasi ke alamat
pasien untuk meyakini bahwa pasien benar-benar miskin ketika ada
pasien miskin yang tidak memiliki kartu jaminan sosial. Hal serupa
barangkali juga dapat diterapkan di sini. Ketika pasien miskin datang
tanpa kartu, pertolongan diberikan dulu. Kemudian, petugas rumah
sakit (atau dinas sosial) melakukan pengecekan ke alamat pasien
untuk memastikan apakah pasien benar-benar orang miskin.
Efisiensi
Problem lain dengan program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) adalah segi efisiensinya. Dalam sistem layanan
kesehatan Indonesia yang liberal dan rendah disiplin, masalah ini
merupakan titik rawan. Pengharusan menggunakan Diagnostic
Related Groups (DRG) dan International Classification of Diseases
(ICD) sebagai pedoman belum merupakan jaminan karena banyak
dokter belum memahami. Dengan DRG, biaya ditetapkan bukan
didasarkan pada tiap tindakan (fee for service), tetapi pada jenis
diagnosis, sedangkan penetapan diagnosis mengacu kepada ICD 10.
Selama sistem masih sangat liberal, tarif rumah sakit ditetapkan
berbeda-beda sesuai peraturan daerah, serta belum ada mekanisme
pengawasan yang efektif, kebutuhan dana Jamkesmas dapat
membengkak tanpa peningkatan kualitas pelayanan. Apalagi jika
penentuan besaran dana untuk tiap pasien tidak didasari perhitungan
aktuaria yang cermat.
Di sisi lain, rumah sakit sulit menghindar dari pola perhitungan
berdasarkan fee for service akibat perilaku dokter kurang kooperatif
untuk melakukan efisiensi. Maka, perhitungan biaya akan lebih besar
daripada ketentuan DRG sehingga mereka merasa rugi kalau
menangani pasien miskin.
Dapat dimengerti bila masih saja terjadi ada pasien miskin diminta
membayar dengan dalih tindakan itu tak termasuk yang dijamin.

Rakyat miskin yang dijanjikan mendapat pengobatan gratis kembali


yang menjadi korban. Konsekuensi selanjutnya adalah penurunan
mutu layanan.
Tanpa pengawasan terhadap mutu, akan terjadi pembengkakan biaya
yang melampaui batas yang ditetapkan DRG. Komplikasi atau efek
samping yang terjadi akibat perawatan yang kurang bermutu jadi
alasan untuk membengkaknya biaya.
Negara-negara maju yang mempunyai program seperti Jamkesmas,
membentuk lembaga independen yang bertugas mengawasi mutu
layanan. Di AS ada Institute for Health Care Improvement (IHI), di
Inggris ada National Institute for Health and Clinical Excellence
(NICE), demikian juga di Australia dan Eropa.
Mereka melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan bagi yang
ditanggung negara dalam segi keamanan, cost-effectiveness, dan
manfaat bagi pasien. Lembaga-lembaga pengawas mutu tersebut
berisi bukan saja birokrat, tetapi juga tokoh profesi atau universitas
dan wakil masyarakat pemakai jasa pelayanan.
Pengelolaan
Dengan berbagai kelemahan di atas, dana Jamkesmas seharusnya
dikelola sebagaimana asuransi kesehatan sosial. Senyampang dengan
rencana pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
Jamkesmas seyogianya dilebur ke dalam SJSN dan dianggap sebagai
pembayaran premi bagi orang miskin. Jika pengelolaan SJSN benarbenar profesional, ia akan juga melakukan program preventif dan
promotif serta menjamin pemerataan akses pelayanan bagi semua
orang secara sama (equal) tanpa diskriminasi dan dengan mutu yang
terjaga.
Pemerintah lalu tinggal membentuk lembaga pengawas yang mandiri
seperti di negara-negara lain tadi. Selain itu, untuk efektivitas dan
efisiensi dapat dilakukan penggabungan antara Jamkesmas dan
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di daerah-daerah yang
mampu sehingga tidak terjadi duplikasi dan pemborosan.
Di AS dan juga Australia, misalnya, beban itu dibagi antara
pemerintah pusat dan negara bagian. Di AS, beban Jamkesmas orang
miskin (medicare) ditanggung negara bagian, tetapi Jamkesmas untuk
lanjut usia (medicaid) ditanggung pemerintah federal. Di Australia,
beban operasional rumah sakit pemerintah (public hospital) 50 persen
ditanggung pemerintah dan 50 persen lagi diperoleh dari SJSN.
Dalam program 100 hari KIB II, aspek populis dan dermawan
tampaknya yang lebih ingin ditonjolkan dibanding menyiapkan
landasan untuk memperbaiki sistem pelaksanaannya secara
konseptual sebagai dasar untuk melaksanakan UU SJSN (dijanjikan
tahun 2014). Tanpa perbaikan sistem, beban Jamkesmas akan
semakin besar tanpa dampak yang berarti bagi rakyat miskin.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum PB IDI


gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Fri Jun 11, 2010 5:28 am
JAMSOSTEK LAYAK PIMPIN SJSN
Suara Pembaruan, Kamis 10 Mei 2010
[JAKARTA] PT Jamsostek dinilai berpeluang menjadi lokomotif
perubahan da- lam penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) karena kaya pengalaman menyelenggarakan program jaminan
sosial. Direktur SDM dan Umum PT Jamsostek Joko Sungkono
kepada SP, Rabu (9/6), mengatakan, empat dari lima program SJSN
sudah dilaksanakan PT Jamsostek dan hanya jaminan pensiun yang
belum. Saya pikir, PT Jamsostek sudah sangat siap melaksanakan
amanat SJSN, kata Joko.
PT Jamsostek tidak hanya unggul dalam pelayanan bagi pesertanya,
tetapi juga memiliki segudang pengalaman dalam mengumpul iuran
dari perusahaan (sektor swasta) yang prosesnya jauh lebih rumit dari
pada pengelolaan dana APBN. Sembilan prinsip pelaksanaan SJSN
seperti kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, dan lainnya, menambah keyakinan, kami akan mampu
menjadi leader, kata Joko. PT Jamsostek juga sudah menggunakan
model Managed Care yang memberikan proteksi atas risiko finansial
akibat sakit secara menyeluruh dengan pelayanan kesehatan
berjenjang, serta pelibatan dokter keluarga sebagai pemberi layanan
pertama hingga layanan lanjutan.
Berpengalaman
Di samping memiliki infrastruktur kantor dan jaringan yang tersebar
luas di seluruh Indonesia, SDM dan teknologi informasi yang kuat,
PT Jamsostek juga berpengalaman selama 32 tahun lebih
menyelenggarakan empat program jaminan sosial.
Keempatnya adalah te-naga program jaminan ke-celakaan kerja,
jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan.
Saat ini, peserta Jamsostek sebesar 29 juta orang, sekitar 8,7 juta
merupakan peserta aktif dan sisanya peserta pasif. Masyarakat
tenaga kerja sudah menerima jaminan sosial tenaga kerja sebagai
kebutuhan untuk menjaga ketenangan dalam bekerja dan kepastian
masa depan untuk meningkatkan produktivitas, kata Joko. [E-8]

gitahafas
Moderator

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Thu Jun 17, 2010 11:58 am
PENGATURAN JAMKESDA BATAL DILAKSANAKAN
Kamis, 17 Juni 2010 | 09:45 WIB
KOMPAS/LASTI KURNIA
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan batal

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

memberlakukan peraturan untuk menyelaraskan penyelenggaraan


jaminan kesehatan daerah karena Komisi IX DPR RI yang
membidangi kesehatan tidak menyetujui penerapan aturan tersebut.
Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian
Kesehatan Usman Sumantri, di Jakarta, Rabu (16/6/2010)
menyatakan, Peraturan Menteri Kesehatan nomor 095 tahun 2010
yang diterbitkan untuk menyelaraskan penyelenggaraan jaminan
kesehatan nasional dengan jaminan kesehatan nasional beberapa
bulan lalu tidak diapresiasi DPR. "DPR menganggapnya tidak sesuai
dengan undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, jadi
aturan itu akhirnya dicabut," kata Usman Sumantri. Peraturan itu,
menurut dia, sedianya mengatur kepesertaan, pembiayaan, pelayanan,
pembentukan jejaring dan pelaksanaan program jaminan kesehatan
daerah secara terpadu selaras dengan pelaksanaan program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan
pemerintah pusat.
"Jaminan kesehatan antardaerah berbeda-beda skema, paket manfaat,
pembiayaan dan penyelenggaranya. Pemerintah sebenarnya ingin
menyelaraskannya dengan jaminan kesehatan nasional dengan
membuat aturan standar. Tapi ternyata tidak disetujui, jadi sekarang
kami cuma bisa melakukan pembinaan sambil menunggu undangundang tentang badan penyelenggara jaminan sosial nasional terbit,"
katanya. Secara terpisah anggota Komisi IX DPR RI Surya Chandra
Surapaty mengatakan, komisi itu menolak rencana pengaturan
tersebut karena bertentangan dengan Undang-undang nomor 40 tahun
2004 tentang sistem jaminan sosial nasional.
"Menurut undang-undang, jaminan sosial harus diselenggarakan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Jamkesda tidak
dijalankan oleh BPJS, tidak sesuai dengan undang-undang, jadi
mengatur Jamkesda sama dengan melanggar undang-undang,"
katanya. Dia menambahkan, peraturan menteri kesehatan tentang
pelaksanaan jaminan kesehatan daerah juga meliputi pembentukan
badan penyelenggara di tingkat provinsi oleh gubernur dan di tingkat
kabupaten/kota oleh bupati/walikota. "Ini kan tidak bisa dilakukan
menurut undang-undang," katanya. Menurut dia, pemerintah
sebaiknya menunggu undang-undang tentang BPJS terbit untuk
memperbaiki penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat. "Akan
lebih mudah dan jelas kalau undang-undang BPJS sudah ada,"
katanya serta menambahkan sampai saat ini DPR RI masih
membahas draf rancangan undang-undang tentang BPJS.
Selama ini, sejumlah pemerintah daerah membuat program jaminan
kesehatan sendiri untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi
sebagian atau seluruh penduduk di wilayah kerjanya. Daerah yang
tercatat sudah menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi warganya,
menurut Usman, antara lain Sumatera Selatan, Aceh, Sulawesi
Selatan dan Bali. "Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat sedang
menjalankan proses ke arah itu," katanya. Pemerintah daerah

menyelenggarakan jaminan kesehatan dengan cara dan skema mereka


sendiri. Model kepesertaan dan paket manfaatnya pun berbeda-beda.
Sebagian menjalin kerjasama dengan perusahaan asuransi, namun ada
juga yang menyelenggarakannya sendiri.
Menurut Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Pembiayaan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat Abdul Chalik Masulili sampai akhir
tahun 2009 program jaminan kesehatan yang diselenggarakan
pemerintah daerah bagi penduduk yang tidak masuk kuota program
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) cakupannya mencapai
10 juta penduduk.
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Thu Jun 24, 2010 5:51 am
TINJAUAN YURIDIS PENYELENGGARAAN JAMKESMAS
2008
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi banyak perubahan
mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik
dalam hal pemberdayaan masyarakat, desentralisasi, upaya kesehatan,
maupun lingkungan strategis kesehatan, termasuk pengaruh
globalisasi. Berbagai kebijakan penting yang perlu menjadi acuan
antara lain Pengembangan Desa Siaga, Obat Murah, Apotek Rakyat,
Jamkesmas, Poskestren, Mushalla Sehat, dan P4K. Perubahan iklim
dan upaya percepatan pencapaian Millenium Development Goals
(MDGs) sangat berpengaruh pada bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan
sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak
mampu yang diselenggarakan secara nasional, agar terjadi subsidi
silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
menyeluruh bagi masyarakat miskin. Upaya pelaksanaan Jamkesmas
merupakan perwujudan pemenuhan hak rakyat atas kesehatan dan
amanat UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan merupakan salah satu
komitmen pemerintah dalam pembangunan kesehatan di Indonesia.
Namun karena hingga saat ini peraturan pelaksana dan lembaga yang
harus dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum terbentuk,
Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan program jaminan
kesehatan untuk masyarakat miskin sebagai wujud pemenuhan hak
rakyat atas kesehatan tersebut.
Pelaksanaan kebijakan Jamkesmas dituangkan dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Program
Jamkesmas, sebagai salah satu program unggulan Departemen
Kesehatan, telah dilaksanakan sejak tahun 2005 dengan jumlah
peserta 36,1 juta penduduk miskin. Untuk tahun 2007 dan 2008,

jumlah penduduk miskin dan hampir miskin yang dijamin pemerintah


terus meningkat hingga menjadi 76,4 juta jiwa. Peningkatan
pemanfaatan program Jamkesmas menunjukkan bahwa tujuan
program tersebut telah tercapai.
Sejarah Program Jamkesmas
Penamaan program Jamkesmas mengalami berbagai bentuk
perubahan. Awalnya, sebelum program ini menjadi regulasi yang
diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan
menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain dengan
program Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM). Dengan
memobilisasi masyarakat diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat
ditingkatkan tanpa harus meningkatkan anggaran pemerintah. Konsep
yang ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan kesehatan harus
ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih berfungsi
sebagai regulator. Program DUKM secara operasional dijabarkan
dalam bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan, sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai
upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Bermula dengan
pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
(JPS-BK) Tahun 19982001, Program Dampak Pengurangan Subsidi
Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM) Tahun 20022004.
Dalam Amandemen Keempat UUD 1945 yang disetujui dalam
Sidang Umum MPR Tanggal 11 Agustus 2002, telah berhasil
meletakkan pondasi pembiayaan dengan sistem jaminan, yang tertera
dalam Pasal 34 (2) yaitu negara diberi tugas untuk mengembangkan
jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Dua tahun kemudian, tepatnya Tanggal 19 Oktober 2004 disahkan
UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), yang memberi landasan hukum terhadap
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Jaminan sosial yang dimaksud di dalam UndangUndang
SJSN adalah perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, termasuk
diantaranya adalah kesehatan. Namun sampai saat ini sistem jaminan
sosial yang diamanatkan dalam undangundang tersebut masih belum
berjalan karena aturan pelaksanaannya belum ada. Pada Tahun 2005,
pemerintah meluncurkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat
miskin dan tidak mampu yang dikenal dengan nama program
Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin). Penyelenggara
program adalah PT Askes (Persero), yang ditugaskan Menteri
Kesehatan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1241/Menkes/SK/XI/2004 tentang Penugasan PT Askes (Persero)
dalam Pengelolaan Program Pemeliharaan Kesehatan bagi
Masyarakat Miskin. Program ini merupakan bantuan sosial yang
diselenggarakan dalam skema asuransi kesehatan sosial. Setelah

dilakukan evaluasi dan dalam rangka efisiensi dan efektivitas, maka


pada tahun 2008 dilakukan perubahan dalam sistem
penyelenggaraannya. Perubahan pengelolaan program tersebut adalah
dengan pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran, yang
didukung dengan penempatan tenaga verifikator di setiap rumah
sakit. Nama program tersebut juga berubah menjadi Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat miskin dilakukan
dengan mengacu pada prinsipprinsip asuransi :
1. Pengelolaan dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan hanya
untuk peningkatan kesehatan masyarakat miskin.
2. Pelayanan kesehatan bersifat menyeluruh (komprehensif) sesuai
dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional.
3. Pelayanan kesehatan dilakukan dengan prinsip terstruktur dan
berjenjang.
4. Pelayanan kesehatan diberikan dengan prinsip portabilitas dan
ekuitas.
5. Pengelolaan program dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel.
Program Jamkesmas Tahun 2008
Dengan pertimbangan untuk mengendalikan pelayanan kesehatan,
peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta mengingat
keterbatasan pendanaan, pengelolaan program Jamkesmas tahun 2008
dilakukan langsung oleh Departemen Kesehatan. Pergantian pihak
pengelola dengan tahuntahun sebelumnya menyebabkan terjadinya
perubahanperubahan dalam pelaksanaannya, sehingga mekanisme
pelaksanaan Program Jamkesmas tahun 2008 sebagai berikut:
1. Kepesertaan Jamkesmas
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak
mampu yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan. Jumlah sasaran peserta sebesar 19,1 juta Rumah
Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa. Jumlah tersebut
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, yang
dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh
Menkes. Berdasarkan Jumlah Sasaran Nasional tersebut Menkes
membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota. Bupati/Walikota
wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalam satuan
jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk Keputusan
Bupati/Walikota. Administrasi kepesertaan Jamkesmas meliputi:
registrasi, penerbitan dan pendistribusian kartu kepada peserta. Untuk
administrasi kepesertaan Departemen Kesehatan menunjuk PT Askes
(Persero), dengan kewajiban melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan
entry oleh PT Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan di
Kabupaten/Kota.
b. Entry data setiap peserta.

c. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan dan


didistribusikan kepada peserta.
d. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang
berhak, mengacu kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda
terima yang ditanda tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga
peserta.
e. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta
kepada Bupati/Walikota, Gubernur, Departemen Kesehatan, Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta rumah sakit setempat.
2. Tatalaksana Pelayanan Kesehatan
Setiap peserta Jamkesmas berhak mendapat pelayanan kesehatan
dasar meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan (RJ) dan rawat inap
(RI), serta pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan
(RJTL), rawat inap tingkat lanjutan (RITL) dan pelayanan gawat
darurat. Pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas menerapkan
pelayanan berjenjang berdasarkan rujukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pelayanan rawat jalan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan
jaringannya. Pelayanan rawat jalan lanjutan diberikan di Balai
Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM), Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM), BKPM/BP4/BKIM dan rumah sakit (RS).
b. Pelayanan rawat inap diberikan di Puskesmas Perawatan dan ruang
rawat inap kelas III (tiga) di RS Pemerintah termasuk RS Khusus, RS
TNI/POLRI dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Departemen
Kesehatan. Departemen Kesehatan melalui Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atas nama Menkes membuat perjanjian kerjasama
(PKS) dengan RS setempat, yang diketahui Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi meliputi berbagai aspek pengaturan.
c. Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK) wajib memberikan pelayanan kepada
peserta walaupun tidak memiliki perjanjian kerjasama. Penggantian
biaya pelayanan kesehatan diklaimkan ke Departemen Kesehatan
melalui Tim Pengelola Kabupaten/Kota setempat setelah diverifikasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada program ini.
d. RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM melaksanakan pelayanan
rujukan lintas wilayah dan biayanya dapat diklaimkan oleh Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK) yang bersangkutan ke Departemen
Kesehatan. Pelayanan kesehatan RJTL di BKMM/BBKPM/BKPM/
BP4/BKIM dan di Rumah Sakit, serta pelayanan RI di Rumah Sakit
yang mencakup tindakan, pelayanan obat, penunjang diagnostik,
pelayanan darah serta pelayanan lainnya (kecuali pelayanan
haemodialisa) dilakukan secara terpadu sehingga biaya pelayanan
kesehatan diklaimkan dan diperhitungkan menjadi satu kesatuan
menurut jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas
Tahun 2008, atau penggunaan sistem INA-DRG (apabila sudah
diberlakukan), sehingga dokter berkewajiban melakukan penegakan
diagnosa sebagai dasar pengajuan klaim.
Dalam pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas yang dilakukan

oleh PPK dilakukan verifikasi, verifikasi terhadap pelayanan di


Puskesmas (RJTP, RITP, Persalinan, dan pengiriman spesimen,
transportasi dan lainnya) di laksanakan oleh Tim Pengelola
Jamkesmas Kabupaten/Kota, sementara pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Rumah Sakit, BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
dilaksanakan oleh Pelaksana Verifikasi. Verifikasi adalah kegiatan
penilaian administrasi klaim yang diajukan PPK yang dilakukan oleh
Pelaksana Verifikasi dengan mengacu kepada standar penilaian klaim.
Tujuan dilaksanakannya verifikasi adalah diperolehnya hasil
pelaksanaan program Jamkesmas yang menerapkan prinsip kendali
biaya dan kendali mutu. Tiap-tiap
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM akan ditempatkan pelaksana
verifikasi yang jumlahnya diperhitungkan dari jumlah TT yang
tersedia di RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dan beban kerja.
Verifikasi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat meliputi:
verifikasi administrasi kepesertaan, administrasi pelayanan dan
administrasi keuangan. Pelaksana Verifikasi dalam melaksanakan
tugas sehari-hari di RS/BKMM/ BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
berdasarkan beban kerja di bawah koordinasi Tim Pengelola
JAMKESMAS Kabupaten/ Kota.
Pelaksana verifikasi ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi atas nama Menteri Kesehatan yang ditugaskan untuk
melaksanakan penilaian administrasi klaim yang diajukan PPK,
dengan mengacu kepada standar penilaian klaim, dan memproses
klaim sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Prosedur untuk
memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut:
a. Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan dasar berkunjung
ke Puskesmas dan jaringannya.
b. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta harus
menunjukkan kartu yang keabsahan kepesertaannya merujuk kepada
daftar masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota
setempat. Penggunaan SKTM hanya berlaku untuk setiap kali
pelayanan kecuali pada kondisi pelayanan lanjutan terkait dengan
penyakitnya.
c. Apabila peserta Jamkesmas memerlukan pelayanan kesehatan
rujukan, maka yang bersangkutan dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan disertai surat rujukan dan kartu peserta yang
ditunjukkan sejak awal sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan,
kecuali pada kasus emergency.
Pelayanan tersebut meliputi
a. Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) di Rumah Sakit,
BKMM/ BBKPM /BKPM/BP4/BKIM.
b. Pelayanan Rawat Inap kelas III di Rumah Sakit
c. Pelayanan obat-obatan
d. Pelayanan rujukan spesimen dan penunjang diagnostik
d. Untuk memperoleh pelayanan rawat jalan di
BKMM/BBKPM/BKPM/ BP4/BKIM dan RS peserta harus
menunjukkan kartu peserta. Bila berkas sudah lengkap, petugas PT

Askes (Persero) mengeluarkan Surat Keabsahan Peserta (SKP), dan


peserta selanjutnya memperoleh pelayanan kesehatan. Pada dasarnya
manfaat yang disediakan untuk masyarakat miskin bersifat
komprehensif sesuai indikasi medis, kecuali beberapa hal yang
dibatasi dan tidak dijamin. Pelayanan kesehatan komprehensif
tersebut meliputi antara lain:
1) Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Jaringannya
a) Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), dilaksanakan pada
Puskesmas dan jaringannya baik dalam maupun luar gedung meliputi
pelayanan : Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan
kesehatan Laboratorium sederhana (darah, urin, dan feses rutin)
Tindakan medis kecil Pemeriksaan dan pengobatan gigi, termasuk
cabut/ tambal Pemeriksaan ibu hamil/nifas/menyusui, bayi dan
balita Pelayanan KB dan penanganan efek samping (alat
kontrasepsi disediakan BKKBN) Pemberian obat.
b) Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), dilaksanakan pada
Puskesmas Perawatan, meliputi pelayanan : Akomodasi rawat inap
Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan kesehatan
Laboratorium sederhana (darah, urin, dan feses rutin) Tindakan
medis kecil Pemberian obat Persalinan normal dan dengan
penyulit (PONED)
c) Persalinan normal yang dilakukan di Puskesmas nonperawatan/bidan di desa/Polindes/dirumah pasien/praktek bidan
swasta. d) Pelayanan gawat darurat (emergency). Kriteria/diagnosa
gawat darurat, sebagaimana terlampir.
2) Pelayanan kesehatan di RS dan di BKMM/BBKPM/BKPM/
BP4/BKIM:
a) Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), dilaksanakan pada
Puskesmas yang menyediakan pelayanan spesialistik, poliklinik
spesialis RS Pemerintah, BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
meliputi: Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan
kesehatan oleh dokter spesialis/umum Rehabilitasi medik
Penunjang diagnostik: laboratorium klinik, radiologi dan
elektromedik Tindakan medis kecil dan sedang Pemeriksaan dan
pengobatan gigi tingkat lanjutan Pelayanan KB, termasuk kontap
efektif, kontap pasca persalinan/ keguguran, penyembuhan efek
samping dan komplikasinya (alat kontrasepsi disediakan oleh
BKKBN) Pemberian obat yang mengacu pada Formularium
Rumah Sakit Pelayanan darah Pemeriksaan kehamilan dengan
risiko tinggi dan penyulit
b) Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL), dilaksanakan pada ruang
perawatan kelas III RS Pemerintah, meliputi : Akomodasi rawat
inap pada kelas III Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan
penyuluhan kesehatan Penunjang diagnostik: laboratorium klinik,
radiologi dan elektromedik. Tindakan medis Operasi sedang dan

besar Pelayanan rehabilitasi medis Perawatan intensif (ICU,


ICCU, PICU, NICU, PACU) Pemberian obat mengacu
Formularium RS program ini Pelayanan darah Bahan dan alat
kesehatan habis pakai Persalinan dengan risiko tinggi dan penyulit
(PONEK)
c) Pelayanan gawat darurat (emergency) kriteria gawat darurat,
sebagaimana terlampir
3) Pelayanan Yang Dibatasi (Limitation)
a) Kacamata diberikan dengan lensa koreksi minimal +1/-1 dengan
nilai maksimal Rp 150.000,- berdasarkan resep dokter.
b) Intra Ocular Lens (IOL) diberi penggantian sesuai resep dari
dokter spesialis mata, berdasarkan harga yang paling murah dan
ketersediaan alat tersebut di daerah. c) Alat bantu dengar diberi
penggantian sesuai resep dari dokter THT, pemilihan alat bantu
dengar berdasarkan harga yang paling murah dan ketersediaan alat
tersebut di daerah.
d) Alat bantu gerak (tongkat penyangga, kursi roda, dan korset)
diberikan berdasarkan resep dokter dan disetujui Direktur Rumah
Sakit atau pejabat yang ditunjuk dengan mempertimbangkan alat
tersebut memang dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi dalam
aktivitas sosial peserta tersebut. Pemilihan alat bantu gerak
berdasarkan harga yang paling efisien dan ketersediaan alat tersebut
di daerah.
e) Pelayanan penunjang diagnostik canggih. Pelayanan ini diberikan
hanya pada kasus-kasus life-saving dan kebutuhan penegakkan
diagnosa yang sangat diperlukan melalui pengkajian dan
pengendalian oleh Komite Medik.
4) Pelayanan Yang Tidak Dijamin (Exclusion)
a) Pelayanan yang tidak sesuai prosedur dan ketentuan
b) Bahan, alat dan tindakan yang bertujuan untuk kosmetika
c) General check up
d) Prothesis gigi tiruan.
e) Pengobatan alternatif (antara lain akupunktur, pengobatan
tradisional) dan pengobatan lain yang belum terbukti secara ilmiah
f) Rangkaian pemeriksaan, pengobatan dan tindakan dalam upaya
mendapat keturunan, termasuk bayi tabung dan pengobatan
impotensi.
g) Pelayanan kesehatan pada masa tanggap darurat bencana alam h)
Pelayanan kesehatan yang diberikan pada kegiatan bakti sosial
3. Tata Laksana Pendanaan
Sumber Dana berasal dari APBN sektor Kesehatan Tahun Anggaran
2008 dan kontribusi APBD. Pemerintah daerah berkontribusi dalam
menunjang dan melengkapi pembiayaan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin di daerah masing-masing Dana yang digunakan
untuk penyelenggaraan Program Jamkesmas merupakan dana bantuan
sosial dimana dalam pembayaran kepada rumah sakit dalam bentuk

paket, dengan berdasarkan klaim yang diajukan. Khusus untuk


BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM pembayaran paket disetarakan
dengan tarif paket pelayanan rawat jalan dan atau rawat inap rumah
sakit dan peserta tidak boleh dikenakan iur biaya dengan alasan
apapun.
4. Pengorganisasian
Pengorganisasian dalam penyelenggaraan Jamkesmas terdiri dari Tim
Pengelola dan Tim Koordinasi Jamkesmas di Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota, pelaksana verifikasi di PPK dan PT Askes (Persero).
Tim Pengelola Jamkesmas bersifat Internal lintas program
Departemen Kesehatan sedangkan Tim koordinasi bersifat lintas
Departemen. Tim Pengelola Jamkesmas melaksanakan pengelolaan
jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin meliputi kegiatan
kegiatan manajemen kepesertaan, pelayanan, keuangan, perencanaan
dan sumber daya manusia, informasi, hukum dan organisasi serta
telaah hasil verifikasi. Tim Pengelola Jamkesmas bersifat internal
lintas program di Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain Tim Pengelola juga dibentuk Tim
Koordinasi program Jamkesmas, yang bertugas melaksanakan
koordinasi penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat miskin
yang melibatkan lintas sektor dan pemangku kepentingan
(stakeholder) terkait dalam berbagai kegiatan antara lain koordinasi,
sinkronisasi, pembinaan, dan pengendalian. Dasar Hukum
Pelaksanaan program
Jamkesmas dilaksanakan sebagai amanah Pasal 28 H ayat (1)
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia, yang
menyatakan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selain
itu berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak.
Pemerintah menyadari bahwa masyarakat, terutama masyarakat
miskin, sulit untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kondisi
tersebut semakin memburuk karena mahalnya biaya kesehatan,
akibatnya pada kelompok masyarakat tertentu sulit mendapatkan
akses pelayanan kesehatan. Untuk memenuhi hak rakyat atas
kesehatan, pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan telah
mengalokasikan dana bantuan sosial sektor kesehatan yang
digunakan sebagai pembiayaan bagi masyarakat, khususnya
masyarakat miskin.
Dasar hukum penyelenggaraan program Jamkesmas adalah:
1. UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional
2. UndangUndang Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun

2008
3. UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
4. UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Jika mencermati peraturanperaturan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa penyelenggaraan program Jamkesmas telah sesuai dengan
koridor hukum yang berlaku. Menkes memiliki kekuasaan
pengelolaan keuangan negara di bidang kesehatan, dan pengelolaan
keuangan tersebut diwujudkan dalam bentuk bantuan sosial yang
diberikan kepada masyarakat untuk melindungi resiko sosial. Bantuan
sosial tersebut direalisasikan dalam bentuk Jaminan Kesehatan yang
penyelengaraannya dalam skema asuransi sosial. Secara umum
asuransi kesehatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
asuransi komersial (sukarela) dan asuransi sosial (wajib).
Penyelenggara asuransi komersial biasanya adalah swasta murni, dan
dalam menentukan premi dilakukan oleh badan penyelenggara atau
pihak asuradur itu sendiri dan berbasis pada kepesertaan sukarela
yang tujuannya adalah mencari laba (for profit). Sedangkan asuransi
sosial penyelenggaranya adalah BUMN atau suatu badan yang
ditunjuk oleh pemerintah, dan dalam penyelenggaraannya ada
intervensi pemerintah baik dalam menetapkan tarif maupun
menentukan jenis layanan termasuk kepesertaannya, dimana basis
utamanya adalah regulasi bukan respon pasar sehingga tidak mencari
laba (not for profit).
Negara menggunakan dana yang berasal dari APBN untuk membayar
premi peserta. Jika melihat sejarahnya asuransi dapat dipakai
pemerintah suatu negara untuk memberikan jaminan sosial (social
security) bagi rakyatnya. Pemerintah berperan sebagai penanggung
anggota masyarakat, dan anggota masyarakat berkedudukan sebagai
tertanggung. Anggota masyarakat diwajibkan membayar iuran yang
berfungsi sebagai premi. Dalam program Jamkesmas tersebut, peserta
yang merupakan penduduk miskin dan hampir miskin dibayarkan
preminya oleh negara. Untuk penyelenggaraan di masa yang akan
datang, perlu dilakukan kajian apakah program ini dapat dikelola
dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Dengan menggunakan
sistem pengelolaan keuangan BLU, tujuan untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan
prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis
yang sehat dapat tercapai.
Daftar Pustaka Prakoso Djoko, Murtika I Ketut, Hukum Asuransi
Indonesia, 2004, PT Rineka Cipta, Jakarta, Republik Indonesia,
(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Jakarta. Republik
Indonesia, (2008), Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

125/Menkes/SK/II/2008, tentang Pedoman Penyelenggaraan Program


Jaminan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Saefuddin Fedyani, Ilyas
Yaslis, Managed Care: Mengintegrasikan Penyelenggaraan dan
Pembiayaan Pelayanan Kesehatan, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKM UI dan PT (Persero) Askes, Jakarta. Thabrany Hasbullah,
Asuransi Kesehatan Nasional, Perhimpunan Ahli Manajemen
Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Disajikan oleh : Sundoyo, SH, Mkes, MHum dan Siti Maimunah
Siregar, SH
Biro Hukum & Organisasi Departemen Kesehatan R.I.
Jalan H.R. Rasuna Blok X5 Kav No. 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan
12950
gitahafas
Moderator

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Thu Jun 24, 2010 6:03 am

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT SALAH SATU CARA


MENSEJAHTERAKAN RAKYAT
1. A. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan
nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai
adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat
masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat
digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi
bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak
miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya
kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya
masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan
indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per
1000 kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per
100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan
kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan,
ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola
penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola
pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket).
Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan
berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat
untuk melakukan akses ke palayanan kesehatan.
Selama ini dari aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur
dalam tataran Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya,
tetapi sejak Amandemen UUD 1945 perubahan ke dua dalam Pasal
28H UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia, yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam


Amandemen UUD 1945 perubahan ke tiga Pasal 34 ayat (3)
dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban
pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945
serta kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good
maka dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.
1. B. Jaminan Kesehatan Masyarakat
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam memenuhi
hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang layak, krisis moneter yang terjadi sekitar tahun 1997 telah
memberikan andil meningkatkan biaya kesehatan berlipat ganda,
sehingga menekan akses penduduk, terutama penduduk miskin
terhadap pelayanan kesehatan. Hambatan utama pelayanan kesehatan
masyarakat miskin adalah masalah pembiayaan kesehatan dan
transportasi. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan
pelayanan kesehatan yang mendorong peningkatan biaya kesehatan,
diantaranya perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi
kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis
pembayaran out of pocket, dan subsidi pemerintah untuk semua lini
pelayanan, disamping inflasi di bidang kesehatan yang melebihi
sektor lain.
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan, sejak tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai
upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan
pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun
1998 2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi
(PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak
(PKPS-BBM) Tahun 2002-2004. Program-program tersebut diatas
berbasis pada provider kesehatan (supply oriented), dimana dana
disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit. Provider
kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit) berfungsi ganda yaitu
sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga mengelola
pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi seperti
ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit
di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di
Puskesmas, juga menimbulkan fungsi ganda pada PPK yang harus
berperan sebagai Payer sekaligus Provider.
Dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan perubahan yang
mendasar bagi perasuransian di Indonesia khusunya Asuransi Sosial
dimana salah satu program jaminan sosial adalah jaminan kesehatan.
Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004
dinayatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan

agar peserta memperolah manfaat pemeliharaan kesehatan dan


perlindungan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, hal ini
merupakan salah satu bentuk atau cara agar masyarakat dapat dengan
mudah melakukan akses ke fasilitas kesehatan atau mendapatkan
pelayanan kesehatan. Namun demikian undang-Undang tersebut
belum dapat di implementasikan mengingat aturan pelaksanaan
berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan
Presiden sampai dengan saat ini belum satupun diundangkan kecuali
Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Jaminan Sosial
Nasional. Belum dapat diimplementasikannya Undang Undang
Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
semakin membuat kelompok masyarakat tertentu yaitu masyarakat
miskin dan tidak mampu sulit untuk mendapatkan pelayanan.
Sejak awal agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
jilid satu telah berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala
terkait dengan pelayanan kesehatan khusunya pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yaitu kebijakan Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini
diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan
kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes
/SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam
pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat sangat
miskin, miskin dan tidak mampu dengan nama Asuransi Kesehatan
Masyarakat Miskin (ASKESKIN). PT Askes (Persero) dalam
pengelolaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN)
didasarkan pada Undang-Undang Nomor ........ tentang Badan Umum
Milik Negara dimana dalam Pasal ...... dinyatakan bahwa ................
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin,
miskin dan tidak mampu dengan mana program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) mengacu pada prinsip-prinsip asuransi
sosial:
1. Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan
tidak mampu.
2. Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan
medik yang cost effective dan rasional.
3. Pelayanan Terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
4. Transparan dan akuntabel.
Pada semester I tahun 2005, penyelenggaraan jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat miskin dikelola sepenuhnya oleh PT
Askes (Persero) meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas
dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS dengan
sasaran sejumlah 36.146.700 jiwa sesuai data BPS tahun 2004. Dalam
perjalanannya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di
semester I tahun 2005, ditemukan permasalahan yang utama yaitu
perbedaan data jumlah masyarakat miskin BPS dengan data jumlah
masyarakat miskin di setiap daerah disertai beberapa permasalahan

lainnya antara lain: program belum tersosialisasi dengan baik,


penyebaran kartu peserta belum merata, keterbatasan sumber daya
manusia PT Askes (Persero) di lapangan, minimnya biaya operasional
dan manajemen di Puskesmas, kurang aktifnya Posyandu dan lainlain.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka pada semester II tahun
2005, mekanisme penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi masyarakat miskin diubah. Untuk pembiayaan Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM) dan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan
jaringannya disalurkan langsung ke Puskemas melalui bank BRI. PT
Askes (Persero) hanya mengelola pelayanan kesehatan rujukan bagi
masyarakat miskin di Rumah Sakit (RS). Disamping itu sasaran
program disesuaikan menjadi 60.000.000 jiwa.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di masa
lalu dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif
dan efisien masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan
yang berbasis asuransi sosial. Penyelenggaraan program ini
melibatkan beberapa pihak yaitu Pemerintah Pusat (Departemen
Kesehatan), Pemerintah Daerah, Pengelola Jaminan Kesehatan
(PT.Askes (Persero)), dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu
Puskesmas dan Rumah Sakit dimana masing-masing pihak memiliki
peran dan fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama yaitu
mewujudkan pelayanan kesehatan dengan biaya dan mutu yang
terkendali.
Berlandaskan pada upaya pengembangan sistem jaminan tersebut
pada tahun 2006, penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin yang meliputi pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di
Rumah Sakit dikelola sepenuhnya melalui mekanisme asuransi sosial
oleh PT Askes (Persero).
Dengan pertimbangan pengendalian biaya pelayanan kesehatan,
peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta mengingat
keterbatasan pendanaan, dilakukan perubahan pengelolaan program
Askeskin pada tahun 2008, dengan memisahkan fungsi pengelolaan
dengan fungsi pembayaraan dengan didukung penempatan tenaga
verifikator di setiap Rumah Sakit. Selain itu mulai di berlakukannya
Tarif Paket Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Rumah
Sakit dengan nama program berubah menjadi Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JAMKESMAS). Peserta Jamkesmas telah dibagi dalam
bentuk Kuota disetiap Kabupaten/Kota berdasarkan data Badan Pusat
Statistik tahun 2006. kuota tersebut menimbulkan persoalan
mengingat masih banyak masyarakat miskin di Kabupaten/Kota yang
tidak masuk/menjadi peserta Jamkesmas sementara kebijakan
Jamkemas adalah bagi masyarakat miskin diluar Kuota yang
ditetapkan maka menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah

Program ini telah berjalan memasuki tahun ke5 (lima) dan telah
banyak hasil yang dicapai terbukti dengan terjadinya kenaikan yang
luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh
masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dan pemerintah
telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun
pendanaannya. Pelaksanaan Jamkesmas 2009 merupakan kelanjutan
pelaksanaan Jamkesmas 2008 dengan penyempurnaan dan
peningkatan yang mencakup aspek kepesertaan, pelayanan kesehatan,
pendanaan, organisasi dan manajemen. Untuk aspek kepesertaan,
Jamkesmas mencakup 76,4 juta jiwa dengan dilakukan updating
peserta Jamkesmas di Kabupaten/Kota, optimalisasi data masyarakat
miskin, termasuk gelandangan, pengemis, anak terlantar dan
masyarakat miskin tanpa identitas. Peningkatan peran pemerintah
daerah dalam berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar kuota.
Dalam program ini, masih melibatkan PT Askes (Persero) yaitu
melaksanakan tugas dalam manajemen kepesertaan Jamkesmas,
Dilakukan peningkatan pelayanan kesehatan dan penerapan sistem
Indonesian Diagnosis Related Group (INADRG) dalam upaya
kendali biaya dan kendali mutu pada seluruh Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) lanjutan sejak 1 Januari 2009.
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak
mampu selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, sejumlah 76,4 juta
jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006
yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara
Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes
Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang telah ditetapkan nomor, nama
dan alamatnya melalui SK Bupati/Walikota tentang penetapan peserta
Jamkesmas serta gelandangan, pengemis, anak terlantar, masyarakat
miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis,
penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang
belum menjadi peserta Jamkesmas.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang tidak terdapat dalam
kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya
mengikuti model Jamkesmas, hal tersebut dimaksudkan agar semua
masyarakat miskin terlindungi jaminan kesehatan dan dimasa yang
akan datang dapat dicapai universal coverage. Sampai saat ini
masyarakat yang sudah ada jaminan kesehatan baru mencapai 50,8%
dari kurang labih 230 juta jiwa penduduk, hal tersebut dapat dilihat
dalam tabel sebagai berikut:
KONDISI PENCAPAIAN TARGET JAMINAN KESEHATAN
SAMPAI TAHUN 2009
Jenis Jaminan - Jumlah (Juta)
Askes Sosial (PNS) 14,9
Askes Komersial 2,2
Jamsostek 3,9
ASABRI 2,0

Asuransi Lain 6.6


Jamkesmas 76,4
Jamkesmas Daerah 10,8
Jumlah / Total 116,8
Persentase thd Penduduk (tahun 2009 = 230 jt) 50.8%
Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
Pada tahun 2014 Pusat Jaminan dan Pembiayaan Kesehatan
diharapkan sudah terjadi universal coverage untuk itu strategi yang
perlu dibangun dalam rangka universal coverage adalah :
1. Peningkatan cakupan peserta Pemda (Pemda)
2. Peningkatan cakupan peserta pekerja formal (formal)
3. Peningkatan cakupan peserta pekerja informal (in-formal)
4. Peningkatan cakupan peserta individual (individu)
Peningkatan cakupan dalam rangka universal coverage tidak mungkin
dilakukan dilakukan secara bertahap dengan strategi sebagaimana
dalam tabel sebagai berikut :
PENTAHAPAN UNIVERSAL COVERAGE 2014
Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
Untuk mencapai Universal Coverage pada tahun 2014 maka perlu ada
sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal yang
paling penting dalam mensinegikan jaminan kesehatan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah masalah
pembiayaan. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdapat
dalam Keputusan Bupati/Walikota akan dibiayai dari APBN,
Masyarakat miskin dan tidak mampu diluar kuota ditanggung oleh
Pemerintah Daerah dengan sumber biaya dari APBD, Kelompok
Pekerja dibiayai dari institusi masing-masing ( PNS, ASABRI,
JAMSOSTEK) dan kelompok individu (kaya dan sangat kaya)
membiayai diri sendiri dengan asuransi kesehatan komersial atau
asuransi kesehatan lainnya. Untuk itu skenario dalam pembiayaan
jaminan kesehatan dalam rangka universal coverage dapat dilihat
dalam bagan sebagai berikut :
SINERGI PUSAT DAN DAERAH DALAM RANGKA MENUJU
UNIVERSAL COVERAGE
Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
Sampai saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai
kemampuan menyediakan dana melalui APBD dalam rangka
memberikan jamianan kesehatan bagi masyarakatnya diluar kuota
Jamkesmas. Namun pelaksanaanya antara pemerintah daerah yang
satu dengan pemerintah daerah yang lain berbeda-beda, sampai saat
ini sekurang-kurangnya ada dua nama program dalam pelayanan
kesehatan di daerah yaitu Jaminan Kesehatan Daerah dengan Bapel
dan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk semua penduduk.

1. C. JAMINAN KESEHATAN DAERAH


Bagi Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan,
maka masyarakat miskin diluar kuota Jamkesmas pelayanan
kesehatannya di tanggung oleh Pemerintah daerah yang
penyelenggaraanya berbeda-beda. Pertanyaan yang harus terjawab
adalah Dapatkah uang yang disediakan Pemerintah Daerah dikelola
dengan menggunakan prinsip-prinsip asuransi sosial seperti
Jamkesmas dengan nama Jaminan Kesehatan Daerah
(JAMKESDA). Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat
disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dalam Pasal 22H dinyatakan bahwa daerah mempunyai
kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial. Dengan demikian
maka Pemerintah Daerah diwajibkan mengembangkan sistem
jaminan sosial yang didalamnya adalah termasuk jaminan kesehatan.
2. Keputusan Mahkamah Konsititusi dalam Judicial Review pada
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 diputuskan bahwa :
1. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1)
tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama dimaksud oleh
ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara
Jaminan Sosial Nasional tingkat Nasional yang berada dipusat.
2. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (3)
bertentangan dengan UUD 1945 karena materi yang terkandung
didalamnya telah tertampung dalam Pasal 52 yang apabila
diertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum.
3. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2)
walaupun tidak dimohonkan dalam potitum namun merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika
dipertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum.
4. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 52yang
dimohonkan tidak cukup beralasan.
Menyatakan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran
Peraturan Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian
urusan pemerintahan Bidang Kesehatan dalam sub bidang
pembiayaan kesehatan Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai

kewenangan melakukan
1). Pengelolaan/penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan
pemeliharaan kesehatan skala provinsi,
2). Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan
nasional ( tugas perbantuan).
Sementara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai
kewenangan melakukan
1). Pengelolaan/penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
sesuai dengan kondisi lokal,
2). Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional ( tugas
perbantuan).
Dari tigal hal tersebut diatas maka Pemerintah Daerah dapat
menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah. Namun demikian
agar dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah mempunyai
kekuatan hukum yang kuat dan mengikat maka perlu diatur dengan
Peraturan Daerah. Substansi materi pokok yang perlu diatur dalam
Peraturan Daerah tersebut adalah :
1. Peserta dan Kepesertaan :
Dalam Bab ini muatan materi yang perlu diatur adalah hal-hal sebagai
berikut :
1. Siapa yang akan menjadi peserta dalam Jamkesda Selatan. Apakah
seluruh masyarakat atau hanya masyarakat miskin saja, bagaimana
dengan masyarakat yang selama ini sudah memegang premi atau
dijamin dengan jaminan kesehatan lain, apakah tetap menjadi peserta
dalam Jaminan Kesehatan ini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam
Jaminan Kesehatan ada Jaminan Kesehatan bagi PNS, JAMSOSTEK,
ASABRI dan Asuransi Komersial Lainnya.
2. Bagaimana mekanisme pendaftaranya
3. Apa bukti/tanda bahwa seseorang adalah sebagai peserta Jamkesda
(apakah cukup dengan KTP atau ada bukti khusus)
4. Apakah perlu dilakukan klasifikasi terhadap peserta Jaminan
Kesehatan ( masyarakat miskin, masyarakat mampu, masyarakat kaya
dengan iur biaya).
5. Apa saja hak dan kewajiban dari Peserta
6. Apakah masyarakat diluar Kabupaten/Kota, boleh menjadi peserta
Jamkesda.
7. Pembiayaan :
Dalam Bab Pembiayaan hal hal yang perludiperhatikan atau yang
perlu diatur dalam BAB ini adalah :
1. Premi akan dibayar oleh siapa ( Apakan akan dibayar oleh Pemda)
atau peserta tetap akan dikenakan iur biaya
2. Apakah iuran biaya akan dipungut pada saat pelayanan kesehatan
atau diawal pada saat menjadi peserta.
3. Berapa besaran premi, besaran premi akan menggambarkan

manfaat atau pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta .


1. Bagaimana tatacara pembayaran kepada PPK setelah melakukan
pelayanan kesehatan terhadap peserta Jamkesda.
2. Pelayanan :
Hal- Hal yang perlu diatur dalam Bab ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah semua jenis pelayanan akan ditanggung oleh jaminan
kesehatan ini.
2. Bagaimana dengan system rujukan
3. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) mana saja yang boleh
memberikan pelayanan, apakah hanya Puskesmas dan Rumah Sakit
Pemerintah saja atau semua fasilitas boleh melayani peserta Jamkesda
.
4. Bagaimana dengan peserta yang dirawat di PPK di luar wilayah
Pemerintah Kabupaten/Kota. ( Bagaimana dengan Portabilitas)
5. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (BAPEL)
/Pengorganisasian
Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan Daerah tersebut
mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan Jamkesda,
untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bab tentang Badan
Penyelenggaran Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut :
1. Apa tugas pokok dan fungsi dari Bapel tersebut.
2. Apakah Bapel tersebut merupakan UPTD atau LTD dari Pemeritah
Daerah atau suatu Badan yang independent.
3. Apakah UPTD atau LTD tersebut secara bertahap akan menjadi
PK-BLU atau PK- BLUD.
4. Siapa saja yang boleh duduk dalam Bapel dan bagaimana system
penggajiannya.
5. D. Kesejahteraan diwujudkan melalui Jamkesmas
Perlunya dibentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah dalam
rangka untuk menciptakan Law and Order (ketentraman dan
ketertiban) dan untuk menciptakan welfare (Kesejahteraan), hal
tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Alenia ke IV Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. dst.
Salah satu unsur kesejahteraan adalah kesehatan, sehingga pembentuk
Pemerintah Republik Indonesia sudah menganggap begitu pentingnya
masalah kesehatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) yang diselenggarakan Pemerintah Daerah yang
tujuannya adalah meningkatkan akses masyarakat khususnya
masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, maka
pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah

melaksanakan sebagian dari tujuan dibentuknya suatu Pemerintah


Republik Indonesia yaitu dalam rangka untuk menciptakan Law and
Order (ketentraman dan ketertiban) dan untuk menciptakan
welfare (Kesejahteraan) dimana salah satu unsur kesejahteraan
adalah kesehatan.
Biro Hukum & Organisasi Departemen Kesehatan R.I.
Jalan H.R. Rasuna Blok X5 Kav No. 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan
12950
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Thu Jun 24, 2010 9:08 pm
MENKO KESRA MINTA DPR SATU BAHASA SOAL SJSN
Kamis, 24 Juni 2010 - Suara Pembaruan
[JAKARTA] Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko
Kesra) Agung Laksono mengatakan, target Millennium Development
Goals (MDGs) bisa dicapai dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Sayangnya, SJSN tidak bisa berjalan karena hingga saat ini
RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum disahkan
oleh DPR.
"Pemerintah sudah memiliki kesamaan bahasa untuk melaksanakan
SJSN. Seharusnya, DPR juga satu bahasa, tidak ada lagi perdebatan.
Saat ini, kami hanya memprioritaskan Jamkesmas, namun ke depan,
harus berlaku universal coverage agar semua orang dijamin sama
tanpa kecuali," kata Menko pada peluncuran Gerakan Kesehatan Ibu
dan Anak di Jakarta, Rabu (23/6). Dikatakan, sambil menunggu
disahkannya RUU BPJS, pemerintah sedang mengkaji sistem SJSN,
apakah bentuk asuransi atau bukan. Disebutkan, hingga saat ini
beberapa persoalan sosial sudah bisa diatasi oleh pemerintah,
misalnya menurunnya angka kemiskinan dan kesetaraan gender pun
meningkat. Namun, karena belum ada SJSN, penurunan angka
inveksi baru HIV serta penurunan angka kematian ibu dan angka
kematian bayi/balita, belum tercapai sesuai target. Padahal, hal itu
merupakan satu dari enam poin penting capaian MDGs, yang tinggal
empat tahun lagi, katanya.
Implementasi
Kendalanya antara lain, masyarakat miskin terlambat mengakses
layanan kesehatan atau medis, karena keterbatasan ekonomi. Di
sinilah pentingnya universal coverage melalui implementasi SJSN,
sebagaimana amanat UU 40/2004, katanya. Secara terpisah, Mantan
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Muhammad
menjelaskan, pengesahan RUU BPJS tahun ini terancam gagal karena
masih menjadi rebutan di DPR. Masih terjadi lobi yang begitu kuat
dan gencar di DPR soal siapa serta kedudukan dari BPJS yang akan
dibentuk. Namun, Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima membantah
adanya lobi, apalagi berbau uang. Politisi dari partai PDI-P ini
mengimbau pada anggota legislatif untuk tidak fragmatis. [D-13]

gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Fri Jun 25, 2010 8:11 am
RS PUBLIK, TUGAS MULIA, BEBAN SEGUNUNG
Jumat, 25 Juni 2010 | 07:49 WIB
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo, Jakarta
Timur, Senin (29/3). RSUD Pasar Rebo adalah satu dari 13 badan
usaha milik daerah yang terancam dijual karena tidak menyetor
dividen ke pos pendapatan asli daerah DKI Jakarta. Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang berlaku sejak 28
Oktober 2009 membagi pengelolaan rumah sakit menjadi rumah sakit
publik dan rumah sakit privat.
Rumah sakit publik dikelola pemerintah, pemerintah daerah, atau
badan hukum nirlaba. Rumah sakit privat dikelola badan hukum
berbentuk perseroan terbatas atau persero dengan tujuan profit. Badan
hukum nirlaba menurut UU ini tidak membagi sisa hasil usaha
kepada pemilik, tetapi untuk meningkatkan pelayanan; bentuk badan
dapat yayasan, perkumpulan, dan perusahaan umum. Dengan kata
lain, biaya layanan dapat lebih murah daripada RS privat. UU
tersebut membawa konsekuensi perlu pembedaan lebih jelas antara
RS publik dan RS privat karena RS publik mendapat fasilitas insentif
pajak seperti diatur Pasal 30 bagian (h).
Kepala Divisi Pajak Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(Perssi) Drs Syarifuddin Umar Hani MM, Senin (21/6), mengatakan,
definisi RS publik dan RS privat perlu diperjelas. Dia tambahkan,
sejumlah anggota Perssi mengeluhkan tidak adanya perbedaan
insentif pajak antara RS nirlaba dari RS privat, terutama rumah sakit
publik nonpemerintah yang umumnya dimiliki yayasan dan
perkumpulan. Bagi RS publik, insentif pajak itu sangat bermakna.
Dapat kami pakai membeli alat baru dan mengganti yang sudah tua,
juga meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, misalnya,
membiayai dokter mengambil spesialisasi. RS pemerintah mendapat
dana dari APBN atau APBD, sementara kami harus mencari dana
sendiri, jelas Direktur Keuangan RS Islam Jakarta Drs HS Eko
Prijono MM.
Pajak, retribusi, dan izin
RS publik pada tahun 1980-an pernah mendapat insentif keuangan
dari pemerintah dengan diberlakukannya tarif sosial, antara lain untuk
air PAM dan listrik serta potongan 50 persen untuk Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Sekarang tarif sosial ditiadakan, pajak badan tidak
ada bedanya dari lembaga profit, dan PBB pun tidak mendapat
keringanan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110 Tahun 2009
mengatur, keringanan PBB hanya untuk perusahaan merugi atau yang
kesulitan likuiditas tahun sebelumnya.

Dalam praktik, prosedur mengurus keringanan PBB tak mudah


sehingga berkonsekuensi biaya karena butuh waktu dan tenaga
tambahan. Harapan kami, kalau sudah ditetapkan sebagai badan
nirlaba, potongan itu otomatis serta prosedurnya mudah dan
transparan seperti mengurus STNK kendaraan yang bisa melalui
layanan mobil keliling, kata Eko. Bagi RS publik seperti RS Islam
Jakarta, PBB menjadi beban karena RS berdiri saat harga tanah masih
murah. Sekarang, RS Islam berada di tengah kota dan tanahnya luas
sehingga PBB-nya pun tinggi.
Direktur Eksekutif Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum Sigit
Wijayanta PhD mengatakan, pajak RS swasta memang sedikit
kompleks. Tetapi, tetap harus ada pembedaan antara RS privat dan
RS publik dengan, antara lain, melihat tata kelola dan sistem
akuntansi RS. Dia mengakui, tidak adanya beda nyata antara harga
dan layanan RS membuat pemerintah ragu memberi keringanan
pajak. Di sisi lain, dari penelitian terhadap RS berbasis yayasan
keagamaan, terutama yang religius, Sigit menemukan semua
melakukan layanan sosial dengan baik. Memang harus disaring
dengan benar. Selama semua dikembalikan dalam bentuk layanan dan
untuk orang miskin, pemerintah harus membantu, kata Sigit.
Mengurus RS di Indonesia memang rumit. Selain biaya tetap untuk
obat, dokter, dan peralatan, RS masih dibebani bermacam pajak,
perizinan, dan retribusi yang tidak beda dari usaha komersial. Pajak
yang ditarik pemerintah pusat mulai dari pajak penghasilan badan,
karyawan, jasa dokter hingga barang dan jasa; pajak pertambahan
nilai gedung, barang modal, alat kesehatan dan obat dari apotek untuk
pasien rawat jalan; dan PBB.
Selain itu, setidaknya ada 33 jenis perizinan yang harus dibayar,
mulai dari izin pengesahan instalasi petir, analisis dampak lalu lintas,
pemakaian diesel, truk sampah, reklame (petunjuk jalan ke arah RS),
hingga ketenagakerjaan, termasuk tenaga dinas malam. Padahal,
rumah sakit sudah pasti harus berjaga 24 jam.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah hanya membolehkan pemerintah
provinsi menarik pajak untuk kendaraan bermotor, bea balik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air
permukaan, dan pajak rokok. Kabupaten/kota hanya boleh menarik
pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, mineral
bukan logam dan batuan, parkir, air tanah, sarang burung walet, PBB
perdesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
Konflik
Dengan begitu banyak pajak dan retribusi, ketentuan pemberian
insentif pajak untuk RS nirlaba dalam UU Rumah Sakit berada dalam
situasi berkonflik kepentingan dengan UU perpajakan. Retribusi
masih sangat banyak dengan alasan ketentuan kesehatan dan

keselamatan kerja, seperti izin lift, boiler, bejana tekan, instalasi


listrik. Tarifnya juga tidak jelas, kata Sjarifuddin. Dampak tak
jelasnya insentif untuk RS publik sudah terlihat. Menurut penelitian
pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Prof dr
Laksono Trisnantoro dkk, antara tahun 2003 dan 2008 jumlah rumah
sakit privat berlipat dua (Grafis). Sementara pada tahun 2002-2008
ada 25 RS yayasan berubah menjadi RS privat. Sebaliknya, hanya
lima RS privat menjadi yayasan.
Jumlah sumbangan donatur yang berperan penting dalam
pengembangan RS publik nonpemerintah juga menyurut.
Penyebabnya, menurut Sigit, antara lain tidak ada insentif pajak, yaitu
pajak dikenakan dari penghasilan awal donatur, bukan dari dana sisa
setelah dikurangi sumbangan. Faktor lain, suasana yang berbeda dari
tahun 1950-an ketika banyak RS publik nonpemerintah berdiri.
Sekarang, donatur menganggap dokter sudah kaya, jadi tak perlu
dibantu, kata Eko. Dalam situasi seperti ini, kembali pasien yang
harus menanggung beban. Semua biaya rumah sakit dikembalikan
kepada pasien sehingga biaya pengobatan menjadi mahal dan
jangkauan layanan untuk orang miskin semakin terbatas.(Ninuk M
Pambudy/Atika Walujani)
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Fri Jun 25, 2010 8:14 am
SATIMAH BUTUH LAYANAN KESEHATAN
Jumat, 25 Juni 2010 | 07:54 WIB
Kompas/Hendra Agus Setyawan
Oleh Clara Wresti
Satimah sedang menunggu giliran di bagian fisioterapi Rumah Sakit
Umum Daerah Koja, Jakarta Utara. Selasa (22/6) adalah hari terakhir
nenek sembilan cucu yang tak punya penghasilan itu menjalani terapi
terakhir dari 12 terapi yang diperintahkan dokter untuk mengobati
tangan kanannya yang nyeri. Kalau suruh bayar sendiri, mana punya
uang. Paling saya bawa Rp 4.000 buat ongkos pulang-pergi naik
(angkutan umum) KWK, tutur Satimah. Dia kehilangan penghasilan
Rp 5.000 per hari dari untung berjualan nasi uduk setelah lahan
tempat dia berjualan dimanfaatkan pemiliknya sejak dua tahun lalu.
Dengan memegang kartu Keluarga Miskin (Gakin) DKI Jakarta,
Satimah bisa berobat gratis di RSUD Koja.
Di Makassar, Sao (40), pedagang sayur di Pasar Wajo, Kota Bau-bau,
Sulawesi Tenggara, mengaku puas dengan pelayanan RS Islam Faisal
di Makassar. Dia kembali ke RS publik itu untuk pengobatan tumor
kandungan istrinya, Wasuminah (38), sejak dua minggu lalu. Tahun
lalu, dia juga berobat ke RS tersebut. Menurut Sao, para perawat
cukup terbuka dengan menunjukkan bukti obat-obatan yang
digunakan. Selama perawatan, dia hanya membayar Rp 400.000
untuk obat-obat nongenerik yang harus dibeli di luar apotek RS
tersebut.

Satimah enggan berobat ke RSUD Koja untuk masalah jantungnya


karena petugas kesehatan di bagian jantung kurang ramah dan
memilih berobat ke RS Islam Cempaka Putih. Dia tetap mendapat
pengobatan gratis di RS publik itu meskipun harus mengeluarkan
ongkos transport lebih mahal. Suwarni (64), istri pensiunan
kepolisian, yang menderita diabetes kronis, juga memilih RSUD Koja
karena biaya berobatnya murah. Peserta asuransi kesehatan Askes ini
hanya membayar Rp 19.000 untuk pemeriksaan darah, sementara di
RS lain yang juga melayani Askes dia harus membayar tiga kali lipat.
Meski begitu, dia mengeluhkan juga layanan petugas bagian farmasi
yang kurang ramah. Saya mengerti RS ini pasiennya banyak sekali,
sementara petugasnya kurang, tetapi tidak ada salahnya petugas
bersikap sopan. Apalagi kepada orang tua seperti saya, kata Suwarni
yang menyebut juga lebih banyak petugas yang melayani dengan baik
dan RSUD Koja lumayan baik dan bersih untuk ukuran RS
pemerintah.
RS publik
Saat ini Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat sedang menyusun
RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai implementasi UU
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2004. Sistem jaminan
kesehatan saat ini dianggap tidak menjangkau sebagian besar warga
yang tidak tergolong miskin, tetapi akan menghadapi kesulitan besar
ketika sakit. Bagi warga kurang mampu, RS publik milik pemerintah
atau nonpemerintah yang dikelola yayasan dan perkumpulan adalah
tumpuan layanan kesehatan. Sebagai RS publik, rumah sakit tidak
mencari keuntungan untuk mengembalikan modal pemilik.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
mensyaratkan, RS publik dikelola pemerintah pusat dan daerah serta
badan usaha nirlaba yang keuntungan dari kegiatan dikembalikan
menjadi layanan bagi pasien. Sebagai imbalan, UU menetapkan RS
publik mendapat insentif pajak. Dengan demikian, RS publik dapat
melayani masyarakat kurang mampu.
RSUD Koja yang berdiri Agustus 1952, misalnya, menjadi favorit
warga Jakarta Utara yang memiliki banyak warga miskin, warga asli
maupun pendatang. Menurut Direktur Utama RSUD Koja Togi
Aswan Sinaga, 73 persen dari total pasien adalah pemegang kartu
Gakin, surat keterangan tidak mampu (SKTM), dan Jamkesmas.
Merekalah yang membuat RSUD ini berjalan. Setiap hari 300-400
pasien (Gakin, SKTM, dan Jamkesmas) berobat ke sini, papar Togi.
Dengan menangani pasien pemegang kartu Gakin, SKTM, dan
Jemksemas, RSUD mendapat penggantian dari pemerintah yang
menyubsidi layanan kesehatan warga tidak mampu. Dari 335 tempat
tidur, 189 buah untuk pasien kelas III dengan biaya Rp 20.000 per
hari. Meski demikian, tiap hari ada 5-6 pasien mengantre untuk bisa

rawat inap di kelas III.


Di Makassar, RSI Faisal di Jalan AP Pattarani melayani pasien tak
mampu pada tahun 1997 ketika diminta pemerintah daerah melayani
70 pengungsi asal Timor Timur. Tahun 2009, RS itu melayani 3.155
warga miskin, antara lain peserta Jamkesmas. Pada tahun 2007, RSI
itu mendapat bantuan pemerintah, gedung tiga lantai untuk perawatan
warga tak mampu berkapasitas 68 tempat tidur dan ruang
pemeriksaan serta laboratorium.
Kami mengutamakan penanganan kesehatan. Kartu Jamkesmas bisa
ditunjukkan belakangan asal tidak lebih dari 24 jam, kata Direktur
RSI Faisal Prof Dr dr Arifuddin Djuanna SpOG(K) pekan lalu. RSI
yang yayasannya diketuai mantan Wapres Jusuf Kalla itu juga
menerapkan subsidi silang untuk pasien tak mampu selain dari
Jamkesmas.
Di Medan, Sumatera Utara, RS Santa Elisabet, yang beroperasi sejak
tahun 1930 dan terbuka untuk semua, dari awal sudah menetapkan
diri sebagai rumah sakit nirlaba. Sampai kini, 20 persen dari 260
tempat tidur RS itu disediakan bagi warga kurang mampu meskipun
belum diikutkan program Jamkesmas oleh pemerintah. Tarifnya Rp
110.000 per hari untuk kelas III dan gratis untuk kelas IV. Untuk
biaya operasional, kami menerapkan subsidi silang, kata Alfred C
Satyo, Kepala Humas RS Santa Elisabet, di kantornya, Selasa (22/6).
Insentif pemerintah
Dengan bentuk badan usaha nirlaba dan mendapat tugas sosial tetapi
harus dapat membiayai dan mengembangkan diri, RS publik layak
mendapat insentif dari pemerintah. Sebagai RSUD, Koja mendapat
bantuan APBD DKI Jakarta sebesar 40 persen dari biaya operasional.
Sisanya, seperti untuk gaji pegawai non-pegawai negeri sipil (PNS),
obat, gizi dan pelayanan, dibiayai dari pendapatan RS. Dari 691
pegawai di RSUD Koja, 225 di antaranya PNS. Yang PNS digaji
berdasarkan gelar, jabatan, dan masa kerja oleh pemerintah. Yang
non-PNS dibayar berdasar UMR, jelas Togi.
Gaji rendah ini membuat RSUD Koja kesulitan mencari tenaga
dokter spesialis sehingga hanya tersedia satu dokter di tiap bidang.
Bahkan ada dokter spesialis yang bersifat konsulen, datang seminggu
dua kali. Kami sudah mencoba memberi insentif 45 persen dari
tindakan oleh dokter. Tetapi, karena biaya tindakan juga murah, maka
uang yang didapat dokter juga sedikit, tambah Togi. RSUD
menetapkan biaya dokter spesialis Rp 10.000, sementara layanan
sama di RS privat di Jakarta bisa di atas Rp 150.000 per konsultasi.
Dokter-dokter pun semakin tua dan beberapa menjelang pensiun.
Permintaan tenaga dokter kepada Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dan Dinas Kesehatan DKI belum berhasil. Peralatan juga
semakin tua, begitu pun ruang perawatan kelas III banyak yang bocor.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sudah mengunjungi RS tersebut


dan sepakat merenovasi, tetapi sampai kini belum terwujud.
Sikap mental pasien pun tak membantu. Ada yang pura-pura miskin,
tetapi juga ada yang pura-pura mampu. Ketika tagihan kelas II
datang, mereka mengajukan SKTM, sementara yang pemerintah
mengganti perawatan kelas III. Pasien sudah pasang badan, terserah
mau diapakan. Kalau sudah begitu, rumah sakit mau bagaimana?
keluh Togi. Itu pun masih ditambah dengan percaloan SKTM.
Karena itu, pemerintah harus menyusun basis data pemegang
Jamkesmas dan Gakin serta setiap warga dengan nama dan alamat
jelas. Selain itu, insentif perpajakan bagi RS publik akan sangat
membantu RS meningkatkan layanannya. Bagi warga kurang mampu
seperti Saiful (29) dari Tugu Utara, Koja, RSUD tetap dibutuhkan.
Ibaratnya naik metromini atau taksi. Kalau mau nyaman, naik taksi.
Kalau cari murah ya naik metromini. Yang penting tempat yang dituju
tercapai. Dapat obat dan sembuh, kata dia. (RIZ/MHF/NMP)
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Fri Jun 25, 2010 8:16 am
MENJAMIN AKSES PELAYANAN KESEHATAN WARGA
Jumat, 25 Juni 2010 | 07:42 WIB
KOMPAS/LASTI KURNIA
Surono menawarkan mobilnya. Pegawai perusahaan swasta itu
terpaksa menjual mobil satu-satunya untuk membiayai kemoterapi
putranya yang menderita kanker.
Di tengah mahalnya biaya pengobatan, apalagi untuk penyakit berat,
seperti kanker atau gangguan jantung, sakit bisa membuat sebuah
keluarga menjadi bangkrut. Bagi mereka yang status ekonominya
lebih rendah terpaksa pasrah menanti ajal. Di negara maju yang
memiliki jaminan sosial kesehatan, hal seperti ini tidak perlu terjadi.
Sistem memungkinkan warga yang sakit mendapatkan pengobatan
sesuai dengan yang diperlukan.
Prof Dr dr Hasbullah Thabrany, ahli ekonomi kesehatan dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, memperkirakan, saat
ini di Indonesia baru sekitar 50 persen penduduk mendapat jaminan
pelayanan kesehatan. Sebagian besar (sekitar 76 juta penduduk)
memperoleh lewat jaminan kesehatan masyarakat yang disediakan
pemerintah untuk penduduk miskin.
Sebagian lain dijamin asuransi kesehatan bagi pegawai negeri (sekitar
16 juta), asuransi sosial tenaga kerja (sekitar 4 juta), dan asuransi
kesehatan swasta maupun dijamin perusahaan (sekitar 5 juta). Selain
itu, sejumlah pemerintah daerah memberikan jaminan pelayanan
kesehatan bagi warganya, seperti di Provinsi Sumatera Selatan dan
Aceh serta Kabupaten Jembrana, Bali.

Sebenarnya Indonesia sudah memiliki undang-undang untuk


menjamin kesejahteraan sosial warganya, termasuk kesehatan, yaitu
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sayangnya, UU yang diundangkan pada Oktober 2004 itu hingga kini
belum ada tanda-tanda dilaksanakan.
Hal yang bisa mendorong pelaksanaan UU SJSN, menurut Hasbullah,
adalah tekanan masyarakat seperti saat peringatan Hari Buruh 1 Mei
lalu. Serikat pekerja berunjuk rasa minta pelaksanaan jaminan
kesehatan dan pensiun. Selain itu, tekanan hukum, seperti gugatan
Komite Aksi Jaminan Sosial, beranggotakan 54 organisasi massa
serikat buruh, serikat tani dan serikat nelayan seluruh Indonesia,
terhadap Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan sejumlah
menteri, terkait tidak terlaksananya jaminan sosial untuk rakyat
sebagaimana amanat UU SJSN. Gugatan diajukan ke Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 10 Juni 2010.
Menurut anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, dari 10
peraturan pemerintah dan sembilan peraturan presiden yang
diamanatkan UU SJSN, pemerintah baru menerbitkan satu peraturan
presiden, yaitu tentang tata kerja dan organisasi Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN).
Menurut dr Surya Chandra Surapaty, anggota Komisi IX DPR, untuk
mendorong pelaksanaan UU SJSN, DPR mengajukan hak inisiatif
berupa RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurut
Surya Chandra, yang juga Ketua Tim Kerja RUU BPJS, diharapkan
RUU yang kini diharmonisasi di Badan Legislasi bisa dibawa ke
rapat paripurna 12 Juli dan pada 16 Agustus terbit amanat presiden
untuk menentukan mitra pembahasan RUU BPJS. Ditargetkan
pembahasan RUU ini selesai pada Desember 2010.
BPJS harus dibentuk dengan UU, seperti amanat Pasal 5 Ayat 1 UU
SJSN. Selama UU BPJS belum ada, sulit bagi empat badan yang
ditunjuk UU SJSN menyesuaikan diri menjadi BPJS. Semua fraksi di
DPR sepakat melebur empat BPJS, yaitu PT Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek), PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(Taspen), PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Asabri), dan PT Asuransi Kesehatan (Askes), sebagai
lembaga tunggal berbentuk badan hukum publik wali amanah, bukan
sebagai BUMN atau BUMN khusus. BPJS bertanggung jawab
kepada presiden melalui DJSN, kata Surya Chandra.
Badan ini akan mengelola iuran masyarakat. Iuran penduduk miskin
dibayar pemerintah. Ada lima jaminan yang akan dikelola, yaitu
jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.
BPJS bersifat nirlaba, keuntungan tidak disetorkan kepada
pemerintah, tetapi untuk pengembangan program bagi kepentingan
peserta.

Prioritas
Nantinya seluruh penduduk wajib menjadi peserta program jaminan
sosial, tetapi pelaksanaannya bertahap. Prioritasnya pengadaan
jaminan kesehatan. Diharapkan dalam lima tahun seluruh penduduk
Indonesia tercakup jaminan kesehatan. Sistem jaminan sosial akan
memperbaiki sistem pelayanan kesehatan nasional karena sistem ini
menuntut tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan, seperti
puskesmas dan rumah sakit, merata di semua daerah. Sistem ini akan
memaksa berlakunya sistem rujukan berjenjang, mulai dari dokter
keluarga/puskesmas, rumah sakit daerah, hingga rumah sakit pusat.
Sistem ini juga akan memaksa dokter meresepkan obat secara
rasional dengan obat yang sudah ditentukan, termasuk obat generik.
Namun, syarat terlaksananya sistem jaminan sosial adalah data
kependudukan yang lengkap dan detail, ada nama, tidak hanya
menyebut jumlah. Hal ini menjadi tantangan karena sensus penduduk
pada Mei lalu masih dipertanyakan kesahihannya. Menurut
Hasbullah, BPJS sebaiknya satu badan supaya efisien dan tidak ada
perbedaan untuk seluruh penduduk. Pelaksanaannya bertahap.
Misalnya, setiap perusahaan diwajibkan menyediakan asuransi
kesehatan untuk pegawai. Adapun sektor informal dijamin negara
dengan premi sebesar Rp 14.500 per orang. Ini harga keekonomian
yang layak bagi tenaga medik dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Kalau pemerintah bersedia membayar untuk sektor migas, mengapa
bagi sektor kesehatan tidak dilakukan, katanya.
Kekhawatiran pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk
membayar iuran penduduk miskin sebenarnya tidak perlu. Sistem ini
bersifat subsidi silang. Penduduk dikenai iuran sesuai dengan
penghasilan dan akan menerima manfaat sesuai dengan yang
dibutuhkan. Berdasarkan pengalaman PT Askes, hanya 25 persen
jumlah peserta yang sakit per tahun dan yang dirawat inap hanya 0,6
persen jumlah peserta.
Pengelolaan
Direktur Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Prof Dr dr Laksono Trisnantoro
mempertanyakan kemampuan badan penyelenggara yang berdasarkan
RUU BPJS hanya satu lembaga. Bagaimana kapasitas manajemen
satu lembaga yang akan mengelola dana sekitar Rp 300 triliun-Rp
500 triliun dan menyangkut berbagai aspek yang sarat politik, mulai
dari asuransi kesehatan sampai ke jaminan pensiun, katanya.
Seharusnya UU SJSN menjadi UU payung sebagaimana Social
Security Act di AS. Kemudian, disusun UU khusus tentang asuransi
kesehatan yang, antara lain, mengatur sumber dana, baik pemerintah
pusat maupun daerah, pengaturan menyangkut peran Kementerian
Kesehatan dan dinas kesehatan, pengawasan mutu dan manajemen
pelayanan, biaya terkait pelayanan, pembayaran bagi tenaga
kesehatan, distribusi sarana dan tenaga kesehatan, dan sebagainya.

Terlepas dari perdebatan itu, rakyat Indonesia menunggu kemauan


politik pemerintah untuk benar-benar melaksanakan SJSN. Dengan
terpenuhinya kesejahteraan masyarakat, minimal akses penduduk
pada pelayanan kesehatan, diharapkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia bisa meningkat dan menjadi modal bangsa untuk maju.
(Atika Walujani/Ninuk M Pambudy
gitahafas
Moderator

Number of posts:
23045
Age: 57
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: UU RI No. 40 Th. 2004 tentang SISTEM JAMINAN


SOSIAL NASIONAL Fri Jun 25, 2010 8:17 am
SISTIM KESEHATAN HARUS PRO ORANG MISKIN
Rabu, 15 April 2009 | 04:57 WIB
Jakarta, Kompas - Sistem kesehatan seharusnya proorang miskin.
Pekerjaan rumah pemerintahan mendatang adalah memperkuat
subsistem kesehatan: pembiayaan kesehatan, tenaga kesehatan,
subsistem obat, dan komitmen politik. Hal itu dikatakan mantan
Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan
Azrul Azwar saat diskusi publik Evaluasi Hasil Pembangunan Sektor
Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu di Jakarta, Selasa (14/4).
Diskusi publik oleh Pusat Kajian Kedokteran dan Kesehatan Majelis
Nasional KAHMI itu selain menampilkan Azrul juga menghadirkan
Hakim Sorimuda Pohan dari Komisi IX DPR, Ketua Yayasan
Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta,
dan Fauzi Kasim dari Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Sistem kesehatan yang pro- orang miskin, menurut Azrul, biayanya
terjangkau oleh orang miskin, program pembangunan sarana dan
fasilitas diutamakan untuk orang miskin, misalnya membangun
banyak puskesmas, program diprioritaskan pada program
penanggulangan masalah kesehatan orang miskin, dana kesehatan
harus lebih banyak diberikan ke daerah-daerah yang penduduk
miskinnya banyak, masyarakat di bawah juga dilibatkan dalam
program-program itu, dan melaksanakan program- program
kesehatan masyarakat yang mengutamakan kesehatan masyarakat
nonpersonal, seperti air minum dan gizi.
Kita harus back to basic. Perkuat subsistem yang mendukung
pembiayaan, ketenagaan, subsistem obat, dan komitmen politik harus
kuat. Program pegawai tidak tetap itu sudah pas, tetapi sekarang kok
tidak diwajibkan sehingga puskesmas di daerah kekurangan dokter,
kata Azrul.
Kurang tepat
Azrul menyatakan, program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat
Miskin (Askeskin) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
yang dijalankan secara konseptual kurang tepat. Menggratiskan
biaya kesehatan tanpa konsep itu salah. Kalau mau pelayanan
kesehatan bisa dijangkau masyarakat miskin harus program kesehatan
dengan kendali, katanya.

Sementara itu, Fauzi memprihatinkan bahan baku obat yang hampir


100 persen impor. Ketersediaan obat pun sangat kurang, terutama
obat HIV/AIDS, tuberkulosis, dam malaria. Padahal, orang dengan
AIDS tak bisa terlambat minum obat, sementara stok ARV sempat
kurang beberapa waktu lalu, katanya. (LOK)

Vous aimerez peut-être aussi